perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 49
Berpijak pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan deskripsi yang utuh dan
menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan sebagai penghasil karya, karya sastra, dan masyarakat. Karena pendekatan sosiologi terhadap karya sastra
bertolak dari anggapan bahwa karya sastra adalah cermin dari zaman di mana karya tersebut diciptakan.
b. Aspek Budaya
Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat 2006:25, budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak
aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Lebih lanjut, Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan, budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra
yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa” itu
mengambil bentuk-bentuk
berbeda dalam
berbagai budaya
seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang,
dan “ kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 50
Sementara itu, Sady Telaumbanua 2007:1 menerangkan budaya adalah sebuah aktivitas, respon ,jawaban atas persoalan hidup sekaligus sebagai pedoman,
arah, kompas dalam bertindak atau berperilaku.
1 Nilai Budaya
Salah satu aspek penting yang selalu menjadi perhatian pakar budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan nilai budaya. Konsep ini menjadi sentral ketika
berbicara tentang budaya. Tidak sedikit pakar budaya yang mengatakan bahwa roh sebuah kebudayaan sebenarnya terletak pada nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Orang dapat saja menciptakan karya monumental dalam bidang budaya, katakanlah rumah adat, adat-istiadat, dan sebagainya, tetapi jika karya-karya itu tidak
memuat nilai-nilai tertentu, ia sama saja dengan mesin-mesin atau robot yang kering akan nilai-nilai budaya.
Istilah nilai sering disebut dan dipakai baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan akademis. Akan tetapi, pengertian nilai yang dapat dikatakan
berwibawa dan berterima oleh semua pihak, disiplin ilmu, dan pengetahuan relatif sukar. Tampaknya memang belum ada pengertian nilai yang berterima dan
berwibawa secara luas dan mengatasi batas-batas disiplin dari bidang tertentu. Tidak berarti tidak ada pengertian nilai dalam berbagai ilmu dan pengetahuan. Menurut
Koentjaraningrat 1990:11, ada persamaan dalam ilmu dan pengetahuan tentang nilai, yaitu nilai merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh manusia atau
kelompok manusia. Frasa dipandang berharga, dikaitkan dengan manfaat, kepentingan, kebutuhan, dan perkiraan. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan
bahwa nilai merupakan gejala ideal dan abstrak sehingga menjadi semacam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 51
kepercayaan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa nilai tidak konkret, tidak dapat dilihat, tidak dapat diindera, tetapi hanya dapat dihayati, diyakini, dan dijelmakan ke
dalam ucapan, tindakan, dan perbuatan manusia. Oleh Gabriel 1991:144 dinyatakan bahwa suatu nilai adalah suatu ideal, suatu paradigma yang menyatakan realitas
sosial yang diinginkan dan dihormati. Pada hakikatnya, nilai adalah kepercayaan - kepercayaan bahwa hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi
masyarakat. Sementara Veeger, dkk. 1993:144 menyatakan bahwa nilai-nilai sebagai
pengertian-pengertian. Nilai adalah hasil penilaian atau petimbangan moral. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai berkaitan dengan ucapan, tindakan,
perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba serta kekhalifahannya. Dengan kata lain, nilai merupakan pusat dan sumber utama
atau hulu gerak hidup dan kehidupan pribadi, sosial, dan religius manusia. Banyak pengertian tentang nilai budaya. Salah satu di antaranya
dikemukakan oleh Saryono seperti dikutip Sady Telaumbanua 2007:4 bahwa nilai budaya merupakan konsepsi ideal atau citra ideal tentang sesuatu yang dipandang
dan diakui berharga, hidup dalam alam pikiran, tersimpan dalam normaaturan, teraktualisasi dalam tindakan sebagian besar anggota masyarakat yang satu dan utuh.
Nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat atau sumber daya hidup dan kehidupan manusia secara individual, sosial, dan religius-transendental untuk
terjaganya pandangan hidup masyarakat. Selanjutnya ia menjadi penuntun, pemandu, penggerak, pedoman, rujukan, dan sebagainya terhadap ucapan, tindakan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 52
perbuatan, dan perilaku manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, dan hamba serta khalifah Tuhan dalam hidup dan kehidupan.
