perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 119
d. Mitos Masyarakat Jawa
Masyarakat desa Alas Abang masih percaya dengan mitos, percaya pada mitos bukan berarti keimanan dan ketakwaan mereka tidak didasari oleh kesadaran
tauhid. Kesadaran tauhid tersebut lebih didasari oleh kesadaran purbani lubuk hati sebagian orang dan sebagian kesadaran komunalitas dari desa yang jauh dari pusat
budaya Jawa, bukan didasari oleh kesadaran keberagamaan tertentu. Alam semestalah dan tradisi lisanlah yang lebih mengajari kesadaran berketuhanan kepada
orang-orang yang masih percaya kepada mitos, daripada pengetahuan rasional atau tarikat tertentu. Atau kesadaran tauhid tersebut lebih didasari oleh pengetahuan
kejawaan atau Kejawen. Di sini
Kejawen
berkembang karena pengetahuan- pengetahuan kejawaan yang dihayati dan dipelajari. Kesadaran tauhid yang
berpangkal pada
Kejawen
tersebut tentu saja merupakan akomodasi atau komporomi berbagai paham kepercayaan, mistisisme, agama primitif, dan agama Islam. Seperti
mitos pada mimpi, orang Alas Abang mempercayainya sebagai ilham, juga wahyu yang mengandung kebenaran-kebenaran dari
Gusti kang Murbeng Dumadi
. Bagi mereka, mimpi bukan sekedar bunga tidur sehingga mereka memaknainya sesuai
dengan waktu-waktu tertentu mimpi tersebut hadir dalam tidur. Mimpi yang ditafsirkan pada waktu-waktu tertentu tersebut pada akhirnya menjadi petunjuk dan
menjadi pegangan, menjadi pedoman hidup, menjadi mitos, karena apa yang diimpikan terkadang menjadi kenyataan. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Aku ingin tahu sampai di mana batas akalku, juga mimpi-mimpiku, juga impianku, tukasnya. Untuk impian, mungkin seperti cita-cita. Tak ada
masalah kukira, tetapi yang terus mengusikku adalah soal mimpi-mimpiku. Mimpi tak bernalar
Tapi kenapa dengan mimpi? Bukankah mimpi tak bernalar? Jika memang tak bernalar, berarti perjalanan hidupku juga tak bernalar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 120
Jarot kembali terusik dengan mimpinya. Setelah ia merasa terjebak dengan sebuah kebetulan yang tidak kebetulan, yaitu menemukan Sastra
Gendra di Surabaya, sehingga segala pintu ingatan yang selama ini tertutup, kembali terbuka. Mashuri, 2007: 98
Jarot tahu banyak soal mimpi. Ia pun mendapatkan ilmu tafsir mimpi dari Wak Tomo. Kata Wak Tomo, mimpi kadang juga berupa ilham, juga
wahyu. Berarti mengandung kebenaran-kebenaran ilahiah, kebenaran Gusti Kang Murbeng Dumadi, begitu istilah Wak Tomo. Mimpi ada kalanya
bukan sekadar bunga tidur. Mashuri, 2007: 99
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa kesadaran tauhid Wak Tomo bersumber pada mistisime Jawa atau kebatinan Jawa. Setidak-tidaknya hal ini
tampak pada konsep
murbeng dumadi,
sumber rujukan ini tidak jauh berbeda dengan sumber nilai yang dianutnya, yaitu Islam.
Mitos terhadap mimpi ternyata bukan hanya menjadi mitos bagi orang-orang Desa Alas Abang saja. Mimpi sudah menjadi mitos pada masyarakat novel Hubbu
yang juga hidup di kota besar, kota metropolitan, yang memiliki budaya dan memiliki pendidikan tinggi serta sudah tidak lagi mengemban mitis, animistis, dan
dinamistis. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Mimpi pertama membuatku terperanjat. Apalagi didukung waktu dan
materi dalam alam mimpi yang menunjuk pada alam sensitif. Aku tak pernah tidur di bawah jam 02.00, jadi bisa dipastikan mimpi itu antara jam
02.00-03.00, karena aku langsung terbangun tepat pukul 03.10. Materinya membuatku seperti orang sedang makan dan tersedak. Mbah datang,
padahal sepeninggal Mbah aku tak pernah bermimpi tentangnya. Mashuri, 2007: 102
Mimpi yang dialami Jarot berturut-turut dan apa yang dipelajari dari Wak Tomo semasa remaja tentang tafsir mimpi, menjadikannya mimpi sebagai mitos sehingga
jika mimpi-mimpi itu datang maka diyakini akan terjadi sesuatu, meski sesungguhnya batas antara mimpi dan kenyataan diyakini sangat tipis. Seperti ada
satu celah, dan itu menjadi rahasia jiwa yang dimuntahkan dalam mimpi. Tapi tak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 121
ada seorang pun yang tahu batas itu sehingga manusia diberi kesempatan untuk mencari sampai ambang batas itu sendiri. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Aku mencoba menyimpulkan sendiri fenomena mimpi, serta labirin yang diciptakannya. Tiga hari ini, aku seakan-akan dipaksa kembali berakrab
dengan soal mimpi, padahal perihal yang satu ini ingin aku buang jauh. Aku mengakrabi pemikiran modern,
postmodern,
teori-teori sosial, politik, dan berbagai hal yang mendewakan nalar, tetapi tak jelas tarikan ke arah itu tiba-
tiba terbuka kembali. Mashuri, 2007:101 Aku tergeragap. Keringat dingin membasahi singletku. Ketengok jam
meja: pukul 03.00 WIB. Aku menyebut nama Tuhan. Perilakuku di luar kebiasaanku. Aku terpaksa, sudah tiga kali ini, aku bermimpi tentang Puteri,
dan mimpiku selalu seram. Semuanya tersa dan terjadi sejak Puteri menunjukkan prombon berisi
Sasmita Jati,
dan aku berusaha masuk ke dalam wilayah gelisahnya; berusaha bermain kembali pada persoalan hidup dan
mati. Mashuri, 2007:84
Mitos yang terlanjur diyakini oleh Jarot, menjadikan mimpi-mimpi yang dialami secara berturut-turut menggelisahkannya, terlebih dua hari kemudian kecelakaan
menimpa Puteri, dan dalam kecelakaan tersebut Puteri mati secara tragis. Pada akhirnya antara mimpi dan kenyataan yang dihubungsambungkan makin
mengukuhkan kepercayaan mitos tentang mimpi yang diyakini tidak sekedar sebagai bunga tidur.
e. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat