perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 153
Kejatmikaan
alternatif ini tampak juga termanifestasi atau terpersonifikasi dalam diri Jarot.
Kejatmikaan
Jarot terekspresikan atau terartikulasikan dalam bentuk kemengertian, ketenangan,
kegrapyaan, kesemanakan, kemerakatian,
dan kepaha- mannya atas suatu keadaan yang dilandasi oleh moralitas atau religiusitas. Sebagai
contoh saat Jarot menghadapi Puteri yang marah karena tidak mau menuruti ke- inginannya “berhubungan intim” ketika jalan-jalan ke kota Batu di pergantian tahun.
Dalam satu detik yang menentukan segalanya, terbetik satu nafas yang kerap kali membuatku terbangun dari perasaan tak menentu. Selanjutnya, aku
raih sprei yang kebetulan ada di ujung ranjang, lalu kulempar ke tubuh Puteri agar tertutupi. Aku merasa seperti Jaka Tarub saat memberi pakaian pada
Nawangwulan, meski dalam kasus yang berbeda. “Lalu untuk apa kau ajak aku ke Batu” nada suara Puteri tinggi, ia mulai
tersinggung. Ia bangkit. Aku tak ingin menyinggung perasaannya. Aku mendekat, kupegang
pundaknya dari belakang, kukecup rambutnya dan kukatakan, aku tak ingin dia terluka.
“Dengan begini, kau telah melukaiku” tegasnya. “Berarti kau tidak mencintaiku” lanjutnya. Mashuri, 2007:69
Ketenangan yang ditopang oleh kemampuan mengendalikan diri dan nafsu
tersebut jelas didasarkan atas ajaran spiritual yang dipelajari dan dihayati sejak kanak-kanak.
d. Wujud Nilai Kerukunan Manusia Jawa
Nilai kerukunan manusia Jawa berkenaan dengan kekompakan, kedamaian, kebersatuan, dan keutuhan. Dapat juga dinyatakan bahwa nilai kerukunan merupakan
keadaan kompak, damai, bersatu, dan utuh. Istilah atau ungkapan dalam bahasa Jawa adalah
rukun, guyup rukun, rukun agawe santosa crah agawe bubrah, aja padudon, aja sengit, aja drengki srei, lila, legawa,
dan
mangan ora mangan kumpul
mengisyaratkan betapa pentingnya kerukunan atau dalam keadaan rukun bagi hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 154
dan kehidupan manusia Jawa. Bahkan keadaan rukun sudah menjadi obsesi bagi masyarakat Jawa secara turun-temurun.
Dalam teks novel Hubbu, obsesi kerukunan tampaknya menghantui tokoh Mas Amin, kakak misan Jarot yang selama berada di lingkungan pondok selalu
berusaha mengupayakan terwujudnya kerukunan antar anggota keluarga besar trah Alas Abang, seperti terlihat dalam penggalan teks berikut ini.
“Selama ini semua keluarga sangat keras kepadamu. Soalnya almarhum Mbah dulu sebelum wafat pernah mewanti-wanti, agar kami mengawasimu
secara khusus. Kata Mbah, meski kau pendiam, kau ini gunung. Ada sesuatu yang kau kandung yang tak bisa diterka oleh sembarang orang. Sesuatu itu
bisa berupa apa saja, dan bila kami salah mengarahkannya dan kamu meledak maka kamu bisa merusak nama baik keluarga. Tentang masalah
gunduk rumah rayap itu, kamu tak usah khawatir. Jabir sudah kuancam, agar tidak membocorkannya pada orang lain” tuturnya.
Kala itu, untuk sementara aku dapat menghela napas lega, meski aku belum tahu sampai kapan kelegaan itu bisa bertahan di dada. Mashuri,
2007:46
Kerukunan antara Jarot dan Jabir pada penggalan teks di atas tampak diusahakan, diwujudkan, dipertahankan, dijaga, dan akan dipelihara oleh Mas Amin.
Cara dan bentuk praksis ini antara lain dapat berupa penghindaran konflik terbuka antara Jarot dan Jabir, dengan jalan internalisasi diri, pengendalian diri, pengendalian
nafsu amarah, penempatan diri dengan tepat, dan penempatan keutamaan kehangatan bersama sebagai komunitas, sebagai keluarga besar trah Alas Abang. Dengan
berbagai praksis tersebut, ketegangan-ketegangan yang bisa mengganggu atau merusak ke
-guyub-rukun-
an antara anggota keluarga besar trah Mbah Adnan dapat dicegah atau diatasi. Dengan demikian, keselarasan sebagai kebutuhan rohaniah
manusia Jawa dapat dipertahankan dan dijaga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 155
Obsesi timbul karena manusia Jawa percaya kepada keutuhan dan keseimbangan pada satu sisi dan pada sisi yang lain khawatir akan berbagai
kemungkinan yang dapat mendatangkan gangguan pada keseimbanngan dan keselarasan hubungan unsur-unsur jagad besar dan jagad kecil. Maka, setiap manusia
Jawa wajib menerima, mengikuti, menunaikan, menjaga, menjamin, dan memelihara kerukunan jagad besar dan kecil. Untuk itu, dalam hidup dan kehidupan, manusia
Jawa antara lain diharapkan dapat menghindari konflik terbuka, menempatkan diri dengan tepat, mengendalikan diri dengan baik, berkorban demi orang banyak, tidak
menyombongkan diri, tidak bersikap dan bertindak mentang-mentang, dan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
Penghindaran konflik terbuka dapat dilakukan dengan bersikap, bertindak, dan atau berlaku
aja congkrah, aja padudon, aja sengit karo liyan,
dan
aja drengki srei.