Nilai budaya merupakan kesatuan dan keutuhan yang tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi, sosial maupun religius. Dikatakan
demikian karena berfungsinya pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi suatu masyarakat ditentukan oleh dan bergantung pada nilai budaya. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai budaya berkedudukan dan berfungsi strategis dan vital bagi hidup dan kehidupan manusia dalam budaya apa pun baik sebagai pribadi, anggota masyarakat,
dan khalifah Tuhan. Nilai budaya memiliki lima kedudukan pokok yang masing-masing disertai
dengan fungsinya. Kedudukan nilai budaya yang
pertama,
ialah sebagai penggerak ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia atau sekelompok manusia dalam
hidup dan kehidupan agar pandangan dunia, mitologi, dan kosmologi budayanya menjadi fungsional. Seperti yang dikemukakan oleh Sidi Gazalba 1981:469 bahwa
tindakan dan perbuatan manusia selalu digerakkan oleh nilai budaya tertentu.
Kedua,
nilai budaya itu sebagai pengendali ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia dalam hidup dan kehidupan. Agar tidak dianggap sesat dan
menyimpang, setiap ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan, nilai budaya dapat dicapai jika nilai
budaya dapat mengendalikannya. Misalnya, agar tindakan seseorang sebagai pribadi terarah dan sesuai dengan kehidupan religius, tindakannya perlu dikendalikan oleh
nilai budaya yang disepakati sebagai nilai yang bersifat keagamaan dan religius.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 53
Tindakan manusia akan sulit terarah dan sesuai dengan kehidupan religius tanpa nilai budaya religius.
Ketiga,
sebagai proyeksi dan utopia tujuan, harapan, dan cita-cita hidup dan kehidupan manusia, hal ini tampak pada nilai budaya yang dianut atau dipeluknya.
Dalam kedudukan ini, nilai budaya dapat berfungsi memandu, menuntun, menunjukkan, mengembangkan, dan mengarahkan ucapan, tindakan, perbuatan, dan
perilaku manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan.
Keempat,
sebagai tolok ukur ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan
hamba Tuhan. Dalam masyarakat, penilaian dan penentuan apakah ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi dan anggota masyarakat
menyimpang atau tidak mempergunakan tolok ukur nilai budaya. Oleh karena itu, dalam kedudukan ini nilai budaya berfungsi memberikan panduan, patokan, ukuran,
batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius supaya hidup dan kehidupan manusia
mencapai tujuan, harapan, dan cita-cita.
Kelima,
nilai budaya sebagai rujukan acuan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam
hidup dan kehidupan. Apa yang diucapkan, ditindakkan, diperbuat, dan dilakukan merujuk pada nilai budaya. Dalam kedudukan ini nilai budaya berfungsi
menyediakan, menentukan, memutuskan, dan menunjukkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang sebaiknya dikerjakan dan apa yang sebaiknya tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 54
dikerjakan, dan apa yang perlu diikuti dan apa yang tidak perlu diikuti oleh ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia. Misalnya, apa yang sebaiknya dikerjakan
oleh seseorang yang melihat perampokan di siang hari, atau apa yang perlu dilakukan jika ada tetangga yang anaknya tidak bisa sekolah karena kemiskinannya, hal ini
akan merujuk pada nilai budaya yang dianutnya. Jika tidak, orang itu akan dianggap menyimpang dari nilai budaya setempat.
Menurut Djoko Saryono 1998:5, karya sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya
membuatnya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa karya sastra baik puisi maupun
prosa fiksi merupakan wacana atau inskripsi yang selalu merepresentasikan dan merekonstruksi realitas budaya berlandaskan episteme sistem pengetahuan tertentu.
Yang terepresentasi dalam karya sastra adalah konstruksi nilai budaya sehingga episteme nilai budayalah yang kemudian hadir dalam teks sastra. Lebih jauh
dikatakan Djoko Saryono bahwa: 1 sebagai sistem budaya, sastra bersangkutan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang
membentuk episteme makna dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu; 2 sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan,
idiologi, orientasi nilai, dan mitos; dan 3 sebagai wacana dalam kerangka episteme tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu.
