Wujud Nilai Keimanan Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 136 Sudah sejak masih kanak-kanak Jarot menemukan kesadaran tauhidnya dengan mencari dan menemukan dari pergulatan diri dan pengalaman hidupnya yang panjang. Tampak pada kutipan panjang berikut. Aku memang sering main-main ke kali di belakang pondok untuk mancing atau mencari ikan. Aku merasa ada panggilan dari kali itu yang tak bisa aku tepis. Aku ke sana tidak hanya sekedar bersenang-senang, tetapi untuk mengakrabi ikan-ikan dan air yang mengalir. Aku merasa begitu banyak pelajaran yang bisa aku petik dari aliran sungai itu. Aku merasa teduh dan damai. Terlebih dari itu, Mas Amin, aku merasa mendapatkan teman berbincang yang baik. Di sana, aku bisa bercakap dengan seorang lelaki tua yang juga berprofesi sebagai pemancing ikan. Lelaki tua itu kerap mengajariku banyak hal. Bahkan, kadang aku merasa belum waktunya mendapatkan pengetahuan itu. Tetapi karena ia berbicara tanpa henti, aku pun menyimak dan mengambil hikmahnya. Soal pelajarannya, aku tak bisa mengungkapkannya, Mas, karena aku telah berjanji padanya, bahwa pelajaran itu hanya untuk diriku sendiri. Setelah itu Mbah wafat dan ia tak pernah muncul lagi. Aku sendiri tidak tahu rumahnya di mana dan namanya siapa. Eh, ternyata ia seorang pencari ikan dan mengaku memiliki rumah di sekitar kali itu. Jadi aku sering berjumpa dengannya bila bermain-main di sana. Ia juga pernah mengingatkan pertemuan yang pertama di rumah Mbah, sehingga aku bisa mengakrabinya. Mas Amin, terhitung sudah tujuh kali, kami bertemu. Ia sendiri mengaku, akan menemuiku sembilan kali, agar apa yang diungkapkannya sempurna di hatiku. Aku benar-benar tidak paham, Mas Amin, dengan apa yang diungkapkannya. Tetapi aku merasa dipaksa paham. Aku hanya mengikuti apa yang dititahkannya. Aku menganggapnya guru, karena ia sudah memberikan demikian banyak pelajaran dan pengetahuan kepadaku. Pengetahuan yang tidak akan pernah aku dapat dari mana dan dari siapa pun, kecuali darinya. Mashuri, 2007:120-121

c. Wujud Nilai Keimanan

Keimanan bukan sekedar percaya kepada Tuhan, melainkan juga mempercayai Tuhan. Mempercayai di sini berarti menyadari bahwa Tuhanlah satu- satunya tempat sejati untuk bersandar dan bergantung bagi manusia. Sebagai bentuk kesadaran bahwa Tuhan merupakan satu-satunya tempat sejati untuk bersandar dan bergantung manusia, nilai keimanan manusia Jawa terartikulasi pada keharusan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 137 manusia Jawa untuk secara diam-diam selalu sadar, ingat, percaya, awas, dan waspada. Dalam bahasa Jawa, hal ini sering disebut eneng, eling, eling lan waspada, awas lan emut, pracaya, dan mituhu. Ungkapan- ungkapan tersebut merupakan konsep-konsep nilai keimanan dalam bahasa Jawa. Dalam teks novel Hubbu, nilai keimanan digambarkan masih bermasalah akibat isolasi geografis, mistisnya budaya, cara berpikir irasional-konserfatif, dan tidak berkembangnya kesadaran rasional sehingga menjadikan Jarot sebagai manusia terpelajar dan hidup di kota metropolitan masih hidup di alam mistis dan sinkretis. Pada satu sisi Jarot percaya kepada Tuhan dan mempercayai adanya Tuhan, tetapi pada sisi lain juga percaya dan mempercayai selain-Nya, dalam hal ini adalah kekuatan gaib alam semesta, roh-roh halus, dan roh leluhur. Disebutkan dalam penggalan teks novel Hubbu sebagai berikut. Aku ke makam Sunan Ampel di kampung