SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI (Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

(1)

.

SINKRETISME DALAM NOVEL HUBBU KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh: Dian Aksanti


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

SINKRETISME DALAM NOVEL

HUBBU

KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

Disusun oleh: Dian Aksanti S840809203

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ___________ _________ NIP 19440315 197804 1 001

Pembimbing II Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ___________ _________ NIP 19560121 198203 2 003

Mengetahui


(3)

SINKRETISME DALAM NOVEL

HUBBU

KARYA MASHURI

(Kajian Sosiologis, Budaya, dan Resepsi Pembaca)

Disusun oleh: Dian Aksanti S840809203

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua : Prof. Dr. H. Sarwiji Suwandi,M.Pd. ___________ ___________

Sekretaris : Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. _________ __________

Anggota Penguji

1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ___________ ___________

2. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. ____________ ___________

Mengetahui Ketua Program Studi

Direktur PPS UNS, Pendidikan Bahasa Indonesia,


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN

Nama : Dian Aksanti NIM : S840809203

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri (Kajian Sosiologis, Budaya, Dan Resepsi

Pembaca) betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam

tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Ponorogo, Januari 2011 Yang membuat pernyataan,

Dian Aksanti


(5)

MOTTO


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Tanda kenang: Ibuku


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan anugrah rahmat yang diberikan-Nya tesis dengan judul “ Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya

Mashuri (Kajian Sosiologi, Budaya, dan Resepsi Pembaca)” akhirnya dapat

terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.

Ucapan terima kasih dengan tulus penulis sampaikan kepada beberapa pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing I yang dengan kesabarannya telah membimbing dan memberikan arahan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd., selaku Pembimbing II yang dengan telaten dan sabar membimbing dan memberikan masukan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Seluruh staf pengajar Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengetahuan dan informasi sehingga penulis mendapatkan pencerahan hingga sampai pada


(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Para reseptor Novel Hubbu, Saudara Azis Abdul Ghofar, Widi Pranoto, dan Tjahjono Widarmanto, yang telah berkenan membantu penulis dalam kaitannya dengan memberikan respons atau tanggapan terhadap Novel Hubbu yang menjadi substansi kajian ini.

5. Kawan-kawan sekelas di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang terus memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini.

6. Keluarga penulis, dan teman-teman pengajar di SMA Muhammadiyah 1 Ponorogo yang telah memberikan dukungan yang luar biasa selama penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

Semoga Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang penulis sebutkan dan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu di sini.

Ponorogo, Januari 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ………..…... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI …….. ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR... 10

A. Landasan Teoritis... 10


(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Halaman

2. Hakikat Novel... 17

a. Pengertian Novel... 17

b. Struktur Novel... 21

c. Unsur-unsur Novel... 23

1) Tema... 23

2) Tokoh dan Penokohan... 28

3) Plot (Alur Cerita)... 36

4) Setting (Pelataran)... 39

5) Sudut Pandang... 40

6) Gaya Bercerita... 42

7) Pesan (Amanat)... 44

3. Hakikat Sosiologi Sastra... 44

a. Sosiologi Sastra... 45

b. Aspek Budaya... 49

c. Konsep Sinkretisme sebagai Aspek Sosial Budaya... 67

d. Hermeunetik sebagai Tafsiran Teks Sastra... 82

4. Resepsi Sastra... 87

B. Penelitian yang Relevan... 90

C. Kerangka Berpikir... 95

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 98

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 98


(11)

Halaman

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 108

A. Deskripsi Latar Belakang Sosial Budaya dalam Novel Hubbu 108 1. Proses Kreatif Novel Hubbu... 108

2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Hubbu... 112

a. Latar Sosial Budaya... 113

b. Golongan Sosial dalam Masyarakat Jawa... 114

c. Seni Budaya Jawa... 116

d. Mitos Masyarakat Jawa... 119

e. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat... 121

f. Kekerabatan Masyarakat... 122

g. Pewarisan Kepemimpinan... 123

h. Penyampaian Kritik... 124

3. Penokohan dalam Novel Hubbu sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa... 125

B. Wujud Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme... 127

1. Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme... 127

a. Wujud Nilai Religius... 127

b. Wjud Nilai Ketauhidan... 133

c. Wujud Nilai Keimanan... 136

d. Wujud Nilai Keutamaan... 140

e. Wujud Nilai Kewaskitaan... 142

2. Nilai Filsafat Jawa... 144

a. Wujud Nilai Kemapanan Manusia Jawa... 146


(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Halaman

3. Nilai Etis Jawa... 163

a. Wujud Nilai Kebijaksanaan Manusia Jawa... 166

b. Wujud Nilai Tepat Janji... 168

c. Wujud Nilai Pengertian Manusia Jawa... 174

d. Wujud Nilai Lapang Dada... 181

e. Wujud Nilai Rendah Hati... 185

f. Wujud Nilai Toleransi/Tenggangrasa... 188

g. Wujud Nilai Kasih Sayang... 191

4. Nilai Estetis Jawa... 195

C. Resepsi Pembaca... 202

1. Tanggapan dari Widi Pranoto... 204

2. Tanggapan dari Tjahjono Widarmanto... 205

3. Tanggapan dari Aziz Abdul Gofar... 206

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 212

A. Simpulan... ... 212

B. Implikasi ... 214

C. Saran ... 220

DAFTAR PUSTAKA ……….. 223

Lampiran 1. Tanggapan Reseptor 1 terhadap Novel Hubbu karya Mashuri…… 230

Lampiran 2. Tanggapan Reseptor 2 terhadap Novel Hubbu karya Mashuri…… 232

Lampiran 3. Tanggapan Reseptor 3 terhadap Novel Hubbu karya Mashuri 234 Lampiran 4. Sinopsis Novel Hubbu karya Mashuri………. 237


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ... 98 Tabel 2 Lembar Identifikasi dan Klasifikasi Data dalam Nilai Sosiobudaya 102


(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Bagan Alur Berpikir... 97 Gambar 2 Bagan Model Analisis Data... 105


(15)

ABSTRAK

Dian Aksanti. S 840809203. Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri (Kajian

Sosilogis, Budaya, dan Resepsi Pembaca). Tesis. Surakarta: Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Januari. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) struktur sosiobudaya masyarakat dalam novel Hubbu karya Mashuri, (2) wujud nilai sosiobudaya dan sinkretisme, dan (3) resepsi pembaca.

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode lingkar hermeneutik. Sumber data penelitian ini adalah novel Hubbu karya Mashuri, biografi penulis, komentar-komentar pembaca, dialog dengan penulis, dan artikel, surat kabar, internet sebagai penunjang permasalahan penelitian. Teknik cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode trianggulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif

dialektik. Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) tahap eksplorasi untuk memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus,

(3) tahap pengecekan dan keabsahan data.

Berdasarkan analisis data melalui kajian sosiobudaya, dapat disimpulkan: (1) Latar belakang sosiobudaya novel Hubbu meliputi proses kreatif pengarang, latar belakang sosiobudaya masyarakat (golongan sosial masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, penggunaan bahasa dalam masyarakat, kekerabatan masyarakat, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik), penokohan sebagai perwujudan sosok masyarakat Jawa; (2) wujud nilai sosiobudaya dan sinkretisme yang meliputi: (a) nilai religius: wujud nilai ketauhidan, wujud nilai keimanan, wujud nilai keutamaan, wujud nilai kewaskitaan; (b) nilai filsafat Jawa: wujud nilai kemapanan, wujud nilai kepastian, wujud nilai kejatmikaan, wujud nilai kerukunan, wujud nilai kehormatan; (c) nilai etis Jawa: wujud nilai bijaksana, wujud nilai tepat janji, wujud nilai pengertian, wujud nilai lapang dada, wujud nilai rendah hati, wujud nilai toleransi, wujud nilai kasih sayang; (d) nilai estetis Jawa.


(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Dian Aksanti. S 840809203. Syncretism in Novel of Hubbu Written by Mashuri,

Study of Social Culture and Reader Reception. Thesis. Surakarta: Indonesian

Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011.

Target of this research is to describe and explain: ( 1) structure of social culture society in novel of Hubbu written by Mashuri, ( 2) form assess and social culture of syncretism, ( 3) reader reception.

Form of this research is descriptive qualitative with circular method of hermeneutic. Source of this research data is novel of Hubbu written by Mashuri, writer’s biography, comments of readers, and dialogue with writer, and article, newspaper, internet as supporter of problems of research. Technique analyzes of this research uses sampling purposive. The Data research validity uses method of triangulation theory. Technique analyze data used is model of interactive dialectic. Research procedure which is researcher done pass through three steps, they are: (1) phase of exploration to obtain general view, ( 2) phase of exploration focus, ( 3) checking phase and authenticity of data.

