Kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya

36 pada ghari kelima bulan terang bulan asada, dengan lega gembira datang membuat wanua ... . perajalanan jaya sriwijy memberikan kepuasan. Poerbacaraka berpendapat bahwa Minanga adalah pertemuan antara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, sehingga beliau berpendapat bahwa ibu kota Sriwijaya adalah di Minangkabau. Muhammad Yamin mengartikan Minanga Tanwan adalah air tawar dan Sriwijaya ibu kotanya terletak di Palembang. Bukhori berpendapat sama dengan Muhammad Yamin bahwa ibu kota Sriwijaya terletak di sekitar daerah Palembang Prasasti Kedukan Bukit isinya menceritakan bahwa pada tanggal 11 Waisaka 604 23 April 682, Raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu memimpin operasi militer. Lalu pada tanggal 7 paro terang bulan Jesta 19 Mei Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwan untuk kembali ke ibu kota. Mereka bersukacita karena pulang dengan kemenangan. Pada tangga 5 Asada 16 Juni mereka tiba di Muka Upang sebelah timur Palembang. Sesampai di ibu kota, Dapunta Hyang memerintahkan pembuatan bangunan suci sebagai tanda rasa syukur. Prasasti Ligor A 775 ditemukan di Muangthai selatan “Pujian terhadap raja Sriwijaya yang di ibaratkan bagai Mnu yang memberi berkah bagi dunia menyerupai Indra dan semua raja tetangga taat kepadanya ditulis pula pendirian sebuah bangunan batu trisamayacahtya untuk padma, pani, sakyamuni, dan wajrpani”. Prasasti Ligor B, Pujian bagi raja yang berhasil menaklukkan musuh-musuhnya dan merupakan wujud kembar dewa kasta yang dengan kekuatannya disebut sebagai dewa Wisnu, kedua mematahkan keangkuhan semua musuhnya Sarwarimadawimthana. Ia adalah keturunan dari keluarga Syailendra yang tersohor disebut Srimaharaja.” Prasasti Ligor yang ditemukan di semenanjung tanah Melayu menceritakan tentang Raja Sriwijaya dan pembangunan trisamayacaithya untuk menyembah dewa-dewa agama Buddha, serta menyebutkan seorang raja bernama Wisnu dengan gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musuh yang sombong tiada bersisa. Begitu pula prasasti Nalanda yang dikeluarkan oleh Raja Dewa Paladewa. Isinya menyebutkan tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh Raja Balaputradewa, Raja Sriwijaya yang menganut agama Buddha. Daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaya, dan Muangthai Selatan. Dengan menguasai Selat Malaka, 37 Selat Sunda, dan Laut Jawa, Kerajaan Sriwijaya menguasai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Untuk itu penghasilan negara Sriwijaya terutama diperoleh dari perdagangan komoditas ekspor dan bea cukai kapal- kapal yang singgah di wilayah Sriwijaya. Jadi, kerajaan ini lebih menitik- beratkan pada bidang maritim dan perdagangan. Sejak pertengahan abad ke-9, Sriwijaya diperintah oleh Dinasti Syailendra. Hal ini dinyatakan dalam prasasti Nalanda di India, yang menguraikan permintaan Raja Balaputradewa dari Sriwijaya kepada Raja Dewapaladewa dari Benggala untuk mendirikan wihara di Nalanda pada tahun 860. Disebutkan juga dalam prasasti itu, bahwa Balaputradewa adalah putra Samaragrawira, yaitu raja Jawa dari Dinasti Syailendra. Prasasti kota kapur 686 M isinya tentang cerita peperangan dan sumpah atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar peraturan dan kehendak penguasa. Adapun yang lebih menarik tentang isi prasasti ini, ialah bagian terakhir yang berbunyi: “Tahun saka 608 hari pertama bulan terang bulan waisaka, itulah waktunya sumpah ini dipahat, pada waktu itu tentara Sriwijaya berangkat tanah Jawa karena tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.” Dari prasasti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Sriwijaya pernah ada upaya untuk menaklukkan Jawa. Para ahli menerangkan bahwa kerajaan di Jawa yang ditaklukkan adalah Tarumanegara. Hubungan dengan India tidak bertahan lama, sebab pada awal abad ke-11 Raja Rajendracola dari Kerajaan Colamandala melakukan penyerbuan besar-besaran ke wilayah Sriwijaya, antara lain Kedah, Aceh, Nikobar, Binanga, Melayu, dan Palembang. Berita penyerangan tersebut ada dalam prasasti Tanjore di India Selatan. Tetapi, penyerbuan Colamandala dapat dipukul mundur atas bantuan Raja Airlangga dari Jawa Timur. Atas jasanya ini, Airlangga dinikahkan dengan Sanggramawijayatunggadewi, putri Raja Sriwijaya. Kekuatan Sriwijaya mulai menurun setelah berhasil memukul mundur pasukan Colamandala. Menurunnya kekuatan itu dapat terlihat dari ketidakmampuannya mengawasi dan memberi perlindungan bagi pelayaran dan perdagangan yang ada di perairan Indonesia. Keadaan itu dimanfaatkan juga oleh kerajaan-kerajaan vasal bawahan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Malayu Jambi. Prasasti Tanjore 1030 yang dikeluarkan oleh Rjendra berisi Tentara Colal melakukan serangan dua kali ke beberapa negeri diantaranya ke Sriwijaya, pertama tahun 1015 dan kedua 1025. Pada serangan kedua berhasil menawan rajanya yang bernama Sri Sangramwijaya Tunggawarman, setelah meminta maaf, dia ditakhtakan kembali. 38 S ementara itu, prasasti Wirarajendra, yang dikeluarkan oleh Raja Cola 1068, berisikan bahwa pasukan Cola menyerang kembali Sriwijaya tahun 1067. Selanjutnya pada abad ke-13 dan ke-14, kebesaran Sriwijaya tidak pernah disebut-sebut lagi dalam sumber-sumber sejarah. Jadi, kapan Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan? Menurut catatan Cina, utusan Sriwijaya terakhir datang ke Cina pada tahun 1178. Selain itu, pada catatan Chu- fan-chi yang ditulis oleh Chau Ju Kua tahun 1225 disebutkan bahwa Palembang ibu kota Sriwijaya telah menjadi negeri taklukan Malayu.

