perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 127
Savitri pacarnya, dan akan menikahinya jika Teguh tidak mau menikahinya. Puteri dihadirkan sebagai simbol gadis kota yang modern, anak orang kaya,
hidup bebas tetapi jiwanya kosong, retak, karena tidak pernah mendapatkan kehangatan di rumah dari orang tuanya yang sudah bercerai sejak dia SMP.
Sedangkan simbol spiritualitas hadir pada sosok Istiqomah, kekasih Jarot pada saat sekolah di sekolah umum, SMA, gadis tetangga desa yang santun dan bersahaja.
Agnes, simbol tokoh yang goyah terhadap keyakinannya terhadap Tuhan, kepada Agneslah toleransi beragama dalam novel ini terbentuk. Sedangkan Aida, anak Jarot,
sebagai satu-satunya penerus keturunan Jarot sebagai simbol gadis modern yang cerdas yang menjadi sinyal penerus kepemimpinan pondok menggantikan ayahnya
yang “hilang”, setelah menyusuri jejak masa lalu ayahnya yang “hilang” tak pernah diketahuinya.
B. Wujud Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme
1. Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme
a. Wujud Nilai Religius
Religiusitas merupakan nilai yang berkaitan dengan kemungkinan ultim atau sejati manusia. Kemungkinan ultim atau sejati di sini menurut persepsi manusia
Jawa, adalah perjumpaan dan atau bersatu dengan Tuhan. Perjumpaan dan persatuan itu mengimplikasikan adanya keterikatan manusia dengan Tuhannya, atau kekuatan
gaib yang dianggap kudus dan suci. Hal ini menunjukkan bahwa pada tataran paling sederhana nilai religius ini hanya berkenaan dengan keterikatan manusia pada
kekuatan gaib yang dianggap kudus dan suci. Di sini kultus dapat berkembang subur. Pada masa sekarang ini pada umumnya nilai religius disangkutkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 128
dimensi rohani-nurani atau lubuk hati manusia Jawa kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam hal ini lebih berurusan dengan dimensi rohani-
nurani atau lubuk hati manusia, bukan peraturan-peraturan formal agama yang melembaga. Oleh kaum mistikus khususnya sufi Jawa dan penganut kehidupan
asketis Jawa, keterikatan tersebut secara sadar memang benar-benar diartikan sebagai
manunggaling kawula lan Gusti
, atau
pamoring kawula Gusti,
sebuah perjumpaan dan persatuan dengan Tuhan baik secara transenden maupun imanen
wahdat al syuhud
dan
wahdat al wujud
. Perjumpaan dan persatuan ini diyakini dapat dicapai dengan jalan tarikat. Sedangkan bagi orang-orang biasa, maksudnya orang Jawa yang
hidup dan kehidupan mistis dan asketis, tetapi hidup bermasyarakat sebagaimana umumnya- keterikatan tersebut diartikan sebagai keterikatan dan kebergantungan
abadi atau permanen kepada Tuhan Yang Maha Esa. Teks novel Hubbu, dalam batas-batas tertentu menjadi eksposisi religiusitas
orang kecil dan santri di tengah pusaran budaya Jawa pesisiran yang sedang menghadapi tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangan modernitas. Pengarangnya
mencoba menampilkan ketahanan dan kelenturan religiusitas orang kecil dan santri di tengah modernitas yang menerpa secara tidak terelakkan. Hal ini tampak antara
lain pada gambaran Jarot sebagai tokoh utama yang sedari kecil dalam kehidupan sehari-harinya sudah akrab dengan lafadz Al-Quran. Dapat dikatakan bahwa
kehidupan Jarot berada di antara lingkaran lafadz-lafadz Al-Quran. Hal ini tampak pada beberapa penggalan berikut.