Hal di atas dapat diindikasikan bahwa sastra Indonesia merepresentasikan nilai budaya Indonesia dalam paradigma keindonesiaan. Hal ini bersebab bangsa dan
masyarakat Indonesia sebagai tempat asal dan berkembangnya tradisi etnis para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 55
sastrawan Indonesia yang majemuk, tentulah berakibat sastra Indonesia merepresentasikan hayatan, renungan, pemikiran, gagasan, dan pandangan tentang
berbagai nilai budaya tradisi etnis yang ada di Indonesia. Salah satu budaya tradisi etnis di Indonesia adalah budaya Jawa. Sastra
Indonesia sebagai wacana sastra Indonesia telah menampakkan bahwa nilai budaya tradisi etnis Jawa telah terepresentasi dalam teks sastra Indonesia. Banyaknya
sastrawan yang dibesarkan dalam asuhan tradisi Jawa, berakibat karya-karya para sastrawan tersebut merepresentasikan nilai budaya etnis Jawa yang sangat kental.
Pengakuan Pariyem
Linus Suryadi A.G,
Burung
-
Burung Manyar
Y.B Mangunwijaya,
Canting
Arswendo Atmowiloto,
Asmaradana
Gunawan Mohamad,
Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari,
Sri Sumarah dan Bawuk
Umar Kayam dan masih banyak lagi karya sastra para sastrawan Indonesia yang diasuh dalam tradisi Jawa adalah karya sastra yang merepresentasikan nilai-nilai
budaya Jawa. Murder dan Anderson 1985:28 memberikan gambaran terhadap masyarakat
dan manusia Jawa yang terdapat dalam beberapa novel Indonesia melukiskan pribadi dan masyarakat Jawa yang sedang berubah akibat perubahan basis sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan materi. Akan tetapi sebagai sastrawan yang diasuh dalam lingkungan budaya Jawa yang kental justru mereka tidak menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa ibu mereka tetapi menggunakan bahasa Indonesia dalam menuangkan gagasan estetisnya. Hal ini ternyata bukan karena mereka mulai menggeser nilai-nilai
budaya Jawa tetapi lebih sebagai strategi sastrawan Indonesia yang bertradisi etnis atau beretnis Jawa untuk membebaskan diri dari keterbatasan bahasa Jawa dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 56
menjangkau pembaca secara lebih luas dengan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
Bertolak dari pendapat-pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah sesuatu yang menjadi pusat sumber daya hidup dan kehidupan
manusia secara individual sosial. a
Nilai Budaya Timur Budaya di dunia diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1 budaya timur dan 2
budaya barat, sehingga dikenal dengan adanya nilai budaya timur dan nilai budaya barat. Nilai budaya timur dikatakan Koentjaraningrat 1990:25 sebagai budaya
selain budaya barat. Nilai budaya terbentuk melalui proses sejarah manusia dalam menjalani,
mempertahankan, dan mengembangkan hidup dan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba serta khalifah Tuhan Djoko Saryono, 1998:43.
Djoko Saryono lebih lanjut mengungkapkan bahwa bahan-bahan pembentukan nilai budaya berasal dari bermacam-macam sumber baik internal maupun eksternal.
Sumber pembentukan nilai budaya adalah: 1 agama, 2 sistem budaya tertentu, 3 kebajikan dan ajaran tertentu, 4 paham kepercayaan dan mistisisme, dan 5 alam
semesta. Sumber
pertama
nilai budaya adalah agama-agama. Bermacam-macam agama telah menjadi pembentuk nilai budaya timur, yaitu agama-agama purba,
taoisme, konfusianisme, agama Hindu, agama Budha, dan agama Islam. Agama purba atau animisme dan dinamisme adalah pembentuk nilai budaya timur sebelum
agama-agama lain datang. Bahkan agama-agama tersebut diketahui telah mengilhami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 57
sistem pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial, dan kesadaran kolektif.
Kedua
adalah sistem budaya India, Cina, dan Arab-Persia. Ketiga sistem budaya itu berakar dan melekat kuat di kawasan timur. Keberakaran ini bersebab
oleh banyak faktor. Misalnya faktor agama, manusia, dan perniagaan yang berasimilasi, beradaptasi, dan berakulturasi dengan nilai budaya agama dan nilai
budaya setempat lokal.
