Konsep Sinkretisme sebagai Aspek Sosial Budaya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 67 amanat di dalam cerita novel tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Koentjaraningrat 1984:41 bahwa nilai budaya biasanya mendukung tema dan amanat di dalam cerita. Lebih lanjut, Koentjaraningrat menyatakan bahwa nilai budaya merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap paling bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman aturan dalam masyarakat. Nilai budaya yang biasanya mendorong pembangunan adalah tahan menderita, gotong royong, bekerja keras, toleransi terhadap kepercayaan orang lain Djamaris, 1990:3.

c. Konsep Sinkretisme sebagai Aspek Sosial Budaya

Perkembangan sastra Indonesia, seperti yang sudah dipaparkan di muka, baik prosa atau puisi pada dasarnya bersumber atau mengarah pada dua sisi. Sisi yang pertama mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan yang bersumber dari barat, dan sisi yang kedua kecenderungan pengarang yang lebih menyukai menggali akar etnis sendiri timur sebagai sumber kreasi. Pada sisi pertama yang mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan dari barat, menampakkan pula isi dan konsep pandangan hidup yang merupakan hasil pencarian, penggalian, dan pergumulan pengarang terhadap pemikiran modern, sehingga melahirkan karya prosa yang bernafaskan filsafat-filsafat barat. Ini tampak misalnya pada novel-novel Budi Darma, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, hingga novelis muda seperti Jenar Maea Ayu, Dinar Rahayu, Dee Dewi Leatari. Karya Jenar dan Dinar banyak mempersoalkan gender, seksualitas, dan feminitas, yang semuanya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 68 merupakan buah dari persinggungan konsep barat. Sementara itu, pada sisi kedua, muncul karya-karya yang berbau etnis atau kedaerahan yang dapat ditemui pada struktur, bahasa, atau pada ruh novel tersebut. Hal itu tampak pada karya-karya Umar Kayam, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, juga pada novelis muda seperti Oka Rusmini yang novel-novelnya menonjol latar sosiologis daerahnya, Raudal Tanjung Banua, Nukila Akmal yang kental dengan warna Ternate, sedang Oka Rusmini kental dengan persoalan Bali. Sejak terbitnya buku Primitive Cultural 1891 karya Tylor, konsep-konsep spiritual, agama, dan pandangan kolektif masyarakat telah menjadi perhatian utama teori antropologi budaya. Di antara persoalan-persoalan utama di dalam diskusi antropologi mengenai spiritual dan agama yang berkisar pada masalah-masalah pandangan dan sifat-sifat ketuhanan atau kepercayaan, hubungan-hubungan logis dan historis antara mitos, kosmologi, dan ritual, serta sikap-sikap hidup atas dasar agama kepercayaan serta hubungannya dengan domain-domain kebudayaan lainnya. Tylor dan Frazer berpendapat bahwa spiritualitas adalah sistem pandangan atau konsep hidup yang menjelaskan orde dunia dan tempat manusia di dalamnya. Pandangan- pandangan tersebut lebih lanjut diterangkan oleh Skorpsi dalam Woodward, 1999:34 sebagai pendekatan literalis terhadap nilai-nilai keyakinan, kepercayaan, atau agama. Sebagai seorang manusia dan pengarang, tentunya Mashuri dengan karya Hubbu yang dihasilkan terikat dengan sistem budaya di Indonesia sebagai lingkungan globalnya dan kebudayaan Jawa sebagai lingkungan lokalnya. Karya fiksinya, disadari atau tidak, merupakan produk dari proses sejarah kehidupan yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 69 sudah terus berlangsung, sebagai sebuah proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh pengarang serta masyarakat tempat karya itu berada. Budaya Jawa yang dijadikan sumber penciptaan dapat berupa a sistem lambang budaya Jawa, misalnya bahasa, seni, sastra, sejarah, dan mitos Jawa, b sistem sosial budaya Jawa, misalnya organisasi sosial, sistem stratifikasi sosial, dan status sosial Jawa, c sistem material budaya Jawa, misalnya arsitektur Jawa, perabotan, makanan, pakaian. Sastrawan yang diasuh di lingkungan kebudayaan Jawa telah mempergunakan hal-hal tersebut sebagai sumber penciptaan karyanya baik berupa