Kesembronoan yang Disengaja Pembahasan
slemaaaannn. Tekanan dalam kata sleman jelas menunjukkan bahwa penutur menjawab dengan ‘sembrono’. Guru menanyakan tempat ujung bumi pada saat
zaman Yesus, tetapi jawaban penutur terkesan ‘celelekan’ dan tidak serius. Tekanan tersebut sekaligus menunjukkan candaan penutur kepada mitra tutur. Tekanan dalam
tuturan C12 ditunjukkan pada frasa betisnya gedheeee bangeeeeetttt. Tekanan tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa penutur ingin berbincang-bincang
dengan mitra tutur terkait guru lain yang dapat dengan mudah dikenali melalui visual saja, yakni dari betis sang guru yang terlihat besar. Lain halnya dengan tekanan dalam
tuturan C11 dan C15 yang memiliki tekanan lemah. Tekanan tersebut hanya menunjukkan pertanyaan biasa saja kepada gurunya.
Berkaitan dengan penanda ketidaksantunan linguistik yaitu intonasi, intonasi tuturan C4, C9, dan C12 berupa intonasi berita. Aspek intonasi dalam bahasa
lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa Pranowo, 2009: 76-77. Intonasi berita tersebut menunjukkan bahwa tuturan C4, C9, dan C12 berupa
pemberitahuan penutur kepada mitra tutur. Intonasi berita dalam tuturan C4 merupakan pemberitahuan penutur kepada mitra tutur akan baju mitra tutur yang
terlalu seksi apabila dipakai ketika mengajar di kelas. Intonasi tuturan C9 berupa pemberitahuan tetapi bersifat sangat ‘sembrono’ karena penutur menjawab
pertanyaan mitra tutur dengan tidak serius. Terakhir, intonasi dalam tuturan C12 merupakan pemberitahuan akan adanya seorang guru yang sangat mudah dikenal
melalui ciri-ciri fisiknya. Lain halnya dengan intonasi dalam tuturan C11 dan C15 berupa intonasi tanya. Intonasi tanya menunjukkan rasa ingin tahu penutur kepada
mitra tutur akan suatu hal. Intonasi tanya dalam tuturan C11 berupa keingintahuan penutur akan kabar dari mitra tutur tetapi dengan cara yang tidak sopan karena
penutur menyampaikan hal tersebut dengan ‘sembrono’ sambil berlalu ketika bertemu di koridor sekolah. Intonasi dalam tuturan C15 juga berupa intonasi tanya tetapi
pertanyaan yang diberikan penutur sangat tidak sopan kepada gurunya karena pertanyaan tersebut mengarah dalam pertanyaan pribadi.
Diksi merupakan salah satu penentu kesantunan dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketika seseorang sedang bertutur, kata-kata yang digunakan
dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya Pranowo, 2009: 77. Namun,
terkadang diksi yang dipakai seseorang ketika bertutur dapat menyebabkan mitra tutur tersinggung, kesal, bahkan melukai hati. Diksi yang digunakan dalam tuturan
C4, C11, C12, dan C15 menggunakan bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar dalam tuturan C4 ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk dan
bangeeettt. Penggunaan kata tidak baku buk dan banget dirasa tidak santun karena situasi saat itu ialah formal di dalam pembelajaran. Bahasa nonstandar dalam tuturan
C11 ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk dan penggunaan interferensi ke dalam bahasa Inggris how are you. Penggunaan interferensi ke dalam
bahasa Inggris dirasa tidak santun karena penutur terlihat seperti sembrono dalam menyapa mitra tutur yang layaknya seperti temannya sendiri. Bahasa nonstandar
dalam tuturan C12 ditunjukkan dengan penggunaan bahasa tidak baku buk dan banget, serta penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa yaitu gedhe. Penggunaan
bahasa tidak baku buk dan banget menunjukkan keakraban penutur dan mitra tutur. Penggunaan interferensi ke dalam bahasa Jawa gedhe untuk semakin meyakinkan
mitra tutur akan apa yang penutur lihat. Terakhir, bahasa nonstandar dalam tuturan C15 ditunjukkan dengan penggunaan kata tidak baku buk, ibuk, dan ngapain. Kata
tidak baku tersebut dirasa tidak santun karena menanyakan suatu hal kepada gurunya dengan tidak menggunakan bahasa yang baik.
Penanda ketidaksantunan yang kedua berupa ketidaksantunan pragmatik yang dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan tersebut. Hal ini sejalan dengan
Verschueren 1998:76 bahwa bagi sebuah pesan message, untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ I dari seorang ‘utterer’ U, selain akan ditentukan oleh
keberadaan konteks linguistiknya linguistic context, juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan physical
world of the utterance, latar belakang sosial dari tuturan social world of the utterance, dan latar belakang mental penuturnya mental world of the utterance.