“Hapalannya sudah bisa?” Tanya si ibu. Si anak cukup tersenyum, lalu menghambur ke luar. Untuk berangkat ke
sekolah, ia cukup melaluinya lewat emperan rumahnya sendiri, lalu emperan rumah bibinya, dan sampailah ia di sekolah. Ia pun menyebut pengasuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 129
sekolah itu dengan sebutan Mbah. Jarot terbiasa menyebut sekolahnya Sekolah Arab, madrasah.
“
Nashara yanshuru nasran …”
Jarot langsung tancap hapalan di hadapan seorang Ustad Ruba,i, namanya. Mashuri, 2007:21
“
Qaala Muhammadun huwabnu maliki, ahmadu rabbillaha khoiro maliki.”
Seingat Jarot ia pernah menenggelamkan bait itu ke lubuknya, juga bait-bait lanjutannya yang termaktub dalam
Alfiyah
. Ketika itu usianya sudah belasan tahun. Deret bait sebanyak 1002 itu memang harus dihapal di luar
kepala dari awal sampai akhir. Mashuri, 2007: 22
Pelajaran Bahasa Arab sudah dimulai. Aku duduk di barisan belakang. Aku berusaha menyimak sebentar, tapi segera merasa jemu. Aku melihat
dosen pengajar yang menuliskan
alip-alipan
sederet huruf hijaiyah di papan tulis, lalu dibaca serentak seisi ruangan:
aiu, babibu, tatitu, tsatsitsu….
Begitu rampung, dosen menunjuk secara acak mahasiswa untuk membaca sendiri.
Mashuri, 2007: 16
Dapat dikatakan bahwa hidup dan kehidupan Jarot berada di lingkaran lafadz- lafadz seperti itu meskipun tidak berarti dia sudah meninggalkan kehidupan yang
melewati batas standar moralitas umum, misalnya minum-minuman beralkohol, atau berdua dengan perempuan yang bertelanjang di sebuah kamar vila, bahkan
berhubungan intim sebelum menikah. Hal ini tersirat dalam kutipan berikut. “Teguh, masih ingat saat Jarot gak mau minum beralkohol saat pertama
kali nimbrung ke kita?” Tanya Puteri kepada Teguh. “Nunggu tiga bulan, ia baru mau minum beralkohol. Tapi setelah itu ia
jagonya. Meski semua botol ludes, ia masih kuat. Bahkan, untuk sekelas bir biasa dan arak beras, ia rajanya,” seru Teguh. Mashuri, 2007: 67
Seperti juga saat Jarot sedang berada di vila bersama teman-temannya. Seperti dalam penggalan berikut.
Begitu membuka pintu kamar, pemandangan yang terpampang sudah bisa kuduga. Meski demikian, pemandangan itu membuatku terpaku di
ambang pintu. Kulihat tubuh Puteri terhampar di ranjang, tepat di depanku, tanpa selembar benang. Ia tergolek dan menatapku dengan mata yang
demikian meminta. Aku ingat perkatannya tempo hari: tak ada kucing yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 130
menolak daging, sehingga pada dinihari ini ia ingin menyodorkan daging langsung ke mulut kucing. Mashuri, 2007:68
…. Suatu malam, yang aku tak tahu pasti itu kapan, Agnes tidur di rumah kontrakan ayahmu. Pagi harinya, ayahmu mendapati dirinya setengah
telanjang, sedangkan Agnes sudah terbaring di sampingnya. Ayahmu shock ketika menyadari dirinya demikian. Apalgi Agnes juga bugil dan tubuhnya
hanya terlindung oleh sprei yang dijadikan selimut.Mashuri, 2007:165
Nilai religius juga digambarkan oleh Mashuri dalam teks novel Hubbu adalah nilai religius Jawa orang kecil,
wong cilik
, yang bersumber pada paham kepercayaan dan mistisisme Jawa,
kejawen,
meskipun secara formal sudah dilekatkan pada agama Islam. Agama Islam yang dipeluk tokoh Wak Tomo tidaklah mengubah religiusitas
kejawen Wak Tomo secara formatif maupun substantif, baik moral maupun ritual. Kejawenlah yang tetap mendominasi religiositas Wak Tomo sebagai tokoh
sampingan dalam novel Hubbu. Dalam istilah Marbangun Hardjowirogo, nilai religios Jawa yang dihayati dan diikuti oleh Wak Tomo tersebut bersumber pada
