Wujud Nilai Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 142 sewaktu masih kanak-kanak telah membuatnya mengagumi dan menjadikannya berperilaku seperti yang dilakukan tokoh wayang Sumantri. Tampak pada penggalan berikut. …. Wak Sumar sedang mengkhitankan anaknya, dan nanggap wayang kulit dengan dalang terkenal Soleman. Lakonnya “Sumantri Ngenger”. Entah mengapa aku turut larut dalam pertunjukan itu. Bahkan, ketika orang-orang tua yang biasa nonton wayang beringsut, aku masih tetap berjaga. Semalam suntuk aku terkesima. Mashuri, 2007:33

e. Wujud Nilai

Kewaskitaan Nilai kewaskitaan manusia Jawa berhubungan dengan ketajaman dan kedalaman penglihatan indera dan batin terhadap segala sesuatu, baik fenomena maupun noumena yang berkenaan dengan manusia dan alam semesta jagad cilik dan jagad gedhe . Kewaskitaan ini nampak antara lain pada kemampuan menangkap, membaca, memahami, dan menafsirkan perlambang-perlambang dan isyarat-isyarat hidup dan alam semesta serta mengelola suasana keadaan batin dan alam semesta. Dalam bahasa Jawa hal ini tercermin dalam konsep waskitha, triwinasis, lantip, tanggaping sasmita, sasmitaning ngaurip, weruh sakdurunge winarah. Jarot digambarkan sebagai prototipe manusia Jawa yang wasis, lantip, tanggap ing sasmita, dan waskitha. Sebagai contoh Jarot mampu menangkap dan membaca perlambang lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Kutipan berikut adalah salah satu contohnya. “Saat inilah Kaliyuga” Kata ayahmu kepadaku. “Apapula itu?” Sergahku kala itu. “Ayahmu memang mistik, meski ia mengingkarinya. Ia pun menerangkan soal Kaliyuga kepadaku. Istilah itu berasal dari Pujangga Ronggowarsito yang diambil dari Ramalan Jayabaya. Dan perkiraan ayahmu soal Kaliyuga ternyata benar juga. Pada tanggal 21 mei 1998, Soeharto lengser keprabon, alias turun takhta dari kursi presiden yang telah diduduki selama 32 tahun. Peristiwa ini di luar perkiraan semua orang, apalagi rezim saat itu mengakar perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 143 dari Sabang sampai Merauke. Kaliyuga itu terjadi, karena menjelang turunnya itu didahului dengan kerusuhan hebat di Jakarta dan di beberapa kota besar lainnya. Mashuri, 2007:156 Pada bagian lain Jarot digambarkan memiliki ketajaman, kepekaan, dan kedalaman membaca, memahami, dan menafsirkan perlambang mimpi yang dialami Puteri sewaktu akan meninggal dalam kecelakaan maut di Batu. Kutipan panjang berikut ini adalah salah satu contoh kewaskitaan Jarot dalam membaca dan memahami mimpinya. Aku melihat Puteri di tepi pantai. Suasana demikian berkabut. Tak ada angin, karena aku merasa segalanya diam tak bergerak. Desir darahku pun berhenti. Tetapi dari jauh kulihat ada sebuah tiang yang bergerak sendiri, seperti perahu nelayan. Perahu itu semakin lama semakin jelas dan terang, layarnya yang terkembang sudah mengatup dan siap berlabuh. Sedang pakaian yang dikenakan Puteri mengingatkan aku seperti oranng yang sedang ihram di Baitullah. Ia bergelayut manja di lenganku. Ketika perahu merapat, ternyata dindingnya demikian tinggi. Ini kapal, bukan perahu. ….Puteri lalu melepaskan diri dari rangkulanku. Ia berbisik tetapi aku tak bisa mendengarnya. Aku hanya mengangguk. Ia meniti jembatan serupa tangga itu untuk naik ke kapal. Sesampai di atas ia melambaikan tangan, karena aku merasa begitu berat saat kapal tiba-tiba berangkat dan menjauh. Pada saat kapal sudah lenyap dari pandangan, aku baru bisa berteriak “Puteri” Aku langsung shalat, memang sudah cukup lama aku tak langsung menghadap-Nya. Mashuri, 2007:84 Kewaskitaan Jarot ternyata menjadi kenyataan ketika keesokan harinya tak bisa menemui Puteri di kampus maupun di rumahnya, juga di tempat di mana biasanya mereka berkumpul untuk sekedar berdiskusi kecil atau sedang melepas penat karena beban kuliah yang menumpuk. “Aku baru ditelepon teman Roi barusan” kata Teguh. “Bisa dipercaya?” sergah Jarot. “Bisa. Malah semuanya sudah jelas.” “Maksudnya?” “Di mobil itu Roi tak sendiri,” tutur Teguh, pelan. “Maksudnya?” desak Jarot lagi, meski ia sudah bisa menebak dan tahu jawabannya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 144 “Dia bersama Puteri” “Puteri juga mati?” Teguh mengangguk. Jarot diam. Matanya menerawang jauh. Mashuri, 2007:89 Wujud Jarot seorang yang lantip terlihat dari Jarot masih kanak-kanak, Jarot sudah sangat pandai menghapal dengan hanya mendengar satu kali, sehingga ia merasa bosan mengikuti pelajaran yang dianggapnya terus diulang-ulang padahal dia sudah hapal materi pelajaran itu di luar kepala. Contoh penggalan teks berikut sebagai bukti ke lantip an Jarot. “ Nashara yanshurubnasran … ” Jarot langsung tancap hapalan di hadapan Ustad Ruba’I, namanya. Jarot lancar menghapal, sednagkan beberapa rekannya tampak berdiri di sisi papan tulis pertanda mereka tak bisa menutaskan hapalan. Mereka baru boleh duduk kembali kalau sudah mampu menghapal. Hapalan menjadi gumpalan beban yang tak bisa ditepis oleh siapa saja di Sekolah Arab. Mashuri, 2007:21 Tanpa kusuruh, ia langsung menuliskan apa yang ditawarkannya di buku catatan pelajaranku. “ ingsun amatak ajiku si jaran goyang, teteger tengahing pasar, gagamane cemethi, sada lanang saka swarga, sun sabetake gunung gugur, segara asat, bumi bengkah, sun sabetake langit butul kang kang langit sap pitu, sun sabetake atine si jabang bayi… teka welas, teka asih andeleng badhan sliraku, manut muturut sakarepku.” Dan sekali baca aku langsung bisa menghapalnya. Aku langsung lafalkan tanpa melihat teks di hadapannya. Mashuri, 2007:40 Ke- lantip- an Jarot juga diakui oleh Jabir ketika Jabir berkisah kepada Aida, anak Jarot, yang mencari tahu latar belakang keluarga ayahnya yang sampai ayahnya meninggal Aida tidak tahu masa lalu ayahnya, juga siapa keluarga besar ayahnya. Ia memang cerdas, itu kuakui. Terlebih ia direstui. Restu yang kumaksud merupakan keyakinan terdalam dari kami terhadap hakekat ilmu pengetahuan, yang tidak bisa diraih lewat nalar. Mashuri, 2007:194 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 145

2. Nilai Filsafat Jawa