Wujud Nilai Kemapanan Manusia Jawa Wujud Nilai Kepastian Manusia Jawa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 146 terletak kemanusiaan. Dalam hubungan ini, dalam teks novel Hubbu dapat ditemukan pandangan Jarot tentang hal ihwal bener dan pener yang dihayati dan diamalkan dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari, termasuk permasalahannya yang mungkin muncul di dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Jarot dalam kehidupannya telah menampilkan hal ihwal kebenaran dan ketepatan hidup dan kehidupan menurut penghayatan, penerimaan, dan ‘pengalaman” rasa sejati sebagai mahasiswa di bawah pergulatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan dalam pergulatan rezim orde baru ke arah revormasi. Seperti contoh tersirat dapat dilihat dalam penggalan teks berikut. Ia seringkali merasa bersalah terhadap perasaannya sendiri. Atau, terhadap apa yang sedang ia rasakan dan tak sesuai dengan nurani atau cermin hatinya. Baru belakangan ini aku tahu, itu sejenis rasa religiusitas. Ayahmu memang dalam penghayatannya. Bahkan terlalu dalam. Mashuri, 2007:152-153

a. Wujud Nilai Kemapanan Manusia Jawa

Pandangan manusia Jawa tentang kemapanan sebagai nilai dasar terartikulasi antara lain dalam istilah atau ungkapan kunci: urip mukti, urip mapan, urip mulya, wis mapan, dan durunng mapan. Kelima istilah tersebut membayangkan kemapanan sebagai cita ideal hidup dan kehidupan manusia Jawa. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Ayahmu itu berdarah biru. Darah biru dalam arti, ia keturunan orang terkemuka. Ia adalah pewaris dari sebuah dinasti di kampungnya. Sejak kecil ia selalu digadang-gadang. Tetapi ayahmu memang berbeda, dan ia memilih jalan hidupnya sendiri. Meski demikian bukan berarti ia tak ingin kembali meneruskan apa yang telah dirintis leluhurnya, ia ingin meneruskannya tetapi dengan cara dan pilihannya sendiri. Ia selalu bilang tentang sebuah cita-cita yang sesuai dengan tantangan zaman tetapi tidak meninggalkan akarnya. Mashuri, 2007:153 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 147 Berdasarkan kutipan teks di atas, jelaslah bahwa kebenaran dan ketepatan filosofi bagi manusia Jawa berpusat pada rasa sejati, dengan catatan bahwa rasa di sini, rasa sejati sudah merangkumi akal budi. Dan kemapanan itu dipandang atau diyakini telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena itu dengan perspektif Jarot, sikap dan tindakan yang benar dan tepat bagi manusia Jawa adalah tidak usah dipertanyakan dan mempersoalkan bagaimana akhirnya, akan tetapi selalu mengalir dan mengikuti ketetapan hidup dan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Tuhan, dan selalu menyelaraskan diri dengan alam dan keadaan.

