tetapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan kaum intelektual. Banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berpendidikan yang tidak
santun dalam berbahasa. Pemakaian bahasa yang tidak santun tersebut tentu saja disebabkan oleh ketidakmampuan orang untuk mengendalikan amarahnya
dan keinginan orang tersebut untuk meluapkan rasa bencinya kepada orang lain sehingga dirasakan adanya pembebasan dari segala bentuk dan situasi
yang tidak mengenakkan. Berikut ini ialah beberapa teori yang menguraikan mengenai ketidaksantunan.
2.1.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam pandangan Locher
Menurut Miriam A. Locher 2008:3 ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘Impoliteness is behaviour that is face-
aggravating in a particular context.’ Inti dari pandangan Locher tersebut
adalah bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka face-aggravate. Dalam pandangannya, sebuah tuturan
akan dikatakan tidak santun kalau tuturan tersebut melecehkan muka mitra tuturnya. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang
mengandung ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan siswa kepada mahasiswa PPL calon guru di kelas. Adapun latar belakang situasinya
adalah di dalam kelas dengan kondisi siswa-siswi dalam keadaan ribut ketika mahasiswa PPL menjelaskan.
1 Guru : “Silahkan tenang, semuanya”
2 Siswa : “Gak papalah buk, kan kami sudah capek karna udah
………… jam ngantuk”
3 Guru : “Kalian ini, sudah besar kok belum tahu cara
………… menghargai orang yang sedang berbicara di depan.”
4 Siswa : “Halah buk, ibuk inikan baru PPL, gitu aja udah
………… sombong ngatur-ngatur kita segala.”
Tuturan dalam contoh di atas sudah merupakan bentuk kebahasaan yang sangat jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian
karena tanpa harus ditambah dengan informasi yang lainnya, tuturan tersebut sudah dapat dipahami dengan jelas oleh mitra tuturnya.
Di dalam tuturan 4 tampak sangat jelas bahwa apa yang dituturkan oleh siswa sangat melecehkan gurunya di kelas. Berdasarkan tuturan tersebut
di atas, dapat kita lihat seorang siswa yang sedang belajar di kelas dan diperingatkan oleh gurunya untuk memperhatikan penjelasan berbalik
memberikan kata-kata balasan untuk ‘melecehkan’ mahasiswa PPL yang notabene calon guru melalui tuturan 4. Tuturan siswa kepada mahasiswa
PPL tersebut tidak santun karena ‘melecehkan’ muka mahasiswa PPL. Siswa tersebut menganggap remeh mahasiswa PPL yang mengajar. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka memandang ‘sebelah mata’ mahasiswa PPL tersebut.
Perilaku melecehkan
muka seperti contoh tersebut di atas,
sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka face-threaten, seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech 1983,
Brown and Levinson 1987, atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman cf. Rahardi, 2009.
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’
. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa berupa ‘memain-mainkan
muka ’ yang tampak pada cuplikan berikut.
5 Guru : “Jadi, kalian sudah jelas belum?
6 Siswa : “Ah nggak jelas buk, temen-temen aja nggak dong”
Tuturan di atas disampaikan oleh seorang siswa kepada gurunya ketika di kelas sedang dalam proses pembelajaran. Di dalam tuturan 6, siswa
tersebut ‘memain-mainkan muka’ gurunya di depan kelas. Hal tersebut terjadi karena siswa belum jelas dengan penjelasan gurunya, cukup mengatakan
bahwa ia belum paham saja, tetapi ia justru menambahkan kalimat “… temen- temen aja nggak dong”
. Kalimat tambahan ini merupakan bentuk ketidaksantunan berbahasa karena siswa tersebut sama halnya mengajak
teman yang lain untuk mendukung pemikirannya yang notabene belum memahami pelajaran yang disampaikan gurunya. Jadi, ketidaksantunan
berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher juga dapat menyatakan
tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.
2.1.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield