‘sembrono’ melalui pertanyaan yang terlalu pribadi kepada gurunya. Sekilas tuturan yang disampaikan siswa tersebut hanya semacam ‘bercandaan’
semata tetapi apabila tidak dapat diperantikan dengan tepat maka tuturan tersebut dapat menjadi sebuah ironi. Tuturan siswa kepada gurunya ini dirasa
tidak santun karena siswa tersebut secara langsung menanyakan hal yang bersifat personal kepada gurunya. Pertuturan tersebut di atas apabila tidak
terkontrol dapat menimbulkan konflik antara guru dan siswa karena dapat saja guru merasa tersinggung oleh pertanyaan siswa yang terlalu bersifat personal
itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan
ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous, hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik,
atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful, maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas
ketidaksantunan.
2.1.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi
Marina Terkourafi
2008:3—4 memandang ketidaksantunan
berbahasa sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the
addressee’s face and, through that, the speaker’s face but no face- threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’
Jadi, perilaku
berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur addressee merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face
threaten, dan penutur speaker tidak mendapatkan maksud ancaman muka
itu dari mitra tuturnya. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa yang diucapkan oleh siswa
kepada guru di kelas. Adapun latar belakang situasinya adalah guru sedang menjelaskan di kelas.
13 Guru : “Tugas minggu depan kalian membuat macromedia
…………. flash
untuk presentasinya.” 14
Siswa : “Haduh pak, apa itu? Nggak ngerti.” 15
Guru : “Kamu ini bagaimana, sudah sekolah di tengah kota …………
kok macromedia flash saja tidak bisa.” 16
Siswa : “Saya nggak pernah pak buat begituan.” 17
Guru : “Berusaha cari tahu dan kamu pelajari.”
Berdasarkan tuturan tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa guru tersebut menggunakan tuturan yang tidak santun 15 kepada siswa. Dalam
hal ini, siswa merasa sangat malu karena ia benar-benar tidak mengerti macromedia flash
tetapi sang guru justru mengatakan tuturan 15 di depan kelas. Tuturan ini tentu ‘menghilangkan muka’ sekaligus ‘mengancam muka’
siswa tersebut di depan kelas. Siswa selain merasa malu juga sakit hati karena guru justru memberikan kata-kata yang kurang santun 17. Guru tanpa
disadari sebenarnya ia akan mengatakan bahwa sebaiknya dipelajari dahulu
sebisanya, tetapi ia membahasakan melalui tuturannya terlalu keras sehingga
tuturannya tidak santun.
2.1.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher
and Watts
Miriam A. Locher dan Richard J. Watts 2008:4 berpandangan bahwa perilaku tidak santun dalam berbahasa adalah perilaku yang secara normatif
dianggap negatif negatively marked behavior, lantaran melanggar norma- norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan
bahwa ketidaksantunan berbahasa merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama a means to negotiate meaning. Selengkapnya
pandangan Locher dan Watts tentang ketidaksantunan berbahasa tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more
generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ cf.
Locher and Watts, 2008:5. Sebagai contohnya disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan oleh siswa kepad
guru di laboratorium bahasa. Guru dan siswa telah bersepakat untuk pengambilan nilai drama dimulai pukul 07.00 WIB, tetapi ada siswa yang
sengaja datang terlambat pukul 08.00 WIB. 18
Siswa : “Pagi buk, maaf telat.” 19
Guru : “Jam berapa ini?” 20
Siswa : “Jam 8 buk. Kapan giliran saya buk?” 21
Guru : “Tidak usah mengambil nilai kamu”
Berdasarkan tuturan 20 tersebut dapat dilihat bahwa siswa tersebut telah melakukan perilaku normatif yang dianggap negatif karena telah
melanggar kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Hal ini semakin didukung dengan tuturan 20 yang dirasa bahwa siswa tersebut tidak sopan
karena datang sudah terlambat, ditambah pula dengan kalimat “kapan giliran saya buk?”.
Siswa ini seolah-olah tidak peka bahwa pasti guru kecewa karena ia datang terlambat tetapi masih menanyakan jam berapa ia mendapat giliran.
Kekecewaan itu diperlihatkan oleh guru melalui tuturan 21 yang bermakna lebih baik siswa tersebut tidak usah mengambil nilai drama.
2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Jonathan
Culpeper 2008:3 tentang ketidaksantunan
berbahasa adalah sebagai berikut: ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or
perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face
loss’ atau ‘kehilangan muka’— kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu
dekat dengan konsep ‘ilang raine’ hilang mukanya. Sebagai contohnya, disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa oleh siswa
kepada calon guru mahasiswa PPL di mana seorang siswa mengetahui mahasiswa PPL yang sedang berjalan berdua di luar lingkungan sekolah.
22 Siswa : “Pak, kemarin bapak jalan sama siapa hayo pak?”
23 Guru : “Sama siapa?”