b. Wujud Nilai Kepastian Manusia Jawa

Nilai kepastian manusia Jawa berkaitan dengan ketepatan, kejelasan, dan ketertentuan segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan. Bagi manusia Jawa, segala unsur semesta jagad gedhe dan pribadi manusia jagad cilik dianggap sudah memiliki tempat, tugas, nasib, takdir, dan sebagainya yang relatif tetap, jelas, dan tertentu semenjak adanya. Hal ini tentu saja tidak dapat diingkari, dihindari, dan atau ditolak oleh manusia sejak adanya. Mereka dituntut untuk mempercayai, menerima, mentaati, menjalani, menjaga, dan mengusahakannya. Kepastian semacam itu dalam bahasa Jawa tereksternalisasi dan teraktualisasi antara lain dalam konsep tetep, pepesthen, pinesthi, wis pesthine, wis dadi kersane Gusti, gawan bayen, dan pekem . Semua istilah itu mengisyaratkan adanya sebuah nilai kepastian. Bagi Jarot, keadaan alam, perilaku alam, lakon hidup mati manusia, dan nasib manusia di dunia sudah merupakan kepastian semenjak lahir-hadirnya. Oleh karena itu sikap dan tindakan manusia Jawa yang paling benar dan tepat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 148 adalah meyakini, menerima, menjalani, dan menjaga kepastian tersebut tanpa keluh dan gugatan, sebaliknya dengan penuh kepasrahan dan kesabaran, seperti dalam falsafah Jawa: manungsa mung saderma nglakoni, manungsa mung bisa ngupaya dene kasil orane gumantung Gusti. “Bukan kematian benar menusuk kalbu, keridlaanmu menerima segala tiba, tak kutahu setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertakhta…” Bait puisi “Nisan” dari si’Binatang Jalang’ Chairil Anwar itu sangat mengena di sanubariku. Puteri pergi dengan menyisakan getir yang mendalam di kalbu, tetapi bukan pada kematiannya, yang membuatku getir. Cara kematiannyalah yang membuatku merasa bersalah. Ah, tapi siapa bisa menyoal tentang model orang dicabut nyawanya, karena tak ada yang tahu pasti kapan Sang Maut datang merenggut. Walau begitu, satu hal yang kugarisbawahi, ternyata Puteri tahu ajal bakal memenggalnya. Terhitung sejak ia gelisah dengan tanda-tanda kematian, enam hari kemudian, ia mati. Berdasarkan penggalan teks di atas, Jarot dengan kondisi kematian Puteri , dia anggap dan percayai sudah merupakan suratan Tuhan sehingga perlu diterima dan dijalani dengan lapang dada dan tabah. Kematian bukanlah matinya manusia dalam arti spiritual religius. Kematian dihayati dan dipahami sebagai bagian dari sistem keajekan hidup dan kehidupan manusia. Bersama dengan kelahiran, kehidupan, dan kehidupan sesudah mati, kematian membentuk mata rantai yang secara bergantian dan bersinambungan, yang bernama keajekan ini dimiliki dan dikuasai oleh Tuhan Yanng Maha Kuasa, bukan manusia. Di sinilah manusia harus menerima dengan ikhlas dan sabar. Kaikhlasan dan kesabaran inilah kunci utama menghadapi dan menerima keajekan-keajekan di seputar hidup dan kehidupan manusia, baik kelahiran, kematian, kehidupan maupun kehidupan sesudah mati. Begitu juga nasib Jarot yang lebih memilih menjadi dirinya sendiri dengan segunung cita-cita yang belum diraihnya daripada pulang ke Alas Abang menerima warisan meneruskan dan memangku pondok pesantren yang telah ditinggalkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 149 kekeknya. Penolakan Jarot meneruskan kepemimpina pondok dipahami sebagai kepastiannya, pepesthen -nya. Kutipan panjang ini akan memberikan gambaran. “Mas Amin kewalahan mengajar nngaji. Banyak ustad berhenti. Lima orang ke Jakarta, berjualan soto. Desakan mertua, istri, dan kebutuhan anak- anak mereka, memaksa mereka untuk meninggalkan Alas Abang.” Demikian surat Jabir. “Kalau Mas sudi, kembali saja..,” lanjut tulisan itu. Sebuah surat tertanggal 7 Juli 1997, seperti sebuah telegram mewartakan kabar duka. Sebuah kebetulankah saat surat panggilan itu dating di saat kondisiku seperti seoranng yang sedang meregang nyawa? Aku tak tahu, aku merasa beruntung karena yang menyuratiku hanya Jabir, bukan Mas Amin atau Ayah sendiri. Demikianlah kadang aku memang kelewat awam untuk mengerti