perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terlepas dari konsep, kedudukan, dan fungsi sosial politiknya, sastra tidak
hanya hadir sebagai ekspresi atau eksternalisasi intuisi, afeksi, dan emosi pengarang. tetapi juga berisikan ingatan, pikiran, gagasan, hayatan, dan renungan. Sepanjang
sejarah keberadaannya, sastra terbukti mampu menunjukkan diri sebagai karya artistik-estetik sekaligus karya intelektual. Oleh karena itu, sudah semestinya teks
sastra diperlakukan sebagai lambang budaya verbal yang ekspresif-kognitif atau intuitif-intelektual.
Secara empiris, sastra selalu berpangkal pada penghayatan, dan pemikiran secara serempak, dan merupakan persenyawaan antara kecerdasan hati dan
kecerdasan otak. Di dalamnya selalu melekat kualitas gagasan, pikiran, dan pandangan, di samping kualitas hayatan, renungan, dan ingatan tentang realitas.
Dengan demikian, sebenarnya kenyataan empiris ini telah merontokkan dikotomi- dikotomi lama yang sudah mapan. Misalnya, fakta versus fiksi, intuisi versus
kognisi, teks sastra versus filsafat, imajinasi versus persepsi, dan sebagainya Arief Rokhman, 2003:112.
Perkembangan sastra Indonesia, baik prosa maupun puisi pada dasarnya bersumber atau mengarah pada dua sisi. Sisi yang pertama mengacu pada bentuk-
bentuk pembaharuan yang bersumber dari barat, dan sisi yang kedua kecenderungan pengarang yang lebih menyukai menggali akar etnis timur sebagai sumber kreasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 2
Pada sisi pertama yang mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan dari barat, menampakkan pula isi dan konsep pandangan hidup yang merupakan hasil
pencarian, penggalian, dan pergumulan pengarang terhadap pemikiran modern, sehingga melahirkan karya sastra novel yang bernafaskan filsafat barat. Sementara
itu, pada sisi kedua, muncul novel-novel yang berbau etnis atau kedaerahan yang dapat ditemui pada struktur, bahasa, atau pada ruh novel tersebut.
Novel sebagai teks sastra telah lama dianggap sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta
sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan, sastra dapat berfungsi sebagai sejarah intelektual atau pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara pemahaman
mode of comprehension,
cara komunikasi
mode of communication,
dan cara kreasi
mode of creation
masyarakat dan budaya beserta segenap perubahan dan permasalahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa novel teks sastra dapat
dipandang sebagai teks sejarah intelektual yang mewakili kehadiran pengarang karena setiap novel yang diciptakan terikat oleh konteks keberadaan dan keadaan
pengarangnya. Novel, menurut Kuntowijoyo 1987:172 juga merupakan strukturalisasi
pengalaman. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari pengalaman hidup, sikap, pandangan hidup, dan idiologi pengarangnya. Karena
merupakan strukturalisasi pengalaman, maka objek karya sastra adalah realitas. Mempertegas pendapat tersebut, Zaimar dalam Kuntowijoyo, 1987:172
mengatakan bahwa yang dimaksud realitas adalah pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 3
Karya sastra selalu mengambil bahan dan menggali inspirasi dari realitas pengalaman hidup, namun pengalaman hidup tersebut telah ditafsirkan oleh
pengarangnya. Griffith 1982:14 menyebutnya sebagai
the total form of a work represent its interpretation.
Lebih lanjut Griffit 1982:17 menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan kepribadian, perasaan, sikap, dan keyakinan pengarangnya.