Ketiga
adalah kebijakan, kebajikan, dan ajaran tertentu yang berasal, tumbuh, dan berkembang di tempat tertentu dan di dalam kelompok masyarakat tertentu di
kawasan dunia timur. Misalnya yang dikembangkan oleh Krishnamurti, Mahatma Gandhi, Ki Ageng Suryomentaraman, Ronggowarsito, Mangkunegoro IV, Jalaluddin
Rumi, banyak disuling, disaring, dibatinkan, kemudian dipedomani sebagai nilai budaya oleh sebagian kelompok masyarakat timur Simuh, 1988: 2-3.
Keempat
adalah mistisisme dan aliran kepercayaan dan kebatinan yang merupakan salah satu sumber penting. Hal ini terlihat dari tumbuh suburnya
mistisisme dan aliran kepercayaan dan kebatinan di dalam beragam budaya timur. Berbagai tasawuf, sufisme, nama yang biasanya untuk menyebut mistik Islam pun
tumbuh subur di dunia termasuk di Indonesia. Menurut Annemarie Schimmel 1986:2 bahwa mistik telah disebut “arus besar kerohanian yang mengalir dalam
semua agama”. Nilai budaya lokal di berbagai tempat di Indonesia juga banyak yang bersumber pada paham kepercayaan dan mistisisme mengalami penyulingan,
pengendapan, pengolahan, pembatinan, dan pemantapan sedemikian rupa sehingga menjadi pedoman budaya yang berterima secara mantap dalam hidup dan kehidupan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 58
kelompok masyarakat tertentu.
Kelima
adalah watak, sifat, dan tabiat alam semesta. Watak, sifat, dan tabiat alam semesta banyak direnungkan, disuling, dibatinkan, dan kemudian dipedomani
sebagai nilai budaya oleh orang timur. Seperti dapat dilihat dalam serat dan babad Jawa.
Nilai budaya timur yang terbentuk berdasarkan sumber yang diuraikan di atas memiliki beberapa karakteristik umum.
Pertama,
nilai budaya timur bersifat humanistis teosentris Kuntowijoyo, 1991:167. Sering pula dikatakan nilai budaya
timur itu agamis Nasution, 1995: 287. Maksudnya keyakinan religius yang berhulu dan berakar pada pandangan teosentris selalu dihubungkan dengan amal, yaitu
ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku manusia.
Kedua
, bahwa nilai budaya timur selalu meletakkan persona atau pribadi dalam hubungannya dengan masyarakat dan alam semesta. Hal ini menyiratkan
makna bahwa nilai budaya timur bersifat kosmosentris. Manusia selaku persona, individu, pribadi, perseorangan tetap diakui dan disahkan keberadaan dan
kedudukannya, tetapi harus diarahkan, disejalankan, diselaraskan, diseimbangkan, kepada kepentingan, dan keajekan masyarakat dan dunia Verhaar, 1989:124. Oleh
karena itu, dalam nilai budaya timur diyakini bahwa kedamaian, kerukunan, ketenangan, kebersatuan, dan keguyuban masyarakat sosial harus bermula atau
dimulai dari persona atau pribadi.
Ketiga
, bahwa nilai budaya timur sangat mementingkan dan menjunjung kelestarian dan kemapanan. Kelestarian dan kemapanan ini dapat dicapai dan
dipelihara jika ada keselarasan atau harmoni. Secara ekstrim To Thi Anh 1984:5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 59
menyatakan bahwa nilai budaya timur mengkultuskan keselarasan. Sementara menurut Umar Kayam 1987:102, kultus ini merupakan kebutuhan pragmatis yang
menjadi syarat hidup tenang dalam masyarakat.
Keempat,
bahwa nilai budaya timur sangat menghargai dan menjunjung tinggi kebersamaan atau kolektifitas dalam hidup dan kehidupan manusia. Maka,
dalam berbagai budaya timur kemudian berkembang manusia i bergotong royong, ii membantu sesama tanpa pamrih, iii jangan mau menang sendiri, iv jangan
hanya mementingkan diri sendiri, v memperlakukan orang lain seperti diri sendiri, dan lain-lain.
