Unsur-Unsur Novel Hakikat Novel

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 23 tema tambahan; 5 kepaduan dalam cerpen lebih mudah tercipta, sedangkan dalam novel lebih sulit karena novel biasanya terdiri dari beberapa baris sehingga sulit mencari kepaduan dalam novel. Burhan Nurgiyantoro membagi unsur instrinsik novel menjadi beberapa unsur, yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Foster 1980:19 membagi unsur novel menjadi enam, yaitu: 1 cerita; 2 manusia; 3 plot; 4 khayalan; 5 ramalan; dan 6 irama. Unsur-unsur cerita, manusia, khayalan, dan ramalan dapat mewakili istilah yang lebih populer yaitu: jalan cerita, karakterisasi, suspense , dan foregrounding . Dalam cerita fiksi ditambahkan ramalan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa yang akan datang. Sementara Boulton 1984:29-45 membagi struktur novel menjadi enam, yaitu: 1 point of fiew; 2 plot; 3 character; 4 percakapan; 5 latar dan tempat kejadian; dan 6 tema. Melengkapi beberapa pendapat tentang struktur novel, Jakob Sumardjo 1982:11 menyebutkan bahwa struktur novel terdiri dari: 1 plot atau alur; 2 karakter atau penokohan; 3 tema; 4 setting atau latar; 5 suasana; 6 gaya; 7 sudut pandang penceritaan.

c. Unsur-Unsur Novel

Berikut ini dijabarkan beberapa unsur instrinsik sebagai pembangun novel yang berkaitan dengan pengkajian sosiologis, budaya, dan resepsi sastra. 1 Tema Tema adalah pengejawantahan ide pengarang. Sebuah tema karena itu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 24 seringkali diformulasikan sebagai ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan sebuah karya fiksi. Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, maka tema yang diusung di dalamnya menjadi sangat beragam, seberagam permasalahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tema dalam karya fiksi dapat berupa persoalan moral, agama, sosial, politik, hukum, cinta, serta masalah-masalah kehidupan. Kenney dalam Herma J. Waluyo, 2009:11 menyebut tema sebagai “ the meaning of the story” , dengan penjelasannya: “ Theme is not closely approach the meaning of the moral of story, it is not the subject, it is not what people have in mind when they speak of what the story really means, not what the story illustrates” . Jika Kenney menyebut tema bukan moral cerita, bukan subjek, dan bukan sebuah hidden meaning , makna tersembunyi, maka tema dinyatakan sebagai “ theme is meaning the story releses; it may be the meaning the story discovers. By theme we mean the necessary implications of the whole story, not a saparable part of a story” . Pemahaman tema tidak akan dapat dicapai tanpa memahami keseluruhan cerita secara holistis, secara bulatutuh. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto 1986:142, tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan- perbedaannya. Di samping itu, penentuan tema juga harus mendasarkan pada pengertian bahwa kebermaknaan sebuah cerita yang secara khusus menerangkan yang sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana Stanton, 1965:21. Akhirnya, tema itu bersinonim dengan apa yang oleh Stanton disebutkan dengan ide perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 25 utama central of idea dan tujuan utama dari cerita itu sendiri central purpose . Tema dalam sebuah novel dapat diungkapkan melalui banyak cara, seperti lewat dialog antartokoh, melalui konflik yang dibangun, atau melalui narasi dan komentar langsung dari pengarangnya. Di sini pengarang diuji keberhasilannya dalam menyampaikan dan mengemas tema dari upaya menyeleksi dan merekam kejadian yang ada di masyarakat. Penggolongan tema menurut Herman J. Waluyo 2009:12 dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu: 1 tema yang bersifat fisik; 2 tema organik; 3 tema sosial; 4 tema egoik reaksi pribadi; 5 tema divine tema ketuhanan. Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, politik, ekonomi, adat, tatacara dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual. Sedangkan tema devine Ketuhanan menyangkut renungan yang bersifat relejius yang menghubungkan manusia dengan penciptanya. Adapun penggolongan tema menurut Burhan Nurgiyantoro 1998:77 dibedakan ke dalam: 1 tema tradisional dan nontradisional; 2 penggolongan tema yang didasarkan pada tingkat pengalaman jiwa menurut Shippley, dan 3 penggolongan tema dari tingkat keutamaannya tema utama dan tema tambahan. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 26 berbagai cerita. Tema tradional biasanya dapat dinyatakan dalam pernyataan- pernyataan sebagai berikut: 1 kebenaran dan keadilan selalu mengalahkan kejahatan; 2 tindak kejahatan meski ditutup-tutupi akan terbongkar juga; 3 tindak kejahatan atau kebenaran masing-masing akan memetik hasilnya; 4 cinta sejati menuntut pengorbanan; 5 kawan sejati adalah kawan di masa duka; 6 setelah menderita orang baru mengingat Tuhan; 7 berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya. Simpulannya, menurut Meredith dan Fitzgerald 1972:6, tema tradisional itu selalu bermuara pada rentangan antara kebenaran dan kejahatan. Shippley 1962:417 mengungkapkan beberapa tingkatan tema yang didasarkan pada pengalaman kejiwaan. Tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut: Tema tingkat fisik man as molecul, tema fiksi dalam tingkat ini lebih banyak pada banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, yang menekankan pada mobilitas fisik daripada psikologis yang dikembangkan dalam teks cerita. Tema tingkat organik man as protoplasm , tema jenis ini lebih mengarah pada persoalan seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Dalam banyak problem kehidupan seksual manusia mendapat penekanan pada karya fiksi. Tema tingkat sosial man as socious manusia dipandang sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, karena itu merupakan wahana manusia dalam berinteraksi secara maksimal. Dalam kehidupan itulah muncul banyak konflik dan muncul problem sosial yang sering diangkat menjadi tema dalam novel. Tema tingkat egoik, manusia dipandang sebagai individu man as individualism . Persoalan individualitas itulah, seringkali mengilhami pengarang dalam melahirkan novel sebagai karya fiksi. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 27 Masalah individualisme ini menyangkut masalah: egoisitas, martabat, harga diri, sikap, maupun sikap tertentu yang berkait dengan individualitas seseorang. Tingkatan tema terakhir adalah tema tingkat devine . Manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang tidak semua orang dapat mencapainya. Masalah yang menonjol dalam cerita fiksi adalah komunikasi intensif manusia dengan sang Khaliq-Nya. Dalam karya-karya inilah nilai sufistik dan relegiusitas mencapai titik puncak. Sebuah pengungkapan gambaran, visi, dan keyakinan yang adiluhung. Pengelompokan terakhir adalah tema mayor tema utama dan tema minor tema tambahan. Tema mayor adalah tema yang menyaran pada tema pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dalam pengembangan cerita di dalam novel; sedangkan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu peristiwa, tema yang demikian dimaksudkan sebagai tema tambahan. Stanton 1965:27 mengemukakan langkah-langkah menafsirkan tema sebagai berikut: Pertama , menafsirkan tema dalam karya fiksi mestinya mempertimbanngkan setiap detil yang ada dalam cerita utamanya yang menonjol. Parameter ini merupakan yang paling urgen. Sebab, identifikasi terhadap persoalan yang menonjol dalam cerita fiksi umumnya menunjukkan bagaimana cerita dikembangkan dari konflik-konflik yang dibangun pengarang. Karena, detil-detil itu akan mencakup pada pusaran masalah utama. Sebuah muara cerita yang harus ditelusuri secara intensif. Kedua , penafsiran sebuah tema dalam karya fiksi mestinya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Peristiwa dn fakta yang diangkat tidak akan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 28 memberikan detail yang bertentangan dan saling kontradiksi dalam menjalin kebulatan tema. Ketiga , penafsiran tema mestinya tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang kurang akurat tidak baik penyajiannya baik langsung maupun tidak langsung. Sebab, tema cerita tidak bisa hanya mendasarkan pada perkiraan pembaca saja, sebaliknya harus melalui proses kajian yang intensif. Keempat , penafsiran dalam karya fiksi mestinya mendasarkan pada bukti- bukti yang secara langsung ada di dalam cerita. Parameter ini mempertegas bahwa penetapan tema haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang ada dalam cerita, baik langsung maupun tidak langsung. Kesimpulan yang diambil karenanya tidak boleh bertentangan dengan bukti dan fakta-fakta yang ada. Berpijak pada beberapa pendapat para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tema novel pada hakikatnya adalah gagasan dasar dalam sebuah novel. Dan dari tema inilah dari sudut pandang pengarang digunakan sebagai kompas pemandu dan pengembangan sebuah cerita. Sebaliknya, sebagai pembaca justru harus dirunut dari segala sudut dan aspek dari cerita yang didasarkan pada komponen fiksi yang membangunnya. 