perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 123
berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. Mashuri, 2007:28
g. Pewarisan Kepemimpinan
Novel
Hubbu
juga menampilkan pewarisan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa berkembang di pondok pesantren. Pewarisan kepemimpinan yang
terjadi di pondok pesantren Alas Abang bukan secara turun-temurun sesuai dengan urut-urutan keturunan, yang terjadi justru sebaliknya. Pada saat Mbah Adnan
meninggal, kepemimpinan pondok tidak diserahkan kepada anak-anaknya laki-laki sebagai penerus keberlangsungan pondok, akan tetapi kepemimpinan pondok
diwariskan kepada cucunya Jarot karena Jarot dianggap memiliki daya kemampuan yang berbeda dengan anak-anak maupun cucunya yang lain. Ilmu
laduni,
daya
linuwih,
yang dimiliki Jarot sudah terlihat sejak dia masih anak-anak. Kareana daya
linuwih
nya ini maka dipandang dialah yang paling pantas memangku dan meneruskan kepemimpinan pondok. Tetapi karena ketika Mbah Adnan wafat Jarot
masih kecil, maka kepemimpinan pondok dialihkan kepada Mas Amin untuk sementara sampai Jarot dewasa.
Buyutku, Mbah Adnan, sebenarnya menaruh harapan besar pada ayah, seorang cucunya yang paling ia cintai. Ketika Mbah Adnan wafat, ayah
terlalu kecil, sehingga tongkat estafet pemangku warisan pun jatuh pada Mas Amin. Sebenarnya Mas Amin termasuk orang yang telah disiapkan
untuk memimpin, tetapi itu hanya untuk sementara, sebab calon utama tetaplah ayah. Mashuri, 2007:191
Tampaknya peralihan kepemimpinan pondok setelah meninggalnya Mbah Adnan menjadi konflik perebutan kepemimpinan antar anggota keluarga.
“Jabir tersingkir dari kepengurusan di sini, ia juga tersingkir di ajang politik. Dia berseteru dengan family sendiri, dengan putra-putra Mas Amin.
Anak-anak Jabir pun kini bermusushan dengan anak-anak mas Amin. Awalnya permusuhan di luar tetapi di bawa ke dalam sini. Ada pula sih yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 124
sudah bermusuhan di sini, tetapi akhirnya di bawa keluar, di partai,” tutur Bibi nenek mendung, sedang aku tak mampu bersuara apa-apa. Mashuri,
2007:192-193
Konflik keluarga tersebut terjadi bersebab Jarot tidak mau memangku kepemimpinan pondok, ia lebih memilih sekolah di sekolah umum, meneruskan
kuliah di Surabaya dan tak pernah lagi kembali pulang ke Alas Abang. Seperti dituturkan Bibi Nenek kepada Aida dalam kutipan berikut.
“Kami sebenarnya menyayangkan ketika ayahmu tidak mau belajar ilmu- ilmu agama, tetapi memilih ke sekolah umum. Meski demikian, kami masih
mengharap ayahmu datang, ketika ia menuntut ilmu di Surabaya. Bagaimanapun kami yakin ayahmu dikaruniai ilmu
laduni,
tanpa belajar pun sebenarnya ayahmu sudah bisa menguasai ilmu agama,” Tutur Bibi Nenek.
Mashuri, 2007:192
h. Penyampaian Kritik