Kelima,
nilai budaya timur tidak membedakan secara terpisah-pisah antara yang rasional dan yang tidak rasional. Pada umumnya bahkan dinyatakan bahwa
nilai budaya timur lebih intuitif daripada rasional . sehingga, hati atau budi sebagai gejala rohani bukan jasmani dipandang mampu mempersatukan, merangkum,
merukunkan, dan menyerasikan akal budi dan intuisi, inteligensia, dan rasa To Thi Anh, 1984:4. Oleh karena itu, sebagai contoh, banyak manusia di dunia timur yang
berusaha mengembangkan dan memekarkan hati melalui aliran kepercayaan dan kebatinan serta mistisisme, atau juga lewat tarekat.
Keenam,
mengutamakan atau mengagungkan kebijaksanaan dan kebajikan daripada kepandaian atau kecerdasan. Di Jawa, sebagai contoh, kebijaksanaan
tersebut diungkapkan dalam ajaran atau tuntutan bahwa mencari ilmu bukanlah untuk menjadi pandai atau cerdas
,
melainkan menjadi mengerti karena kepandaian dan kecerdasan membuat orang menjadi memintari orang lain, sedangkan pengertian
membuat orang menjadi mengerti. Hal ini ditunjukkan dalam ungkapan
wong sing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 60
pinter bakal minteri liyan, wong sing ngerti bakal pangerten marang liyan. Ketujuh,
nilai budaya Jawa sangat menghargai dan mengutamakan praksis daripada teori dalam hidup dan kehidupan. Dalam budaya Jawa, hal ini terekspresi
pada ejekan
omong thok.
Yang dipandang positif adalah “satunya kata dengan perbuatan”.
Kedelapan
, nilai budaya Jawa berhenti pada religi, bukan pada filsafat seperti kebanyakan budaya barat. Dengan kata lain, nilai budaya timur diarahkan dan
difiniskan pada religiositas dengan tidak meninggalkan dimensi-dimensi lain sehingga segala sesuatu secara niscaya mengalami transendensi dan spiritualitas. Di
sini tampaklah corak nilai budaya Jawa yang utuh bulat holistis dan terpadu integratif, bukan terpisah-pisahkan secara tegas atomistis dan terbeda-bedakan
secara ketat diferensial Puspowardojo, 1989:108. Nilai Budaya Jawa idealistis sebagai nilai budaya timur berkenaan dengan
substansi nilai budaya Jawa. Nilai budaya Jawa dapat diklasifikasikan menjadi i nilai religius Jawa, ii nilai filosofis Jawa, iii nilai etis Jawa, iv nilai estetis Jawa.
1 Nilai Religius Jawa Nilai religius Jawa adalah nilai kudus dan suci yang berkaitan dengan
kemungkinan
sejati
atau ultim manusia Jawa atau kemungkinan paling akhir manusia Jawa yang mengatasi ruang dan waktu dalam pandangan manusia Jawa. Bagi
manusia Jawa, kemungkinan ultimnya adalah kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Dialah manusia Jawa berasal atau berawal mula. Hal ini terungkap misalnya,
dalam konsep
sangkan paraning dumadi, sangkan paraning hurip, mulih menyang ana ngersaning Gusti Pangeran, sangkan paraning manungsa, Gusti kang murbeng
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 61
dumadi, Gusti kang akaryo jagad, bali marang Pangeran, Gusti Allah ora sare
dan lain-lain. Keterikatan ini lebih bersangkutan dengan dimensi dalam kepercayaan dan
keyakinan yang berakhir pada hati nurani manusia, bukan peraturan resmi formal agama yang melembaga Y.B. Mangunwijaya, 1988:11-12.
Pada umumnya, keterikatan tersebut oleh manusia Jawa diterjemahkan dan diartikan sebagai pertemuan, bahkan persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal
ini tampak pada ungkapan
Dat tan kena kinayangapa, Dat kang adoh wangenan,
dan
Dat kang cedhak tanpa senggolan.