Segala sikap, pribadi, dan keyakinan pengarang akan memberi warna pada karya sastra yang dilahirkannya. Demikian juga idiologi yang dianut pengarang akan
memberi warna kuat pada karya sastra yang dihasilkannya. Idiologi sebagai sistem berpikir normatif akan dilahirkan pengarang ke dalam karyanya melalui unsur-unsur
atau piranti-piranti teks sastra. Lull 1998:24, memberi definisi idiologi sebagai sebuah pikiran yang
terorganisasi, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk prespektif-prespektif ide yang diungkapkan melalui
komunikasi, baik antarpribadi maupun dengan media teknologi. Lebih jauh Lull mengemukakan bahwa idiologi boleh berlandaskan pada fakta yang dapat dicek
kebenarannya dalam sejarah secara empiris, bisa pula tidak. Bisa tersusun secara ketat, bisa pula longgar. Bisa bersifat kompleks dan utuh, namun bisa pula berupa
fragmentasi, bisa bertahan lama, namun ada juga yang bersifat sementara. Idiologi yang diyakini pengarang dapat menjadi kekuatan internal personal
untuk menggerakkan dan melahirkan karya sastra. Kekuatan internal yang bermula dari idiologi yang diyakininya tersebut akan muncul sebagai sebuah kesadaran kritis
dalam merespon dunia sekitarnya, tentu saja bersifat subjektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 4
Menurut Taufiq Abdulah 1991:5 sebagai sebuah teks, novel mengandung unsur cerita dan unsur tak cerita. Unsur cerita menyajikan kisah, sedang unsur tak
cerita menyajikan pikiran tentang sesuatu yang menjadi
concern
pengarangnya. Unsur cerita bertugas menyajikan narasi tertentu yang bertujuan untuk
menumbuhkan simpati dan empati pembaca, sedang unsur tak cerita berupaya untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruk realitas budaya
pengarangnya. Subagio Sastro Wardoyo 1989:13 menyatakan bahwa sastrawan Indonesia
asal etnis Jawa adalah manusia perbatasan yang sedang bertransformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa ke dalam negara-bangsa
Indonesia. Negara-bangsa ini merupakan “kampung halaman” budaya yang relatif baru yang tampaknya masih idiologis namun mau tak mau harus terus didukung dan
dikembangkan. Bagi sastrawan Indonesia asal etnis Jawa, hal ini merupakan suatu proses panjang yang berat dan besar karena pada satu sisi menuntut mereka menata
kembali keberadaan dan kedudukan serta fungsi budaya, dan sastra Jawa sebagai akar mereka di sisi lain mereka “terpaksa’ melakukan perantauan migrasi budaya
ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia. Mashuri pengarang novel
Hubbu
2007 adalah sastrawan asal etnik Jawa, yang di dalam dirinya muncul berbagai persoalan, perasaan, dan situasi yang bisa
jadi menimbulkan rasa gamang, bimbang, bahkan paradoksal ketika dihadapkan pada sebuah proses perantauan tersebut. Dengan segala perasaan dan situasi yang
melingkupinya, ia mengolah, merekonstruksi bahkan membongkar “bahan-bahan”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 5
budaya lama, mitos-mitos lama, untuk menggenggam dan menghasilkan pandangan dan pemikiran baru dalam novel
Hubbu
karyanya. Wayang merupakan salah satu mitos lama yang memegang peranan penting
dalam masyarakat Jawa sekaligus menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi estetis bagi pengarang Indonesia modern. Dalam novel
Hubbu,
Mashuri mencoba menggali kembali mitos pewayangan. Upaya menggali mitos ini sudah tersirat ketika
mengawali cerita dengan mengetengahkan prawayang yang berisi
Lontar Lokapala,
kisah yang berisi rahasia langit
,
ilmu untuk mencapai kesempurnaan hidup,
Sastra Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Pada dasarnya, kehadiran teks sastra atau novel dapat menyuarakan, membawakan, dan mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Bahkan menurut Umar
Yunus 1981:93, karya sastra terutama novel, baik sastra lama atau baru pada hakikatnya mengusung suatu mitos. Sebuah novel mungkin bertugas mengukuhkan
suatu mitos tertentu
myth of concern
, dan mungkin pula bertugas merombak, membebaskan, memodifikasi, bahkan menentang suatu mitos tertentu
myth of freedom
. Pengukuhan dan pembongkaran mitos tersebut dapat dimanfaatkan pengarang dalam kerangka estetik dan proses kreatif atau dapat pula dipakai untuk