Islam abangan, yaitu Islam yang sudah berpadu dengan anasir animisme dan Hindu. Dalam perspektif tertentu, teks novel Hubbu juga merepresentasikan
eksposisi religiusitas orang-orang kecil yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh Wak Tomo sebagai orang kampungdesa di wilayah budaya pinggiran, yaitu Lamongan
yang jauh dari pusaran budaya Jawa Mataram-Islam. Dalam teks novel Hubbu, digambarkan keterikatan penduduk desa Alas Abang yang sedang dalam proses
perubahan dan perbenturan religiusitas. Keterikatan tersebut pada kekuatan- kekuatan gaib alam semesta, roh-roh halus, dan roh-roh leluhur yang mereka anggap
kudus, suci, yang menentukan dan menguasai hidup mereka. Hal ini tersirat dalam penggalan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 131
Dari Wak Tomolah aku kenal tentang Jawa dari sisi yang berbeda, lebih pada soal yang berbau klenik, atau sebenarnya bukan klenik, tetapi warga
desa menyebutnya demikian, aku diajari
patigeni, ngebleng, mutih, ngalong
juga berbagai hal termasuk juga ilmu-ilmu Jawa. Mashuri, 2007:41 Penggalan di atas menunjukkan bahwa nilai religius yang dilakukan Wak
Tomo lebih menekankan atau mengutamakan segi ortopraksis agama Islam yang sinkretis daripada ortopraksis agama yang sintetis dan agama Islam yang puristis.
Tampaknya hal ini bagi Wak Tomo, yang hanya orang kecil, bukan masalah dan tidak perlu dipermasalahkan hingga meninggalnya anasir animisme, Hindu, dan
Islam tetap melekat dalam dirinya. Hal ini tampak jelas dalam kutipan berikut. Pergulatanku secara akrab dengan Wak Tomo memang tak sampai satu
tahun. Tetapi ada satu hal yang masih tetap mengganjal, yakni soal Sastra Gendra. Sampai Wak Tomo wafat, ia belum sempat mengucap satu patah
kata saja sebagai kunci untuk mengetahui ungkapan yang pernah ia sebutkan: sebagai puncak pencapaian laku dan pengetahuan manusia di bumi. Mashuri,
2007:41
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa titik labuh akhir keterikatan manusia Jawa kepada Tuhan Yang Maha Esa bersumber pada agama
Islam. Hal ini dapat dilihat dari bukti yang menunjang, bahwa
Sastra Gendra sebagai puncak pencapaian laku dan pengetahuan manusia di bumi.
Kalimat tersebut setidaknya merupakan pengartian bahwa pada akhirnya manusia akan
kembali kepada Tuhannya seperti halnya lafadz yang berbunyi
Inna lillahi wa inna ilaihi raji,un, sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan
jua semua bakal kembali.
Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa Islam abangan yang diikuti oleh Wak Tomo tidak perlu dipermasalahkan. Dikatakan demikian karena secara
ontologis Islam abangan dan Islam puritan sama-sama mengajarkan keterikatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 132
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam abangan hanya merupakan suatu tahap penghayatan dan pelaksanaan keberagaman seseorang atau sekelompok orang yang
secara transformatif dapat meningkat ke arah Islam puritan. Tidak hanya Wak Tomo, Jarot sebagai tokoh utama dalam novel
Hubbu
kiranya juga mengalami perbenturan religiusitas meski ia dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang tentu saja sangat puritan terhadap Islam. Pergaulan dan
persinggungannya dengan orang-orang di luar pesantren menjadikan Jarot tak bisa menghindar dari sinkretis meski ia tetap terikat kepada Islam. Hal ini tampak pada
saat Jarot mempelajari mantra pengasihan untuk mendapatkan seorang gadis dan ilmu tentang kesempurnaan hidup sebagai manusia Jawa yaitu
Sastra Gendra
Hayuninngrat Pangruwating
Diyu
. Hal ini dapat dilihat dalam dua kutipan berikut ini.
