‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’

Kajian pragmatik pada dasarnya tidak dapat memalingkan diri dari fakta-fakta sosio-kultural karena penutur dan mitra tutur merupakan bagian dari sebuah masyarakat sehingga dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keberadaannya sebagai warga masyarakat dan budaya tertentu harus dilibatkan di dalamnya. Pelibatan ini karena penutur dan mitra tutur melibatkan orang lain yang tidak sedikit jenis dan jumlahnya. Masing- masing tersebut memiliki dimensi yang berkaitan dengan solidaritas dan kuasa dalam masyarakat dan budaya. Aspek budaya merupakan salah satu penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek norma dan nilai dari masyarakat bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, Verschueren 1998:92 menyatakan sebagai berikut, ‘Culture, with its invocation of norms and values has indeed been a favourite social-world correlate to linguistic choices in the pragmatic literatures.’ Jadi, budaya, dengan invokasinya terkait norma dan nilai memang menjadi jagat sosial favorit yang berkorelasi dengan pilihan-pilihan linguistik dalam literatur pragmatik. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa dimensi-dimensi kultur yang harus diperhatikan dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik ini adalah, ‘…the contrast between oral and literate societies, rural versus urban patterns of life, or a mainstream versus a subcultural environment.’ Atau berarti kontras antara masyarakat lisan dan tulis, bentuk kehidupan pedesaan dan kota, ataupun lingkungan utama dan subkultur. Dimensi-dimensi sosial lain yang harus diperhatikan dalam pragmatik, khususnya dalam kaitan dengan konteks pragmatik, dalam pandangan Verschueren 1998:92 adalah: ‘…social class, ethnicity and race, nationality, linguistic group, religion, age, level of education, profession, kinship, gender, sexual preference…’. Jadi, ternyata demikian kompleksnya aspek-aspek ‘social’ dalam konteks pragmatik, yang sekali lagi merupakan ‘ingredients’ konteks komunikatif dalam pragmatik. Terkait dengan dimensi sosial, dimensi jenis kelamin dapat membedakan cara berbahasa seseorang. Bahasa untuk kaum laki-laki lazimnya cenderung keras, sedangkan bahasa untuk kaum perempuan biasanya cenderung lebih lembut. Bidang-bidang yang diperbincangkan kaum perempuan juga tidak sama dengan bidang-bidang yang diperbincangkan kaum laki-laki. Bidang yang dibicarakan oleh kaum laki- laki biasanya hal yang cenderung berat dan rumit seperti masalah politik, masalah pekerjaan, masalah pembangunan, dan lain-lain. Akan tetapi bagi kaum perempuan, hal yang akan dibicarakan biasanya terkait dengan keluarga, kesehatan, keindahan, dan lain-lain. Jadi, hal yang berkaitan dengan masalah-masalah gender juga harus dipertimbangkan dalam kerangka pragmatik. Selain itu, dimensi usia juga berpengaruh terhadap cara penyebutan seseorang. Di dalam masyarakat Jawa misalnya, bahasa yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur yang lebih tua atau mereka yang dianggap tua harus lebih sopan dan lebih halus dibandingkan dengan bahasa yang digunakan kepada mereka yang lebih muda. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus digunakan kepada orang yang lebih tua sebaiknya berciri lengkap dan tidak dipotong-potong supaya pembicaraan cenderung halus dan santun. Dimensi lain berkaitan dengan status sosial dan tingkatan sosial. Orang yang berstatus sosial rendah atau berperingkat sosial rendah dalam masyarakat, lazimnya menggunakan bentuk-bentuk hormat kepada mereka yang berstatus sosial menengah, terlebih pada mereka yang berstatus sosial tinggi.

2.4.1.4 Aspek-aspek Fisik

‘Language Users’ Aspek-aspek fisik pengguna bahasa meliputi deiksis persona, perilaku, waktu, maupun tempat. Deiksis persona, menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan harus digunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’ dalam bahasa Jawa, deksis persona ‘kula’ artinya ‘saya’ dan ‘kula sedaya’ atau ‘aku kabeh’ alias ‘kami’ atau ‘kita’ dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, deiksis perilaku atau ‘attitudinal deixis’ berkaitan erat dengan bagaimana kita harus memperlakukan panggilan-panggilan persona dengan tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam jenis yang disampaikan di depan itu semuanya merupakan aspek fisik ‘language users’ , yang secara sederhana dimaknai sebagai ‘penutur’ dan