Wujud Nilai Ketauhidan Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 133 digambarkan usaha mencari keselamatan dan kesempurnaan hidup manusia Jawa dengan jalan mengikuti atau melakukan kehidupan mistis dan asketis secara sengaja. Pengkultusan terhadap orang-orang yang dianggap kudus dan suci misalnya tampak pula pada penggambaran wafatnya mbah Kyai Adnan, pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren di desa Alas Abang yang memiliki kharisma dan ilmu linuwih yang sangat dihormati oleh penduduk setempat maupun penduduk di sekitar tetangga desa. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang kecil Desa Alas Abang hidup di bawah bayang-bayang kultus, terutama kultus mbah Kyai Adnan, seorang yang memimpin Desa Alas Abang dari desa brandal ke desa santri lebih dari enam puluh tahun. Mashuri mencoba mentransformasikannya ke dalam religiusitas yang monoteistis, dalam hal ini religiusitas Islam. Hal ini tampak tergambar dalam dua penggalan berikut. Tampak orang-orang mulai bergerak. Mungkin jenazah Mbah segera diberangkatkan. Benar juga, ternyata Mbah sudah mulai diberangkatkan ke masjid desa untuk disalati bersama. Jaraknya tak lebih dari 100 meter dari rumah. Selama orang menyalati Mbah, aku merasa terpaku sendiri di langgar, tetap bersandar di bawah jendela kamar santri, berada di sebelah kiri langgar. Aku lama di sana. Bahkan dari corong masjid aku mendengar salat jenazah sudah mencapai 100 gelombang berjamaah. Mashuri, 2007: Hari itu Desa Alas Abang banjir air mata. Mbah Kiai Adnan wafat. Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamaah, akhirnya jenazah Mbah Kiai Adnan di berangkatkan ke peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Banyak orang berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. Gerakanya demikian cepat. Pelayatnya ditaksir ribuan, seperti supporter sepak bola yang memadati sebuah pertandingan tim kesayangan. Mashuri, 2007:28