wacana puisi maupun prosa. Pada awal perkembangannya, sejarah kebudayaan Jawa Indonesia terbentuk dan diramu dari sinergi dan asimilasi dari berbagai spiritualisme kebudayaan timur, yang di kemudian hari menghasilkan perkembangan dan pertumbuhan gagasan- gagasan dan tradisi-tradisi intelektual baru, yang tetap dapat dirunut dengan nilai- nilai atau pandanngan-pandangan dasar dari tradisi besar yang terlibat. Menurut Woodward 1999:26 kebudayaan Jawa dan Indonesia pada skala global mengalami transformasi setidaknya dalam dua tahapan. Pertama, selama introduksi Hindu dan Budha India dan kedua dengan masuknya Islam pada abad ke-15 dan 16. Introduksi nilai-nilai spiritual HinduBudha masuk melalui teks literer master peace India yakni Ramayana dan Mahabharata yang pada perkembangan selanjutnya menurunkan lakon-lakon carangan versi Hindu Jawa yang berbeda dengan versi aslinya dari India. Sedangkan masuknya pandangan dan nilai-nilai spiritual Islam selain melalui ajaran dakwah pedagang Islam dan Wali, juga melalui teks-teks literer yang memuat ajaran-ajaran sufistik yang juga menginspirasi lahirnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 70 teks-teks literer Jawa yang berbau sufistik pula yang dapat ditemukan pada Serat Wirid Hidayat Jati , Suluk Wijil , Pepali Ki Ageng Selo , dan lain-lain. Proses masuknya unsur-unsur spiritual dan simbolisme Hindu-Budha ke dalam tradisi Jawa sama seperti Islam di Timur Tengah menyerap unsur-unsur tradisi Hellenistik. Persoalan yang utama bukan apakah sistem budaya yang sudah ada asli memasukkan elemen-elemen ’asing’, melainkan bagaimana menafsirkan elemen-elemen itu. Di Jawa proses konvensi terjadi begitu sempurna. Oleh karenanya masuknya pandangan spiritual budaya HinduBudha ke dalam unsur- unsur ”pribumi” hampir-hampir tidak diakui. Pengasimilasian ”tradisi-tradisi besar” juga terjadi begitu sempurna, sehingga tidak lagi bisa diidentifikasi mana pandangan spiritual HinduBudha dan mana yang ”asli” Jawa, sedangkan masuknya Islam di Jawa, terutama sekali dengan bagaimana doktrin-doktrin, simbol-simbol HinduBudha ditafsir ulang sehingga dengan cara-cara yang ”cerdas” berhasil mengislamkan bangunan besar tradisi HinduBudha secara keseluruhan, yang kemudian dikenal dengan istilah ”sinkretis”. Meskipun prosesnya bukan berarti tanpa konflik. Konflik terjadi pada masa surut Majapahit dengan berdirinya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Pengamatan yang tajam akan melihat bahwa kecenderungan yang paling menonjol dalam budaya Jawa bukanlah kecenderungan sinkretik yang berupa kecenderungan atau semangat untuk membangun suatu sistem kepercayaan termasuk agama baru dengan menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari sistem-sistem kepercayaan yang telah ada. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 71 Bahkan menurut penilaian para pujangga, berdirinya kerajaan Demak dipandang sebagai zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman Kebudan tradisi Hindu-Budha ke zaman kawalen Islam. Pemahaman masyarakat mengenai keberadaan Walisongo banyak berasal dari dongeng secara turun-temurun. Tak ayal banyak pula bagian dari cerita tersebut sebenarnya hanya budaya masyarakat setempat 2010:2. Peralihan ini tidak mesti bermakna pembuangan dan pergantian tradisi seni budaya, namun bersifat pengislaman atau penyesesuaian dengan suasana Islam. Penyesuaian ini pada akhirnya melahirkan bentuk-bentuk peralihan berupa sinkretisme antara warisan budaya animisme-dinamisme, Hinduisme dan unsur- unsur Islam. Bentuk perpaduan ini sering disebut sebagai dengan istilah Islam- Kejawen atau sering disingkat dengan kejawen saja. Dengan demikian mulailah ada dua variasi dalam kalangan umat Islam di Jawa, yakni varian santri dan abangan. Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakar Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual Zaini Muchtarom, 1988:6. Pertemuan, persilangan, dan pensinergian antara HinduBudha, Islam dan Jawa pada akhirnya menghasilkan benang-benang merah kesamaan pandangan dan konsep kehidupan yang mencerminkan konsep spiritual timur atau filosofis timur. Konsep ini berkaitan dengan persoalan eksisitensi Tuhan, eksistensi manusia dan hubungannya dengan alam semesta, sikap hidup dan pengalaman mistis yang bersifat sinkretis yang pada akhirnya mempengaruhi sikap dan pandangan hidup manusia perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 72 Jawa. Perilaku religius yang akomodatif ini banyak menimbulkan pertanyaan seperti unsur-unsur prinsip apa saja yang saling bersinkretis, sejauh mana unsur-unsur budaya Jawa itu mewarnai Islam dan begitu sebaliknya, sejauh mana unsur-unsur Islam mempengaruhi budaya Jawa, dengan cara apa dan pada tingkat apa proses sinkretis itu terjadi. Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih saling bertemu. Sebagai misal pertemuan antara Islam dan Hindu India yang kemudian melahirkan religiusitas baru yang bernama agama Shikh. Dalam konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretis dalam masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu, Budha, Kristen atau Katolik. Dalam studinya tentang agama Islam asli Indonesia, J.W.M. Bakker 1976:217 mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak bisa menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Hal serupa terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian yang cukup berbeda secara mencolok seperti tersebut di atas. Sehubungan dengan hal itu, di Jawa, penyebaran Islam berhadapan dengan dua jenis kekuatan lingkungan budaya. Pertama, budaya para petani lingkungan bawah yang merupakan bagian terbesar, yang hidup bersahaja dengan adat-istiadat yang dijiwai oleh religi animisme-dinamisme. Kedua, budaya istana yang merupakan tradisi agung dengan unsur-unsur filsafat Hindu-Budha yang memperkaya dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 73 memperhalus budaya dan tradisi lapisan atas. Kalau lingkungan budaya pedesaan yang merupakan tradisi kecil masih didominasi tradisi lisan, maka kaum priyayi dalam lingkungan istana mengembangkan tradisi tulisan dengan memanfaatkan sastra keagamaan Hindu-Budha. Budaya kaum priyayi ini merupakan sinkretisme yang bersifat sangat kompleks. Dari unsur-unsur klenik yang serba magis-animis hingga unsur-unsur mitologis-mitis yang halus tergabung menjadi semacam bangunan yang rumit dan kompleks. Adanya penggolongan antara santri dan abangan atau kejawen didasarkan pada perbedaan agama Islam Jawa yang bersifat 1 sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur Pra Hindu, Hindu Islam, serta Islam, 2 agama Islam yang puritan atau yang mengikuti ajaran Islam secara taat. Golongan ini disebut dengan santri. Geertz 1983:7 menyatakan bahwa santri adalah pemeluk agama Islam yang taat, yang pada umumnya terdiri atas pedagang di kota dan petani yang berkecukupan. Agama Islam bagi orang santri tidak sama sekali bebas dan ke luar dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha. Hal ini dapat diketahui dari aktivitas mereka dalam melakukan upacara siklus kehidupan, yaitu kelahiran, khitanan, pernikahan, serta kematian. Orang-orang yang termasuk dalam golongan santri ada yang menjadi anggota gerakan yang berorientasi pada kerohanian yang berpusat di pesantren. Menurut Koentjaraningrat 1984:407 gerakan-gearkan tersebut diklasifikasikan dalam 1 gerakan yang titik beratnya pada mistik, 2 gerakan puritan yang berpedoman pada kembalinya masyarakat keagamaan yang bersifat murni, dan keyakinan serta tradisi Islam, 3 gerakan-gerakan yang berpedoman pada kegiatan- kegiatan ilmu gaib dan ilmu dukun. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 74 Sementara golongan abangan atau kejawen adalah golongan Islam abangan yang walaupun tidak menjalankan salah satu rukun Islam, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Geerz 1983:8 menyatakan bahwa abangan menitikberatkan pada aspek animisme dan sinkretisme Jawa secara keseluruhan dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Berkaitan dengan yang dinyatakan Geerz dengan batasan tersebut, Koentjaraningrat 1984:311 menyatakan bahwa mereka tidak dapat dikatakan orang beragama Islam dan yang tidak menghiraukan agama, sebab sebenarnya agama yang mereka anut adalah suatu varian dari agama Islam Jawa Islam Abangan , yaitu Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Agami Jawi yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud Islam sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan,penyatuan, pengkombinasian, dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995:2. Karena terjadi proses penyelarasan maka pemeluk sistem prinsip yang baru hampir dapat dikatakan tidak mengalami ‘ spit personality’ , sehingga tidak terjadi rasa bermusuhan. Bahkan yang terjadi adalah rasa aman karena para pemeluk sistem baru menemukan sesuatu yang lebih sreg dan cocok, terutama pada tingkat religiusitas yang tidak terlalu terikat dengan peratura-peraturan baku. Heddy Shri Ahimsa Putra 1995:2 berpendapat bahwa, dengan adanya sinkretisasi berbagai prinsip yang berbeda di dalam kelompok dalam suatu penafsiran baru yang lebih komprehensif justru kemudian dapat dipertemukan berbagai sistem ajaran dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 75 pandangan yang berbeda dan mendapatkan tempat berpijak bersama untuk hidup berdampinngan tanpa harus saling merendahkan. Berdasarkan konteks sejarah perkembangan agama di Indonesia, maka sangat bisa dipahami bahwa proses sinkretisasi seolah merupakan peristiwa yang tak terhindarkan, karena masing-masing titik religius bersinggungan dalam konteks yang tidak terlalu beda. Bila agama asli menekankan kepercayaan pada ruh dan kekuatan gaib, maka Hindu mengajarkan dewa-dewa. Bila Budha mengajarkan laku batin pelepasan penderitaan, maka Islam mistis mengajarkan kepasrahan pada Tuhan dengan cara berpaling pada hal-hal duniawai. Proses sinkretisasi dalam Islam abangan bisa dilihat dalam dua tingkat, yaitu pada tingkat sistem keyakinan dan tingkat sistem ritual. Klasifikasi ini juga digunakan oleh Koentjaraningrat 1984:319 dalam melihat sistem Islam abangan secara umum. Sistem Islam abangan sebagaimana sistem budaya pada umumnya juga terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat keyakinan dan tingkat ritual. Dalam Islam abangan juga terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan, nilai tentang Tuhan dan Nabi, tokoh-tokoh keramat, kosmologi, dan eskatologi. Sementara itu berbagai keyakinan dan pandangan ini termanifestasi dalam serangkaian ritual seperti slametan, sesajen, ngruwat atau bersih dusun. Golongan abangan juga meyakini konsep-konsep keagamaan lain, seperti percaya pada kekuatan gaib serta kekuatan sakti, melakukan berbagai ritual dan upacara keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Islam yang resmi. Di samping itu, mereka juga tertarik memahami kesusatraan mistik dan moral serta perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 76 pustaka-pustaka klasik tentang moralitas dan kesusilaan, misalnya Serat Wulang Reh, Sastra Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu . Tak jarang mereka juga membaca buku dengan rona Islam seperti serat Menak, syair suluk, dan primbon. Orang-orang abangan juga mengenal banyak sekali tokoh orang yang dikeramatkan antara lain guru-guru agama dan tokoh sejarah. Mereka juga mengenal tokoh-tokoh setengah historis yang dikenal melalui kesusastraan babad, dan tokoh- tokoh mitologi dalam pewayangan. Mereka juga mempercayai roh nenek moyang yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya atau yang telah menetap di makam. Menurut Koentjaraningrat 1984:335 orang Jawa pada umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus roh atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Dari hal ini lahirlah adat nyekar yaitu mengunjungi orang yang telah meninggal. Nyekar merupakan salah satu aktivitas keagaamaan yang dianggap penting dalam sistem religi golongan abangan. Seperti yang dikatakan Simuh 2003:41 bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib. Fenomena ini mirip dengan fenomena ritual Islam abangan, terutama slametan. Slametan atau wilujengan merupakan upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritual yang dilakukan oleh golongan abangan. Menurut Koentjaraningrat 1984:347 ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis. Yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan. Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 77 memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekadar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat, hal ini bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian, yaitu pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu. Slametan dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus, disakralkan. Seperti kelahiran, kitanan, perkawinan, dan kematian, pindahan rumah, berganti nama, sakit, mimpi buruk, panen, dan lain-lain semua bisa dimulai dengan slametan. Ritual yang juga dilakukan oleh Islam abangan adalah nyadran . Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah aatau Sya’ban sesudah tanggal lima belas hingga menjelang bulan puasa di bulan Ramadhan. Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran , menurut Karkono Kamajaya Partokusumo 1995:246 telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku yang lain di luar Jawa. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakartagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni yang dipimpin para bhiksu Budha. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik zaman kawalen Islam adalah masih tetap mempertahankan tradisi Hindu-Budha, termasuk juga tradisi animisme-dinamisme dengan diperkaya dan disesuaikan dengan suasana Islam. Ciri lain yang tampak adalah penonjolan simbol-simbol atau lambang- perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 78 lambang. Hal ini mungkin bersebab orang Jawa pada masa itu belum terbiasa berpikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih bersifat konkret. Dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara berganda. Hal lain dimungkinkan karena berkait dengan ajaran mistik yang memang sulit dijabarkan dengan jelas dan lugas, maka diungkapkan secara simbolis atau ungkapan-ungkapan yang bermakna ganda. Di samping itu, ciri yang menonjol adalah kepercayaan atas suratan nasib kodrat alam, takdir Tuhan dan ramalan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan falsafah mistik yang mempercayai adanya orang-orang terpilih wali Allah yang mampu menyingkap rahasia gaib dan mampu mengetahui suratan nasib yang telah digariskan Tuhan. Wali Allah adalah orang keramat dan suci, mengerti rahasia gaib dan sesuatu yang bakal terjadi semacam weruh sakdurunge winayah . Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur yang lain. Sementara menurut Simuh 1988:2, sinkretis adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 79 Pandangan sinkretis adalah bagaimana rohani seseorang dapat memahami hal-hal yang ada di balik dunia yang tampak, sehingga manusia dapat meraih nilai- nilai yang lebih tinggi dari nilai-nilai moral. Konsep spiritual HinduBudha, sufi Islam atau Jawa, sepakat bahwa hidup merupakan suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud. Pencarian ini dilakukan tidak dengan ilmiah melainkan pada kepekaan rasa yang bertumpu pada penghayatan religius berupa sikap pasrah kepada Tuhan. Tuhan dalam pandangan spiritual timur merupakan tempat dan tujuan manusia untuk kembali karena semua yang ada adalah fana kecuali Dia, “yang ada adalah tiada kecuali sang Ada’. Dalam tradisi sufistik Islam manusia adalah perahu atau kapal menuju pada Tuhannya. Dalam konsep Jawa bahwa Tuhan merupakan sangkan paraning dumadi awal dan akhir kejadian. Hal tersebut paralel pula dengan konsep Hindu bahwa tujuan utama manusia adalah moksartam jagathita kebahagiaan lahir dan batin dengan bersatunya Atman dan Brahman. Dengan demikian Tuhan dalam spiritual Timur merupakan pintu masuk sekaligus tujuan untuk memahami dan masuk dalam realita indah dan sempurna, “ jamal wa kamal” , “ ngudi kasampunan-kasunyatan, mulih mulanira” atau “ moksa” . Kalau Tuhan bersifat mutlak, manusia dalam konsep spiritual Timur pada hakikatnya ‘benda mati’ yang tidak berarti di hadapan-Nya. Manusia tidak berbeda dengan benda-benda alam semesta. Bahkan kandungan persepsi manusia yang bersifat langsung hanya mampu mencakup jasmani sekelilingnya. Melalui bentuk- bentuk inderawi itu barulah manusia dapat memahami serba sedikit bentuk-bentuk halus dan hakikat rohani. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 80 Dalam konsep spiritual timur, manusia mempunyai tiga dimensi yang dialami dan dihayati: dimensi raga, dimensi jiwa, dan dimensi sukma. Dengan ketiga dimensi tersebut manusia dapat menghayati tiga lingkungan hidupnya: lingkungan hidup lahir, lingkungan hidup batin, dan lingkungan hidup gaib. Ketiga lingkungan hidup itu dialami dan dihayati sebagai suatu kesatuan dan keterikatan dengan semesta yang disebut jagad gedhe dan jagad cilik mikro kosmos dan makro kosmos, yang dalam spiritual Hindu disebut sebagai buwana alit, buwana ageng, atau dalam ungkapan sufi dikatakan alkaunu insanun kabirun wal insani kaunun shogiron alam semesta adalah manusia besar, dan manusia adalah alam kecil. Spiritual Hindu-Budha, Jawa dan Islam sepakat bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang lemah dan hina yang terdiri dari dua bagian: riil dan irriil immaterial. Bagian riil merupakan jasad kasar atau bagian kebendaan yang didampingi oleh bagian halus yang berupa nafsu yang terdiri dari empat anasir, yang di dalam konsep sufisme Islam dikenal empat nafsu: lauwamah, amarah, mutmainah, dan supiah, yang dalam konsep Jawa disebut sebagai sedulur papat, sekawan kang arsa binekas. Nafsu lauwamah merupakan nafsu keserakahan, angkara murka dan egoisme. Nafsu amanah merupakan sumber perbuatan kasar, berani dan tersinggung, nafsu supiah merupakan sumber keinginan, kehendak, dan cinta birahi. Nafsu mutmainah merupakan sumber ketenangan dan ketentraman. Nafsu-nafsu ini menurut spiritual timur meski dikendalikan. Sedangkan dalam filsafat sangkya Hindu dijabarkan dalam purusha prakti , membebaskan diri dari ikatan dan belenggu alam dunia Woodward, 1999:34-35. Lebih lanjut Ciptoprawiro 1995:51 menjelaskan bahwa spiritualisme timur perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 81 tidak menanyakan ”apakah” karena dengan pertanyaan itu manusia dijadikan objek terpisah dari manusia yang bertanya, atau rasio manusia memisahkan dirinya dari subjek dengan mengadakan distansi. Eksistensi manusia diasumsikan sebagai kenyataan diri dengan pertanyaan ”dari mana asalnya , ke mana akhirnya”. Spiritualisme Timur berpandangan bahwa Tuhan bersifat mutlak dan imanen- transenden. Dalam bahasa sufistik Islam dikatakan bahwa Dia Tuhan praeksistensinya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada. Kekekalan-Nya mendahului adanya; jika engkau berkata ’bagaimana’ maka esensi- Nya terselubung dari pemerian; jika engkau bertanya ’di mana’ maka adanya Dia mendahului ruang, Dia ada di luar dan ada di dalam, dekat dan jauh, yang bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, dan tindakannya tanpa upaya Kalabadzi, 1990:32. Menurut Edi Sedyawati 1993:54 Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan dalam Islam mistis, didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata, dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap kesempurnaan. Dalam spiritual Jawa dirumuskan sebagai: Dzat tan kena kinayangapa, cedhak datan sinenggolan, adoh tanpa wangenan. Yang bermakna, dzat yang tak dapat dibayangkan, dekat tapi tak dapat disentuh juga jauh tak terbayangkan. Dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 82 konteks Hindu dikatakan sebagai hana tan hana, wyapi wipika, ekam sawitra bahuda wadanti , yang berati wujud yang ada tapi tak ada, ada dan hadir di mana-mana, ke- Esaannya disebut dengan bermacam-macam nama. Seperti yang tertulis dalam Wirid Hidayat Jati dalam Simuh, 1988:283, kang amnesthi rumuhun piyambak, kala taksih awing-uwung salaminipun ing kahanan kita. Artinya bersifat satu, yang terdahulu sendiri, pada waktu keadaan kita masih dalam kehampaan kosong. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya Jawa sebagai nilai budaya Timur dapat diwujudkan dalam empat wujud nilai, yaitu: 1 nilai religius, 2 nilai filosofi, 3 nilai estis, dan 4 nilai estetis.

d. Hermeunetik sebagai Tafsiran Teks Sastra