2 Tokoh dan Penokohan Kata penokohan merupakan kata jadian dari kata tokoh, yang berarti “pelaku”. Dengan demikian , pengertian tokoh merujuk pada aktor yang ada dalam cerita fiksi. Berbicara tentang penokohan berarti merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan tokohnya, juga berbicara tentang cara-cara perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 29 pengarang dalam menampilkan pelaku melalui sifat, sikap, dan tingkah laku pemain dalam novel. Dalam bahasa Jones 1968:33 penokohan dimaksudkan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita fiksi; sedangkan menurut Stanton 1968:, istilah perwatakan itu sendiri merujuk pada dua konsep yang berbeda: 1 sebagai tokoh–tokoh yang ditampilkan, dan 2 sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki para tokohnya. Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi berfungsi untuk memainkan cerita, di samping juga untuk memainkan ide, motif, plot, dan tema yag sedang diangkat oleh pengarangnya. Semakin berkembang aspek psikologisnya, semakin mengukuhkan pentingnya kajian menarik berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam cerita fiksi. Menjadi alasan penting akan peranan tokoh-tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan pengarang Jakob Sumardjo, 1986:63. Konflik-konflik yang terdapat dalam cerita fiksi mendasari plot yang pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari peran dan karakter para tokohnya. Penokohan merupakan salah satu unsur novel yang menggambarkan keadaan lahir maupun batin seorang tokoh atau pelaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pelukisan pelaku dapat dilaksanakan dengan menceritakan keadaan fisik dan psikis pelaku. Dalam menampilkan tokoh cerita, pengarang dapat melakukan dengan cara analitik, dramatik, dan gabungan antara keduanya. Cara analitik digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menguraikan sifat-sifat pelaku secara langsung. Sementara itu, dramatik ialah cara yang dipergunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menampilkan pelaku dalam: melukiskan tempat atau perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 30 lingkungan pelaku; melukiskan dialog antara pelaku dengan pelaku, atau dialog pelaku lain tentang pelaku utama; menampilkan pikiran-pikiran pelaku atau pendapat pelaku lain tentang pelaku utama; dan menceritakan tingkah laku setiap pelaku. Cara lain yang dipergunakan pengarang dalam menampilkan pelaku atau penokohan adalah dengan: a Physical description , yaitu melukiskan bentuk lahir para pelaku; b Portrayal of thought stream or consious tought , yaitu melukiskan jalan pikiran para pelaku; c Reaction to events , yaitu melukiskan reaksi pelaku terhadap kejadian yang ada; d Direct to author analysis , yaitu pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku; e Discussion of environtment , yaitu pengarang menggambarkan keadaan yang ada disekitar para pelaku; f Reaction of others to-character , yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama; g Conversation of other about character , yaitu pengarang melukiskan percakapan pelaku lain mengenai pelaku utama Tasrif dalam Mochtar Lubis, 1983:11. Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiganya biasanya digunakan bersama- sama. Ketiga cara tersebut adalah: 1 metode analitis yang oleh Hudson 1963:146 disebut metode langsung dan oleh Kenney 1966:34 disebut metode deskriptif atau diskursif; 2 metode tidak langsung yang juga disebut metode peragaan atau dramatisasi; dan 3 metode kontekstual menurut Kenney 1966:36. Dalam metode analitis atau deskriptif atau langsung, pengarang secara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci analitis. Deskripsi tentang diri sang tokoh itu dapat secara fisik keadaan fisiknya, dapat secara psikis perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 31 wataknya, dan dapat juga keadaan sosialnya kedudukan dan pangkat yang lazim adalah ketiga-tiganya. Metode tidak langsung atau metode dramatik kiranya lebih hidup daripada metode deskriptif. Pembaca ingin diberi fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita dan tidak perlu dibeberkan tersendiri oleh pengarang. Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Metode kontekstual adalah metode menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Jika seorang diberi julukan “buaya” misalnya, maka tokoh itu mempunyai watak yang dapat diwakili oleh perkataan buaya itu. Jika ia digambarkan sebagai “ular” atau “tikus” atau “keong” atau “rajawali” atau “banteng” maka sebenarnya pengarang menggambarkan watak tokoh melalui karakter binatang tersebut. Penggambaran watak itu mungkin secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokoh sindiran tersebut. Kebanyakan cerita rekaan menggunakan tiga metode sekaligus. Namun demikian, banyak juga yang didominasi oleh salah satu metode saja. Penokohan dan perwatakan memiliki keterhubungan yang jalin-menjalin karena pada dasarnya penokohan yang menggerakkan tema dan membentuk alur. Tokoh digunakan sebagai penunjuk pelaku atau orang yang mengemban cerita sedangkan istilah penokohan lebih untuk memberikan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan dalam cerita. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita Herman J. Waluyo, 2009:27 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 32 Menurut Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:165, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan memiliki cakupan pengertian yang lebih luas yaitu siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana memberikan penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Aminuddin 1987:79 berpendapat bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu menjalin sebuah cerita Lewat tokohlah pengarang menyampaikan gagasan, pandangan hidup, idiologi, pikiran, dan perasannya. Itulah sebabnya tokoh dalam fiksi novel haruslah tampak hidup, alamiah natural, dalam istilah Suminto A. Sayuti 2000:68 memiliki lifelikeness “kesepertihidupan”. Sehingga dengan lifelikeness tersebut dapat menghubungkan dengan pembaca karena tokoh dalam novel akan menuntun pembaca pada pengalaman hidup yang dimiliki yang tidak hanya terbatas pada persamaan-persamaan tetapi juga pada perbedaan-perbedaan mendasar dari watak tersebut. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa pengarang harus mampu secara konsisten membangun watak tokoh-tokohnya sejak kemunculannya dalam cerita sampai pada cerita tersebut berakhir. Jika plot atau alur merupakan roh dari sebuah fiksi, maka aspek tokoh dalam fiksi pada prinsipnya merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Ketika membaca novel sangat jarang pembaca mempertanyakan apa yang terjadi kemudian, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 33 tetapi mempertanyakan “peristiwa yang terjadi kemudian itu menimpa siapa.” Watak tokoh hendaknya memiliki hubungan dengan elemen cerita yang lain yang mengukuhkan keterjalinan, seperti plot, setting, tema, dan sebagainya. Keterjalinan ini tidak berhenti pada elemen cerita saja tetapi juga harus memiliki keterjalinan hubungan dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Kehadiran tokoh lain tokoh antagonis akan mempertajam kekuatan konflik dalam cerita. Herman J. Waluyo 2009: 28 menyatakan, bila salah satunya lebih kuat, maka akan terjadi penurunan tingkatan konflik cerita. Seperti yang diungkapkan Kenney : “ …. Character in fiction must attend to relationship between character and the other element of the story, and between character and story as a whole. Character mus be considered as part of the story’s internal structure ” Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh. Menurut Burhan Nurgiyantoro 2002:165 penokohan diartikan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wellek dan Werren 1989:288 menyatakan bahwa ada dua macam penokohan yaitu penokohan statistetap dan penokohan dinamis atau berkembang. Penjelasan tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa suatu peristiwa akan hidup jika keterlibatan tokoh ada di dalamnya. Wellek dan Warren 1989:287 memberi penjelasan bahwa cara paling sederhana menggambarkan perwatakan tokoh dengan memberi nama, setiap sebutan adalah sejenis memberi kepribadian, menghidupkan. Ditinjau dari keterlibatannya, Suminto A. Sayuti 2000:74 membedakan tokoh menjadi dua, yaitu: tokoh utama dan tokoh pariferal atau tokoh tambahan atau bawahan. Tokoh utama sebagai