masalah yang tiba-tiba harus aku tangani. Aku memang digadang-gadang sejak awal sebagai penerus trah keluarga Alas Abang. Kini keyakinan pada kegagalanku makin runcing dengan pengingkaran pada pilihan hidupku sendiri, aku semakin menambah jumlah korban, teristimewa terhadap warisan Mbah. Haruskah aku pulang sedini ini, sedang mimpi dan harapan masih berpusar dan berkelindan di otak dan perasaan? Tapi aku masih merasa belum menemukan apa-apa, bahkan belum mencoba seperti Bima, anak kedua Pandawa, untuk menggapai puncak gunung dan membongkar dasar samudera. Aku belum seperti Imam Nawawi Al-Bantani yang menunjukkan karya-karya terbaiknya. Mashuri, 2007:110 Dalam pandangan Jarot, yang dilakukan oleh setiap manusia adalah menerima, menjalani, dan menjaga kepastian masing-masing dengan sepenuh hati. Ketika Jarot tidak mau menerima untuk meneruskan kepemimpinan pondok, bukan berarti tidak mau mengikuti pepesthen atau pandum penerus trah Alas Abang, masalahnya bukan terletak pada penolakan atau penerimaan pepesthen atau pandum sebagaimana anggapan Jabir. Sikap dan tindakan Jarot semata-mata didasari oleh cita-cita dan harapan untuk menjadi seperti Bima menggapai puncak gunung dan membongkar samudera, atau menjadi penulis hebat seperti Imam Nawawi Al Bantani. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 150 Sebagaiman yang tersirat dalam kutipan di atas, pepesthen dan pandum tampaknya oleh Jarot lebih dipahami, dihayati, dan ditafsirkan secara lebih terbuka dan dinamis. Harapan dan cita-cta merupakan kesempatan yang harus direbut. Sedangkan kodrat harus diupayakan dan dibersamai oleh wiradat, usaha keras. Oleh karena itu Jarot lebih bisa memahami dan menafsirkan kepastian secara lebih terbuka dan dinamis karena orientasi pendidikan dan budayanya sudah modern. Seperti yang diungkapkan Umar Kayam di depan bahwa dalam budaya dan masyarakat agraris pertanian, ketakjuban terhadap keajekan gejala alam semesta menimbulkan rasa kagum dan ketidakberdayaan. Hal ini membuat manusia mengambil oper secara langsung keajekan alam semesta ke dalam hidup dan kehidupan manusia. Maka secara langsung dan harfiah, keajekan hidup dan kehidupan manusia pun meneladani dan atau mengambil model keajekan alam semesta. Hal ini terlihat dalam pikiran, sikap, ucapan, dan tindakan Jarot. Dalam pandangan Jarot, dengan berteladankan keajekan alam semesta yang diyakini memiliki kemengaliran, kemenggelindingan, dan atau keberputaran secara terus- menerus, berkelanjutan, dan berpola. Fitrah irama hidup dan kehidupan manusia Jawa adalah mengalir, menggelinding, dan atau berputar secara siklis, mirip dengan alam semesta. Maka Jarot pun menghayati dan menjalani hidup dan kehidupan dengan serba mengalir dan menggelinding. Menolak irama hidup dan kehidupan seperti tersebut, menurut Jarot, akan menimbulkan kekacauan, bahkan kerusakan hati dan batin manusia. Kutipan berikut adalah contohnya. Aku tetap mencintai kehidupan yang terhampar di depan mata, terendus hidung dan terdengar ingar di telinga. Aku cinta hidup yang kini terus berdegup, pada saat yang sama, aku pun berusaha menikmati gangguan dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 151 degup hidup yang telah hilang ditelan waktu sebuah masa lalu. Inikah kontradiksi yang sering membuatku nyeri, sekaligus ngeri. Namun apalah arti masa lalu, bila ia hanya sebuah cermin, agar kita bisa mengukur keberadaan kita saat ini bila dibandingkan dengan waktu lalu, agar kita bisa menjalani hidup dengan ukuran-ukuran yang sudah terlampaui. Mungkin perkiraanku itu keliru, karena banyak hal terjadi lebih dari itu, sebab masa lalu juga bisa berarti suatu landasan untuk menapaki masa depan, juga bisa menjadi bumerang jika salah diterjemahkan. Tersirat dalam kutipan di atas, bahwa perputaran irama hidup dan kehidupan yang diyakini, dipahami, dihayati, dan dijalani Jarot tampak dikuasai atau dikendalikan oleh waktu. Hal ini menandakan keyakinan Jarot akan determinasi alam terhadap keajekan irama hidup dan kehidupan manusia.

c. Wujud Nilai