Ampeldenta. Menunggu Savitri menjatuhkan pilihan, aku seperti membutuhkan semacam sentuhan yang bisa membangkitkan semangat jika tidak semangat untuk hidup, juga semangat mengingat mati. Aku selalu memilih Ampel untuk itu. Aku merasa Ampel seperti oase di tengah padang gurun gersang, dengan sumber yang jernih, teduh pohon kurma dan tenda-tenda kafilah yang istirah sebelum berjalan lebih jauh menjelajahi pelosok jazirah. Aku merasa Surabaya laksana sebentang padang tandus dan Ampel adalah oasenya. Ada kalanya kau memang harus berdialog dengan hal-ihwal yang bernama kematian Begitulah pembelaanku. Di depan makam pesiar agama di akhir masa kejayaan Kerajaan Mojopahit itu aku tak lagi mampu berucap ikrar seperti yang lalu: doa-doa panjang berdesir bersama angin malam dan kesunyian. Aku beber saja koran sebagai alas bersila, aku memandang nisan-nisan putih yang berjajar sekitar makam Sang Sunan yang berperan sebagai pusat ziarah. Berbentuk gunduk tanah bertabur kembang. Aku dengar suara, doa-doa, ke alam tak terlihat tetapi bisa terasa. Mashuri, 2007:132 Penggalan teks di atas tampak bahwa Jarot tidak merepresentasikan sebuah dilema keimanan, melainkan merepresentasikan sebuah sosok keimanan Jarot yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 138 dalam kadar tertentu “sedikit bermasalah”. Sebagai seorang yang dibesarkan di lingkungan pondok pesantren, tidak semestinya Jarot mencari pencerah untuk ke luar dari persoalan yang membelitnya dengan mencari pembenar ke selain-Nya terhadap kebimbangan untuk membuat keputusan menjadikan Savitri sebagai istrinya, menikahinya dalam keadaan hamil empat bulan, dan bukan dirinya yang menghamili. Tetapi, Jarot digambarkan selalu berusaha menerima ketetapan Tuhan dan menyadari keselaluhadiran Tuhan dalam segenap hidup dan kehidupannya. Kehadiran Tuhan bisa jadi terwakilkan oleh sosok asing, aneh, dan kehadirannya bisa memberikan pencerah bagi kegalauan hatinya saat harus memutuskan sesuatu. Seperti terlihat dalam kutipan panjang berikut. “Cak, minta apinya” seorang lelaki tua yang tak kukenal mendekatiku. Seringkali memang demikian, orang-orang tak dikenal dan saling berkeliaran. Kusorongkan saja korek gas ke genggamannya. Tapi sial, ia beberapa kali tak bisa meyalakannya, seperti tangannya basah. Akhirnya aku yang menyalakan. Begitu rokok kretek klobot itu mengepul, ia meniupkan asapnya ke udara seperti melepaskan himpitan perasaan dan yang tersisa adalah kelegaan. “Dari mana, Pak?” tanyaku basa-basi. Soalnya ia langsung duduk di sampingku. “Dari jalan,” tuturnya. “Asalnya mana, Pak?” tanyaku memperjelas. “Aku tadi dari mana-mana,” katanya. Aku manggut-manggut, karena merasa percakapan kami buntu. Aku tak mau berjibaku untuk masalah sepele Masalahku sendiri sudah segunung. Tak ada guna berbicara dengan orang tak waras. Ditanya dia nyambung tapi menjawab seenaknya. Aku akhirnya diam saja, sambil menekuri kembali diriku. Tapi itu tak lama. “Aku belum makan tujuh hari, Cak” tuturnya. Aku terkejut, spontan aku berseru: “Silakan makan Bilang ke penjual, kalau aku yang bayar.” “Tapi makannya tidak di sini. Di dalam saja,” tawarnya. “Di dalam tak boleh makan, nanti kotor: itu ada papan peringatannya” “Boleh” serunya sambil beranjak dan mengambil satu bungkus nasi. “Wong kita masih kanak-kanak. Buang ingus dari hidung saja belum bisa, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 139 tapi