Based on data analysis pass through study of social culture, can be concluded: ( 1) Background of social culture novel of Hubbu included creative process of author, background of social culture society ( social faction of Java society, artistic of Java culture, usage of Ianguage in society, society consanguinity, endowment of leadership, forwarding of criticism), figure as materialization of Java society buttonhole; ( 2) form assess and social culture of syncretism covering: ( a) religion value: form assess of belief in one God, form assess of belief in God, especial value form, form assess of kewaskitaan; ( b) assess of Java philosophy: form assess of settled condition, form assess of certainty, form assess of kejatmikaan, form assess of reconciliation, honorary value form; ( c) ethical of Javanese value: wise value form, precise value form of promise, form assess of congeniality, form asses of humbleness, form asses of toleration, form asses of affection, (d) asses of Javanese ethical.


(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1

A. Latar Belakang Masalah

Terlepas dari konsep, kedudukan, dan fungsi sosial politiknya, sastra tidak hanya hadir sebagai ekspresi atau eksternalisasi intuisi, afeksi, dan emosi pengarang. tetapi juga berisikan ingatan, pikiran, gagasan, hayatan, dan renungan. Sepanjang sejarah keberadaannya, sastra terbukti mampu menunjukkan diri sebagai karya artistik-estetik sekaligus karya intelektual. Oleh karena itu, sudah semestinya teks sastra diperlakukan sebagai lambang budaya verbal yang ekspresif-kognitif atau intuitif-intelektual.

Secara empiris, sastra selalu berpangkal pada penghayatan, dan pemikiran secara serempak, dan merupakan persenyawaan antara kecerdasan hati dan kecerdasan otak. Di dalamnya selalu melekat kualitas gagasan, pikiran, dan pandangan, di samping kualitas hayatan, renungan, dan ingatan tentang realitas. Dengan demikian, sebenarnya kenyataan empiris ini telah merontokkan dikotomi-dikotomi lama yang sudah mapan. Misalnya, fakta versus fiksi, intuisi versus kognisi, teks sastra versus filsafat, imajinasi versus persepsi, dan sebagainya (Arief Rokhman, 2003:112).

Perkembangan sastra Indonesia, baik prosa maupun puisi pada dasarnya bersumber atau mengarah pada dua sisi. Sisi yang pertama mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan yang bersumber dari barat, dan sisi yang kedua kecenderungan pengarang yang lebih menyukai menggali akar etnis timur sebagai sumber kreasi.


(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2

Pada sisi pertama yang mengacu pada bentuk-bentuk pembaharuan dari barat, menampakkan pula isi dan konsep pandangan hidup yang merupakan hasil pencarian, penggalian, dan pergumulan pengarang terhadap pemikiran modern, sehingga melahirkan karya sastra (novel) yang bernafaskan filsafat barat. Sementara itu, pada sisi kedua, muncul novel-novel yang berbau etnis atau kedaerahan yang dapat ditemui pada struktur, bahasa, atau pada ruh novel tersebut.

Novel sebagai teks sastra telah lama dianggap sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah, dan kesadaran kolektif kebudayaan, sastra dapat berfungsi sebagai sejarah intelektual atau pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara pemahaman (mode of comprehension), cara komunikasi (mode of communication), dan cara kreasi (mode of creation) masyarakat dan budaya beserta segenap perubahan dan permasalahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa novel (teks sastra) dapat dipandang sebagai teks sejarah intelektual yang mewakili kehadiran pengarang karena setiap novel yang diciptakan terikat oleh konteks keberadaan dan keadaan pengarangnya.

Novel, menurut Kuntowijoyo (1987:172) juga merupakan strukturalisasi pengalaman. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari pengalaman hidup, sikap, pandangan hidup, dan idiologi pengarangnya. Karena merupakan strukturalisasi pengalaman, maka objek karya sastra adalah realitas. Mempertegas pendapat tersebut, Zaimar (dalam Kuntowijoyo, 1987:172) mengatakan bahwa yang dimaksud realitas adalah pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat.


(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Karya sastra selalu mengambil bahan dan menggali inspirasi dari realitas pengalaman hidup, namun pengalaman hidup tersebut telah ditafsirkan oleh pengarangnya. Griffith (1982:14) menyebutnya sebagai the total form of a work represent its interpretation. Lebih lanjut Griffit (1982:17) menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan kepribadian, perasaan, sikap, dan keyakinan pengarangnya. Segala sikap, pribadi, dan keyakinan pengarang akan memberi warna pada karya sastra yang dilahirkannya. Demikian juga idiologi yang dianut pengarang akan memberi warna kuat pada karya sastra yang dihasilkannya. Idiologi sebagai sistem berpikir normatif akan dilahirkan pengarang ke dalam karyanya melalui unsur-unsur atau piranti-piranti teks sastra.

Lull (1998:24), memberi definisi idiologi sebagai sebuah pikiran yang terorganisasi, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk prespektif-prespektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi, baik antarpribadi maupun dengan media teknologi. Lebih jauh Lull mengemukakan bahwa idiologi boleh berlandaskan pada fakta yang dapat dicek kebenarannya dalam sejarah secara empiris, bisa pula tidak. Bisa tersusun secara ketat, bisa pula longgar. Bisa bersifat kompleks dan utuh, namun bisa pula berupa fragmentasi, bisa bertahan lama, namun ada juga yang bersifat sementara.

Idiologi yang diyakini pengarang dapat menjadi kekuatan internal personal untuk menggerakkan dan melahirkan karya sastra. Kekuatan internal yang bermula dari idiologi yang diyakininya tersebut akan muncul sebagai sebuah kesadaran kritis dalam merespon dunia sekitarnya, tentu saja bersifat subjektif.


(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4

Menurut Taufiq Abdulah (1991:5) sebagai sebuah teks, novel mengandung unsur cerita dan unsur tak cerita. Unsur cerita menyajikan kisah, sedang unsur tak cerita menyajikan pikiran tentang sesuatu yang menjadi concern pengarangnya. Unsur cerita bertugas menyajikan narasi tertentu yang bertujuan untuk menumbuhkan simpati dan empati pembaca, sedang unsur tak cerita berupaya untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruk realitas budaya pengarangnya.

Subagio Sastro Wardoyo (1989:13) menyatakan bahwa sastrawan Indonesia asal etnis Jawa adalah manusia perbatasan yang sedang bertransformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa ke dalam negara-bangsa Indonesia. Negara-bangsa ini merupakan “kampung halaman” budaya yang relatif baru yang tampaknya masih idiologis namun mau tak mau harus terus didukung dan dikembangkan. Bagi sastrawan Indonesia asal etnis Jawa, hal ini merupakan suatu proses panjang yang berat dan besar karena pada satu sisi menuntut mereka menata kembali keberadaan dan kedudukan serta fungsi budaya, dan sastra Jawa sebagai akar mereka di sisi lain mereka “terpaksa’ melakukan perantauan (migrasi) budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.

Mashuri pengarang novel Hubbu (2007) adalah sastrawan asal etnik Jawa, yang di dalam dirinya muncul berbagai persoalan, perasaan, dan situasi yang bisa jadi menimbulkan rasa gamang, bimbang, bahkan paradoksal ketika dihadapkan pada sebuah proses perantauan tersebut. Dengan segala perasaan dan situasi yang melingkupinya, ia mengolah, merekonstruksi bahkan membongkar “bahan-bahan”


(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id budaya lama, mitos-mitos lama, untuk menggenggam dan menghasilkan pandangan dan pemikiran baru dalam novel Hubbu karyanya.

Wayang merupakan salah satu mitos lama yang memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa sekaligus menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi estetis bagi pengarang Indonesia modern. Dalam novel Hubbu, Mashuri mencoba menggali kembali mitos pewayangan. Upaya menggali mitos ini sudah tersirat ketika mengawali cerita dengan mengetengahkan prawayang yang berisi Lontar Lokapala, kisah yang berisi rahasia langit, ilmu untuk mencapai kesempurnaan hidup, Sastra Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Pada dasarnya, kehadiran teks sastra atau novel dapat menyuarakan, membawakan, dan mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Bahkan menurut Umar Yunus (1981:93), karya sastra terutama novel, baik sastra lama atau baru pada hakikatnya mengusung suatu mitos. Sebuah novel mungkin bertugas mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern), dan mungkin pula bertugas merombak, membebaskan, memodifikasi, bahkan menentang suatu mitos tertentu (myth of freedom). Pengukuhan dan pembongkaran mitos tersebut dapat dimanfaatkan pengarang dalam kerangka estetik dan proses kreatif atau dapat pula dipakai untuk maksud-maksud tertentu di luar kepentingan literer.

Kedatangan novel Hubbu dalam khasanah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru, sangat utuh, dan padu ceritanya (Ahmad Tohari, 2007: dalam punggung buku). Gaya cerita yang mengalir dalam suasana manis memaparkan sudut-sudut humanisme yang indah, dalam latar budaya santri dan intensitas budaya Jawa yang longgar. Sesuatu yang lain yang menarik dari novel Hubbu adalah adanya


(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6

hubungan logis antara mitos, kosmologi, dan ritual serta sikap-sikap hidup atas dasar agama (kepercayaan) bersenyawa menjadi jalinan yang utuh dalam cerita. Dan inilah yang membuat novel Hubbu menonjol dari atmosfir dan suasana cerita yang ditampilkannya. Mashuri mengolah serta membongkar mitos wayang untuk melontarkan gagasan dan pandangannya berkaitan dengan realitas sosial, politik dan budaya yang dialami dalam situasi kekinian.