b. Kehidupan ekonomi

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada masa silam. Kerajaan Sriwijaya mampu mengembangkan diri sebagai negara maritim yang pernah menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra, sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan bea cukai bagi kapal- kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya. Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.

c. Kehidupan sosial-budaya

Prasasti Amoghpasha 1286 berbunyi “Pada tahun saka 1208 .....tatkala itulah arca paduka amoghappasa lokeswara dengan empat belas pengikutnya serta tujuh ratna permata dibawa dari bhumi Jawa ke suwarnabhumi supaya ditegakan. Sumber sejarah lain mengenai Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari berita Cina. Berita itu datang dari seorang pendeta yang bernama I-Tsing yang pada tahun 671 berdiam di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sanskerta sebagai persiapan kunjungannya ke India. I-Tsing menyebutkan bahwa di negeri Sriwijaya dikelilingi oleh benteng. Di negeri ini ada seribu orang pendeta yang belajar agama Buddha. Seperi halnya di India, para pendeta Cina yang mau belajar agama ke India dianjurkan untuk belajar terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Disebutkan juga bahwa para pendeta yang belajar agama Buddha di Sriwijaya dibimbing oleh seorang guru yang sangat terkenal bernama Sakyakirti. Berdasarkan berita I-Tsing dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-7 M merupakan pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara. 39 Prasasti Nalanda berisi tentang pembebasan tanah untuk pendirian sebuah biara atas permintaan raja Swarnadiva, Balaputradewa, cucu raja Jawa berjuluk Wirawairimathana, yang berputra Samaargrawira yang menikahi putri Raja Dharmasetu. Dari prasasti-prasasti tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa raja sangat memperhatikan dunia pendidikan dalam memajukan dan mengembangkan kerajaannya. Pendidikan yang berbasis pengajaran agama Buddha disatu sisi telah membawa corak kehidupan yang khas pada masyarakat Sriwijaya

d. Kepercayaan

Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya biksu yang terdapat di Sriwijaya beserta pusat pendidikannya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan, bahwa penduduk yang beragama Hindu terdapat pula di Sriwijaya. Prasasti Talang Tuo isinya menyebutkan tentang pembuatan kebun Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai suatu pranidhana na ar. Di samping itu, terdapat doa dan harapan yang menunjukkan sifat agama Buddha. Sebaliknya, prasasti Karang Berahi, prasasti Telaga Batu, dan prasasti Palas Pasemah umumnya berisi doa, kutukan, dan ancaman terhadap orang yang melakukan kejahatan dan tidak taat pada peraturan Raja Sriwijaya.

4. Kerajaan Mataram Kuno berpusat di Jawa Tengah

Gambar 2.7 Wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Hindu pada tahun 732-929 M Sumber: Chalif Latif, 2000, Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, halaman 9 40 Sejarah Indonesia mengenal dua Kerajaan Mataram, yaitu Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Kedua kerajaan itu berbeda dalam hal agama dan dinasti, namun kedua-duanya berkembang pada daerah yang sama yaitu di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

a. Kehidupan politik

Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama. Sebab, di Kerajaan Mataram Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara berdampingan. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling bersaing berebut pengaruh dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti Sanjaya tercantum dalam prasasti Canggal 732 M yang menyebutkan bahwa Sanjaya adalah keponakan Sanna anak dari Sannaha. Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam prasasti Sojomerto tidak berangka tahun, isinya menceritakan tentang Dapuntahyang Syailendra. Gambar 2.8 Prasasti Canggal Sumber: Lukisan Sejarah, halaman 17 Berdasarkan Prasasti Canggal 732 M, terletak di atas Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang memerintah di ibu kota bernama Medang. Prasasti itu juga menceritakan tentang pendirian sebuah lingga lambang dewa Syiwa di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya pada tanggal 6 Oktober 732. Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas, yang mula- mula diperintah oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, ia digantikan