perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 185
Aku tersenyum saja karena baru berhenti setelah mencangkul cukup lama. Aku sangat penat. Peluh kurasakan membasahi sekujur tubuh. Teman-teman
semua begitu giat dan rajin, maklum setiap hari pekerjaan mereka memang demikian, apalagi saat liburan sekolah. Peralatan besi itu sudah menyatu
dengan gerak tubuh mereka. Mashuri, 2007:31 “Aku baru ditelepon teman Roi barusan” kata Trguh.
“Bisa dipercaya?” sergah Jarot. “Bisa. Malah semuanya sudah jelas.”
“Maksudnya?” “Di mobil itu Roi tak sendiri,” tutur Teguh, pelan.
“Maksudnya?” desak Jarot lagi, meski ia sudah bisa menebak dan tahu jawabannya.
“Dia bersama Puteri” “Puteri juga mati?”
Teguh mengangguk. Jarot diam. Matanya menerawang jauh. Mashuri, 2007:89
Savitri meneleponku. Suaranya membuatku terlonjak. “Mas, haidku telat” serunya.
Apa hubungannya denganku sehingga dia memberitahu aku persoalan paling intim dari dirinya. Akhirnya aku menjemputnya dan aku ajak ke
Sungai Kalimas. ….. “Kamu belum memberitahu Teguh?” tanyaku begitu kami mendapat tempat
yang teduh. “Belum”
“Alasannya?” Ia berkisah soal dirinya dan teguh. Sepasang kekasih yang kukira tanpa riak
dan gelombang ini ternyata lebih dasyat arusnya. Mashuri, 2007:126 Dengan penghayatan, pemahaman, dan sikap ikhlas, rela, sabar, dan
menerima atau pasrah seperti tersebutlah Jarot dapat mengelola, menangani, dan mengatasi berbagai permasalahan hidup dan kehidupan meski ada bagian yang
secara rasional tidak bisa berterima secara etis moral di tengah perubahan sosial budaya.
e. Wujud Nilai Rendah Hati
Nilai rendah hati manusia Jawa berkait erat dengan konsep wajar, proposional, tidak angkuh, tidak sombong, tidak congkak, tidak minder dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 186
bersikap dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan. Dalam bahasa Jawa , sikap rendah hati ini tereksternalisasi dalam istilah
andhap asor, anorraga,
dan
tawaduk.
Istilah
andhap asor, anorraga,
maupun
tawaduk
memiliki arti denotatif rendah hati. Hanya saja istilah
andhap asor
dan
anorraga
lazim dipakai kalangan umum baik priyayi, orang kecil, maupun abangan, sedang istilah
tawaduk
yang memang berasal dari khazanah tasawuf atau Islam umumnya dipakai di kalangan santri Jawa. Dalam
kaitan ini istilah
lembah manah
yang relatif popular di kalangan orang Jawa juga menyiratkan rendah hati. Kerendahhatian tersebut berjalin berkelindan dengan
akhlak mulia, budi utama atau keluhuran budi. Tanpa keluhuran budi, manusia Jawa akan terjebak atau jatuh dalam rendah diri,
asor bebudene.
Sikap rendah hati dianggap sebagai salah satu nilai etis-moral yang demikian penting bagi manusia
Jawa, sebagaimana ditegaskan di dalam berbagai
serat, suluk,
dan folklor Jawa.
Misalnya, dalam suluk ditegaskan,
“ Lawan malih yayi siradipun andhap asor marang sasami”
Lagi pula dinda, bersikaplah rendah hati terhadap sesama. Bahkan kalangan priyayi menjadikannya salah satu etos kehidupan kerokhanian yang
berhubungan dengan pengendalian mikrokosmos dan makrokosmos. Sehubungan dengan hal itu, setiap manusia Jawa berkewajiban
mempertahankan, menjaga, dan memelihara sikap rendah hati. Untuk itu, setiap manusia Jawa dituntut untuk dapat mengatasi dan menunaikannya dalam hidup dan
kehidupan agar dia menjadi manusia yang bisa bersikap
andhap asor, anorraga.
Sikap rendah hati bisa dicapai atau direalisasikan melalui sikap, ucapan, tindakan, dan perbuatan baik hati, halus, sederhana, seperlunya, secukupnya, tidak sombong,
tidak angkuh, tidak mentang-mentang, tidak suka pamer, gila hormat, tidak dengki,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 187
dan sejenisnya. Implikasinya, sikap rendah hati ini mengandaikan kemampuan, keberanian, dan kemauan untuk merunduk, menerapkan ilmu padi, tidak
membusungkan dan menepuk dada
sapa sira sapa ingsun.
Jarot adalah gambaran manusia Jawa yang memiliki sikap
andhap asor.