Konteks tuturan C4 terjadi di kelas tanggal 13 November 2012. Penutur melihat bahwa baju yang dipakai mitra tutur terlalu seksi. Penutur menganggap bahwa
pakaian yang dikenakan mitra tutur tidak pantas dikenakan ketika mengajar. Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’ and ‘the
interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik Verschueren, 1998. Penutur dalam tuturan C4 ialah siswa kelas XII berumur 18 tahun dan mitra
tuturnya ialah guru perempuan berumur 30 tahun.
Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’ sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Dimensi mental
‘langugae users’ itu dekat dengan aspek-aspek kepribadian penutur dan mitra tutur itu Verschueren, 1998. Kepribadian penutur dalam tuturan C4 dirasa belum
matang karena masih remaja apabila dilihat dari segi usianya sehingga tuturan yang muncul terkesan santai tetapi lebih dari itu, tuturan tersebut bermaksud menyindir
mitra tutur akan baju yang dikenakannya yang terlalu seksi. Akan berbeda halnya dengan kepribadian mitra tutur yang sudah matang sehingga ketika penutur
menyampaikan sindiran kepada mitra tutur, maka mitra tutur mengucapkan terima kasih dan mengatakan bahwa di lain kesempatan tidak akan mengenakan baju itu
kembali ketika mengajar. Hal ini sejalan dengan Verscueren 1998 yang mengatakan bahwa seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap segala
sesuatu yang hadir baru cenderung ‘menentang’ dan ‘melawan’, sekalipun tidak selalu memiliki dasar alasan yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk
kebahasaan yang digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Demikian pula seseorang yang sudah sangat matang dan dewasa, akan dengan serta-merta berbicara sopan dan
halus kepada setiap orang yang ditemuinya, karena dia mengerti bahwa setiap orang itu memang harus selalu dihargai dan dijunjung tinggi harkat dan martabatnya.
Dimensi berikutnya yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah dimensi motivasi Verschueren, 1998. Dimensi motivasi penutur dalam tuturan C4
ialah penutur mengharapkan supaya mitra tutur di lain kesempatan ketika mengajar tidak menggunakan baju yang terlalu seksi kembali. Hal tersebut juga berlaku untuk
mitra tutur, dimensi motivasi dari mitra tutur ialah mitra tutur merasa diperhatikan oleh siswa-siswanya yang berusaha memeringatkan walaupun harus menggunakan
sindiran. Mitra tutur walaupun merasa tidak nyaman akan tuturan yang disampaikan penutur, tetapi mitra tutur tetap berbangga hati karena penutur masih
memeringatkannya. Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias
seting sosial, selain juga aspek-aspek mental harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis pragmatik yang dalam istilah Verschueren 1998 disebut
‘ingredient of the communicative context’. Aspek kultur merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan
dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan. Aspek budaya merupakan salah satu penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang
berkaitan dengan aspek norma dan nilai dari masyarakat bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, Verschueren 1998:92 menyatakan sebagai berikut, ‘Culture, with its
invocation of norms and values has indeed been a favourite social-world correlate to linguistic choices in the pragmatik literatures.’ Berdasarkan hal tersebut, maka
dimensi sosial budaya dalam tuturan C4 ialah adanya norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat ilmiah akademis. Tuturan C4 sangat jelas menunjukkan tidak
adanya norma dan nilai yang berlaku di dalam kelas tersebut. Hal tersebut ditunjukkan adanya tuturan secara langsung dan transparan; apa adanya dari siswa
kepada gurunya. Rahardi 2010:69 menyatakan bahwa pertimbangan etika dan moral serta karakter masyarakat ilmiah akademis yang semestinya dibangun bersama dari
dalam kelas, sama sekali tidak memungkinkan dan tidak menerima bentuk kebahasaan yang demikian itu disampaikan kepada guru dalam forum terbuka oleh
seorang siswa. Tuturan C4 selain merupakan kesembronoan juga dapat menimbulkan konflik. Konflik tersebut dimungkinkan timbul pada saat tuturan
tersebut baru saja dituturkan dari siswa. Mitra tutur merasa bahwa penutur terlalu transparan ketika mengatakannya sehingga mitra tutur dapat saja timbul perasaan
ketidaksukaan terhadap penutur. Ketidaksukaan tersebut bisa saja ditunjukkan dengan sikap dan perilaku mitra tutur kepada penutur yang agak sinis ketika bertemu.