“Mas Jarot, mau aji mantra pengasihan?” perkataan Jabir masih terngiang jelas di telingaku.
“Mungkin saat ini Mas Jarot belum membutuhkan, tetapi lain kali pasti membutuhkan. Cewek pasti mabuk, begitu melihat Mas,” tukasnya.
Tanpa kusuruh, ia langsung menuliskan apa yang ditawarkannya di buku catatan pelajaranku. “
Ingsun amatak ajiku si jaran guyang, teteger tengahing pasar,, gagamane cemethi, sada lanang saka swarga, sun sabetake gunung
gugur, segara asat, bumi bengkah, sun sabetake langit butul kang langit sap pitu, sun sabetake atine si jabang bayi …..teka welas teka asih andeleng
badhan sliraku, manut muturut sakarepku.”
Dan sekali baca aku langsung bisa menghapalnya. Aku langsunng lafalkan tanpa melihat teks di
hadapannya. “Mas Jarot cocok” tegasnya. Mashuri, 2007:40
Pada penggalan teks di atas tampak jelas penggambaran religiusitas Jawa dalam bayang-bayang modernitas, maksudnya religiositas Jawa itu diletakkan dalam
konteks ruang dan waktu modern. Secara khusus, dalam dua penggalan teks di atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 133
digambarkan usaha mencari keselamatan dan kesempurnaan hidup manusia Jawa dengan jalan mengikuti atau melakukan kehidupan mistis dan asketis secara sengaja.
Pengkultusan terhadap orang-orang yang dianggap kudus dan suci misalnya tampak pula pada penggambaran wafatnya mbah Kyai Adnan, pendiri sekaligus
pemilik pondok pesantren di desa Alas Abang yang memiliki kharisma dan ilmu
linuwih
yang sangat dihormati oleh penduduk setempat maupun penduduk di sekitar tetangga desa. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang kecil Desa Alas Abang
hidup di bawah bayang-bayang kultus, terutama kultus mbah Kyai Adnan, seorang yang memimpin Desa Alas Abang dari desa brandal ke desa santri lebih dari enam
puluh tahun. Mashuri mencoba mentransformasikannya ke dalam religiusitas yang monoteistis, dalam hal ini religiusitas Islam. Hal ini tampak tergambar dalam dua
penggalan berikut. Tampak orang-orang mulai bergerak. Mungkin jenazah Mbah segera
diberangkatkan. Benar juga, ternyata Mbah sudah mulai diberangkatkan ke masjid desa untuk disalati bersama. Jaraknya tak lebih dari 100 meter dari
rumah. Selama orang menyalati Mbah, aku merasa terpaku sendiri di langgar, tetap bersandar di bawah jendela kamar santri, berada di sebelah kiri langgar.
Aku lama di sana. Bahkan dari corong masjid aku mendengar salat jenazah sudah mencapai 100 gelombang berjamaah. Mashuri, 2007:
Hari itu Desa Alas Abang banjir air mata. Mbah Kiai Adnan wafat. Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamaah, akhirnya jenazah
Mbah Kiai Adnan di berangkatkan ke peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Banyak orang berebut membawa
keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. Gerakanya demikian cepat. Pelayatnya ditaksir ribuan, seperti
supporter sepak bola yang memadati sebuah pertandingan tim kesayangan. Mashuri, 2007:28
b. Wujud Nilai Ketauhidan