Oleh karenanya, hal itu menjadikan keyakinan manusia Jawa tentang
wahdat al syuhud
dan
wahdat al wujud
atau Tuhan yang transenden sekaligus imanen Damardjati Supanjar, 1996:172.
Nilai religius Jawa dapat diwujudkan dalam: a wujud nilai katauhidan, b wujud nilai keimanan, c wujud nilai keutamaan, d wujud nilai
kewaskitaan
. 2 Nilai Filosofi Jawa
Nilai filosofi Jawa bertumpu pada
rasa rasa sejati
yang dipercayai di dalamnya sudah terkandung
akal budi.
Dikatakan demikian karena filsafat Jawa lebih condong sebagai panduan praksis hidup daripada sebagai olah nalar yang intelektual
semata-mata Sudarminto, 1991:170. Menurut Abdullah Ciptoprawiro 1986:25 filsafat Jawa dicirikan oleh
berpikir menggalih
yang totalitas-holistis, bukan
berpikir radikal
yang analitis seperti filsafat barat.
Berpikir menggalih
ini dimungkinkan oleh
rasa sejati
atau
rasa budi,
sedangkan
berpikir radikal
dimungkinkan oleh
akal pikiran.
Sehubungan dengan hal itu filsafat Jawa tidak hanya berbicara perkara yang
bener
tetapi juga berbicara perkara yang
pener
atau
leres
tepat benar secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 62
kontekstual yang sekaligus rasional dan bukan rasional. Dalam budaya Jawa
bener
dan
pener
merupakan kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Segala sesuatu tidak hanya ditafsirkan dan dinilai berdasarkan benarnya,
bener
nya, tetapi juga berdasarkan tepatnya,
pener
nya, karena sesuatu yang
bener
belum tentu
pener
dan sebaliknya. Ke
bener
an dan ke
pener
an menjadi kaidah filosofis segala sesuatu, misalnya
ngono yo ngono ning ojo ngono, luhur datan ngungkul-ungkuli andap tan kena inungkulan,
dan lain-lain merupakan ekspresi kaidah ke
bener
an yang esensial dan kaidah ke
pener
an yang kontekstual. Bagi manusia Jawa, segala sesuatu yang sudah benar dan tepat atau sudah
sesuai dengan ukuran kebenaran dan ketepatan adalah sesuatu yang mapan, selaras, dan bersama
wis mapan, wis laras, wis mathon, wis gathuk, wis jumbuh, lan wis jodho
. Sesuatu yang belum dan tidak mapan, tidak selaras, dan tidak bersama dipandang sebagai sesuatu yang belum dan atau tidak benar dan tidak tepat. Sebagai
contoh, orang kaya yang kikir dipandang tidak benar dan tidak tepat karena menggambarkan atau memancarkan ketidakmapanan, ketidakselarasan, dan
ketidakbersamaan. Di samping itu hal tersebut melanggar kaidah normatif
ngono yo ngono ning aja ngono
yang selanjutnya dapat mengganggu kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
Nilai filosofis Jawa dapat diwujudkan ke dalam: a wujud nilai kemapanan, b wujud nilai kepastian, c wujud nilai
kejatmikaan
, d wujud nilai kerukunan, dan e wujud nilai kehormatan.
c Nilai Etis Jawa Sudarminto 1991:8 menyatakan bahwa dalam budaya Jawa, etika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 63
sebagai kajian ilmu kritis yang menelaah secara sistematis dan logis asas-asas moral dan susila tidak berkembang
ethis of doing.
Yang sangat berkembang adalah etika sebagai pedoman atau panduan praksis hidup dan kehidupan
ethics of being .
Berbagai kitab, folklore, dan seni pertunjukan Jawa, misalnya
serat-serat
dan
wayang Jawa,
menekankan pentingnya etika sebagai praksis hidup dan kehidupan. Dalam kedudukan dan keberadaan inilah, konsep etika dalam budaya Jawa harus
dibaca dan dipahami sebagai etiket dan moralitas. Dengan kata lain, dalam budaya Jawa yang berkembang adalah etiket dan moralitas, bukanlah etika sebagai ilmu
kritis. Oleh karena itu, nilai etis Jawa harus dipahami dan dimengerti dalam kaitannya dengan etiket dan moralitas. Etiket dan moralitas Jawa ini terangkum
terutama dalam konsep
wis njawa, gak njawa,
atau
durung njawa.
