‘mitra tutur’ , sebagai ‘utterer’ dan ‘interpreter’. Dalam kasus bahasa Jawa,
menggunakan bentuk sapaan persona panjenengan, sampeyan, atau kowe. Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan deiksis pula, tetapi
yang sifatnya temporal atau yang disebut deiksis waktu harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja
dalam bahasa Indonesia. Perhatian juga harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau ‘temporal reference’ seperti yang ditunjukkan di depan
tadi, khususnya dalam kaitan dengan deiksis-deiksis waktu. Pada dimensi tempat atau dimensi lokasi, atau yang oleh Verschueren
1998:98 disebut sebagai ‘spatial reference’. Referensi spasial di dalam linguistik ditunjukkan, misalnya dengan pemakaian preposisi yang
menunjukkan tempat, juga kata kerja tertentu, kata keterangan, kata ganti, dan juga nama-nama tempat. Pendek kata, konsep ‘spatial reference’ seperti
ditunjukkan di depan itu, semuanya menunjuk pada konsepsi gerakan atau ‘conception of motion’
, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam titik tempat yang lainnya.
Aspek-aspek fisik konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan itu adalah tentang jarak spasial atau ‘space distance’. Ketika orang sedang
bertutur sapa, jarak spasial yang demikian ini sangat menentukan maksud, juga persepsi terhadap makna yang disampaikan oleh ‘interpreter’. Fakta
non-kebahasaan ini ternyata juga sangat berbeda antara daerah yang satu dan daerah lainnya. Maka, lalu semuanya ini berkaitan pula dengan ‘motion’ atau
gerakan untuk menentukan distansi atau jarak antara ‘utterrer’ dan ‘interpreter’. Pengaturan distansi atau jarak dalam pengertian bertutur
demikian ini dilakukan bukan oleh ‘utterer’ saja, atau ‘interpreter’ saja, melainkan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama.
2.4.2 Konteks Sebuah Tuturan
Konteks sebuah tuturan terdapat tiga macam, yakni yang mencakup dimensi-dimensi linguistik atau yang sifatnya tekstual koteks, konteks yang
sifatnya sosio-kultural, dan konteks pragmatik. Konteks linguistik biasanya berdimensi fisik, sedangkan konteks sosiolinguistik biasanya berupa seting
sosiokultural yang mewadahi kehadiran sebuah tuturan. Aspek situasi ujar yang kedua adalah ‘setting’, yang dapat mencakup
seting waktu dan seting tempat spatio-temporal settings bagi terjadinya sebuah pertuturan. Aspek waktu dan tempat di dalam seting itu tentu saja
tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek fisik dan aspek sosial-kultural lainnya, yang menjadi penentu makna bagi sebuah tuturan. Di dalam
pragmatik, sesungguhnya titik berat dari konteks itu lebih fakta adanya kesamaan latar belakang pengetahuan the same background knowledge yang
dipahami bersama penutur dan lawan tutur.
2.4.3 Tujuan sebuah tuturan
Aspek situasi tuturan ketiga, yang juga sangat menentukan makna adalah ‘tujuan tutur’. Leech memiliki preferensi untuk menggunakan istilah
tujuan tutur, bukan istilah maksud tutur. Tujuan tutur lebih netral dan lebih umum sifatnya, tidak berkait dengan kemauan atau motivasi tertentu yang
sering kali dicuatkan secara sadar oleh penuturnya. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk-bentuk tuturan yang digunakan seseorang. Tujuan tutur pada
dasarnya lebih konkret, lebih nyata, karena memang keluar berbarengan dengan tuturan yang dilafalkan atau diungkapkannya itu. Akan tetapi, maksud
tidak serta merta sama dengan tujuan karena cenderung hadir sebelum tuturan itu dinyatakan. Artinya, maksud itu belum berupa tindakan, masih berada
dalam pikiran dan angan-angan, sedangkan tujuan sudah berupa tindakan karena memang tujuan hadir bersama-sama dengan keluarnya sebuah tuturan
dari mulut seseorang. Pada dasarnya, tuturan dari seseorang akan dapat muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang sudah jelas
dan amat tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tuturan akan dimungkinkan memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam.
Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.
Sebuah tuturan pasti muncul bukan tanpa maksud dan tujuan, tetapi selalu mengandung maksud dan tujuan tertentu dan sangat jelas. Jadi, harus
ditegaskan bahwa dalam pragmatik, bertutur itu selalu berorientasi pada
tujuan, pada maksud, maka dikatakan sebagai ‘goal-oriented activity’, tidak berhenti di situ pula, dapat ditegaskan bahwa tindakan-tindakan verbal yang
berorientasi tujuan berciri fungsional. Bentuk kebahasaan itu, secara pragmatik selalu didasarkan pada fungsi function, bukan semata-mata
bentuk forms, karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, yang secara fungsional selalu memiliki
maksud dan tujuan. Jadi, dalam pragmatik pandangan yang dijadikan dasar selalu berfokus pada ‘fungsi’ pada ‘kegunaan’ atau ‘use’, dan semuanya selalu
harus didasarkan pada maksud atau tujuan. Misalnya kita masuk gang-gang tertentu di Yogyakarta atau mungkin
daerah lainnya di Jawa, Anda akan mendapati peringatan seperti, ‘JBM 19.00- 21.00’. Secara fungsional, bentuk kebahasaan kedua, ‘JBM 19.00-21.00’
digunakan untuk memberikan pengetahuan bagi warganya terkait jam belajar masyarakat yang diberlakukan mulai pukul 19.00 hingga pukul 21.00. Jadi
jelas sekali, setiap tuturan—bukan kalimat karena kalau sebutannya kalimat pasti berdimensi nonpragmatik—pasti berorientasi pada fungsi, bukan pada
bentuk. Maka, kentara sekali pragmatik itu menggunakan paradigma fungsionalisme, bukan paradigma formalisme seperti yang lazimnya dianut
dalam gramatika. Seperti yang diungkapkan Halliday melalui Baryadi, 2007:61 yang menjelaskan bahwa pragmatik berorientasi pada teori linguistik
fungsional.