Latar Sosial Budaya Latar Belakang Sosiobudaya Masyarakat dalam Novel Hubbu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 113 yang merupakan manifestasi, aktualisasi, artikulasi, dan eksternalisasi dari nilai budaya Jawa. Hal tersebut tampak pada warna lokal budaya Jawa berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, sopan santun, hubungan kekerabatan, cara berpikir, keadaan alam dan lingkungan, perumahan, dan kesenian.

a. Latar Sosial Budaya

Pada cerita Hubbu ditunjukkan kehidupan masyarakat Jawa pesisir yang berada di lingkup budaya pesantren pada saat Jarot masih hidup bersama orang tua dan saudara-saudaranya, dan budaya metropolitan saat Jarot sebagai tokoh utama dalam novel tersebut sedang menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya. Latar sosial budaya tersebut tampak pada penggalan berikut. Adzan dzuhur berkumandang, tetapi serasa suasana Alas Abang seperti maghrib, cuaca sejak tadi memang murung. Hujan deras menebah bumi. Air-air parit meluap ke jalanan tanah. Meski becek dan berlumpur, anak-anak kecil berpesta. Mereka berlarian, bermain air. Ada yang ke sawah mengejar burung. Tak ketinggalan, ada yang masuk ke luapan air kali kecil, sambil bersiap-siap menangkap ikan. Suara rumpun bambu yang berderak oleh angin, serta suara air jatuh kemrosak menimpa daunan, menjadikan suasanan desa semakin temaram, cenderung gelap. Mashuri, 2007:20 Latar sosial pesantren tampak sekali pada penggalan berikut. Menu sore dan malam berupa hapalan juga menyangkut pelajaran tajwid, aqidah, akhlak, dan pelajaran lainnya, mulai dari siir berbahasa Jawa, sampai nadloman berbahasa Arab dan sebagainya. Sejak duduk di kelas dua Sekolah Arab, ketika usianya baru tujuh tahun, Jarot merasa terus tertantang. Berawal dari sang ustad yang mengancam akan mengadukan ke orang tuanya bila ia tidak bisa. Jarot merasa, ustad yang masih saudara jauhnya itu memang kejam. Saat itu, ia diminta menghapal juz terakhir Alquran, Juz,amma, lengkap dengan terjemahannya, dan ia pun harus bergetar saat ingatannya tiba-tiba susut. Mashuri, 2007:22 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 114 Perkembangan sosial budaya pada saat Jarot berada pada lingkungan tempatnya menempuh kuliah di kota Surabaya yang memiliki heterogenitas budaya dalam norma yang longgar, yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan yang membesarkannya saat di Alas Abang, tempat orang tua dan saudara-saudaranya mengemban hidup dalam budaya pesantren yang masih terikat dalam aturan-aturan dan budaya yang permisif. Perbedaan sosial budaya tersebut pada novel Hubbu diperlihatkan dalam penggalan paragraf berikut. Ah, pagi-pagi begini, suasana hatiku telah dihajar oleh cuaca Surabaya. Suasana hatiku telah dikacaukan oleh mimpi-mimpi masa lalu. Tak terasa, aku sampai di perempatan Jalan Kertajaya. Lampu lalu lintas menyala merah. Aku menghentikan laju motor. Lalu lintas cukup padat walau masih pagi. Bemo, becak, sepeda motor, mobil, dan tentunya aku sendiri, antri menunggu traffic light hijau menyala. Aku merasa suasana seperti biasa. Rutinitas pagi kota yang beranjak dari lelap ke siang. Banyak orang yang berjejal di jalan-jalan untuk mencari penghidupan atau melewatkan hidupnya. Mashuri, 2007:12 Latar sosial tempat Jarot kuliah tampak pada penggalan berikut. Para pelacur setiap malam mangkal menjajakan diri di jalan-jalan dengan beban sejarah tersebut, ….. “Kamu tanya soal jalan-jalan itu sangat benar, karena sesuai pepatah: malu bertanya sesat di jalan” Tandas Ipin, yang pernah mengaku sebagai anak kedokteran. “Dancuk” serapahku. “Fasih juga,” sambutnya sambil tersenyum. Tarik saja ke masalah kemiskinan, persoalan urban, atau masalah kehidupan malam di kota. Tidak perlu berbicara asal-usul dan kenyataan. Meski sebenarnya ada pula nama jalan terkait dengan masa lalu atau kampong Surabaya jaman dulu. Tetapi bagiku yang penting saat ini, bukan masa lalu”. Mashuri, 2007:15

b. Golongan Sosial dalam Masyarakat Jawa