Jadi konsep tersebut merupakan supordinat etiket dan moralitas Jawa.
Orang Jawa yang disebut atau dikatakan
wis njawa
atau
wis ngerti
berarti sudah mengerti dan menguasai etiket dan moralitas Jawa, sedangkan orang Jawa
yang disebut dan dikatakan
gak njawa
dan
durung njawa
berarti tidak dan belum mengerti dan menguasai serta menggunakan etiket dan moralitas Jawa. Dan jika
orang Jawa belum tahu etiket dan moralitas berkaitan dengan konsep di atas seyogyanya untuk memaklumi,
pangerten,
bukan mengumpat atau mengutuknya meskipun semua itu tidak susuai dengan moralitas yang diidealkan. Dengan
demikian dapatlah disimpulkan bahwa superordinat nilai etis Jawa adalah
wis njawa
dan
gak njawa
serta
durung njawa,
yaitu keadaan hati nurani yang sudah, belum, dan tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan etiket dan moralitas Jawa .
Dalam budaya Jawa, ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku yang dianggap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 64
baik dan pantas adalah yang bijaksana dan penuh kasih sayang
wicaksana, asih ing sesami {welas asih}.
Orang Jawa yang
wicaksana
memiliki
kawicaksanan
dan
asih ing sesami
memiliki
welas asih
pada umumnya disebut orang baik dan santun. Sebaliknya, orang disebut tidak baik dan tidak santun jika tidak mengedepankan atau
menampilkan
kawicaksanan
dan
asih ing sesami.
Tidak mengherankan, dalam budaya Jawa terdapat tuntutan kepada setiap manusia Jawa untuk mencari
kebijaksanaan
ngudi kawicaksanan
dan dengan mengembangkan rasa kasih sayang
nguri-nguri asih ing sesami welas asih.
Dengan kebijaksanaan dan rasa kasih sayang yang dimiliki, diharapkan setiap manusia Jawa akan mampu atau dapat
bersikap, berucap, bertindak, berbuat, dan berperilaku dengan baik dan pantas. Nilai etis Jawa dapat diwujudkan dalam: a wujud nilai kebijaksanaan, b wujud nilai
tepat janji, c wujud nilai lapang dada, d wujud nilai rendah hati, e wujud nilai toleransi, f wujud nilai pengertian, dan g wujud nilai kasih sayang.
d Nilai Estetis Jawa Nilai estetis Jawa berkaitan dengan keterikatan rasa dan emosi manusia Jawa
dengan indah dan elok,
endah lan elok.
Menurut Lombard 1996:210, bahwa nilai estetis Jawa adalah nilai yang berkaitan dengan keindahan dan keelokan dalam
pandangan manusia Jawa atau menurut rasa manusia Jawa. Menurut I Kuntara Wiryamartana 1986:116, secara ontologis aspek estetis
Jawa mengandung tiga taraf, yaitu taraf immaterialtransenden, taraf immaterial- materialtransenden-imanen, dan taraf immaterial-imanen. Oleh karena itu, tidak
mengherankan, karya estetis yang berpusat dan berwahanakan bahasa
sastrasusatra kesusatran
dan secara umum disebut
kagungan basa
atau
kagunan
saja dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 65
budaya Jawa Subalidinata, 1994:1. Dalam
kesusastraan Djawi,
S. Dwidjosumarto
tanpa tahun:3-4
menyebutnya
manunggaling suraos lan wangun.
Lebih lanjut, S. Dwidjosumarto menjelaskan sebagai berikut.