Tuturan C4 juga merupakan tindak verbal ekspresif yang mengungkapkan ekspresi penutur yang merasa baju yang dikenakan mitra tutur terlalu seksi. Tuturan
penutur di dalam konteks tersebut tidak santun karena situasi pada saat itu ialah waktu pembelajaran berlangsung walaupun dalam keadaan santai. Penutur seharusnya
mengetahui posisinya sebagai siswa yang harus menghormati mitra tutur sebagai guru sehingga penutur seharusnya menyampaikan teguran kepada mitra tutur dengan cara
yang lebih sopan. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur mengenakan baju yang lebih sopan. Tuturan C4 bermakna memberikan teguran kepada mitra tutur yang bersifat
sembrono. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena penutur sengaja
menyampaikan tuturan tersebut secara langsung di depan mitra tutur dengan maksud sebatas menegur dengan candaan. Sekalipun sebatas menegur dengan candaan tetapi
bagi mitra tutur dapat dianggap menghina sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan konflik. Tuturan C4 juga disampaikan secara langsung dan terus
terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur merasa tersinggung karena teguran penutur
yang tidak serius. Kesembronoan yang disengaja lebih jelas terlihat dalam tuturan C12. Konteks
tuturan C12 terjadi di meja piket tanggal 21 November 2012 ketika penutur bertemu dengan mitra tutur. Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa ia seperti melihat
salah satu guru yang sangat dikenal dari jarak jauh. Mitra tutur menanyakan kepada penutur mengapa penutur bisa mengetahui hal tersebut. Tuturan penutur seperti
mengajak menggosip mitra tutur untuk membicarakan guru lain di meja piket. Penutur dalam tuturan C12 ialah siswa kelas XI berumur 16 tahun dan mitra
tuturnya ialah guru perempuan berumur 43 tahun. Tuturan C12 tersebut dengan jelas memerlihatkan kesembronoan seorang siswa kepada gurunya yang mengajak
berbicara untuk membicarakan guru yang lain. Topik pembicaraan tersebut juga sudah sangat tidak santun karena memperbincangkan ciri-ciri fisik guru yang
dimaksud. Tuturan C12 tersebut juga dapat menimbulkan konflik yang berawal dari
sebuah kesembronoan. Konflik tersebut bisa timbul apabila mitra tutur juga sebagai guru memberitahukan kepada guru yang sedang dibicarakan akan pembicaraan yang
baru saja dibicarakan. Guru yang sedang dibicarakan tersebut bisa saja timbul rasa tidak suka kepada penutur yang telah membicarakannya sebelumnya bersama guru
lain. Tuturan C12 merupakan tindak verbal ekspresif penutur ketika melihat guru lain yang tampaknya sudah sangat dikenal penutur dari ciri-ciri fisiknya saja. Tuturan
yang disampaikan penutur C12 juga terkesan mengejek orang yang dibicarakan dalam tuturan tersebut. Penutur seharusnya membicarakan orang dalam tuturan C12
dengan kata-kata yang lebih sopan, bukan menggunakan kata lugas. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur mengetahuinya dan memberi nasihat kepada penutur
agar tidak membicarakan orang lain dengan cara seperti itu. Tuturan C12 memiliki makna mengajak mitra tutur untuk bersantai-santai dengan obrolan yang terkesan
sembrono karena memberikan komentar terkait penampilan fisik guru lain. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke
perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena penutur dengan sengaja membicarakan orang lain terkait hal yang seharusnya tidak perlu dibicarakan. Tuturan
C12 disampaikan secara langsung dan terus terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur
merasa tidak enak hati apabila ia menanggapi tuturan penutur karena orang yang dibicarakan dalam tuturan tersebut tidak lain ialah teman mitra tutur.
Selanjutnya, konteks tuturan C15 terjadi di ruang BK tanggal 21 November 2012 ketika mitra tutur sedang menunjukkan video tentang seksualitas kepada siswa-
siswa. Penutur penasaran dengan yang dilakukan mitra tutur pada waktu malam pertama dahulu. Tuturan C15 merupakan tindak verbal ekspresif penutur yang
merasa penasaran dengan apa yang dilakukan mitra tutur saat malam pertama. Tuturan yang disampaikan penutur C15 dirasa tidak santun karena penutur terkesan
menyudutkan mitra tutur sebagai guru, terlebih pertanyaan yang dilontarkan ialah pertanyaan yang bersifat pribadi. Penutur dalam tuturan C15 ialah siswa kelas X
berumur 16 tahun dan mitra tuturnya ialah guru perempuan berumur 30 tahun. Tindak perlokusinya ialah mitra tutur merespon penutur. Tuturan C15 memiliki makna
keingintahuan penutur terhadap yang dilakukan mitra tutur saat malam pertama. Pertanyaan yang disampaikan penutur terkesan tidak sopan dan sembrono sehingga
dapat menimbulkan konflik. Berdasarkan konteks tersebut, tuturan yang disampaikan penutur lebih mengarah ke perilaku berbahasa yang sembrono. Hal tersebut karena
penutur menanyakan hal yang bersifat pribadi kepada mitra tutur. Pertanyaan tersebut selain merupakan kesembronoan juga pada akhirnya dapat menimbulkan konflik
berupa mitra tutur tidak suka kepada penutur. Tuturan C15 disampaikan secara langsung dan terus terang dengan sikap yang tidak serius sehingga menimbulkan
kerugian bagi mitra tutur. Kerugian tersebut ialah mitra tutur merasa tersinggung dengan pertanyaan penutur.