kita berpikir sok seperti orang dewasa,” lanjutnya, terus berjalan memasuki kompleks makam. “Ah, dasar orang gila” seruku. Orang gila? Mendadak aku merasa tersentak, meski sudah amat terlambat. Aku langsung menghambur dan memburu orang tadi. Mencari ke setiap sudut, mengamati setiap orang tapi tak jua kutemui. Lenyap ke manakah dia? Ataukah ia bukan manusia? Wak Liman sering bilang tentang soal-soal berbau supranatural, juga kehadiran orang-orang ‘aneh’, tetapi aku mencoba menalarnya dengan akal. Mashuri, 2007:136-137 Tokoh-tokoh lain di dalam novel Hubbu , seperti halnya Jarot umumnya juga digambarkan berusaha menerima ketetapan Tuhan dan menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka. Meskipun demikian, ketakwaan ini tidak dapat dikatakan konsisten sebab tindakan, perbuatan, dan perilaku mereka sering tidak mencerminkan budi luhur. Meskipun ada, ketakwaan yang berwujud pengembangan budi luhur, luhuring pambudi, tidak begitu tampak pada tokoh-tokoh sampingan dalam novel Hubbu . Memang Jarot sebagai tokoh utama digambarkan berusaha mengembangkan budi luhur meski pada sisi waktu yang lain dia juga terjerumus melanggar luhuring pambudi , dan beberapa tokoh sampingan abai terhadap budi luhur. Hal ini terlihat pada perbuatan dan perilaku yang tergolong maksiat dan nista, misalnya minum- minuman beralkohol, narkotika, dan berhubungan intim sebelum menikah. Hal tersebut bisa dianggap suatu bentuk ketidaksesuaian ucapan atau batin mereka dengan tindakan atau perilaku mereka. Akan tetapi, hal tersebut bisa juga dianggap sebagai wujud problematik ketakwaan di kalangan orang-orang berpendidikan yang memiliki wawasan luas tetapi kesadaran religiusitasnya kurang bisa terangkat oleh perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan mereka. Seperti terlihat dalam kutipan berikut ini. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 140 Padaku ia seperti mengobral segala rahasianya. Soal ia tak lagi perawan, karena sudah melakukan hubungan seks dengan pacar pertamanya di Kenjeran, lalu dengan beberapa pacarnya kemudian. Soal keterlibatannya dengan narkotika, soal kehidupan malamnya yang selalu menjadi persoalan tak kunjung habis, sekaligus sebagai pelariannya yang paling tepat dari kondisi rumahnya. MAshuri, 2007:60 “Teguh, masih ingat saat Jarot gak mau minum beralkohol saat pertama kali nimbrung ke kita?” Tanya Puteri kepada Teguh. “Nunggu tiga bulan, ia baru mau minum beralkohol. Tapi setelah itu ia jagonya. Meski semua botol ludes, ia masih kuat. Bahkan, untuk sekelas bir biasa dan arak beras, ia rajanya,” seru Teguh. Mashuri, 2007:67 Di samping itu, Jarot juga digambarkan berbuat tidak sesuai dengan budi luhur ketika berada di sebuah kamar berdua dengan teman perempuannya yang tidak berpakain. Kutatap tubuhnya lekat-lekat. Aku tersenyum. Indah, benar-benar indah Baru kali ini aku melihat dari dekat tubuh Puteri dalam keadaan telanjang. Tampak bercahaya, tertimpa lampu tidur temaram yang dipasang sedemikian rupa. Ada aura penarik demikian kuat dari dalam dirinya. Apalagi, saat dia tersenyum, sambil melambaikan tangan. Inikah birahi? Inikah permainan yang selalu dinanti pada saat sepasang kekasih menginjak mahligai, sepasang pengantin baru yang harus membuka babak baru? Inilah gerbang surga Sebuah lesakan suara menyepuh pikiranku, mendesakku untuk memasuki arena. Ah, surga Mashuri, 2007:68-69

d. Wujud Nilai Keutamaan