Inggris PERKEMBANGAN KOLONIALISME DI INDONESIA

177 yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin. Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816. Dengan demikian, mulai tahun 1816, Pemerintah Hindia-Belanda dapat kembali berkuasa di Indonesia.

4. Pemerintahan Hindia Belanda

Pemerintahan Hindia-Belanda mengisi kekuasaannya dengan menjalankan berbagai kebijakan yang pada dasarnya meneruskan kebijakan yang telah diterapkan Raffles dalam kurun waktu sebelumnya. Selama periode antara tahun 1816 dan 1830, Pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada timbulnya berbagai peperangan di beberapa daerah, seperti Perang Padri dan Perang Jawa. Peperangan tersebut merupakan peperangan yang besar dan memakan biaya yang banyak. Bahkan, menyebabkan Pemerintah Hindia-Belanda mengalami kesulitan keuangan. Hasil sewa tanah yang selama ini dijalankan tidak dapat menutupi kondisi keuangan yang ada. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia- Belanda di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch segera memberlakukan sistem baru yang disebut sistem tanam paksa Cultuur Stelsel. Ciri utama sistem tanam paksa ini adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian innatura, khususnya kopi, tebu, dan nila. Hasil pajak tersebut selanjutnya dikirim ke negeri Belanda. Adapun ketentuan-ketentuan pokok dalam pelaksanaan sistem tanam paksa Cultur stelsel adalah sebagai berikut. a. Sebagian tanah penduduk harus ditanami oleh tanaman-tanaman yang dapat dijual di pasaran Eropa; b. Tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh melebihi seperlima dari tanah yang dimiliki oleh penduduk desa; c. Untuk menanam tanaman yang diwajibkan Pemerintah Hindia-Belanda tersebut, waktunya tidak boleh melebihi waktu menanam padi; d. Bagian tanah yang digunakan untuk menanam tanaman dagangan tersebut dibebaskan dari pajak; e. Kegagalan panen yang tidak disebabkan karena kesalahan petani maka kerugian ditanggung pemerintah kolonial; f. Apabila hasil panen melebihi dari pajak tanah yang harus dibayar maka selisihnya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial; g. Dalam pelaksanaannya, penduduk berada di bawah pengawasan kepala desa atau bupati. 178 Gambar 6.17 Pelaksanaan Tanam Paksa Sumber: Indonesian Heritage:early Modern History, 1996 Apabila dilihat dari butir-butir aturannya, maka sistem tanam paksa tidaklah merugikan rakyat Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya sangat jauh menyimpang dari ketentuan pokok. Rakyat diperas habis-habisan, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Kondisi demikian berhubungan erat dengan adanya peranan para bupati dan kepala desa yang tidak segan- segan melakukan tindakan pemerasan di luar aturan sistem tanam paksa. Di satu sisi, bagi pemerintah yang sedang berkuasa, pelaksanaan sistem tanam paksa ini telah mendatangkan keuntungan yang besar. Hal ini terbukti bahwa antara tahun 1832-1867 saldo atau keuntungan yang diperoleh mencapai angka sekitar 967 juta gulden suatu jumlah sangat besar pada waktu itu. Di sisi lain, bagi Indonesia sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai penderitaan dan kesengsaraan. Perbedaan yang tidak seimbang antara penduduk pribumi dengan kolonial dari pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama reaksi dari golongan humanis yang menjunjung asas-asas kemanusiaan. Golongan humanis, seperti Douwes Dekker atau Multatuli dan Baron van Hoevel menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah melalui tulisan. Max Havelaar yang ditulis oleh Douwes Dekker merupakan kecaman terhadap Pemerintah Hindia-Belanda atas penderitaan yang dialami oleh penduduk di Jawa akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Tulisan lainnya berupa sebuah pamflet yang berjudul Suiker Contracten kontrak- kontrak gula yang ditulis oleh seorang pemilik perkebunan yang bernama Frans Van de Putte . Kedua tulisan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh kaum liberal untuk mendesak Pemerintah Hindia-Belanda dalam mencapai kepentingannya, yakni kesempatan penanaman modal sebesar-besarnya di Indonesia. 179 Gambar 6.18 Eduard Douwes Dekker Multatuli Sumber: Chalid Latif, 2000, Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, halaman 29 Desakan parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa merupakan awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang dijalankan kaum liberal dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi Indonesia. Sejak saat itu, modal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang usaha, terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti Belanda dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula pada tahun 1870. Tujuan dikeluarkan undang-undang tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap para petani Indonesia agar tidak kehilangan hak milik mereka atas tanah. Namun, di pihak lain, Undang-Undang Agraria ini justru semakin memberi kesempatan yang besar bagi pihak swasta asing menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam realisasinya Undang-undang Agraria itu pun tidak membuat penduduk pribumi menjadi terbebas dari penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi hanya menjadi alat pihak pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak memperbaiki nasib rakyat Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak seimbang tersebut, pada akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda seperti Baron van Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda tersebut, kemudian mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia. Dalam pandangan tokoh-tokoh tersebut, bangsa Belanda tidak sedikit pun memperbaiki bangsa Indonesia, padahal mereka merupakan bangsa yang banyak berjasa. Semua kegiatan bangsa Indonesia selama pendudukan Belanda pada dasarnya adalah untuk pemenuhan kesejahteraan bangsa Belanda, terutama