Menurut Sapardi Djoko Damono (1995:11) karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi merupakan wacana sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi realitas budaya berlandaskan episteme (sistem pengetahuan) tertentu. Yang terepresentasi dalam karya sastra adalah konstruksi realitas nilai budaya tertentu sehingga episteme realitas nilai budayalah yang hadir dalam teks sastra. Dikatakan demikian karena: (1) sebagai sistem lambang budaya, sastra bersangkutan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan yang membentuk episteme makna, dan nilai tertentu dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu; (2) sebagai sejarah mentalitas, sastra bersangkutan dengan gagasan, ideologi, orientasi nilai, dan mitos; dan (3) sebagai wacana dalam kerangka episteme tertentu, sastra selalu bersangkutan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu (Sapardi Djoko Damono, 1984:24).

Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra selalu terlekati nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu terlekati nilai budaya sebagai cerminan dari realitas masyarakat di mana karya tersebut diciptakan. Di antara genre karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, novel sebagai genre prosa memiliki peluang terbanyak dalam menampilkan unsur-unsur


(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sosial budaya. Nyoman Kuta Ratna (2009: 335) memberikan alasan, di antaranya: (1) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas; (2) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, novel merupakan genre yang paling sosiologis.

Nyoman Kutha Ratna (2009:339) memberikan model analisis yang dapat dilakukan dalam kaitan karya sastra dengan masyarakat meliputi tiga macam, yaitu: (1) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi; (2) menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan hubungan yang bersifat dialektika; (3) menganalisis dengan tujuan memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Sementara, Wellek dan Warren (1980:110) berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan masyarakat. Dengan demikian, lahan sosiologi adalah sikap hidup pengarang, karya, dan pembaca. Wellek dan Warren membagi kerja telaah ini menjadi tiga, yaitu: (1) sosiologi pengarang, yang memasalahkan tentang status sosial, idiologi, politik, dan lain-lain; (2) sosiologi karya sastra memasalahkan tentang karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam isi karya sastra tersebut; dan (3) sosiologi sastra yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat.

Latar belakang pemilihan novel Hubbu sebagai objek material penelitian adalah adanya katagori keunggulan, novel tersebut telah memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006, sepengetahuan penulis belum banyak


(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8

yang meneliti novel tersebut, keterjangkauan penulis dalam meneliti baik waktu, dana, kemampuan dalam mengapresiasi, dan novel tersebut memiliki relevansi dengan nilai-nilai kehidupan. Itulah beberapa pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini dengan judul penelitian Sinkretisme dalam Novel Hubbu Karya Mashuri, Kajian Sosiologi, Budaya dan Resepsi Pembaca.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang sosiobudaya dalam novel Hubbu?

2. Bagaimana wujud nilai sosiobudaya sinkretisme dalam novel Hubbu?

3. Bagaimana pandangan sosiobudaya dan sinkretisme pembaca terhadap novel Hubbu?

C. Tujuan Penelitian

Mendasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosiobudaya dalam novel

Hubbu.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan wujud nilai sosiobudaya sinkretisme dalam novel Hubbu .

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan sosiobudaya dan sinkretisme pembaca terhadap novel Hubbu.


(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Masing-masing manfaat tersebut adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian sastra, khususnya pengkajian novel sebagai genre prosa fiksi dengan kajian sosiologis, budaya, dan resepsi pembaca.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah:

a. dapat dijadikan sebagai alat bantu bagi pembaca dalam memahami Novel Hubbu;

b. dapat dijadikan sebagai rujukan atau bahan pembanding bagi para peneliti novel Hubbu dengan tinjauan sosiologis;

c. dapat dijadikan sebagai alat pengembangan apresiasi sastra bagi para siswa di sekolah-sekolah; dan

d. dapat memberikan masukan bagi pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa dalam upaya melestarikan budaya dan tradisi Jawa.


(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

LANDASAN TEORITIS, PENELITIAN YANG RELEVAN. DAN

KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teoritis

Pada bagian ini dideskripsikan teori-teori atau konsep-konsep yang berkaitan dengan empat hal penting yang digunakan peneliti sebagai pijakan dalam menganalisis data penelitian yang ada dalam novel Hubbu. Keempat teori atau konsep itu adalah (1) hakikat sastra, (2) hakikat novel, (3) hakikat sosiologi sastra, dan (4) hakikat resepsi sastra.

1. Hakikat Sastra

Dalam dunia sastra, sudah sangat lazim dikenal suatu pembedaan di antara genre-genre sastra. Meski pembedaan itu sering dibicarakan tetapi masih tetap berguna ketika membicarakan perihal proses kreatif tersebut. Karya sastra tercipta dari upaya mengolah kemungkinan-kemungkinan melalui sistem tanda yaitu bahasa

sebagai proses transformasi dari dunia nyata menjadi dunia rekaan. Bagi kaum romantik yang memuja penampilan utuh atas dunia, hal itu telah mendorong mereka pada keyakinan bahwa dunia (kenyataan) pada dasarnya adalah tidak sempurna, terpecah-pecah, penuh paradoks dan antagonisme yang tak terselesaikan sehingga memerlukan sejenis penataan ulang. Karya sastra adalah sebuah upaya penataan ulang dari dunia yang tidak tertata tersebut, suatu kosmos yang tercipta dari khaos. Seperti yang didengungkan Albert Camus, bahwa dalam sejarahnya, seni tak putus dirundung mimpi untuk menyempurnakan dunia. Dengan


(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kata lain, sebuah karya sastra merupakan suatu kemungkinan untuk menciptakan kosmos tertentu, suatu dunia baru yang kurang lebih otonom, bukan sekadar wujud tiruan dari kenyataan yang khaos tersebut, melainkan dalam rangka melampauinya. Pada sisi lain, jika dilihat dari aspek semiotik, cara pandang seperti yang digambarkan di atas akan melihat karya sastra sebagai hasil daya upaya penciptaan kreatif yang bertumpu pada suatu pendekatan yang masih dapat dimengerti secara inderawi, bahwa karya sastra adalah penampakan visual yang terbuat dari rajutan unsur-unsur yang terbatas di mana dunia rekaan yang ditampilkannya disebut sebagai teks, yakni sejenis bangunan yang tersusun oleh elemen-elemen tanda yang saling berkaitan dan membentuk semacam struktur yang utuh.

a. Pengertian Sastra

Teeuw (1988:23) memberikan pendapat tentang kata “sastra” dari beberapa bahasa. Dalam bahasa Inggris dan Jerman sastra disebut dengan literature, dalam bahasa Perancis literature,yang kesemua itu dari bahasa Yunani yaitu literatura terjemahan dari gramatika. Literature dan gramatika berasal dari kata littera dan gramma yang berati”huruf” dan “tulisan”. Dalam bahasa Perancis menggunakan kata letter, di Belanda menggunakan kata geletterd yanng berarti orang yang berperadaban dengan kemahiran khusus dalam bidang sastra. Lierature dalam bahasa barat modern kemudian diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Teeuw (1988:41) membuat kesimpulan tentang sastra, bahwa tidak ada kriteria yang jelas yang dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan


(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12

bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis dalam sastra, dan sebaliknya ada sastra tulis dan sastra lisan.

Sastra adalah ciptaan visual yang lahir dari segala kemungkinan yang berkaitan dengan dunia yang berada di luar diri pengarangnya. Ia adalah penampilan dari dunia eksterior sehingga pembacaan dan pemahaman atas makna tak bisa dilepaskan dari bagaimana proses terbentuknya kenyataan sosial yang ditampilkannya. Seperti yang ditegaskan Hoggart (dalam. Teeuw, 1988:237):

Good literature recreates the sense of life, its weight and texture. It recreates the experiential wholeness of life and the social life, the object-

laden world. It creates these things all together and interpenetrating, as they do in the lives we live ourselves….. Good literature recreates the immediecy of life.

“Sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang sarat objek. Hal ini diciptakannya bersama-sama dan secara saling berjalinan. Seperti terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. … Sastra baik menciptakan kembali kemendesakan hidup.”

Teeuw (1988:237) menegaskan pendapat Hoggart, bahwa dalam arti lain karya rekaan merupakan dokumen sosial, yang lebih dulu disebut jalan keempat kebenaran: lewat sastra pembaca seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya.


(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sastra sebagai sebuah karya rekaan merupakan analisis dan pengamatan pengarang terhadap kondisi sosial suatu masyarakat. Suatu realitas dengan kondisi sosial yang kompleks yang tak pernah usai untuk diperbincangkan, diperdebatkan, dan dicarikan jalan ke luarnya. Problem kehidupan dengan cara menyiasati dan menyelesaikannya dikemas pengarang dengan sentuhan imajinasi yang membuat sebuah karya sastra lebih bermakna, sehingga dapat menjadi bahan renungan pembacanya. Sebagaiman dikatakan Muchtar Lubis bahwa pengarang menulis tentang hati manusia, yang utuh dan retak, tentang keberanian dan kepengecutan, kesetiaan dan pengkhianatan, kebenaran dan kepalsuan, kejujuran dan kebohongan, konflik dan keselarasan, kehormatan dan kehancuran martabat, kemuliaan dan kenistaan. Juga tentang kemanusiawian dan kebinatangan manusia itu sendiri.

Dari beberapa pengertian sastra di atas, sastra dapat didefinisikan berdasarkan pendekatan yang dilakukan oleh Abrams dengan pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik (Teeuw, 1988:50). Dijelaskan bahwa pendekatan objektif memandang bahwa sastra didefinisikan sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca. Pendekatan ekspresif melihat karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan. Berdasar pendekatan mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam, tiruan kehidupan, dan tiruan kenyataan. Sementara itu, pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, seperti nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca.


(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14

Menurut Wicaksono Adi (2005:35), sastra, baik itu prosa, puisi, maupun drama, pada dasarnya adalah sebuah teks yang mengandung hubungan-hubungan tanda, baik secara internal yang memunculkan makna tekstual dan secara eksternal sering disebut sebagai makna referensial. Sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut. Sastra mempunyai dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek isi. Aspek bentuk adalah hal-hal yang menyangkut objek atau isi karya sastra, yaitu pengalaman hidup manusia, seperti sosial budaya, kesenian, cara berpikir suatu masyarakat, dan sebagainya. Aspek isi inilah sebenarnya yang paling hakiki, sebab bahasa hanya sebagai wadah atau medianya saja.

Atar Semi (1990:8) mengatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dengan demikian, sastra sebagai karya kreatif harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan-kebutuhan keindahan manusia. Sastra harus pula menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.

b. Manfaat Sastra

Dengan batasan seperti di atas, maka jelaslah bahwa sastra mempunyai peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia, terutama kehidupan rohani. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia sampai dengan yang paling kompleks sekali pun dapat diungkapkan dalam karya sastra tersebut.


(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Atar Semi (1990:20) menjelaskan bahwa sastra mempunyai peranan atau misi bagi kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat. Misi sastra yang pertama adalah, sebagai alat untuk menggerakkan pemikiran pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia menghadapi masalah. Misi yang kedua adalah, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat di mana nilai kemanusiaan mendapat tempat yang sewajarnya dipertahankan, dan disebarluaskan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan menggebu-gebunya kemajuan sains dan teknologi. Jadi, sastra dapat menjadi pengimbang sains dan teknologi yang kehadirannya tidak dapat ditolak. Misi yang ketiga adalah, untuk meneruskan tradisi suatu bangsa kepada masyarakat sezamannya dan kepada masyarakat yang akan datang terutama cara berpikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaan.

Meskipun sastra akan mengungkapkan kehidupan manusia, namun proses penciptaannya melalui daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi dari para sastrawan. Sebelum membuat karya sastra, pengarang menghayati segala persoalan kehidupan manusia dengan penuh kesungguhan lebih dulu, kemudian mengungkapkannya kembali melalui sarana fiksi (bisa dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel, atau drama). Dalam proses penciptaannya itu, kreativitas sastrawan dapat bersifat “tak terbatas”. Pengarang dapat mengkreasi, memanipulasi, dan menyiasati berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamatinya menjadi berbagai kemungkinan kebenaran yang hakiki dan universal dalam karya fiksinya. Pengarang dapat mengemukakan sesuatu yang hanya mungkin terjadi, dan dapat terjadi, walau secara faktual tidak pernah terjadi. Maka dengan cara itu karya fiksi tersebut dapat


(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16

mengubah hal-hal yang terasa pahit dan sakit jika dijalani dan dirasakan pada dunia yang nyata, namun menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra (Burhan Nurgiyantoro, 1998:6). Oleh karena itu, melalui karya sastra secara tidak langsung pembaca akan mendapatkan suatu kesempatan belajar memahami dan menghayati berbagai persoalan kehidupan manusia yang sengaja diungkapkan oleh pengarang. Dengan demikian karya sastra dapat mengajak pembaca untuk bersikap lebih arif.

Sastra merupakan hasil salah satu cabang kesenian dan merupakan cabang kebudayaan. Seperti hasil kesenian pada umumnya, karya sastra mengandung unsur keindahan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan dapat menyegarkan perasaan penikmatnya. Sastra adalah budaya bangsa dengan bahasa sebagai medianya. Karya sastra dengan segala bentuknya, yaitu puisi, prosa, drama, dan lain-lain berisi curahan pengarangnya. Isi jiwa ini merupakan kekayaan rohaniah dari bangsa yang memilikinya. Kekayaan rohaniah itu bagi pengarangnya merupakan keterampilan dan prestasi di alam pemikiran yang mengandung pesan spiritual yang dapat disampaikan kepada masyarakat pembacanya dari masa ke masa. Dari sudut pembacanya, kekayaan rohaniah yang tersimpan di dalam karya sastra merupakan sumber informasi, sumber kekuatan yang tidak ada habis-habisnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sastra adalah sebuah teks yang tersusun oleh berbagai kemungkinan penataan ulang dunia yang khaos dan kemungkinan tersebut baru memperoleh maknanya setelah dibaca oleh pembacanya. Pada akhirnya karya sastra senantiasa akan terikat dengan kenyataan yang hendak dilampauinya tersebut. Ia tidak berpijak pada ruang kosong melainkan pada bumi


(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kenyataan yang menyampaikan sisi kehidupan manusia dan masalahnya karena karya sastra sesungguhnya lebih bersifat subjektif. Namun, melalui penghayatan dalam memahami karya sastra pembaca akan lebih dalam mengenal kehidupan sosial dan cara-cara manusia menghayati kehidupan dengan perasaannya.

2. Hakikat Novel

Pada subbagian ini dibahas beberapa hal tentang: (a) pengertian novel, (b) struktur novel, dan (c) unsur-unsur novel

a. Pengertian Novel

Novel sebagai salah satu genre prosa fiksi memiliki keluasan dalam menuangkan gagasan baik dari unsur instrinsik maupun ekstrinsik. Novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.

Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah pemeran (tokoh cerita) lebih banyak. Hal ini sangat berbeda dengan novel yang lebih sederhana dalam penyajian alur cerita dan tokoh cerita yang ditampilkan.

Banyak orang memberikan batasan atau definisi novel tetapi hingga kini belum ada patokan yang jelas yang dapat berterima oleh semua pihak. Batasan atau definisi yang diberikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Hal ini karena novel memiliki keluasan wilayah dalam


(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18

mengemban cerita. Novel berasal dari bahasa latin novellas yang berasal dari kata novies yang bermakna baru. Kata baru ini dimaknai sebagai bandingan dari genre sastra yang lain seperti puisi, drama, dan roman. Genre prosa ini muncul kemudian. Berikut ini pengertian novel menurut beberapa ahli.

Pengertian novel menurut Jakob Sumarjo adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat. Sementara itu, menurut Herman J. Waluyo (1994:37) novel jauh lebih panjang jika dibanding cerpen, sehingga novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, lebih rinci, lebih mendetail, dan menyajikan sesuatu lebih banyak. Lebih lanjut Herman J. Waluyo mengemukakan bahwa novel mempunyai ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.

Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985:165) memberi kesimpulan bah-wa novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi, menyajikan lebih dari satu efek, dan menyajikan lebih dari satu emosi. Goldman (dalam Faruk, 1994: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh diungkapkan bahwa novel merupakan genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antar sang hero.

Stanton (2007:90) mempunyai gambaran sendiri tentang novel, ia mengemukakan bahwa novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter,


(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id situasi sosial yaang sangat rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Itulah yang membedakan novel dengan cerpen. Yang lebih memikat dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit.

Burhan Nurgiyantoro (2002:4) memberikan batasan novel sebagai karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang tentu saja bersifat imajiner. Ditambahkan bahwa suasana yang digambarkan di dalam novel adalah sesuatu yang realitis dan masuk akal. Kehidupannya digambarkan bukan hanya sebatas kehebatan dan kelebihan tokoh (untuk tokoh utama/ yang dikagumi) tetapi juga digambarkan kekurangannya.

Jika dilihat dari tebal tipisnya halaman dan jumlah kata yang digunakan, serta jumlah halamannya, Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki (1998:10) memberikan definisi novel sebagai berikut:

Novel is a long work of fiction that contaiss than 10.000 word. It is more incidents, settings, characters, and may take place in a long span of time. I may have more than one theme and more conflicts. Novel tends to expan and it is very complex in its structure. It does not finish to be read once a seat as short story because its length develops the character’s problem.

Seperti halnya pendapat Koesno Soebroto dan Sunaryo Basuki, Suminto A. Sayuti (2000:7-8) memberikan pengertian novel (cerita rekaan) dilihat dari beberapa


(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20

sisi. Ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya (cerita rekaan) bersifat ekspan, meluas yang menitikberatkan pada kompleksitasnya. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca dalam sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerpen. Dalam novel juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang. Sementara itu, Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003:126), memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural. Ia mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis.