Dalam hidup dan kehidupannya, dia selalu berusaha berpandangan, bersikap, dan bertindak penuh rendah hati. Sikap rendah hati ini terutama tereksternalisasi dalam
praksis kehidupan, tidak suka pamer, tidak angkuh, tidak membanggakan diri, dan berbaik sangka. Sebagai contoh, meskipun dia keturunan orang terkemuka di Alas
Abang, keturunan Mbah Adnan, pewaris kepemimpinan pondok, dia tetap rendah hati dan tidak membangga-banggakan dirinya. Kutipan berikut menegaskan hal
tersebut. Dulu, begitu ayah Istiqomah tahu, bahwa Jarot itu putera Alas Abang, si
ayah langsung terlonjak kegirangan. Sang ayah memang sudah lama memimpikan seorang menantu daei Alas Abang karena putera Alas Abang
dipastikan dididik secara baik dan terarah. Apalagi kebetulan calon menantunya itu memiliki garis trah dengan Mbah Adnan. Pada awalnya
sebenarnya Istiqomah tak tahu kalau Jarot itu masih cucu tokoh ini. Begitu kasih terajut, dan desa-desus berkabar demikian, ia pun ingin
memastikannya sendiri. “Ya, aku memang cucu Mbah, tetapi aku ingin kamu menghargaiku
bukan karena moyangku, tapi karena diriku sendiri,” begitu pengakuan Jarot, waktu itu
Istiqomah paham, memang Jarot tak pernah menyebut Mbah Adnan dengan namanya, tapi cukup dengan Mbah saja. Mashuri, 2007:77
Begitulah Jarot tidak mau memamerkan secara angkuh asul-usul keturunan dan menyombongkan diri karena sebagai keturunan trah Alas Abang, keturunan
langsung dari Mbah Adnan. Dia selalu berusaha menyembunyikan asal-usul keturunannya dan “berdiri sama tinggi duduk sama rendah” dengan tetap
menampilkan dirinya sendiri yang sesungguhnya sudah memiliki aura kewibawaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 188
Kutipan di atas memperlihatkan betapa kesadaran akan asal-usul sebagai praksis mawas diri untuk membentuk sikap rendah hati baik secara individual
maupun sosial. Dalam kerangka etiket Jawa, Jarot telah memiliki kualitas
madubasa
dan
madurasa,
yaitu kedewasaan jiwa secara individual maupun sosial. Sikap rendah hati Jarot terbawa sampai tua, bahkan kepada anaknya sendiri Jarot tidak
memberitahukan dari mana asal-usulnya, seperti dalam kutipan berikut. Ayahmu itu darah biru. Darah biru dalam arti, ia keturunan orang
terkemuka. Ia adalah pewaris dari sebuah dinasti di kampungnya. Sejak kecil ia selalu digadang-gadang. Tetapi ayahmu memang berbeda, dan ia memilih
jalan hidupnya sendiri. Meski demikian bukan berarti ia tak ingin kembali meneruskan apa yang telah dirintis leluhurnya, ia ingin meneruskan apa yang
telah dirintis leluhurnya, ia ingin meneruskannya tetapi dengan caranya sendiri. Mashuri, 2007:153
Yang menonjol dari sikap rendah hati Jarot adalah pandangan, pikiran, sikap, tindakan, dan perilakunya yang serba sederhana, apa adanya, tahu diri, baik sangka,
dan menjauhi percekcokan. Sebagai contoh hal tersebut terlihat ketika dia menanggapi ejekan teman-temannya sewaktu melakukan kerja bakti di sekolah,
seperti dikutip berikut ini. “Mentang-mentang ketua kelas, tidak bekerja” sindir Lukman kepadaku,
sambil cengar-cengir. Ia teman satu kelas, anak sekdes. “Jangan
nyolong balung”
Aku tersenyum saja kerena baru berhenti setelah mencangkul cukup lama. Aku sangat penat. Peluh kurasakan membasahi sekujur tuubuh. Teman-teman
semua begitu giat dan rajin, maklum setiap hari pekerjaan demikian, apalagi saat liburan sekolah. Peralatan besi itu sudah menyatu dengan gerak dan
tubuh mereka. “Ketua itu seharusnya member contoh” tandas Lukman lagi,
menyindirku. Ah, teman yang satu ini memang usil. Aku langsung kerja kembali, meski
pegalku belum hilang. Mashuri, 2007:31
Sikap rendah hatilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilah Jarot meski mengalami
berbagai rintangan
dalam menjalani,
mempertahankan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 189
mengembangkan hidup dan kehidupannya. Dalam teks digambarkan dia mampu meraih pendidikan tinggi di bidang Ilmu Sastra, menjadi “pahlawan revormasi” bagi
masyarakat Jawa Timur. Hal ini menunjukkan kefungsionalan dan kerelevanan sikap rendah hati dalam hidup dan kehidupan manusia Jawa di tengah peralihan sosial
budaya, ekonomi, politik, dan pendidikan. “Aku sales minuman mineral” tandas ayahmu. “Beginilah nasib pahlawan
revormasi.” Lanjutnya. Ia tersenyum, tetapi senyum yang sama sekali tak bisa kuterjemahkan.
Senyum yang demikian getir dan ironis. Mashuri, 2007:157
f. Wujud Nilai Toleransi Tenggangrasa