Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Berdasarkan tuturan 20 tersebut dapat dilihat bahwa siswa tersebut telah melakukan perilaku normatif yang dianggap negatif karena telah melanggar kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Hal ini semakin didukung dengan tuturan 20 yang dirasa bahwa siswa tersebut tidak sopan karena datang sudah terlambat, ditambah pula dengan kalimat “kapan giliran saya buk?”. Siswa ini seolah-olah tidak peka bahwa pasti guru kecewa karena ia datang terlambat tetapi masih menanyakan jam berapa ia mendapat giliran. Kekecewaan itu diperlihatkan oleh guru melalui tuturan 21 yang bermakna lebih baik siswa tersebut tidak usah mengambil nilai drama.

2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

Pemahaman Jonathan Culpeper 2008:3 tentang ketidaksantunan berbahasa adalah sebagai berikut: ‘Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’— kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘ilang raine’ hilang mukanya. Sebagai contohnya, disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa oleh siswa kepada calon guru mahasiswa PPL di mana seorang siswa mengetahui mahasiswa PPL yang sedang berjalan berdua di luar lingkungan sekolah. 22 Siswa : “Pak, kemarin bapak jalan sama siapa hayo pak?” 23 Guru : “Sama siapa?” 24 Siswa : “Ah bapak ini, pura-pura lupa.” 25 Guru : “Itu hanya ada urusan di luar sebentar berdua bersama Bu ………… Heni mahasiswa PPL juga.” 26 Siswa : “Ciiee.. ciieee… bapaakkk..” Berdasarkan tuturan tersebut dapat terlihat bahwa sang guru merasa ‘kehilangan muka’ ketika tidak sengaja ada siswanya yang mengetahui bahwa guru tersebut sedang jalan berdua bersama rekan satu PPLnya. Jadi ketidaksantunan impoliteness dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka face loss, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.

2.2.6 Rangkuman

Sebagai rangkuman dari sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan di bagian depan, dapat ditegaskan bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka face-aggravate dan memain-mainkan muka sebagai wujud dari interpretasi lain dari fakta melecehkan muka yang telah disebutkan. Kedua, ketidaksantunan berbahasa menunjuk pada dimensi ‘kesembronoan’ gratuitous dan konfliktif conflictive . Ketiga, ketidaksantunan berbahasa menunjuk pada sesuatu hal di mana mitra tutur addressee merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face threaten dan penutur speaker tidak mendapatkan maksud ancaman