47
yang salah dan sudah berakar di masyarakat ini dipandang dari kesehatan dan sosial sangat merugikan.
Lapisan sosial yang terjadi di Dusun Nganget bersumber pada struktural dan agama sedangkan di Dusun Krajan bersumber pada agama dan kekayaan. Di
Dusun Nganget lapisan sosial paling tinggi adalah kelompok pegawai karena secara struktur semua warga eks penderita kusta adalah di sebagian besar
berasal dari Rumah Sakit atau panti. Di Dusun Krajan lapisan sosial yang tinggi adalah tokoh agama.
Bila dilihat dari semangat kerja di komunitas Dusun Nganget yaitu semangat atau motivasi kerja yang tinggi dibanding Dusun Krajan. Warga Komunitas Dusun
Nganget walaupun mereka tidak mempunyai jari atau tidak mempunyai kaki mereka tetap mencangkul di sawah dan hampir seharian berada di sawah atau
ladang, sehingga pada malam harinya lebih banyak di dalam rumah. Solidaritas kedua dusun juga berbeda ini disebabkan masing-masing dusun
mempunyai latar belakang yang berbeda. Di Dusun Nganget solidaritas sosial terbentuk karena mereka mempunyai perasaan senasib, mengalami kesulitan
secara bersama-sama dan secara terus menerus. Dengan demikian apabila kepentingan kelompok terancam, maka dengan segera mereka akan bertindak
progresif bisa menimbulkan perilaku anarkis.
4.3. Proses Stigmatisasi Terhadap Eks Penderita Kusta
Stigmatisasi biasanya didefinisikan sebagai penggunaan stereotipe atau penanda untuk memberikan suatu penegasan pada kelompok atau seseorang.
Stigma yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda merujuk pada pola karakteristik untuk menyudutkan mereka yang menyandang ‘tanda ini. Stigma inilah yang
kemudian menyelubungi berbagai ketidakpahaman yang membatasi segala sudut pandang dan tentunya memunculkan suatu penilaian yang buruk. Hal-hal
ini terwujud dalam pemahaman yang kabur, ketidakpercayaan, pola penyeragaman, penyebaran ketakutan, suatu hal yang memalukan, kebencian,
dan sikap-sikap peminggiran. Stigmatization Goffman, 1963 dalam Panjaitan, Nitimihardjo , Fahruddin 2004 adalah proses dimana suatu atribut yang dinilai
negatif menyebabkan identitas seseorang menjadi tercemar atau rusak. Beberapa stigma yang ada dalam masyarakat menyangkut epilepsi, cacat , buta,
48
pencandu, narkoba, HIVAIDS, sakit mental dan eks penderita kusta. Identitas ini dianggap sebagai status utama orang yang bersangkutan dan orang lain
cenderung mengkaitkannya dengan begitu banyak ketidaksempurnaan. Labeling theory Wiggins, 1997 dalam Panjaitan, Nitimihardjo , Fahruddin 2004
mengatakan dengan memberikan seseorang label menyangkut identitas stigmatis akan membangkitkan skema kepercayaan orang lain tentang
bagaimana orang yang terstigma itu akan bertingkah laku. Dalam kajian ini eks penderita kusta adalah salah satu korban dari dampak
stigma yang diberikan oleh masyarakat. Proses stigmatisasi terhadap eks penderita kusta dapat dilihat dari aspek klinis, psikologi dan sosial.
1. Aspek Klinis Perkembangan klinis berdasarkan pemeriksaan histopa tologik dan tanda
yang timbul kusta dibagi menjadi 4 tipe : a. Tipe I atau disebut indeferent -------- indeterminate
Merupakan tanda-tanda permulaan dari kusta yang menyerang pada jaringan kulit dan saraf dengan tanda-tanda : 1 bercak keputihannoda
seperti panu sebesar uang logam, kadang bercak datar merah ; 2 perasaan kulit pada bercak mulai berkurang terhadap suhu sakit dan tidak
sakitanastese gejala ini disebut reaksi lepromin. Pada tipe ini masyarakat yang berdekatan teman, keluarga, tetangga
sedikit – demi sedikit sudah mulai bertanya-tanya tentang bercak putih tersebut, karena dirasa aneh, tidak sama dengan orang lain dari sini
proses stigmatisasi sudah mulai terjadi. Teman, tetangga bahkan keluarga sedikit – demi sedikit sudah mulai menjauh.
b. Tipe II atau disebut T. Tuberkuloid Pada tipe II ini tanda-tanda fisik sudah mulai nampak agak jelas seperti
rambut mulai rontok, kulit tak berkeringat tidak ada minyak sehingga terjadi penebalan kulit yang terdiri dari lapisan tanduk, kadang
menimbulkan penbengkakan pada jari-jari tangan dan kaki. Pada tipe ini orang-orang di sekeliling teman, tetangga dan keluarga
sudah mulai mengetahui bahwa itu sakit kusta orang sudah mulai takut berdekatan dengan orang yang terkena kusta.