tokoh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 34 sentral biasanya mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam kemunculannya. Lebih jauh Suminto A. Sayuti memberikan gambaran bahwa tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu: pertama, tokoh yang paling dominan terlibat dalam makna atau tema. Kedua, tokoh tersebut yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh tersebut yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sementara itu, Herman J. Waluyo 2009:28-30 membedakan tokoh dengan menyebut tokoh protagonis dan antagonis sebagai tokoh sentral, tokoh andalan, dan tokoh bawahan. Disebutkan bahwa tokoh protagonis dan antagonis sebagai tokoh sentral yang kehadirannya mendominasi keseluruhan cerita. Yang merupakan kebalikan tokoh sentral Herman J. waluyo menyebutnya dengan tokoh bawahan atau tokoh sampingan, tokoh bawahan hanya ditempatkan sebagai latar belakang saja dalam fungsinya, sedangkan tokoh bawahan yang dapat diandalkan disebut sebagai tokoh andalan. Pembagian watak tokoh dikemukakan pula oleh Shanon Ahmad dalam Herman J. Waluyo, 2009: 29 yang membagi watak tokoh menjadi dua, yaitu: tokoh bulat round character dan tokoh pipih flat character . Lebih jauh dijelaskan bahwa tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih, sedangkan tokoh pipih adalah tokoh yang memiliki watak sederhana. Suminto A. Sayuti 2000:89 menjelaskan bahwa penggambaran watak tokoh bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan cara analitik dan dramatik, dengan metode langsung dan tak langsung, dengan metode telling atau uraian dan showing atau ragaan, ada pula yang menempuh cara dengan metode diskursif, dramatik, kontekstual, dan campuran. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 35 Dalam menilai karakter dan perwatakan para tokoh dalam novel dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan tokohnya. Identifikasi tersebut mendasarkan pada “konsistensi atau keajegan. Keajegan tersebut mencakup: keajegan sikap, perilaku, moralitas, dan pola pikir dalam memandang dan memecahkan masalah. Sementara itu, Aminuddin 1987:80-81 memberikan gambaran bagaimana memahami watak tokoh dengan menelusuri lewat cara: Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya. Gambaran pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaian. Dapat dilihat dengan 1 bagaimana perilakunya, 2 bagaimana tokoh tersebut berbicara dengan dirinya sendiri, 3 memahami bagaimana jalan pikiran tokoh, 4 bagaimana tokoh laian berbicara tentang dirinya. 5 bagaimana tokoh lain berbicara dengan dirinya, 6 bagaimana tokoh lain memberikan reaksi terhadap dirinya Penulis akan menggunakan cara seperti yang dikemukakan Aminuddin dalam membuat analisis penokohan novel Hubbu . Karena penelitian ini menggunakan tinjauan sosiologis maka penulis juga akan menggunakan pembagian tiga dimensi karakter dari pendapat yang dikemukakan Harymawan 1988:25-26 yaitu: Dimensi fisiologis, yang mengarahkan pada ciri-ciri badani fisik. Misalnya, usia, tingkat kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka. Dimensi sosiologis, yaitu latar belakang kemasyarakatan. Misalnya, status sosial, pekerjaan, jabatan,peran dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, kepercayaan, agama, idiologi, aktifitas sosial, organisasi, hobby, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan. Misalnya, mentalitas, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 36 ukuran moral, temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, dan keahlian khusus. 3 Plot Alur Cerita Alur cerita dalam kajian fiksi tidak dapat dipandang remeh. Penguasan alur menjadi kunci penting karena hanya melalui alurlah, peristiwa dapat dirunut dan hubungan antar tokoh dapat ditelusuri lebih intensif. Menurut Zainuddin Fanani 2001:93 ,alur sendiri secara umum dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg dalam Zainuddin Fanani, 2001: 93 menyebut alur sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan dan dialami oleh pembaca. Kenney 1966:13-14 menyatakan bahwa: “ plot reveals event to us, not only in their temporal, but alsorelationship. Plot makes us aware of event not marely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of couse and effect” . The structure of plot to recocnize this much, however. Is only a beginning. We must concide in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to teke. For. Underflying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” . Struktur alur, secara tradisional sebagaimana yang diungkapkan Petronius dalam Zainuddin Fanani, 2001:93 mencakup tiga bagian penting, yaitu: 1 expocition setting forth of beginning ; 2 conflict a complication that moves to climax; dan 3 denoument literally, :unknotting” , the outcome of the conflict; the resolution . Sementara Crane 1957:63, memberikan pandangan lain bahwa pemahaman terhadap alur harus didasarkan pada keterkaitannya dengan elemen lain perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 37 seperti karakter, diksi, maupun proses naratifnya. Lebih dari itu hubungan peristiwa yang ada di dalam sebuah cerita fiksi harus diletakkan dalam rangkaian sekuen kausalitas hubungan sebab akibat, hubungan perkembangan karakter pelaku, hubungan dengan latar, dan penempatan atau penyusunan dari rangkaian peristiwa itu sendiri. Lebih jauh Crane memberikan tiga dasar prinsip dalam analisis plot, yakni: 1 plot of action ; 2 plot of character ; dan 3 plot of thought . Plot of action mencakup proses perubahan peristiwa yang lengkap baik yang muncul secara bertahap maupun mendadak pada situasi yang dihadapi oleh tokoh utama. Dalam analisis ini juga dijelaskan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh yang bersangkutan dalam menghadapi situasi. Plot of caracter , mencakup proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan; sedangkan plot of thougth merujuk pada proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi. Adapun jenis-jenis plot dapat dikatagorikan ke dalam kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatannya. Pengelompokan yang didasarkan urutan waktu membedakan ke dalam dua katagori utama, yaitu: 1 plot kronologis, dan 2 plot tak kronologis. Plot kronologis sering disebut dengan plot lurus, maju, atau plot progresif; sedangkan plot tak kronologis disebut dengan plot sorot balik, mundur, atau flas back, dan regresif. Plot kronologis adalah jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu bersifat kronologis. Artinya peristiwa pertama diikuti peristiwa- perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 38 peristiwa selanjutnya, runtut dari tahap awal, tengah, dan akhir. Tahap awal mencakup bagaiman membuat situasi dengan pengenalan dan pemunculan konflik. Tahap tengah mencakup konflik yang mulai meningkat, kemudian membangun klimaks. Sedangkan tahap akhir, mengarah pada bagaimana menyelesaikan konflik dan persoalan yang dimunculkan dalam cerita fiksi. Plot progresif menggambarkan bagaimana urutan kejadian yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Artinya, cerita diawali dengan konflik klimaks, kemudian baru bagian-bagian penyelesaiannya yang bisa berangkat dari tahap awal cerita. Selain kedua jenis plot tersebut, masih dikenal apa yang disebut dengan plot campuran. Pencampuran alur yang digunakan pengarang bisa saling tindih dan seringkali menjadi tampak rumit ketika dibaca. Dalam cerita plot yang digunakan bisa hanya plot kronologis, tetapi tidak menutup kemungkinan penggunaan plot campuran bisa dipadupadankan. Menurut Stevick 1967:157 pembedaan plot yang didasarkan pada jumlah, melahirkan pengelompokan plot ke dalam: 1 plot tunggal dan 2 subplot. Pembedaan plot yang didasarkan pada kriteria kepadatan melahirkan pembedaan ke dalam: 1 plot padat dan 2 plot longgar; sedangkan pembedaan plot yang didasarkan pada kriteria isi melahirkan: 1 plot peruntungan plot of fortune ; 2 plot tokohan plot of character ; 3 plot pemikiran plot of though . Plot peruntungan berkait erat dengan cerita yang mengungkapkan nasib atau peruntungan seorang tokoh cerita. Plot tokohan mengacu pada sifat pementingan tokoh, yang menjadi fokus perhatian. Oleh sebab itu, plot tokohan ini lebih menyorotkan perhatian pada keadaan daripada peristiwa-peristiwa yang melatarinya, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 39 atau yang berurusan dengan pemplotan. 