Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak dapat disangkal bahwa persoalan karakter dalam kehidupan manusia di muka bumi ini sejak dulu sampai sekarang dan juga zaman yang akan datang merupakan suatu persoalan yang sangat penting. Sepanjang sejarah, telah cukup banyak fakta yang memperlihatkan kepada kita bahwa kekuatan dan pembangunan bangsa berpangkal pada karakternya, yang merupakan tulang punggung setiap kemajuan bangsa. Sebaliknya, kehancuran suatu bangsa diawali dengan kemerosotan karakternya. Merosotnya karakter bangsa yang disebabkan oleh arus globalisasi, menuntut semua pihak agar membentengi dirinya sendiri, salah satunya dengan pendidikan karakter yang diyakini penting sebagai wadah untuk membentuk karakter pada anak. Dalam ajaran Islam, untuk membentuk suatu karakter diawali dengan nilai agama dan norma bangsa sangat penting, karena antara akhlak dan karakter merupakan satu kesatuan yang kukuh seperti pohon dan menjadi inspirasi keteladanan akhlak dan karakter adalah Nabi Muhammad SAW. Pilar-pilar pembentukan karakter Islam bersumber pada Al-Quran, Sunnah atau hadis, dan keteladanan Nabi Muhammad SAW. 1 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al- Qur’an Surat Al-Ahzab: 21. “Sungguh, telah ada suri teladan yang baik pada diri Rasulullah bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah .” QS. Al-Ahzab, 33: 21. 1 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama Budaya Bangsa, Bandung: Pustaka Setia, 2013, h. 45-46. Ayat tersebut telah mengingatkan kepada kita semua bahwa pada diri Rasulullah sudah terdapat contoh akhlak mulia yang harus diiikuti dan menjadi patokan manusia dalam berperilaku. Tidak hanya di dalam Al- qur’an saja yang mengharuskan umat muslim membentuk akhlak mulia, tujuan dari pendidikan Islam pun sama yaitu dengan pembentukan akhlak. Hal ini sesuai dengan kutipan yang ditulis oleh Abbudin Natta dalam bukunya “Akhlak Tasawuf”: Bila berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athyah al-Abrasyi misalnya mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan islam. Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam. 2 Pendapat lain dari M.A. Al-Abrasyi dalam bukunya “Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam” yang dikutip oleh Anas Salahudin dan Irwanto, menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan islam adalah membentuk moral yang tinggi serta akhlak yang mulia. 3 Selanjutnya dijumpai pula rumusan tujuan pendidikan Islam yang diarahkan pada upaya pembentukan akhlak manusia atau membentuk akhlak yang mulia, sebagaimana akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Hal ini dipahami dari firman Allah yang berbunyi : 4      Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung Qs. al- Qalam [68]: 4 Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing. Oleh karenanya perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam. Potongan ayat Al- Qur’an di 2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, Ed. 1-7, h. 155 3 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie,. Op, Cit., h. 107 4 Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta: Kencana, 2016, h. 146 bawah ini memberi landasan dan pandangan bahwa: sungguhlah Islam adalah agama yang benar di sisi Allah Al-Imron: 19. 5 م ََإسِ إْا ِ ََ َدنِع َنيّدلا َنِإ Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan Islam harus kembali ke nilai-nilai dasar back to basitc, yaitu Al- Qur’an dan Al-Hadis sebagai sumber murni. 6 Oleh karena itu, bila manusia yang berpredikat muslim, benar-benar akan menjadi penganut agama yang baik, menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajarannya sesuai iman dan akidah islamiah. Untuk tujuan itulah, manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam. Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai di dalam sikap kepribadiannya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pembentukan karakter perlu dilakukan, sesuai dengan akhlak Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi umatnya, serta pentingnya karakter dalam membangun manusia yang kuat, maka perlu menerapkan pendidikan karakter dengan tepat. Agar dapat merealisasikan hal tersebut, diperlukan kepedulian dari berbagai pihak, baik oleh pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun institusi pendidikan. Sementara itu, dalam kebijakan nasional ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan insani sebagai proses berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut harus diingat bahwa pendidikan karakter watak adalah amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau bekarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur agama dan bangsa. 5 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003, Edisi Revisi, Cet. I, h. 7 6 Muhammad Takdir Illahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, h. 47 Pada dasarnya, tujuan pendidikan nasional tidak boleh melupakan landasan fiolosofi pendidikan yang membebaskan dan mampu menyiapkan generasi masa depan untuk dapat bertahan hidup dan berhasil menghadapi tantangan-tantangan zamannya. Singkat kata, bahwasanya tujuan pendidikan nasional mengarah pada pengembangan berbagai karakter manusia. Namun, realitanya pendidikan karakter ternyata masih belum berhasil. Dikatakan belum berhasil karena Indonesia saat ini mengalami peristiwa yang memilukan, memalukan dan memperihatinkan. Sejumlah kasus kekerasan yang terjadi justru dilakukan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang seharusnya menjadi penerus bangsa ini. Pertama, tawuran pelajar dan mahasiswa yang kian mengkhawatirkan. Kasus meninggalnya Renggo Kadapi 11 siswa SDN Makasar 09 Pagi Kelas VI Kecamatan Makasar Jakarta Timur, terbunuhnya siswa SMA di Jakarta Selatan, kasus penikaman antarmahasiswa di Makassar, penikaman dan pembunuhan keji mahasiswa IKIP Mataram Mataram, 16 Juni 2013. 7 Kasus tersebut bukti hilangnya hati nurani anak bangsa. Kasus kekerasan generasi muda remaja misalnya geng motor yang berkelompok cenderung brutal bukan hanya di Kota Jakarta tetapi di tempat lain. Tidak sedikit, remaja yang melawan pada orang tua, guru dan lainnya. Kedua, munculnya mucikari pelajar SMP di kota Pahlawan Surabaya. Sang mucikari menjadikan teman-temannya sebagai PSK Pekerja Seks Komersial sebagai bentuk kejahatan Berita TV Swasta, 12 Juni 2013. Menurut Survei terhadap 4500 siswa SMP di 12 Kota besar bahwa sekitar 67,1 persen Pikiran Rakyat, 25 Mei 2011. Penelitian mendalam Juli 1999-Juli 2002 melibatkan sekitar 1.660 responden dari 16 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta Yogyakarta. Sekitar 97,05 persen mengakui sudah hilang keperawanannya saat kuliah. Hanya tiga responden atau 0,18 persen yang mengaku sama sekali belum pernah melakukan hubungan seksual, termasuk mastubasi. 8 Fenomena ini layaknya fenomena gunung es, semakin perkembangan zaman semakin meleleh terkena dampak dari pemanasan global. 7 Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam As, Membumikan Pendidikan Karakter: Implementasi Pendidikan Berbobot Nilai dan Moral, Jakarta: CV. Suri Tatu’uw, 2015, Cet. I, h. 5-6 8 Ibid., h. 6 Ketiga, Kasus aborsi siswa dan mahasiswa. Berbagai kasus kekerasan pada anak dan remaja terus meningkat. Menurut Data Komisi Nasional Anak 2012- 2013 mencatat bahwa pengaduan kekerasan anak meningkat 60 persen. Sekitar 58 persen diantaranya adalah kekerasan sex. Menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN tahun 2012 bahwa kasus aborsi 2,4 juta dilakukan remaja usia pra nikah atau tahap SMP dan SMA Baca, Sepertiga Kasus Aborsi dilakukan Siswi SMA, Health Liputan 6.com Fitri Syarifah 13 Juni 2014. 9 Keempat, kasus sodomi dan pedofilia yang menimpa anak-anak TK seperti Jakarta International School JIS, kasus pelecahan seks di Sukabumi, dan daerah lainnya. 10 Kelima, remaja korban narkoba di Indonesia ada 1,1 juta orang atau 3,9 dari total jumlah korban. Selain itu, berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA yang terlibat tawuran mencapai 0,8 atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.645.835 siswa di DKI Jakarta. 