Aspek mental yang berupa dimensi kepribadian penutur dalam tuturan C15 ialah penutur belum memiliki kepribadian yang cukup matang, hal tersebut
ditunjukkan dengan tuturan penutur yang secara polos bertanya sesuatu yang pribadi kepada gurunya. Padahal, seharusnya dalam forum resmi ketika pembelajaran, bentuk
kebahasaan yang demikian tidak dapat diterima. Pertanyaan yang diberikan penutur benar-benar membuat rasa tidak nyaman mitra tutur. Selain dimensi kepribadian,
dimensi warna emosi juga sangat berpengaruh. Warna emosi penutur masih labil, hal tersebut dapat diketahui dari usia penutur yang masih sangat muda yakni 15 tahun.
Tuturan yang dituturkan juga sangat terus terang dan tranparan kepada gurunya.
Selain aspek mental, dimensi sosial dan budaya juga berpengaruh. Pelanggaran dimensi sosial dan budaya juga sama seperti tuturan C4.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan C4, C9, C11, C12, dan C15 termasuk ke dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yang
berupa kesembronoan yang disengaja karena tuturan yang disampaikan dengan sekenanya dan dapat menimbulkan konflik apabila ada tuturan yang dapat
menyinggung perasaan mitra tutur. Hal ini sejalan dengan teori Bousfield 2008:3 yang menyatakan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The
issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi
‘kesembronoan’ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Perilaku berbahasa yang tidak santun terdapat dalam perilaku
berbahasa yang mengancam muka tetapi ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous, hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu
mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena
dilihat berdasarkan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik. Tuturan C4, C9, C11, C12, dan C15 memiliki tujuan tutur yang sama
yaitu untuk menanggapi secara sembrono mitra tutur. Hal yang membedakan kelima tuturan tersebut berkenaan dengan penanda lingual, penanda nonlingual, dan
informasi indeksal. Adapun penanda lingual dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo 2009:76 yang
menyatakan bahwa penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan meliputi aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor diksi, dan faktor struktur kalimat. Penanda
nonlingual dapat dilihat berdasarkan konteks. Sedangkan implikatur tambahan atau informasi indeksal dapat dilihat berdasarkan penutur, mitra tutur, tujuan tutur, tindak
verbal, dan tindak perlokusi, hal ini sejalan dengan konteks menurut Leech 1993:19. Tuturan C4, C9, C11, C12, dan C15 merupakan tindak verbal
ekspresif yang mengungkapkan ekspresi penutur yang berupa pemberitahuan dan sindiran kepada mitra tutur. Hal ini sejalan pula dengan Searle 1983, dalam Rahardi:
Ibid. dan Rahardi: 2005:36-37 yang menyatakan bahwa bentuk tuturan yang berupa ekspresif expressives yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tindak perlokusi dari tuturan C4, C9, C11, C12, dan C15 ialah penutur mengharapkan supaya
mitra tutur terhibur, tetapi tidak menutup kemungkinan kesembronoan yang disengaja tersebut dapat menimbulkan konflik.
Jadi, ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja memiliki penanda linguistik dan pragmatik. Penanda linguistik dapat dilihat
berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Nada yang digunakan berupa nada sedang yang mengungkapkan kesinisan dan sindiran penutur bagi mitra tutur,
sedangkan nada rendah mengungkapkan pemberitahuan penutur kepada mitra tutur. Tekanan dalam tuturan yang berupa kesembronoan yang disengaja dituturkan dengan
tekanan sedang dan lemah. Tekanan tersebut diberikan dalam kata yang dianggap penting dan ditekankan oleh penutur. Intonasi yang digunakan dalam tuturan-tuturan
berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja menggunakan intonasi berita dan intonasi tanya. Diksi yang digunakan ialah bahasa nonstandar. Penanda
pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks. Implikatur tambahannya berupa tindak verbal dan tindak perlokusi. Tindak verbal dari tuturan berbahasa yang berupa
kesembronoan yang disengaja ialah tindak verbal ekspresif sedangkan tindak perlokusinya umumnya mitra tutur mengharapkan supaya mitra tutur terhibur, tetapi
tidak menutup kemungkinan kesembronoan yang disengaja tersebut dapat menimbulkan konflik. Makna dari ketidaksantunan berbahasa yang berupa
kesembronoan yang disengaja ialah candaan dari penutur kepada mitra tutur.