4 Setting Pelataran Dalam cerita fiksi, setting merupakan salah satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting. Elemen ini bisa menentukan situasi umum sebuah cerita fiksi. Setting merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diciptakan. Stanton dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998:216 mengelompokkan setting ke dalam tokoh dan plot, ke dalam fakta cerita fiksi, sebab ketiganya yang akan diimajinasikan oleh pengarang. Dalam bahasa Burhan Nurgiyantoro, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita. Tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan. Menurut Kenney 1966:4 membagi penyusunan setting menjadi empat, yaitu: 1 the actual geographical location, including topographi scenery, event the details of a room’s interior; 2 the accupations and modes of day to day existence of the characters; 3 the time in which the action takes plece, e.g, historical period, season of the year; 4 the relegious, moral, intellectual, social, and emotional environment of the characters. Unsur latar atau katagori latar selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi: 1 setting tempat; 2 setting waktu; dan 3 setting peristiwa. Yang dimaksud dengan latar tempat yaitu merujuk pada tempat-tempat baik eksplisit maupun implisit, sebagai tempat terjadinya peristiwa dalam cerita fiksi. Latar tempat, karenanya dapat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 40 dikatakan latar fisik phishycal setting . Sementara setting waktu lebih merujuk pada saat waktu terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi sedangkan setting peristiwa sosial yang melatari peristiwa-peristiwa lainnya. Latar peristiwa maupun sosial, tampaknya lebih merujuk apa yang oleh Kenney disebut dengan latar spiritual spiritual setting . Latar jenis ini termasuk ke dalam tata cara, adat-istiadat, idiologi, dan sebagainya yang dapat dikatagorikan sebagai setting spiritual spiritual setting . 5 Sudut Pandang Abrams 1967:249 menyatakan bahwa sudut pandang atau point of view adalah sebuah cara cerita dikisahkan. Ini cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana penyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah fiksi. Sementara Booth dalam Burhan Nurgiyantoro, 1998:249 memberikan batasan sudut pandang sebagai teknik yang digunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Sudut pandang oleh Stevik 1967:85 disamakan dengan apa yang disebut dengan pusat pengisahan focus of naration . Burhan Nurgiyantoro 1998:249 membedakan sudut pengisahan ini dalam dua katagori, yaitu: persona pertama, first person , gaya ber-“aku”, dan persona ketiga, third-person , gaya ber-“dia”. Lebih jauh Burhan Nurgiyantoro mengelompokkan sudut pandang ke dalam dua kelompok. Pertama, sudut pandang persona ketiga, yaitu “Dia”, pada sudut pandang ketiga ini cara pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona ketiga. Gaya dia, narator adalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 41 seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama tokoh, atau kata gantinya: ia, dia, mereka, dan lain-lain. Sudut pandang dia, dapat dibedakan lagi ke dalam “dia” yang serba tahu, dan “dia” yang bersifat terbatas, hanya sebagai pengamat saja. Dia yang serba tahu disebut juga dengan istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator, atau autor omniscient. Narator yang mengetahui segala-galanya berkait dengan banyak hal yang dilakukan tokoh-tokohnya. Pada teknik ini “dia yang serba tahu” tak hanya mampu melaporkan tetapi juga memberikan komentar dan menilai sebebas-bebasnya seolah tidak ada yang perlu disembunyikan tentang tokoh yang diketahuinya. Menurut Stanton 1965:62 “Dia” terbatas, hanya sebagai pengamat, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan, dan dirasakan oleh tokoh dalam cerita yang hanya pada tokoh utama atau seorang tokoh saja. Pada sudut pandang terbatas ini sering juga digunakan teknik narasi aliran kesadaran sream of conciousness dengan menyajikan kepada pembaca pengamatan- pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pemikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan. Gaya bercerita semacam ini lebih bersifat objektif sehingga sering disebut sebagai objective point of view atau objective narration . Tugas pengarang dalam hal ini sebagai pengamat, observer . Oleh karena itu, hanya melaporkan sesuatu yang dialami tokoh-tokohnya. Sudut pandang berdia sering disebut dengan sudut pandang eksternal, sedangkan beraku disebut sebagai sudut pandang internal. Sudut pandang persona pertama “aku” dapat mengisahkan berbagai peristiwa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 42 dan tingkah laku yang dialami baik yang bersifat psikologis maupun yang berhubungan dengan sesuatu yang dialami di luar