Seni Budaya Jawa Latar Belakang Sosiobudaya Masyarakat dalam Novel Hubbu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 116 ajaran keimanan agama Islam, dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Golongan abangan sangat yakin akan adanya Allah. Seperti halnya orang muslim pada umumnya, mereka juga percaya bahwa Muhammad adalah Nabinya. Mereka juga percaya bahwa orang yang baik akan masuk sorga minggah swargi dan yang banyak berbuat dosa akan masuk neraka. Golongan abangan atau kejawen menitikberatkan pada aspek animistis dan sinkretisme Jawa secara keseluruhan, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini. Dua jam kami di luar ruangan. Untung kami adalah anak-anak yang terbiasa di bawah terik matahari. Masing-masing adalah pencari rumput dan penggembala. Aku sendiri seorang yang sering keluyuran ke tegalan, sawah-sawah, mencari jengkerik, burung, mencari ikan di parit, berenang dengan batang pisang, atau mencari buah-buahan yang terbiar matang di pohonan. Di kala senggang, di antara kami pasti akan membantu orang tua menyiangi rumput di sawah. Bahkan pada musim tanam atau panen, sekolah kami akan libur dengan sendirinya karena murid akan bergelut di sawah orang tuanya. Mashuri, 2007: 34 Novel Hubbu juga memperlihatkan adanya pengakuan strata sosial dalam masyarakat kota. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan. Pengakuan pada strata sosial kelas atas terlihat dalam penggalan berikut. Sejak awal, ia mengesankan diri bukan orang sembarangan. Ia ke kampus naik mobil bagus dan berkelas. Dari sana, kutahu ia berasal dari keluarga berada. Ketika awalnya ia cuek kepadaku, aku pun maklum. Antara aku dan dia, kupandang seperti langit dan bumi. Mashuri, 2007:60

c. Seni Budaya Jawa

Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel Hubbu diperlihatkan bentuk seni sastra berupa pantun Jawa, tembang dan shalawatan, dan wayang. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 117 Wak Sumar sedang mengkhitankan anaknya, dan nanggap wayang kulit dengan dalang terkenal Soleman. Lakonnya “Sumantri Ngenger”. Entah mengapa aku turut larut dalam pertunjukkan itu. Bahkan, ketika orang-orang tua yang biasa nonton wayang beringsut, aku masih tetap berjaga. Semalam suntuk aku terkesima. Mashuri, 2007: 33 Kutipan di atas menunjukkan bahwa seni wayang masih menjadi tradisi yang tetap diemban dalam kehidupan sosial masyarakat meski hanya bisa disaksikan pada peristiwa-peristiwa tertentu, dan hanya bisa dinikmati pada tiap-tiap orang mempunyai hajat mengkhitankan anaknya, atau menikahkan anaknya, atau hajat yang lain. Hal ini terjadi bukan karena seni ini sudah terpinggirkan atau tergeser oleh budaya yang lain, tetapi lebih bersebab pertunjukkan wayang membutuhkan dana yang cukup besar sehingga hanya orang-orang dengan kondisi ekonomi yang mapan yang bisa menggelarkan pertunjukan tersebut. Pantun berbahasa Jawa juga diperlihatkan dalam novel Hubbu , pantun berbahasa Jawa tersebut dimunculkan pada saat Jarot oleh guru bahasa Jawa diberi tugas membuat parikan , semacam pantun berbahasa Jawa, parikan memang hampir sama dengan puisi berbahasa Jawa. Tetapi parikan mempunyai kaidah yang berbeda dengan pantun, karena harus sesuai dengan aturan guru lagu rima akhir, guru wilangan jumlah suku kata untuk tiap-tiap baris, dan guru gatra jumlah baris untuk tiap bait. Gatra parikan terdiri dari gatra purwaka baris sampiran dan gatra tebusan baris isi. Hubungan keduanya ditentukan oleh rima akhir. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Aja enak kalung saputangan saputangan sing akeh kembange Aja wani guru ajar parikan amarga guru iki mandhi unine Mashuri, 2007: 37 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 118 Dalam novel Hubbu juga diperlihatkan berulang-ulang dari awal sampai akhir gurit Sastra Gendra yang mampu mengobrak-abrik segala pertahanan Jarot sebagai pemeluk Islam yang taat. Dengan membaca dan mempelajari Sastra Gendra kepada Wak Tomo, pemeluk Islam abangan inilah yang menjadikan Jarot dihakimi oleh keluarga besar trah Mbah Adnan sebagai pesakitan dan dianggap sangat bersalah karena sudah dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Gurit Sastra Gendra tersebut tertulis seperti berikut. Sastra Gendra hayuningrat sun regem tangan tengen klakon gendra tlatah kapujanggan nalika sun gedrug punjer unyering bumi kanyatan ilang kabeh pangimpening wong kang nedya memungsub buyut sun. Bayuningrat klakon dadi roh rah karuh sun gendra tlatah kapujanggan nalika kabeh wong gandrung memuji aji gusti kang nyawiji mring jatining urip sun tang pati salawase. Mashuri, 2007:142 Diceritakan pula bahwa masyarakat juga menyukai gending-gending tembang berbahasa Jawa yang membuatnya merasa damai jika mendengarkan, bisa dimaklumi apalagi bagi Jarot, jika menyukai seni karena dia kuliah di jurusan sastra. Dari arah timur terdengar gending Monggang berayun, sebuah suara yang menyeret jiwanya untuk merenungi diri, suara yang mampu menerbitkan rasa takut di kalbu. Mashuri, 2007: 104 Masyarakat pantura, terlebih masyarakat Desa Alas Abang yang menyukai sholawatan sebagai sebuah tradisi berzanzi karena di desa tersebut berdiri pondok pesantren yang tentu saja sholawatan sudah jamak bisa didengarkan setiap waktu. Illahi lastulil Firdausi ahla wala aqwaa ‘alan naril jahiimi… Duh, Tuhanku, aku tak pantas di surgaMu, tapi aku tak kuat di nerakaMu. Terus disambung dengan bait-bait lanjutan terus bergelombang di kalbunya. Mashuri, 2007: 105 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 119

d. Mitos Masyarakat Jawa