maksud-maksud tertentu di luar kepentingan literer. Kedatangan novel
Hubbu
dalam khasanah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru, sangat utuh, dan padu ceritanya Ahmad Tohari, 2007: dalam
punggung buku. Gaya cerita yang mengalir dalam suasana manis memaparkan sudut-sudut humanisme yang indah, dalam latar budaya santri dan intensitas budaya
Jawa yang longgar. Sesuatu yang lain yang menarik dari novel
Hubbu
adalah adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 6
hubungan logis antara mitos, kosmologi, dan ritual serta sikap-sikap hidup atas dasar agama kepercayaan bersenyawa menjadi jalinan yang utuh dalam cerita. Dan
inilah yang membuat novel
Hubbu
menonjol dari atmosfir dan suasana cerita yang ditampilkannya. Mashuri mengolah serta membongkar mitos wayang untuk
melontarkan gagasan dan pandangannya berkaitan dengan realitas sosial, politik dan budaya yang dialami dalam situasi kekinian.
Menurut Sapardi Djoko Damono 1995:11 karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi merupakan wacana sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan
konstruksi realitas budaya berlandaskan episteme sistem pengetahuan tertentu. Yang terepresentasi dalam karya sastra adalah konstruksi realitas nilai budaya
tertentu sehingga episteme realitas nilai budayalah yang hadir dalam teks sastra. Dikatakan demikian karena: 1 sebagai sistem lambang budaya, sastra bersangkutan
dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang membentuk episteme makna, dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika
budaya tertentu; 2 sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan, ideologi, orientasi nilai, dan mitos; dan 3 sebagai wacana dalam kerangka episteme
tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu Sapardi Djoko Damono, 1984:24.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya
selalu terlekati nilai budaya sebagai cerminan dari realitas masyarakat di mana karya tersebut diciptakan. Di antara genre karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, novel
sebagai genre prosa memiliki peluang terbanyak dalam menampilkan unsur-unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 7
sosial budaya. Nyoman Kuta Ratna 2009: 335 memberikan alasan, di antaranya: 1 novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang
paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas; 2 bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum
digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, novel merupakan genre yang paling sosiologis.
Nyoman Kutha Ratna 2009:339 memberikan model analisis yang dapat dilakukan dalam kaitan karya sastra dengan masyarakat meliputi tiga macam, yaitu:
1 menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi; 2
menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan hubungan yang bersifat dialektika; 3 menganalisis dengan tujuan memperoleh informasi
tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Sementara, Wellek dan Warren 1980:110 berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan masyarakat. Dengan demikian, lahan
sosiologi adalah sikap hidup pengarang, karya, dan pembaca. Wellek dan Warren membagi kerja telaah ini menjadi tiga, yaitu: 1 sosiologi pengarang, yang
memasalahkan tentang status sosial, idiologi, politik, dan lain-lain; 2 sosiologi karya sastra memasalahkan tentang karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah
apa yang tersirat dalam isi karya sastra tersebut; dan 3 sosiologi sastra yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat.
Latar belakang pemilihan novel
Hubbu
sebagai objek material penelitian adalah adanya katagori keunggulan, novel tersebut telah memenangkan Sayembara
Novel Dewan Kesenian Jakarta DKJ 2006, sepengetahuan penulis belum banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 8
yang meneliti novel tersebut, keterjangkauan penulis dalam meneliti baik waktu, dana, kemampuan dalam mengapresiasi, dan novel tersebut memiliki relevansi
dengan nilai-nilai kehidupan. Itulah beberapa pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini dengan judul penelitian
Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri, Kajian Sosiologi, Budaya dan Resepsi Pembaca.
B. Rumusan Masalah