Nampaknya Goldmann tidak mempersoalkan panjang pendek ukuran jumlah kata yang harus dituliskan, tetapi lebih kepada bagaimana sebuah novel secara leluasa mampu menjelaskan dan mencantumkan segala aktifitas mental dan kesadaran sosial. Kepadanya dituntut adanya rekonstruksi gejala sosial, perilaku impersonal, dan peristiwa-peristiwa historis yang dialami tokoh-tokohnya dengan keleluasaan mengelola bahasa.

Melengkapi beberapa pendapat para pakar di atas, Jakob Sumarjo (1994:29) memberikan batasan novel sebagai cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran yang luas dapat berarti cerita yang alurnya kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu


(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id unsur fiksinya saja, misalnya tema, sedangkan karakter, setting, dan lain-lainnya hanya salah satu saja.

Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar di atas dapat disimpulakan bahwa novel sebagai cerita fiksi merupakan genre prosa yang dibangun dari unsur-unsur pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki keterkaitan di antaranya, untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyampai gagasan pengarang tentang peristiwa hidup dan kehidupan dalam lingkup kehidupan sosialnya.

b. Struktur Novel

Sebagaimana genre prosa yang lain, novel memiliki unsur pembangun dari dalam dan dari luar yang dikenal dengan unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik novel yang terdiri dari cerita, peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, bahasa dan gaya bahasa, serta tema, merupakan unsur - unsur yang mewujudkan novel.

Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun novel dari luar yang tidak menjadi bagian di dalam novel tersebut. Namun, unsur ekstrinsik cukup memiliki pengaruh dalam terwujudnya totalitas konstruksi cerita yang dibangun. Menurut Wellek dan Werren (1989:75) antara lain adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi pengarang dalam proses kreatifnya, psikologi pembaca, maupun penerapan psikologi dalam karya, sedangkan keadaan lingkungan pengarang dalam hal


(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

ekonomi, politik, dan sosial, pandangan hidup, dan lain sebagainya juga turut mempengaruhi karya sastra yang diciptakannya.

Novel sebagai sebuah cerita rakaan memiliki konvensinya sendiri yaitu konvensi sastra yang memiliki “watak otonom”. Seperti yang ditegaskan Teeuw (1988:11) bahwa karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh, setia pada dirinya sendiri. Clara Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282) menyatakan bahwa novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan indah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap novel selayaknya menimbang keutuhan dan kebulatan struktur cerita sebagai keutuhan konstruksi bangunan karya dalam lingkaran unsur-unsur naratif sebagai elemen fiksional yang membangun totalitas karya.

Burhan Nurgiyantoro (2002:4) berpendapat bahwa, novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur instrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat imajiner. Lebih lanjut, Burhan Nurgiyantoro (2002:10-11) membedakan cerpen dengan novel yaitu: (1) novel lebih panjang dari cerpen, cerpen selesai dibaca dalam sekali duduk, suatu hal yang tidak mungkin diperlakukan sama dengan novel; (2) cerpen mempunyai plot tunggal, sedangkan novel umumnya lebih dari satu plot; (3) setting dalam novel lebih detail, dalam cerpen pelukisan setting hanya garis besarnya saja; (4) tema dalam cerpen hanya satu, tema novel lebih dari satu yaitu tema utama dan


(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tema tambahan; (5) kepaduan dalam cerpen lebih mudah tercipta, sedangkan dalam novel lebih sulit karena novel biasanya terdiri dari beberapa baris sehingga sulit mencari kepaduan dalam novel. Burhan Nurgiyantoro membagi unsur instrinsik novel menjadi beberapa unsur, yaitu: peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.

Foster (1980:19) membagi unsur novel menjadi enam, yaitu: (1) cerita; (2) manusia; (3) plot; (4) khayalan; (5) ramalan; dan (6) irama. Unsur-unsur cerita, manusia, khayalan, dan ramalan dapat mewakili istilah yang lebih populer yaitu: jalan cerita, karakterisasi, suspense, dan foregrounding. Dalam cerita fiksi ditambahkan ramalan terhadap peristiwa yang terjadi pada masa yang akan datang. Sementara Boulton (1984:29-45) membagi struktur novel menjadi enam, yaitu: (1) point of fiew; (2) plot; (3) character; (4) percakapan; (5) latar dan tempat kejadian; dan (6) tema.

Melengkapi beberapa pendapat tentang struktur novel, Jakob Sumardjo (1982:11) menyebutkan bahwa struktur novel terdiri dari: (1) plot atau alur; (2) karakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau latar; (5) suasana; (6) gaya; (7) sudut pandang penceritaan.

c. Unsur-Unsur Novel

Berikut ini dijabarkan beberapa unsur instrinsik sebagai pembangun novel yang berkaitan dengan pengkajian sosiologis, budaya, dan resepsi sastra.

1) Tema


(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

seringkali diformulasikan sebagai ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan sebuah karya fiksi. Karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, maka tema yang diusung di dalamnya menjadi sangat beragam, seberagam permasalahan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri. Tema dalam karya fiksi dapat berupa persoalan moral, agama, sosial, politik, hukum, cinta, serta masalah-masalah kehidupan.

Kenney (dalam Herma J. Waluyo, 2009:11)) menyebut tema sebagai “ the meaning of the story” , dengan penjelasannya: “ Theme is not closely approach the meaning of the moral of story, it is not the subject, it is not what people have in mind when they speak of what the story really means, not what the story illustrates” . Jika Kenney menyebut tema bukan moral cerita, bukan subjek, dan bukan sebuah hidden meaning, makna tersembunyi, maka tema dinyatakan sebagai “ theme is meaning the story releses; it may be the meaning the story discovers. By theme we mean the necessary implications of the whole story, not a saparable part of a story” . Pemahaman tema tidak akan dapat dicapai tanpa memahami keseluruhan cerita secara holistis, secara bulat/utuh.

Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1986:142), tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaannya. Di samping itu, penentuan tema juga harus mendasarkan pada pengertian bahwa kebermaknaan sebuah cerita yang secara khusus menerangkan yang sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana (Stanton, 1965:21). Akhirnya, tema itu bersinonim dengan apa yang oleh Stanton disebutkan dengan ide


(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id utama (central of idea) dan tujuan utama dari cerita itu sendiri (central purpose).

Tema dalam sebuah novel dapat diungkapkan melalui banyak cara, seperti lewat dialog antartokoh, melalui konflik yang dibangun, atau melalui narasi dan komentar langsung dari pengarangnya. Di sini pengarang diuji keberhasilannya dalam menyampaikan dan mengemas tema dari upaya menyeleksi dan merekam kejadian yang ada di masyarakat.

Penggolongan tema menurut Herman J. Waluyo (2009:12) dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); (5) tema divine (tema ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, politik, ekonomi, adat, tatacara dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual. Sedangkan tema devine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat relejius yang menghubungkan manusia dengan penciptanya.

Adapun penggolongan tema menurut Burhan Nurgiyantoro (1998:77) dibedakan ke dalam: (1) tema tradisional dan nontradisional; (2) penggolongan tema yang didasarkan pada tingkat pengalaman jiwa menurut Shippley, dan (3) penggolongan tema dari tingkat keutamaannya (tema utama dan tema tambahan). Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam


(42)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26

berbagai cerita. Tema tradional biasanya dapat dinyatakan dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut: (1) kebenaran dan keadilan selalu mengalahkan kejahatan; (2) tindak kejahatan meski ditutup-tutupi akan terbongkar juga; (3) tindak kejahatan atau kebenaran masing-masing akan memetik hasilnya; (4) cinta sejati menuntut pengorbanan; (5) kawan sejati adalah kawan di masa duka; (6) setelah menderita orang baru mengingat Tuhan; (7) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya. Simpulannya, menurut Meredith dan Fitzgerald (1972:6), tema tradisional itu selalu bermuara pada rentangan antara kebenaran dan kejahatan.

Shippley (1962:417) mengungkapkan beberapa tingkatan tema yang didasarkan pada pengalaman kejiwaan. Tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Tema tingkat fisik (man as molecul), tema fiksi dalam tingkat ini lebih banyak pada banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan, yang menekankan pada mobilitas fisik daripada psikologis yang dikembangkan dalam teks cerita. Tema tingkat organik (man as protoplasm), tema jenis ini lebih mengarah pada persoalan seksualitas, suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Dalam banyak problem kehidupan seksual manusia mendapat penekanan pada karya fiksi. Tema tingkat sosial (man as socious) manusia dipandang sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, karena itu merupakan wahana manusia dalam berinteraksi secara maksimal. Dalam kehidupan itulah muncul banyak konflik dan muncul problem sosial yang sering diangkat menjadi tema dalam novel. Tema tingkat egoik, manusia dipandang sebagai individu (man as individualism). Persoalan individualitas itulah, seringkali mengilhami pengarang dalam melahirkan novel sebagai karya fiksi.