11 Penyebab dari kasus-kasus yang terjadi di kalangan remaja dan mahasiswa disebabkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal terjadi pada individu itu sendiri, timbul karena rasa ingin tahu yang tinggi agar terlihat gaul oleh teman-temannya dan ada juga dengan rasa coba-coba. Kemudian faktor eksternal bisa dari lingkungan luar, salah satunya dari teman-teman sepergaulan yang mempengaruhi pembentukan karakter, adakalanya pengaruh teman yang baik dan ada pula yang bertentangan. Dalam pengaruh lingkungan luar inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting dalam membekali karakter setiap anak, akan tetapi peran dan fungsi hanyalah sebuah tulisan yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam konteks pendidikan formal di Indonesia, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau 9 Ibid., 10 Ibid., h. 7 11 Amirulloh Syarbini, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga: Revitalisasi Peran Keluarga Dalam Membentuk Karakter Anak Menurut Perspektif Islam, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014, h. 2 nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karkater belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target- target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan karakter masih sulit dilakukan. 12 Cara pandang seperti inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa di sekolah-sekolah berkembang suasana belajar yang sangat birokratik dan hanya berorientasi pada hasil. Seperti halnya survei yang dilakukan oleh UPI, dengan responden berasal dari sekolah negeri 77 dan sekolah swasta 20. Para responden mengikuti UN antara tahun 2004-2013. Dari hasil survei, 75 responden mengaku pernah menyaksikan kecurangan dalam UN. Jenis kecurangan terbanyak yang diakui adalah mencontek misal lewat pesan singkatsms, grup chat, kertas contekan, atau kode bahasa tubuh. Ada pula modus jual beli bocoran soal dan peran dari tim sukses guru, sekolah, pengawas atau pihak lain. 13 Dengan kata lain, mereka lebih terbiasa mengambil sesuatu daripada menggali sesuatu. Dari kecenderungan dan gejala demikian, Benni Setiawan menyimpulkan: Pendidikan Indonesia masih sangat mementingkan hasil daripada proses. Artinya, pendidikan yang selama ini dijadikan basis penyadaran dan pendewasaan tidak lebih diukur dari nilai-nilai yang dapat dibuat. Materi kecerdasan yang lain, seperti kecerdesan emosional dan spritiual tidak tersentuh dan dihargai sama sekali. 14 Dari sinilah, terlihat bahwa ternyata dunia pendidikan hanya mampu melahirkan manusia yang cerdas secara otak atau intelektual, namun gagal secara moral. Kondisi itu akhirnya mengundang banyak pertanyaan dan kritik dari banyak pengamat mengenai relevensi dunia pendidikan seseorang dalam hidup keseharian. 15 Dengan kata lain, aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan moral kurang mendapatkan perhatian lebih terutama dari lingkungan keluarga. 12 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. I, h. 3 13 Survei UPI: Kecurangan UN Libatkan Guru dan Kepala Sekolah, dalam situs “http:sp.beritasatu.comhomesurvei-upi-kecurangan-un-libatkan-guru-dan-kepala-sekolah” di akses pada tanggal 18 Januari 2016, pukul 21.00 wib 14 Mujamil Qomar, Kesadaran Pendidikan: Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, h. 33 15 Nurla Isna Aunillah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah Yogyakarta: Laksana, 2011, Cet. I, h.13 Keluarga yang seharusnya menjadi tempat komunitas pertama bagi seseorang sejak usia dini, belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang sejak dia sadar lingkungan, belajar tata nilai atau moral, karena tata nilai yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya. 16 Akan tetapi, fungsi dan tempat anak mendapatkan pendidikan karakter dalam keluarga sudah tidak sesuai dengan seharusnya, dikarenakan