b. Wujud Nilai Ketauhidan

Usaha jarot dalam meraih ketangguhan kekukuhan spiritual dengan jalan zuhud dijalani Jarot dengan rela meninggalkan identitas pembebasan ke atas, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 134 semacam relevasi, meskipun tidak seratus persen. Pembebasan ke atas dalam arti selalu terikat oleh hanya Tuhan dan bukan selain-Nya. Dengan pembebasan ke atas dan bukan pembebasan ke bawah Jarot yakin dirinya akan memiliki ketangguhan spiritual-religius dengan dasar tauhid, iman, dan ketakwaan. Nilai ketauhidan ini merupakan nilai yang dihayati oleh Jarot yang hidup di tengah-tengah berbagai perubahan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Jarot mulai bisa memahami arti dari ilmu yang diajarkan Wak Tomo tentang kasampurnaning urip , yang bisa jadi bersumber pada tasawuf Jawa, terutama kehidupan tanpa keterikatan agar mencapai ketiadaan. Intisari ilmu tersebut adalah mengusahakan diri agar menjadi bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan tak apa-apa. Jika diri berhasil mencapainya, maka berarti diri mencapai kekosongan tetapi penuh isi. Hal ini terlihat pada saat Jarot mengikuti ujian di Perguruan Tinggi dan mendapatkan nilai A karena memang dia sudah belajar ilmu tersebut sejak masih kanak-kanak di pondok kakeknya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Jarot hanya tersenyum. Ia tak terkejut. Tetapi hasil itu semakin mengukuhkan keyakinannya: sebuah awal sebagai dasar dari sebuah akhir. Meski dalam menempuh proses pembelajaran itu, ia berawal dari kosong, dan berakhir pula pada kosong, karena ia tak menggayuh ilmu sedikit pun dari sang dosen, toh ia bukan kosong tak berisi. Bahkan dalam kekosongan itu Jarot menemukan kepenuhan. Kepenuhan isi yang dia patri dari awal. Mashuri, 2007:114 Kesadaran tauhid tidak diterima begitu saja dan diresapkan dalam hati, kesadaran tauhid tumbuh dan berkembang berdasarkan perenungan atas berbagai peristiwa dan pengalaman hidup dan kehidupan yang relatif panjang dan pengha- yatan keberagaman dalam kenyataan hidup dan kehidupan. Hal ini tampak pada kesadaran tauhid Jarot yang tumbuh dan berkembang berdasarkan perdebatan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 135 batinnya tentang Sastra Gendra yang menyimpan banyak rahasia tentang kesem- purnaan sebagai manusia,bukan berdasarkan laku tarekat dan agama secara langsung. Rasa penasaran yang tinggi menimbulkan pertanyaan –pertanyaan dan gugatan-gugatan sekaligus keyakinan-keyakinan ketauhidan. Di sini kesadaran ketauhidan tumbuh berdasarkan pencarian penemuan diri. Kesadaran tauhid Jarot bukan hanya berdasar laku tarekat dan warisan leluhur yang sudah jadi, melainkan didapat juga melalui pencerahan diri atau batin. Bagi Jarot tampaknya kesadaran tauhid bukan hanya yang diterima dari nenek moyangnya dan ritus kehidupan asketis yang sudah jadi, melainkan juga dicari, ditemukan dari pergulatan batin dengan ilmu yang lain. Kutipan panjang ini merupakan relung-relung renung kesadaran tauhid Jarot. Lalu bagaimana denngan makna Sastra Gendra yang mengusiknya, bukankah itu juga menyoal tentang awal dan akhir, sebuah sangkan paran , sebuah proses dari ada ke tiada dan sebaliknya? “Aku tak mengerti masalah itu. Bisa juga sebagai awal sekaligus sebagai akhir,” tegasnya, masih pada dirinya sendiri. “Dan aku belum menemukan intinya, hanya sekedar peristilahan dan hanya sekelumit arti harfiah tanpa arah. Aku belum mengerti, aku masih butuh keseimbangan untuk mengetahuinya sampai ke akar-akarnya. Pesoalan ini tak kutuntaskan, ketika hatiku masih terpaut pada gelar duniawi, pada diri sendiri, pada api yang tersimpan di sanubari. Aku masih sebuah gunung, yang terlalu angkuh untuk mencecap soal hal ihwal. Pelajaranku belum sampai dan aku masih seorang Begawan Wisrawa yang masih bisa mabuk oleh sintuh perempuan. Meski telah merasa mengetahui segala hal ihwal, tetapi pengetahuan itu masih berhenti pada pikiran, selalu ditampik oleh kesadaran”. Jika sudah demikian, Jarot merasa penglihatannya semakin kabur. Kabut seakan menghalanginya untuk menapaktilasi jejak-jejak orang-orang yang ia kagumi, baik itu jejak Mbah Adnan maupun Wak Tomo atau siapa saja yang pernah mematrikan ingatan dan magis kata-kata di lubuk hatinya. Terkadang fatamorgana pun menghalanginya karena sejak itu seakan membekas di padang pasir luas, kering-kerontang dan panas. Mashuri, 2007:114-115 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 136 Sudah sejak masih kanak-kanak Jarot menemukan kesadaran tauhidnya dengan mencari dan menemukan dari pergulatan diri dan pengalaman hidupnya yang panjang. Tampak pada kutipan panjang berikut. Aku memang sering main-main ke kali di belakang pondok untuk mancing atau mencari ikan. Aku merasa ada panggilan dari kali itu yang tak bisa aku tepis. Aku ke sana tidak hanya sekedar bersenang-senang, tetapi untuk mengakrabi ikan-ikan dan air yang mengalir. Aku merasa begitu banyak pelajaran yang bisa aku petik dari aliran sungai itu. Aku merasa teduh dan damai. Terlebih dari itu, Mas Amin, aku merasa mendapatkan teman berbincang yang baik. Di sana, aku bisa bercakap dengan seorang lelaki tua yang juga berprofesi sebagai pemancing ikan. Lelaki tua itu kerap mengajariku banyak hal. Bahkan, kadang aku merasa belum waktunya mendapatkan pengetahuan itu. Tetapi karena ia berbicara tanpa henti, aku pun menyimak dan mengambil hikmahnya. Soal pelajarannya, aku tak bisa mengungkapkannya, Mas, karena aku telah berjanji padanya, bahwa pelajaran itu hanya untuk diriku sendiri. Setelah itu Mbah wafat dan ia tak pernah muncul lagi. Aku sendiri tidak tahu rumahnya di mana dan namanya siapa. Eh, ternyata ia seorang pencari ikan dan mengaku memiliki rumah di sekitar kali itu. Jadi aku sering berjumpa dengannya bila bermain-main di sana. Ia juga pernah mengingatkan pertemuan yang pertama di rumah Mbah, sehingga aku bisa mengakrabinya. Mas Amin, terhitung sudah tujuh kali, kami bertemu. Ia sendiri mengaku, akan menemuiku sembilan kali, agar apa yang diungkapkannya sempurna di hatiku. Aku benar-benar tidak paham, Mas Amin, dengan apa yang diungkapkannya. Tetapi aku merasa dipaksa paham. Aku hanya mengikuti apa yang dititahkannya. Aku menganggapnya guru, karena ia sudah memberikan demikian banyak pelajaran dan pengetahuan kepadaku. Pengetahuan yang tidak akan pernah aku dapat dari mana dan dari siapa pun, kecuali darinya. Mashuri, 2007:120-121

c. Wujud Nilai Keimanan