(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Masalah individualisme ini menyangkut masalah: egoisitas, martabat, harga diri, sikap, maupun sikap tertentu yang berkait dengan individualitas seseorang. Tingkatan tema terakhir adalah tema tingkat devine. Manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang tidak semua orang dapat mencapainya. Masalah yang menonjol dalam cerita fiksi adalah komunikasi intensif manusia dengan sang Khaliq-Nya. Dalam karya-karya inilah nilai sufistik dan relegiusitas mencapai titik puncak. Sebuah pengungkapan gambaran, visi, dan keyakinan yang adiluhung. Pengelompokan terakhir adalah tema mayor (tema utama) dan tema minor (tema tambahan). Tema mayor adalah tema yang menyaran pada tema pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar dalam pengembangan cerita di dalam novel; sedangkan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu (peristiwa), tema yang demikian dimaksudkan sebagai tema tambahan.

Stanton (1965:27) mengemukakan langkah-langkah menafsirkan tema sebagai berikut:

Pertama, menafsirkan tema dalam karya fiksi mestinya mempertimbanngkan setiap detil yang ada dalam cerita (utamanya yang menonjol). Parameter ini merupakan yang paling urgen. Sebab, identifikasi terhadap persoalan yang menonjol dalam cerita fiksi umumnya menunjukkan bagaimana cerita dikembangkan dari konflik-konflik yang dibangun pengarang. Karena, detil-detil itu akan mencakup pada pusaran masalah utama. Sebuah muara cerita yang harus ditelusuri secara intensif.

Kedua, penafsiran sebuah tema dalam karya fiksi mestinya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Peristiwa dn fakta yang diangkat tidak akan


(44)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28

memberikan detail yang bertentangan dan saling kontradiksi dalam menjalin kebulatan tema.

Ketiga , penafsiran tema mestinya tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang kurang akurat (tidak baik penyajiannya) baik langsung maupun tidak langsung. Sebab, tema cerita tidak bisa hanya mendasarkan pada perkiraan pembaca saja, sebaliknya harus melalui proses kajian yang intensif.

Keempat, penafsiran dalam karya fiksi mestinya mendasarkan pada bukti-bukti yang secara langsung ada di dalam cerita. Parameter ini mempertegas bahwa penetapan tema haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang ada dalam cerita, baik langsung maupun tidak langsung. Kesimpulan yang diambil karenanya tidak boleh bertentangan dengan bukti dan fakta-fakta yang ada.

Berpijak pada beberapa pendapat para pakar di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa tema novel pada hakikatnya adalah gagasan dasar dalam sebuah novel. Dan dari tema inilah dari sudut pandang pengarang digunakan sebagai kompas pemandu dan pengembangan sebuah cerita. Sebaliknya, sebagai pembaca justru harus dirunut dari segala sudut dan aspek dari cerita yang didasarkan pada komponen fiksi yang membangunnya.

2) Tokoh dan Penokohan

Kata penokohan merupakan kata jadian dari kata tokoh, yang berarti “pelaku”. Dengan demikian , pengertian tokoh merujuk pada aktor yang ada dalam cerita fiksi. Berbicara tentang penokohan berarti merujuk pada apa yang disebut dengan karakter atau perwatakan tokohnya, juga berbicara tentang cara-cara


(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengarang dalam menampilkan pelaku melalui sifat, sikap, dan tingkah laku pemain dalam novel. Dalam bahasa Jones (1968:33) penokohan dimaksudkan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang digambarkan dalam cerita fiksi; sedangkan menurut Stanton (1968:), istilah perwatakan itu sendiri merujuk pada dua konsep yang berbeda: (1) sebagai tokoh–tokoh yang ditampilkan, dan (2) sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki para tokohnya.

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi berfungsi untuk memainkan cerita, di samping juga untuk memainkan ide, motif, plot, dan tema yag sedang diangkat oleh pengarangnya. Semakin berkembang aspek psikologisnya, semakin mengukuhkan pentingnya kajian menarik berkaitan dengan tokoh dan penokohan dalam cerita fiksi. Menjadi alasan penting akan peranan tokoh-tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan pengarang (Jakob Sumardjo, 1986:63). Konflik-konflik yang terdapat dalam cerita fiksi mendasari plot yang pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari peran dan karakter para tokohnya.

Penokohan merupakan salah satu unsur novel yang menggambarkan keadaan lahir maupun batin seorang tokoh atau pelaku. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pelukisan pelaku dapat dilaksanakan dengan menceritakan keadaan fisik dan psikis pelaku. Dalam menampilkan tokoh cerita, pengarang dapat melakukan dengan cara analitik, dramatik, dan gabungan antara keduanya. Cara analitik digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menguraikan sifat-sifat pelaku secara langsung. Sementara itu, dramatik ialah cara yang dipergunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan atau menampilkan pelaku dalam: melukiskan tempat atau


(46)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30

lingkungan pelaku; melukiskan dialog antara pelaku dengan pelaku, atau dialog pelaku lain tentang pelaku utama; menampilkan pikiran-pikiran pelaku atau pendapat pelaku lain tentang pelaku utama; dan menceritakan tingkah laku setiap pelaku.

Cara lain yang dipergunakan pengarang dalam menampilkan pelaku atau penokohan adalah dengan: a) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahir para pelaku; b) Portrayal of thought stream or consious tought, yaitu melukiskan jalan pikiran para pelaku; c) Reaction to events, yaitu melukiskan reaksi pelaku terhadap kejadian yang ada; d) Direct to author analysis, yaitu pengarang secara langsung menganalisis watak pelaku; e) Discussion of environtment, yaitu pengarang menggambarkan keadaan yang ada disekitar para pelaku; f) Reaction of others to-character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama; g) Conversation of other about character, yaitu pengarang melukiskan percakapan pelaku lain mengenai pelaku utama (Tasrif dalam Mochtar Lubis, 1983:11).

Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita yang diciptakannya. Ketiganya biasanya digunakan bersama-sama. Ketiga cara tersebut adalah: (1) metode analitis yang oleh Hudson (1963:146) disebut metode langsung dan oleh Kenney (1966:34) disebut metode deskriptif atau diskursif; (2) metode tidak langsung yang juga disebut metode peragaan atau dramatisasi; dan (3) metode kontekstual menurut Kenney (1966:36).

Dalam metode analitis atau deskriptif atau langsung, pengarang secara langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (analitis). Deskripsi tentang diri sang tokoh itu dapat secara fisik (keadaan fisiknya), dapat secara psikis


(47)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (wataknya), dan dapat juga keadaan sosialnya (kedudukan dan pangkat) yang lazim adalah ketiga-tiganya. Metode tidak langsung atau metode dramatik kiranya lebih hidup daripada metode deskriptif. Pembaca ingin diberi fakta tentang kehidupan tokohnya dalam suatu alur cerita dan tidak perlu dibeberkan tersendiri oleh pengarang. Penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya.

Metode kontekstual adalah metode menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Jika seorang diberi julukan “buaya” misalnya, maka tokoh itu mempunyai watak yang dapat diwakili oleh perkataan buaya itu. Jika ia digambarkan sebagai “ular” atau “tikus” atau “keong” atau “rajawali” atau “banteng” maka sebenarnya pengarang menggambarkan watak tokoh melalui karakter binatang tersebut. Penggambaran watak itu mungkin secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokoh sindiran tersebut. Kebanyakan cerita rekaan menggunakan tiga metode sekaligus. Namun demikian, banyak juga yang didominasi oleh salah satu metode saja.

Penokohan dan perwatakan memiliki keterhubungan yang jalin-menjalin karena pada dasarnya penokohan yang menggerakkan tema dan membentuk alur. Tokoh digunakan sebagai penunjuk pelaku atau orang yang mengemban cerita sedangkan istilah penokohan lebih untuk memberikan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan dalam cerita. Tokoh-tokoh itu memiliki watak yang menyebabkan terjadi konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita (Herman J. Waluyo, 2009:27)


(48)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro menjelaskan bahwa penokohan memiliki cakupan pengertian yang lebih luas yaitu siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana memberikan penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Aminuddin (1987:79) berpendapat bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam fiksi sehingga peristiwa itu menjalin sebuah cerita

Lewat tokohlah pengarang menyampaikan gagasan, pandangan hidup, idiologi, pikiran, dan perasannya. Itulah sebabnya tokoh dalam fiksi (novel) haruslah tampak hidup, alamiah (natural), dalam istilah Suminto A. Sayuti (2000:68) memiliki lifelikeness “kesepertihidupan”. Sehingga dengan lifelikeness tersebut dapat menghubungkan dengan pembaca karena tokoh dalam novel akan menuntun pembaca pada pengalaman hidup yang dimiliki yang tidak hanya terbatas pada persamaan-persamaan tetapi juga pada perbedaan-perbedaan mendasar dari watak tersebut. Yang tak kalah pentingnya adalah bahwa pengarang harus mampu secara konsisten membangun watak tokoh-tokohnya sejak kemunculannya dalam cerita sampai pada cerita tersebut berakhir.