sekarang ini sudah banyak keluarga yang kacau dan menyebabkan kritisnya karakter pada anak, misalkan kedua orang tua yang sibuk bekerja sehingga anak tidak lagi dapat perhatian, bimbingan, dan kasih sayang. Kemudian faktor lainnya, sang ayah tidak betah di rumah sering ke luar mencari kesenangan lain, akibatnya sang ibu kecewa dan akan membalas dendam. Tinggalah anak-anak tanpa asuhan orang tua, mereka lari ke luar mencari kesenangan diri yang kadang-kadang mengganggu ketertiban. Salah satu persoalan yang mendasar dalam keluarga tersebut telah menimbulkan berbagai pandangan, banyak orang yang mengatakan bahwa karakter remaja Indonesia saat ini sangat memperihatinkan. Indikasi tehadap hal ini dapat kita lihat dari fenomena yang ada di masyarakat, seperti sering terjadi tawuran antar pelajar serta besarnya pengaruh media massa dalam pembentukan karakter, banyak anak-anak yang menyaksikan adegan kekerasan, video porno, punya kecenderungan lebih besar untuk melakukannya. Tetapi yang lainnya ada yang mengatakan semua ini bisa di tanggulangi dengan penguatan karakter di lingkungan pendidikan, serta menjadikan pembangunan karakter bangsa dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terprogram. Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana dimanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN tahun 2005-2015, dimana pendidikan karakter 16 Gede Raka, dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah Dari Gagasan ke Tindakan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011, h.45 ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”. 17 Sesuai RPJPN yang sudah ada, maka untuk menghasilkan perilaku yang baik serta menumbuhkan karakter positif pada siswa, bisa diupayakan dengan program-program yang dilaksanakan oleh sekolah dalam menunjang keberhasilan pendidikan karakter, karena program adalah upaya untuk mencapai sasaran. Untuk mencapai satu sasaran, bisa dengan melalui satu atau beberapa program yang direalisasikan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah. Hal ini sesuai dengan UU No 25 Tahun 2004 bahwa “Program adalah Instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahlembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instransi pemerintah”. Program pendidikan karakter dapat dilakukan melalui; pengajaran, pemotivasian, peneladanan, pembiasaan, dan penegak aturan. 18 Dengan pembuatan program pengembangan budaya di sekolah, serta menerapkannya melalui kegiatan-kegiatan yang positif pada siswa, seperti masuk ke lokasi sekolah tepat waktu dan bertingkah sopan, belajar dalam kelas secara tertib tanpa adanya bising ketika tidak ada guru sekalipun, belajar di perpustakaan ketika waktu dan belajar untuk mengisi waktu kosong, mengikuti upacara sesuai program sekolah, dan lain sebagainya. Program pengembangan budaya di sekolah memberikan arti yang sangat penting sebagai sarana pembentukan tingkah laku dikalangan para siswa, karena siswa merupakan generasi penerus bangsa dan agama. Banyak bekal pengetahuan dan kesiapan mental yang baik dan matang yang harus dimiliki siswa dalam rangka melakukan tugasnya agar dapat memiliki dedikasi yang tinggi dan bertanggung jawab, sehingga apa yang dicita-citakan bangsa dan agama dapat terwujud, yaitu terwujudnya manusia yang sehat jasmani, rohani dan bertanggung 17 Daryanto dan Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Gava Media, 2013, h. 41 18 Amirulloh Syarbini, Op, Cit., h. 79 jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena esensi dari pendidikan karakter adalah untuk membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Berdasarkan hal di atas, maka setiap sekolah harus melaksanakan program pendidikan karakter bisa dengan program pengembangan budaya sekolah, agar siswa-siswanya di didik dan dilatih dengan pembiasaan hal yang positif, serta menampilkan pribadi yang utuh sebagai seorang pelajar yang baik dan terhindar dari tindakan-tindakan amoral yang dapat merugikan diri sendiri serta