Penggalan berikut merupakan contoh tersirat sikap
drengki srei
Jabir kepada Jarot yang menjadi cucu kesayangan Mbah Adnan, orang yang paling disegani di
Desa Alas Abang. Untuk menghindari konflik terbuka dengan Jarot, Jabir lebih memilih menghindar dengan lebih banyak ke luar lingkungan pondok, ke tempat di
mana Jarot tidak akan mungkin berada di tempat tersebut. …. Memang , aku sering kalah dalam segala hal, dan kerap membuatku
iri. Itu berlaku sejak kami kanak-kanak. Bisa kaubayangkan, bagaimana perasaanku sebagai anak-anak saat melihatnya menjadi cucu yang paling
dikasihi dari orang yang paling disegani oleh kami, Mbah Adnan. Sebagai pelampiasan, kadang aku juga mencari keistimewaan di tempat lain, yang
ayahmu jelas tak pernah merambahnya.. aku sering keluyuran ke tempat- tempat yang dijauhi keluarga dan orang-orang baik. Dan semasa muda, aku
memang menikmainya. Mashuri, 2007:194
Jabir, selalu digambarkan mampu melokalisasi dan atau mengatasi berbagai masalah yang berpotensi konflik, betapa pun itu berat dan getirnya, apa pun risiko
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 156
dan harus mengorbankan batinnya. Secara bawah sadar, kearifan
rukun agawe santosa crah agawe bubrah
dan anjuran
urip sing podo rukun aja congkrah
tampak sudah menjadi rasa hayat dan memandu hidup-kehidupan mereka.
Usaha mewujudkan dan menjaga rasa ketidakbencian dalam hidup dan kehidupan, dan usaha mengatasinya bilamana terjadi termanifestasikan antara lain
dalam sikap, tindakan, dan perilaku Jarot sebagai orang yang memiliki wawasan yang luas, yang tidak mudah sakit hati atau membenci orang lain meskipun masalah
pelik menimpanya. Sebagai contoh ketika istrinya menyeleweng dengan laki-laki lain, Jarot tetap mampu menahan diri untuk pasrah, tidak patah semangat, dan tidak
membenci istrinya, meski kekecewaan yang demikian berat masih bisa disembunyikan di hadapan Aida, anaknya. Jadi sekalipun permasalahan atau musibah
berat menimpa dirinya, Jarot masih mampu menghindarkan diri dari rasa benci dan nafsu amarah sehingga konflik terbuka yang dapat mengganggu keharmonisan serta
merusak keadaan
laras
khususnya
guyub rukun
dapat dicegah dalam kehidupan rumah tangganya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut.
Persoalannya bermula dari kisah lama, sebuah kisah yang mungkin terlalu riskan untuk pertumbuhan jiwa kanak-kanakku. Saat itu Ayah sedang
dinas, aku melihat ibu memasukkan Om Jon, saudara sepupu ibu yang ikut di rumah, ke kamar Ibu. Tak sengaja aku masuk ke kamar tersebut, kulihat Om
Jon menindih Ibu. Mashuri, 2007:145 Sungguhkah Ayah demikian hebat? Mungkin ya. Ada satu perkataannya
tentang Ibu yang membuatku tak bisa mengerti Ayah sepenuhnya. “Aku tahu, ibumu sering jalan dengan laki-laki lain. Aku tak ingin
mengutuknya. Aku tahu, mungkin itu jalan terbaik, agar kendaraan ini, rumah ini bisa tuntas menggosok intan-intannya. Dia berlaku demikian juga untuk
kita. Ayah yakin. Dia juga tersiksa, tetapi terpaksa,” katanya. Mashuri, 2007:146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 157
Dalam penggalan teks di atas tampak, Jarot digambarkan sebagai manusia yang serba menerima nasib, rezeki, dan keadaan baik atau susah dengan penuh rasa
sabar, kerelaan, prihatin, syukur, dan untung. Dengan kata lain, Jarot adalah contoh manusia Jawa yang mampu mengendalikan diri dengan praksis
lila, nrima, lembah manah, legawa
bahkan juga
ora sengit, ora drengki srei,
dan
prasaja.
Secara repetitif segala keadaan, tindakan, perbuatan, dan perilaku yang dilakukan atau
menimpanya, meskipun secara falsafah moral etika salah dan jelek, Jarot tetap praksis,
lega
dan
nrima
secara sungguh-sungguh, tanpa rasa terpaksa. Hal ini
menandakan bahwa pengendalian nafsu tampak dengan menerima lapang dada secara tulus tanpa penyesalan, dan menerima kenyataan apa yang dilakukan istrinya
dengan laki-laki lain sebagai ujian dan inisiasi atau pentasbihan Jarot dalam mengusahakan dan menjaga nilai kerukunan Jawa di tengah berbagai persoalan
individual, keluarga, sosial, dan ekonomi. Dengan sikap, tindakan, dan atau perbuatan di atas, kerukunan di sekitar
hidup dan kehidupan Jarot dapat terwujud dan terjamin. Kedamaian, kebersamaan, perselisihan, kebersatuan Jarot dengan istrinya dapat dipertahankan meski jika dilihat
dari kacamata umum, sikap, tindakan, dan perbuatan Jarot terlihat mengalami kontradiksi, ambivalensi, bahkan paradoksal. Hal ini terjadi karena terdapat hal-hal
penyelewengan istrinya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan etika. Jarot tampak memberikan toleransi terhadap skandal penyelewengan istrinya
dengan banyak laki-laki dengan cara memakluminya. Sikap, tindakan, dan perbuatan Jarot sesungguhnya lebih bersifat
ethok-ethok
yang memang bagi orang Jawa dinilai positif karena dapat mendukung bertahan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 158
terjaganya kerukunan, meski sebagian orang Jawa yang lain menilai hal tersebut negatif.
e. Wujud Nilai Kehormatan Manusia Jawa