49
c. Tipe III atau disebut B. Border Line Pada tipe III akan memberikan tanda-tanda yang sudah sangat nyata
seperti kulit tidak menerima rangsangan menimbulkan kematian jaringan terjadilah luka ukus. Pada tingkat ini terjadi mutilasi = ujuang 3 ruas jari
kaki atau tangan terlepas. Pada tipe ini orang – orang teman, tetangga dan keluarga sudah mulai
mengucilkan, membenci, menjauhi bahkan mengasingkan. d. Tipe IV disebut sebagai Lepromatous
Pada tipe ini memberikan tanda-tanda leproma lebih banyak pada daun telinga kiri dan kanan, bulu alis rontok, pipi kiri dan kanan menebal jari-jari
kaki kanan dan kiri membengkak. Terjadi luka-luka terutama pada kaki dan tangan.
Pada tipe ini sudah menderita kecacatan baik di wajah, kaki dan tangan sehingga menimbulkan rasa kengerian yang amat sangat. Pada tipe ini
orang yang mendengar saja sudah menimbulkan kengerian sehingga bila mendengar kusta mereka sudah takut dan membentengi diri untuk tidak
bergaul dengan kusta. Walaupun penyakit kusta sudah dinyatakan sembuh tetapi kadang-kadang
bekas penyakit tersebut masih nampak jelas sehingga orang masih takut bila berhubungan atau bersentuhan dengan eks penyandang kusta. Takut bila
dirinya mengalami hal yang serupa, dikucilkan masyarakat itu akhirnya mempengaruhi jiwa sehingga akan terus menjauhi eks penderita kusta.
Secara klinis orang juga tidak mengetahui cara penuluran kusta sehingga orang selalu takut bila berdekatan dengan eks penderita kusta karena secara
fisik orang kusta sulit dikenali apa sudah sembuh atau belum. 2. Aspek
Psikologi Aspek psikologi ini berkaitan dengan bagaimana orang kusta melihat
keberadaan dirinya sendiri setelah melalui beberapa proses penyakit yang dialaminya. Dengan keberadaannya yang berbeda dengan orang lain dan
mulai dijauhi oleh teman, tetangga bahkan keluarga membuat mereka merasa lebih rendah dari orang lain sehingga sifat minder, kurang percaya
diri dan menarik diri dari lingkungannya.
50
Aspek psikologi bagi masyarakat di luar eks penderita kusta yaitu dengan pengalaman diri sendiri dan cerita-cerita dari orang lain dengan segala
macam kengeriannya akhirnya terpatri dalam jiwanya. Bila mendengar eks penderita kusta maka dalam pikirannya sudah terbayang hal-hal yang
mengerikan dan akan membentengi dirinya untuk tidak bergaul bahkan bertemu sekalipun dengan eks penderita kusta.
3. Aspek Sosial
Aspek sosial ini berkaitan dengan cerita dari individu – individu tersebut akhirnya berkembang dalam masyarakat. Dari cerita-cerita tersebut akhirnya
proses stigmatisasi berkembang dalam masyarakat sehingga akan berpengaruh pada pola pikir masyarakat tentang eks penderita kusta. Karena
hanya berdasarkan cerita dan ketidaktahuannya tersebut maka masyarakat menganggap penyakit kusta merupakan penyakit menular dan turunan maka
penderita harus disingkirkan dan diasingkan di tempat terpencil. Merasa ngeri dan jijik yang amat sangat bila bersinggungan dengan penderita misalnya
berjabat tangan. Proses tersebut secara terus menerus mempengaruhi pola pikir masyarakat
sehingga akhirnya menimbulkan identitas sosial eks pederita kusta, yang apabila orang menyebut eks penderita kusta dalam pikirannya sudah terpatri
kengerian dan penyakit menular dan harus dihindari. Identitas sosial adalah konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan disimpan di dalam
memori sebagai hasil pengalaman kita. Identitas sosial diasosiasikan dengan sejumlah kenyakinan belief dan perasaan feelings yang disebut sikap
sosial. social attitude. Adanya kenyakinan dari orang luar bahwa kalau berdekatan dengan eks kusta akan menular. Dengan kenyakinan tersebut
maka akan timbul sikap sosial untuk menjauhi eks penderita kusta
4.4. Alasan Pemilihan Lokasi