masyarakat dan berperilaku sesuai dengan nilai karakter bangsa dan agama. Diantara instansi pendidikan yang menyelenggarakan pelayanan sosial kemasyarakatan dengan bentuk pengelolaan pendidikan salah satunya ialah Yayasan Darul Muttaqien yang berperan terhadap pendidikan karakter. Sistem pesantren sebagaimana lazim diketahui adalah sistem pendidikan 24 jam, artinya para siswa santri diasramakan sehingga seluruh kegiatan santri selama 24 jam adalah aktivitas terprogram dan terpadu dalam pengawasan dan bimbingan para guru pengasuh, baik aktifitas formal akademik di sekolah maupun aktifitas non akademis di asrama. Seluruh kegiatan yang telah di programkan untuk menunjang visi pendidikan Darul Muttaqien baik melalui kegiatan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Hingga saat ini kegiatan pendidikan yang diselenggarakan Pesantren Darul Muttaqien meliputi berbagai jenjang, salah satunya adalah Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT. Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT Darul Muttaqien yang terletak di Parung-Bogor adalah salah satu sekolah yang mengajak seluruh komunitasnya, dalam hal ini manajemen sekolah, guru, staf administrasi yang berkontribusi disiplin agar siswa selalu terjaga sehingga seluruh siswa dapat berkembang seimbang dengan karakter dan mempunyai perilaku yang diinginkan oleh masyarakat. Kegiatan sehari-hari sekolah tersebut, selalu dibiasakan dengan nilai- nilai positif bagi para siswanya agar tak hanya akademik saja yang dimunculkan dalam perilaku siswa, tetapi nilai karakter agama dan bangsa pun sejalan dilaksanakan. Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan bapak Hendra sebagai wakil kepala bidang kurikulum, bahwa program pendidikan karakter yang dilaksanakan di SDIT Darul Muttaqien sudah dijadikan pembiasaan pada siswa misalnya mulai dari nilai spiritual seperti sholat dh uha, tadarus, dan khotmil qur’an yang menjadi salah satu program rutin, semua itu sudah ditanamkan dalam kegiatan sehari-hari sehingga para siswa pun sudah mulai terbiasa dengan aktivitas tersebut. Kemudian nilai nasionalisme, seperti membacakan ikrar: ikrar syahadat yang diucapkan pertama kali, lalu janji siswa dan pancasila agar siswa dapat mengingatnya serta dilaksanakan nilainya dalam kehidupan sehari-hari sesuai ikrar tersebut. 19 Tidak hanya itu, pembiasaan sikap disiplin pun dibiasakan pada siswa, misalkan setiap pagi siswa selalu datang tepat waktu dan disambut oleh para guru ketika ingin memasuki sekolah, proses belajar mengajar di dalam kelas ditanamkan nilai-nilai karakter, serta mengikuti ekstrakurikuler pramuka dan tapak suci yang menjadi ektrakurikuler wajib di sekolah tersebut, di dalam ektrakurikuler tersebut siswa diajarkan sikap disiplin dan bekerja sama antar sesama tim. Pada akhirnya, dari semua program pengembangan budaya di sekolah tersebut akan membentuk perilaku positif pada siswa yang tanpa disadari siswa sudah terbiasa melakukan kegiatan tersebut, meskipun tidak pungkiri bahwasanya sifat dan perilaku siswa berbeda-beda, akan tetapi semua itu harus terus dan terus dibiasakan pada siswa mulai sejak dini, karena dikatakan sejak dini ialah masa- masa perkembangan emas pada diri si anak untuk membentuk karakternya. Keberhasilan SDIT dalam menjalankan program karakter tersebut menarik untuk dikaji lebih mendalam, untuk diketahui bagaimana hal tersebut bisa dicapai dengan program-program yang ada di dalamnya. Maka dari itu, penulis melakukan penelitian lebih lanjut dan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Implementasi Program Pendidikan Karakter Studi Kasus di Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT Darul Muttaqien-Parung Bogor ”, meski lokasinya sangat jauh dari rumah penulis namun itu tidak menjadi halangan untuk meneliti dan mencari data sehingga memperoleh data yang valid. 19 Wawancara observasi awal dengan Bapak Hendra Gumilar, wakil bidang kurikulum, pada hari Sabtu, 26 Maret 2016.

B. Identifikasi Masalah