Jika plot atau alur merupakan roh dari sebuah fiksi, maka aspek tokoh dalam fiksi pada prinsipnya merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Ketika membaca novel sangat jarang pembaca mempertanyakan apa yang terjadi kemudian,


(49)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tetapi mempertanyakan “peristiwa yang terjadi kemudian itu menimpa siapa.” Watak tokoh hendaknya memiliki hubungan dengan elemen cerita yang lain yang mengukuhkan keterjalinan, seperti plot, setting, tema, dan sebagainya. Keterjalinan ini tidak berhenti pada elemen cerita saja tetapi juga harus memiliki keterjalinan hubungan dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Kehadiran tokoh lain (tokoh antagonis) akan mempertajam kekuatan konflik dalam cerita.

Herman J. Waluyo (2009: 28) menyatakan, bila salah satunya lebih kuat, maka akan terjadi penurunan tingkatan konflik cerita. Seperti yang diungkapkan Kenney : “ …. Character in fiction must attend to relationship between character and the other element of the story, and between character and story as a whole. Character mus be considered as part of the story’s internal structure”

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002:165) penokohan diartikan sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Wellek dan Werren (1989:288) menyatakan bahwa ada dua macam penokohan yaitu penokohan statis/tetap dan penokohan dinamis atau berkembang. Penjelasan tersebut mengantarkan pada kesimpulan bahwa suatu peristiwa akan hidup jika keterlibatan tokoh ada di dalamnya.

Wellek dan Warren (1989:287) memberi penjelasan bahwa cara paling sederhana menggambarkan perwatakan tokoh dengan memberi nama, setiap sebutan adalah sejenis memberi kepribadian, menghidupkan. Ditinjau dari keterlibatannya, Suminto A. Sayuti (2000:74) membedakan tokoh menjadi dua, yaitu: tokoh utama dan tokoh pariferal atau tokoh tambahan atau bawahan. Tokoh utama sebagai tokoh


(50)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34

sentral biasanya mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam kemunculannya. Lebih jauh Suminto A. Sayuti memberikan gambaran bahwa tokoh utama dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu: pertama, tokoh yang paling dominan terlibat dalam makna atau tema. Kedua, tokoh tersebut yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh tersebut yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Sementara itu, Herman J. Waluyo (2009:28-30) membedakan tokoh dengan menyebut tokoh protagonis dan antagonis sebagai tokoh sentral, tokoh andalan, dan tokoh bawahan. Disebutkan bahwa tokoh protagonis dan antagonis sebagai tokoh sentral yang kehadirannya mendominasi keseluruhan cerita. Yang merupakan kebalikan tokoh sentral Herman J. waluyo menyebutnya dengan tokoh bawahan atau tokoh sampingan, tokoh bawahan hanya ditempatkan sebagai latar belakang saja dalam fungsinya, sedangkan tokoh bawahan yang dapat diandalkan disebut sebagai tokoh andalan. Pembagian watak tokoh dikemukakan pula oleh Shanon Ahmad (dalam Herman J. Waluyo, 2009: 29) yang membagi watak tokoh menjadi dua, yaitu: tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Lebih jauh dijelaskan bahwa tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih, sedangkan tokoh pipih adalah tokoh yang memiliki watak sederhana.

Suminto A. Sayuti (2000:89) menjelaskan bahwa penggambaran watak tokoh bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan cara analitik dan dramatik, dengan metode langsung dan tak langsung, dengan metode telling atau uraian dan showing atau ragaan, ada pula yang menempuh cara dengan metode diskursif, dramatik, kontekstual, dan campuran.


(51)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam menilai karakter dan perwatakan para tokoh dalam novel dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan tokohnya. Identifikasi tersebut mendasarkan pada “konsistensi atau keajegan. Keajegan tersebut mencakup: keajegan sikap, perilaku, moralitas, dan pola pikir dalam memandang dan memecahkan masalah.

Sementara itu, Aminuddin (1987:80-81) memberikan gambaran bagaimana memahami watak tokoh dengan menelusuri lewat cara: Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya. Gambaran pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaian. Dapat dilihat dengan (1) bagaimana perilakunya, (2) bagaimana tokoh tersebut berbicara dengan dirinya sendiri, (3) memahami bagaimana jalan pikiran tokoh, (4) bagaimana tokoh laian berbicara tentang dirinya. (5) bagaimana tokoh lain berbicara dengan dirinya, (6) bagaimana tokoh lain memberikan reaksi terhadap dirinya

Penulis akan menggunakan cara seperti yang dikemukakan Aminuddin dalam membuat analisis penokohan novel Hubbu. Karena penelitian ini menggunakan tinjauan sosiologis maka penulis juga akan menggunakan pembagian tiga dimensi karakter dari pendapat yang dikemukakan Harymawan (1988:25-26) yaitu: Dimensi fisiologis, yang mengarahkan pada ciri-ciri badani/ fisik. Misalnya, usia, tingkat kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka. Dimensi sosiologis, yaitu latar belakang kemasyarakatan. Misalnya, status sosial, pekerjaan, jabatan,peran dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, kepercayaan, agama, idiologi, aktifitas sosial, organisasi, hobby, bangsa, suku, dan keturunan. Dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan. Misalnya, mentalitas,


(52)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36

ukuran moral, temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, dan keahlian khusus.

3) Plot (Alur Cerita)

Alur cerita dalam kajian fiksi tidak dapat dipandang remeh. Penguasan alur menjadi kunci penting karena hanya melalui alurlah, peristiwa dapat dirunut dan hubungan antar tokoh dapat ditelusuri lebih intensif. Menurut Zainuddin Fanani (2001:93) ,alur sendiri secara umum dipahami sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg (dalam Zainuddin Fanani, 2001: 93) menyebut alur sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan dan dialami oleh pembaca.

Kenney (1966:13-14) menyatakan bahwa:

“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but alsorelationship. Plot makes us aware of event not marely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of couse and effect” . The structure of plot to recocnize this much, however. Is only a beginning. We must concide in more specific terms the form this “ arrangement” we call plot is likely to teke. For. Underflying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns” .

Struktur alur, secara tradisional sebagaimana yang diungkapkan Petronius (dalam Zainuddin Fanani, 2001:93) mencakup tiga bagian penting, yaitu: (1) expocition (setting forth of beginning); (2) conflict (a complication that moves to climax); dan (3) denoument (literally, :unknotting” , the outcome of the conflict; the resolution).

Sementara Crane (1957:63), memberikan pandangan lain bahwa pemahaman terhadap alur harus didasarkan pada keterkaitannya dengan elemen lain


(53)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id seperti karakter, diksi, maupun proses naratifnya. Lebih dari itu hubungan peristiwa yang ada di dalam sebuah cerita fiksi harus diletakkan dalam rangkaian sekuen kausalitas hubungan sebab akibat, hubungan perkembangan karakter pelaku, hubungan dengan latar, dan penempatan atau penyusunan dari rangkaian peristiwa itu sendiri.

Lebih jauh Crane memberikan tiga dasar prinsip dalam analisis plot, yakni: (1) plot of action; (2) plot of character; dan (3) plot of thought. Plot of action mencakup proses perubahan peristiwa yang lengkap baik yang muncul secara bertahap maupun mendadak pada situasi yang dihadapi oleh tokoh utama. Dalam analisis ini juga dijelaskan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh yang bersangkutan dalam menghadapi situasi. Plot of caracter, mencakup proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan; sedangkan plot ofthougth merujuk pada proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi.

Adapun jenis-jenis plot dapat dikatagorikan ke dalam kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatannya. Pengelompokan yang didasarkan urutan waktu membedakan ke dalam dua katagori utama, yaitu: (1) plot kronologis, dan (2) plot tak kronologis. Plot kronologis sering disebut dengan plot lurus, maju, atau plot progresif; sedangkan plot tak kronologis disebut dengan plot sorot balik, mundur, atau flas back, dan regresif. Plot kronologis adalah jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan itu bersifat kronologis. Artinya peristiwa pertama diikuti


(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id watak, moral, dan kepribadian siswa juga menjadi tugas dan kewajiban guru Bahasa Indonesia, bukan hanya tugas guru agama.

Oleh karena itu, hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran apresiasi di sekolah karena penelitian dengan kajian sosiobudaya terhadap novel

Hubbu ini ditemukan wujud nilai-nilai yang sarat akan makna hidup dan kehidupan.

Representasi nilai-nilai yang terkandung dalam novel Hubbu bisa dijadikan sebagai pembelajaran budi pekerti dan moral sehingga akan terbentuk pendidikan karakter bangsa bagi anak didik lewat pembelajaran apresiasi novel.

Penggambaran perwatakan tokoh dengan permasalahan yang dihadapi akan mengajarkan banyak hal bagaimana menyikapi dan meneladani hal-hal yang terdeskripsikan dalam temuan penelitian ini. Dari situlah secara tidak langsung pendidikan karakter ini akan masuk lewat kegiatan apresiasi novel.

4. Aspek Pelestarian Budaya Jawa Melalui Apresiasi Sastra

Wujud lain dari penelitian ini adalah untuk melestarikan budaya Jawa lewat karya sastra novel Hubbu. Kerja penelitian yang penulis lakukan sebagai bentuk pelestarian budaya Jawa. Hal yang paling dasar adalah penulis menjadi lebih paham dan mengerti terhadap seni dan budaya Jawa yang memang harus dilestarikan dan tetap dibudayakan dalam karya sastra tersebut.