Sesungguhnya perihal keindahan kesusastraan selalu terkait dengan rasa,… kesusastraan yang mengandung rasa sedemikian indah dan bernas dapat diibaratkan
putri jelita yang berhiaskan busana. Karangan yang berwujud tembang atau prosa yang penuh hiasan olahan tetapi kering rasa dapat diibaratkan hiasan emas berlian
yang diletakkan di dalam almari kaca tanpa bergerak dan berubah karena tidak memiliki kekuasaan atau daya sama sekali. Hiasan kesusastraan itu tidak berdiri
sendiri, tetapi bersatu rasa, bagaikan kemanggulan bunga dengan wanginya.
b Nilai Budaya Barat
Seperti halnya nilai budaya timur, nilai budaya barat dipersepsi berasal dari dan berkembang di Eropa dan kemudian Amerika Serikat Hasim Amir dalam Djoko
Saryono, 1998:72. Nilai budaya barat yang telah menjadi lambang modernitas dan kemajuan tidak muncul dan terbentuk dari sebuah kekosongan dan kehampaan, sebab
tidak ada kreativitas budaya bermula dari
creatio ex nihilo.
Rasionalitas, individualitas, pengagungan akal budi dan jiwa, kebebasan berpikir, dan penghargaan pada kemerdekaan manusia dalam budaya barat
dikembangkan, dimatangkan, dan dilembagakan dari warisan nilai budaya Yunani tentang kemerdekaan individu, tradisi berpikir bebas, analitis, dan rasional, dan
peranan akal budi dalam meningkatkan martabat manusia Sartono Kartodirdjo, 1986:13-14. Meskipun bersumber dari berbagai nilai budaya luar, berkat
kemampuannya menyuling, menyaring, mengolah, dan mengembangkannya secara khas atau unik, nilai budaya luar yang diterima oleh budaya barat dapat dikatakan
sudah tidak nampak warna aslinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 66
Menurut Sartono Kartodirdjo 1986:13, berbagai nilai ini pulalah yang menjadikan kesenian, ilmu dan teknologi, dan filsafat berkembang pesat dalam dunia
dan budaya barat. Secara panjang lebar dijelaskan sebagai berikut. Kebudayaan barat memperoleh ciri-ciri yang spesifik dari kebudayaan
Yunani sehingga menjadi jauh berbeda dengan kebudayaan timur: ilmu pengetahuan, filsafat, kesusasteraan, kesenian, keyakinan politik, dan sebagainya, masing-masing
menunjukkan sifat khas barat. Bangsa Yunanilah yang menemukan manusia sebagai pribadi individual dan karenanya berbeda dengan bangsa-bangsa timur kuno lainnya,
di mana irasional memegang peranan penting dan akal manusia sama sekali tak mempunyai arti di dalam semua kejadian manusia. Akal pikiran memandang fakta-
fakta dari dunia nyata riil dan bukan dunia jiwa atau orang mati. Orang Yunani bernapaskan jiwa kebebasan sehingga segala cabang kebudayaan berkembang
memuncak, seperti: kesusasteraan, seni bangunan dan seni patung, ilmu pengetahuan dan filsafat. Jiwa bangsa Yunani tak dibatasi oleh kekuasaan absolut raja atau
kekuatan pendeta yang mengendalikan agama negara dan segala paparan hidup dalam negara. Harga jiwa individual tak dikenal dalam iklim kerajaan timur dengan
penguasaan pendeta dan despotismenya. Adanya kebebasan berbicara dan mengkritik memungkinkan drama, baik tragedi maupun komedi, berkembang setinggi-tingginya,
Kebebasan berpikir ini, ditambah dengan bakat mampu mengadakan pengamatan dengan teliti, tak memihak salah satu kepentingan beserta pandangannya yang kritis
tajam, merupakan dasar pemikiran ilmu pengetahuan. Sikap jiwa demikian ini di Eropa akan menjadi alat yang hebat untuk mengusahakan ilmu pengetahuan modern.
Terkait dengan struktur novel, nilai budaya itu biasanya mendukung tema dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 67
amanat di dalam cerita novel tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Koentjaraningrat 1984:41 bahwa nilai budaya biasanya mendukung tema dan
amanat di dalam cerita. Lebih lanjut, Koentjaraningrat menyatakan bahwa nilai budaya merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat
mengenai hal-hal yang dianggap paling bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman aturan dalam
masyarakat. Nilai budaya yang biasanya mendorong pembangunan adalah tahan menderita, gotong royong, bekerja keras, toleransi terhadap kepercayaan orang lain
Djamaris, 1990:3.
c. Konsep Sinkretisme sebagai Aspek Sosial Budaya