57
1.9. Variabilitas dalam Penerjemahan
Dari  definisi  tentang  penerjemahan  dalam  sub  bab  sebelumnya,  ada  tiga komponen yang terlibat secara langsung ketika proses penerjemahan terjadi yaitu
teks BSu, penerjemah, dan teks BSa. Proses penerjemahan tidak akan terjadi tanpa adanya seorang penerjemah karena penerjemah merupakan kunci munculnya teks
BSa.  Proses  penerjemahan  merupakan  proses  kognitif  yang  terjadi  dalam  otak penerjemah.  Dengan  demikian,  kita  tidak  dapat  mengetahui  segala  hal  yang
berkecamuk  dalam  otak  penerjemah:  seperti  kesulitan  yang  dihadapi  dalam menangkap  makna  teks  BSu,  strategi  yang  dilakukan  untuk  memecahkan
kesulitan,  pengambilan  keputusan  yang  mencakup  diksi  dan  susunan  kalimat, serta  cara  mengungkapkan  kembali  makna  teks  BSu  ke  dalam  BSa,  tidak  dapat
diketahui  ataupun  diprediksi.  Sebagai  akibatnya,  apabila  satu  teks  BSu diterjemahkan  oleh  sejumlah  penerjemah  akan  dihasilkan  teks  BSa  dengan
berbagai variasi sejumlah penerjemah yang terlibat. Variasi  teks  terjemahan  yang  dihasilkan  sangat  dipengaruhi  oleh
kompetensi  yang  dimiliki  oleh  penerjemah.  Nababan  2004,  mengutip  Neubert, memaparkan  lima  kompetensi  penerjemahan,  yaitu  1  Language  competence,  2
Textual  competence,  3  Subject  competence,  4  Cultural  competence,  dan  5 Transfer competence.
Profil kompetensi itulah yang menimbulkan adanya variasi hasil  terjemahan  antara  penerjemah  profesional  dan  translation  student
penerjemah  non  profesional.  Bahkan  antar  penerjemah  profesional  pun  dapat terjadi variasi teks BSa ketika mereka menerjemahkan satu teks BSu  yang sama.
Basnett-McGuire  mengemukakan  hal  ini  ketika  berbicara  tentang  kesepadanan
58
bahwa  equivalence  in  translation  should  not  be  approached  as  a  search  for
sameness since sameness cannot even exist between two TL versions of the same text 1991: 29.
1.10.  Keberterimaan Terjemahan
Terjemahan  yang  baik  dihasilkan  dari  proses  penerjemahan  yang  baik. Sehingga,  mereka  yang  bergelut  di  bidang  penerjemahan  dapat  mengatakan
bahwa  penerjemahan  tidak  boleh  dilakukan  secara  sembarangan  namun  harus mengacu  pada  prinsip-prinsip  penerjemahan.  Salah  satu  prinsip  penerjemahan
yang  harus  diperhatikan  seorang  penerjemah  yaitu  menghormati  tata  bahasa penerima  http:ms.wikipedia.orgwikiTerjemahan.  Hal  ini  dilakukan  agar
terjemahan  mudah  dipahami  sehingga  terjemahan  harus  disajikan  dalam  bahasa yang  wajar  dan  menurut  tata  aturan  BSa.  Harus  digarisbawahi  bahwa  tiap-tiap
bahasa  mempunyai  aturannya  sendiri,  tata  aturan  BSu  pastilah  berbeda  dengan tata  aturan  BSa.  Oleh  sebab  itu,  pada  tahap  restrukturisasi,  penerjemah  harus
memperhatikan struktur BSa agar terjemahannya tidak lagi terikat dengan struktur BSu.  Apabila  sangat  terikat  dengan  struktur  BSu,  terjemahan  akan  sangat  kaku
dan aneh sebab susunan kata ataupun kalimat tersebut tidak lazim dalam BSa. Pengubahan struktur bahasa dapat dilakukan asalkan tidak merusak makna
atau maksud BSu sebab maknalah yang harus dititikberatkan. Makna adalah fokus dalam  penerjemahan.  Bahkan  dalam  salah  satu  artikel  di  internet  disebutkan
bahwa  untuk  menyatakan  makna  secara  akurat,  penerjemah  bukan  hanya  boleh tapi  justru  harus  melakukan  pengubahan  bentuk  atau  struktur  gramatika
59
http:library.gunadarma.ac.idfilesdisk15jbptgunadarma-gdl-course-2004- mashadisai-225-penerjem-i.doc.
Menyangkut  hal  keberterimaan  dalam  penerjemahan,  berterima  yang dimaksud disini adalah berterima untuk pembaca BSa. Toury dalam Shuttleworth
and  Cowie,  1997:2  menyatakan  hal  tersebut  bertolak  dari  dua  kutub  acuan penerjemahan, mengacu pada BSu atau pada BSa, dimana masalah keberterimaan
dipandang  lebih  tepat  mengacu  pada  BSa  maka  sudah  selayaknya  terjemahan dibuat  dengan  menaati  norma-norma  BSa.  Masalah  keberterimaan  harus
diperhatikan dengan tujuan agar pembaca tidak merasa membaca teks terjemahan namun “reading as an original” dalam bahasanya sendiri.
Berterima  tidak  hanya  pada  masalah  berterima  secara  struktur  bahasa namun juga berterima secara budaya. Sebab, seperti yang dikatakan Toury dalam
Soemarno 2003: 16 translation is a kind of activity which inevitably involves  at least two languages and two cultural traditions. Dengan demikian, teks BSa harus
pula  berterima  dalam  budaya  pembaca  terjemahan.  Contoh  yang  jelas  adalah penggunaan kata-kata makian atau kata-kata jorok yang sering kita jumpai dalam
film-film  barat  akan  tidak  berterima  apabila  diterjemahkan  dan  dimunculkan dalam  layar  kaca.  Hal  ini  tidak  lain  dikarenakan  oleh  budaya  masyarakat
Indonesia  yang  terkenal  dengan  budaya  sopan  santunnya  yang  menghendaki bahwa  sesuatu  yang  sifatnya  tabu,  kasar,  jorok  tidak  diungkapkan  secara  terang-
terangan. Dalam kaitannya dengan penerjemahan dialog dalam suatu film ke dalam
subtitles,  masalah  keberterimaan  inilah  yang  akan  ditangkap  oleh  pemirsa.
60
Pemirsa akan menerima subtitles sebagai teks yang wajar dan tidak aneh. Apabila hal ini dapat dicapai, tujuan pemirsa untuk menonton film dengan puas tidak akan
terganggu.  Untuk  menerjemahkan  teks  BSu  ke  dalam  BSa  yang  berterima, penerjemah  film  tidak  hanya  melihat  pada  dialog  yang  diujarkan  para  karakter
namun  ia  harus  mengintegrasikannya  dengan  aspek  non  verbal,  seperti  aspek visual dan aspek aural seperti yang telah disinggung sebelumnya.
2. Analisis Wacana