dirinya. Karena si Aku menjadi sentral cerita maka bisa mendudukkan dirinya sebagai pelaku protagonis, sehingga pembaca bisa masuk ke dalam lakuan, sikap, dan kepribadian tokoh aku dengan mengidentifikasikan dirinya. Sementara itu, Shipley dalam Herman J. Waluyo, 2009:37 membagi sudut pandang menjadi dua, yaitu: 1 internal point of view dan 2 external point of view . Internal point of view ada empat macam, yaitu: 1 tokoh yang bercerita; 2 pencerita menjadi salah seorang pelaku; 3 sudut pandang akuan; 4 pencerita sebagai tokoh akuan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk eksternal ada dua jenis, yaitu: 1 gaya diaan; dan 2 penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. Simpulan dari beberapa pendapat di atas adalah bahwa sudut pandang dalam cerita fiksi menjadi sesuatu yang sangat penting. Karenanya pengarang sebelum menuliskan karya fiksinya harus terlebih dahulu menentukan sudut pandang yang dipilihnya tetapi juga harus mengambil pilihan terhadap sudut pandang tertentu. 6 Gaya Bercerita Analisis dan kajian terhadap gaya bercerita biasanya dimaksudkan untuk menemukan unsur-unsur keindahan berbahasa dalam pengukuhan efek estetis yang diakibatkan. Dalam melakukan kajian dan analisis diksi dalam cerita fiksi, Burhan Nurgiyantoro 1998:291 memberikan gambaran sebagai berikut, dalam melakukan identifikasi kata dapat ditempuh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: 1 Kata yang dipergunakan sederhana atau kompleks?; 2 Kata dan ungkapan formal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 43 atau kolokial, artinya kata-kata baku, bentuk dan makna, ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk menggunakan dialek?; 3 kata atau ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam karya fiksi Indonesia apakah menggunakan kata dan ungkapan dari bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya Jawa dan asing?; 4 Bagaimanakah arah makna kata yang ditunjuk, pakah bersifat referensial atakah asosiatif, denotasi ataukah konotasi?. Identifikasi selanjutnya didasarkan pada kajian tataran kalimat yang dipandu dengan cara-cara berikut: 1 kompleksitas kalimat, yang merujuk pada sederhana ataukah kompleks struktur kalimat yang digunakan?; 2 jenis kalimat, yang merujuk pada jenis kalimat apakah yang digunakan: kalimat deklaratif kalimat yang menyatakan sesuatu, kalimat imperatif kalimat yang mengandung makna perintah atau larangan, kalimat interogatif kalimat yang mengandung pertanyaan; 3 jenis klausa dan frase, yang merujuk pada klausa dan frase apa sajakah yang menonjol, sederhana ataukah kompleks? Unsur style menurut Abrams 1981:63 yang berwujud retorika dapat mencakup penggunaan bahasa figuratif figurative language dan wujud pencitraan imagery . Bahasa figuratif dibedakan menjadi: 1 figures of thought atau tropes, yaitu penggunaan unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna harfiah, artinya lebih merujuk pada makna literal, dan 2 figuras of speech, berkaitan dengan permainan struktur, persoalan penguraian kata. Pemajasan figurative of thought merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 44 yang mendukungnya, tetapi pada makna yang ditambahkan. Sebuah makna tersirat, bukan tersurat. Gaya bahasa seperti personifikasi, simile, metafora, dan lain-lain merupakan contoh yang dapat dipahami. Penyiasatan struktur, merupakan rujukan pada bangunan struktural yang me- nonjol, mungkin suatu bentuk penyimpangan yang mungkin disengaja oleh pengarangnya untuk memperolah efek tertentu untuk mendapatkan efek estetis dan efek terhadap pembaca. Penggunaan pengulangan kata, frase, atau kalimat maupun pemakaian repetisi, paralelisme, anafora dan sebagainya adalah penyiasatan struktur. Pencitraan merupakan citraan yang dilakukan pengarang untuk menggambarkan respon indera baik secara harfiah maupun kiasan. Citra menurut Burhan Nurgiyantoro 1998:304, menyebutkan citraan ke dalam lima jenis citraan, yaitu: 1 citraan penglihatan visual imagery ; 2 citraan pendengaran audioimagery ; 3 citraan gerakan cinestetic imagery ; 4 citraan rabaan tactil imagery ; dan 5 citraan penciuman alfactory . 7 Pesan Amanat Pesan dalam sebuah karya fiksi bisa berupa pesan moral relegius, pesan moral, kritik sosial, pendidikan, dan sebagainya yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca setelah membaca dan memahami cerita fiksi.

3. Hakikat Sosiologi Sastra