Budaya sebagai lambang identitas bangsa perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan mengangkat seni budaya tersebut ke permukaan, salah satunya dengan penelitian ini. Meluasnya aspek baca ketika hasil penelitian ini terakumulasi pada masyarakat pembaca dan bisa dijadikan sebagai pembanding pada penelitian lanjutan, maka akan memberikan


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ruang gerak dan pengaruh luas pada tataran yang lebih luas lagi. Perluasan tersebut terjadi secara tidak langsung dengan menyebarnya nilai-nilai seni budaya yang terkandung di dalam karya sastra tersebut manakala terjadi interaksi dengan pembacanya secara lebih luas.

Dengan demikian, proses pelestarian budaya Jawa bisa dikembangkan dan dilestarikan. Hal yang lebih mudah dilaksanakan adalah lewat pendidikan’ pem-belajaran sastra di sekolah. Dengan proses pempem-belajaran apresiasi sastra pelestarian seni dan budaya bisa sangat efektif. Penanaman nilai-nilai luhur budaya Jawa bisa dilakukan secara efektif, terus-menerus , dan bersinambung dengan apresisasi karya sastra novel tersebut.

5. Pengembangan Penelitian Sastra

Pada ranah penelitian ilmiah, hasil penelitian ini bissa dijadikan rujukan untuk meningkatkan kualitas penelitian ilmiah, khususnya pada kajian sosiobudaya. Sebagaimana diketahui landasan teoritis penelitian ini bergantung pada teori sosiologi sastra. Dalam batas tertentu, landasan teoritis ini menampakkan apa yang disebut oleh Ignas Kleden sebagai oportunis epistemologis. Oportunis epistemologis, meurut Ignas Kleden adalah sebagai topeng atau tameng mencari selamat untuk mudah dan enaknya saja dalam penelitian serta wahana untuk melepaskan tanggung jawab teoritis dalam sebuah penelitian. Untuk itu penelitian ini bisa dijadikan bahan referensi untuk penelitian yang akan datang bagi mahasiswa untuk memotivasi mencari landasan teoritis yang lebih kukuh, dalam arti terhindar dari oportunis epistemologis sehingga akan menghasilkan penelitian yang lebih berkualitas.


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kualitas sekolah modern ditentukan dari berapa banyak pembelajaran beraroma global. Para siswa dicekoki dengan berbagai disiplin ilmu yang cenderung bersifat teknologi dan ilmu pasti, materi pendidikan pun kini diberikan dalam bahasa asing. Tidak tanggung-tanggung, terkadang tidak hanya dalam satu bahasa asing saja, melainkan bisa dalam dua atau lebih bahasa asing untuk sekolah-sekolah berstandar internasional.

Pendidikan hanya dilihat dalam ukuran lulus atau tidak lulus. Proses belajar tidak dibangun dalam bentuk interaksi dua arah yang efektif, melainkan hanya berupa kegiatan di mana guru menyampaikan materi dan tidak melibatkan siswa untuk berlaku produktif dalam pembelajaran, kususnya pembelajaran sastra. Mendudukkan pembelajaran sains sebagai prioritas utama secara tidak langsung menanamkan persepsi bahwa bembelajaran sastra menjadi nomor dua atau tidak penting, bahkan cenderung dilupakan. Padahal dengan mempelajari karya sastra setidaknya siswa menyerap tiga aspek penting, yaitu wirama, wirasa, dan wiraga. Wirama adalah keindahan bunyi yang bisa ditemukan dalam kata-kata yang indah dan puitis yang terdapat dalam karya sastra. Wirasa adalah sensasi yang timbul sebagai efek dari stimulusnya mata dan telinga dengan unsur-unsur keindahan tadi. Dan wiraga adalah struktur kepribadian utuh sebagai hasil yang dibangun dari “rasa” sebagai landasan pijakan. Wiraga bukan hanya diindikasikan dari perkembangan fisik dan intelektual semata, melainkan juga pertumbuhan mental, jiwa, semangat yang selalu dalam proses kreatif dan inovatif.

Jika dari awal guru, dan semua pihak pelaku pendidikan, para pembuat dan pelaksana kebijakan, bahkan masyarakat umum sudah memberikan pemahaman


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pentingnya siswa mempelajari karya sastra, dan sekolah bukanlah pabrik yang mencetak murid dengan paramer angka maka siswa akan lebih memahami bahwa dengan mempelajari karya sastra akan berfungsi melahirkan manusia-manusia unggul dengan adab yang lebih bertingkat.

7. Cermin Pendidikan Masyarakat Pembaca

Penelitian terhadap novel Hubbu ini dapat dijadikan sebagai cermin bagi masyarakat pembaca. Bagaimanapun, karya sastra merupakan simbolisasi dari pemikiran spekulatif pengalaman manusia atas diri dan masyarakatnya. Dengan karya sastra, pembaca akan mengetahui refleksi terhadap realitas manusia dengan segala permasalahannya. Proses refleksi inilah yang bisa menghasilkan kerangka pemikiran filosofis untuk mengungkapkan fakta atau realitas hidup secara lebih komprehensif dan utuh. Pada saat inilah sastra berbicara tentang upaya pencarian diri dan penyosokan identitas manusia dan identitas masyarakat sosialnya sekaligus berperan sebagai sebuah wahana instrospeksi dan motivasi diri. Di sini pembaca dapat melihat bagaimana dengan brilian pengarang menyajikan proses terjadinya silang budaya yang mengakibatkan sebuah budaya tidak terjebak menjadi involutif.

Karya sastra akan selalu melalui mempersoalkan dirinya, adanya dan perwujudannya. Unsur fiksi atau rekaan yang terdapat dalam karya sastra merupakan dunia nyata yang dibutuhkan manusia sebagai fungsi penyeimbang bagi kebutuhan jiwanya. Jika di dalam kenyataan sehari-hari gerak-gerik manusia ada batasnya dalam dunia rekaan apa yang terjadi di dunia realitas bisa diulang kembali. Dengan demikian seseorang membaca sastra (novel) berari menyaksikan dirinya sendiri di dalamnya. Dan sastra adalah cermin raksasa yang istimewa, yang tidak hanya


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menampilkan diri manusia seperti dalam dunia nyata, tetapi sekaligus juga memperbaikinya bahkan menampilkan hal-hal yang tidak tampak dan tidak diketahui dalam realitas nyata, sehingga tidak berlebihan bila Wolfgang Iser mengatakan bahwa sastra mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan yang tidak terpentaskan, dan bahkan menghadirkan permasalahan yang mungkin tidak bisa dituntaskan dalam dunia realitas sehari-hari.

C. Saran

Saran penulis pada penelitian ini untuk: 1. Dunia Pendidikan

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemahaman novel dengan kajian sosiobudaya, dan apresiasi novel. Oleh karena itu, bagi lembaga pendidikan formal, disarankan kepada pengajar sastra agar mempertimbangkan hasil penelitian ini untuk bahan pembelajaran sastra Indonesia dan apresiasi novel khususnya. Bagi penelitian sastra, penelitian ini dapat dijadikan sebagai model sekaligus contoh pembanding untuk penelitian sejenis. Sedangkan di luar pendidikan formal, misalnya dalam forum diskusi sastra, sanggar kesenian, komunitas sastra, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai model sekaligus bahan apresiasi sastra.

b. Secara khusus, penelitian ini menghasilkan sebuah wawasan sekaligus model kajian sastra berperspektif budaya atau humaniora. Dengan kata lain, penelitian ini menghasilkan sebuah wawasan kajian sastra yang menempatkan novel dalam dialektika budaya Jawa sebagai bagian dari budaya Indonesia.


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id c. Dari segi isi, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pendidikan

humaniora atau pendidikan nilai di sekolah menengah. Hal ini berkait karena nilai budaya Jawa dalam kajian novel ini memiliki relevansi dengan kecenderungan-kecenderungan nilai yang dibutuhkan manusia modern yang sudah mulai meminggirkan budaya sendiri sehingga kecerdasan emosi dan kualitas hati nurani mulai terkikis, dengan membaca dan memahami karya sastra yang sarat nilai-nilai budaya (Jawa) akan mengembalikan kepekaan emosi bagi pembacanya.

2. Pelajar

Para pelajar sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intensif karena dengan belajar sastra akan didapat tidak hanya kompetensi di bidang akademik, tetapi juga nilai-nilai hidup dan kehidupan yang terkadang jarang diteukan dalam kehidupan nyata.

3. Peneliti Sastra

Peneliti yang memiliki minat terhadap kajian sastra hendaknya terus berupaya meningkatkan kompetensi dan kualitas pengkajian yang bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang banyak digunakan dalam penelitian sebelumnya dengan objek karya sastra yang memiliki tingkat kerumitan yang lebih kompleks.

4. Masyarakat Pembaca

Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil dari interaksi dengan karya sastra sehingga bisa menjadi fakta yang nyata yang bisa berpengaruh luas terhadap perwujudan efek potensial di masyarakan dalam menyikapi karya sastra.