perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 114
Perkembangan sosial budaya pada saat Jarot berada pada lingkungan tempatnya menempuh kuliah di kota Surabaya yang memiliki heterogenitas budaya
dalam norma yang longgar, yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan yang membesarkannya saat di Alas Abang, tempat orang tua dan saudara-saudaranya
mengemban hidup dalam budaya pesantren yang masih terikat dalam aturan-aturan dan budaya yang permisif.
Perbedaan sosial budaya tersebut pada novel Hubbu diperlihatkan dalam penggalan paragraf berikut.
Ah, pagi-pagi begini, suasana hatiku telah dihajar oleh cuaca Surabaya. Suasana hatiku telah dikacaukan oleh mimpi-mimpi masa lalu. Tak terasa,
aku sampai di perempatan Jalan Kertajaya. Lampu lalu lintas menyala merah. Aku menghentikan laju motor. Lalu lintas cukup padat walau masih
pagi. Bemo, becak, sepeda motor, mobil, dan tentunya aku sendiri, antri menunggu
traffic light
hijau menyala. Aku merasa suasana seperti biasa. Rutinitas pagi kota yang beranjak dari lelap ke siang. Banyak orang yang
berjejal di jalan-jalan untuk mencari penghidupan atau melewatkan hidupnya. Mashuri, 2007:12
Latar sosial tempat Jarot kuliah tampak pada penggalan berikut. Para pelacur setiap malam mangkal menjajakan diri di jalan-jalan
dengan beban sejarah tersebut, ….. “Kamu tanya soal jalan-jalan itu sangat benar, karena sesuai pepatah: malu bertanya sesat di jalan” Tandas Ipin,
yang pernah mengaku sebagai anak kedokteran. “Dancuk” serapahku.
“Fasih juga,” sambutnya sambil tersenyum. Tarik saja ke masalah kemiskinan, persoalan urban, atau masalah kehidupan malam di kota. Tidak
perlu berbicara asal-usul dan kenyataan. Meski sebenarnya ada pula nama jalan terkait dengan masa lalu atau kampong Surabaya jaman dulu. Tetapi
bagiku yang penting saat ini, bukan masa lalu”. Mashuri, 2007:15
b. Golongan Sosial dalam Masyarakat Jawa
Novel
Hubbu
, memperlihatkan adanya penggolongan antara priyayi, santri dan abangan. Sesuai dengan konsep Geertz pada kajian teori, santri adalah pemeluk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 115
Islam yang taat, yang pada umumnya terdiri atas pedagang di kota, dan petani yang berkecukupan. Tradisi keagamaan yang dimilikinya tidak saja terdiri dari
pelaksanaan agama yang cermat, teratur atas pokok peribadatan Islam, tetapi juga merupakan suatu oganisasi keagamaan yang kompleks.
Pengakuan atas penggolongan santri diperlihatkan dengan pelaksanaan lima rukun Islam, yaitu syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji.
Sembahyang lima waktu merupakan ritus pokok golongan santri, para santri juga memberikan zakat fitrah yang diperuntukkan fakir miskin. Mereka juga berpuasa dan
membaca Al-Quran. Pengakuan terhadap penggolongan kelas sosial dalam masyarakat
digambarkan dalam kepemimpinan, kepemilikan, kewenangan, jabatan, dan ketokohan, sehingga sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi dan
internalisasi baik secara strukturan maupun kultural dalam lingkup sosial masyarakatnya yang berpengaruh terhadap meluasnya interaksi sosial pada pelaku
sosial yang lain. Penggolongan kelas sosial tersebut dapat dilihat dalam penggalan berikut.
Hari itu Desa Alas Abang banjir air mata. Mbah Kiai Adnan wafat. Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamaah, akhirnya
jenazah Mbah Kiai Adnan diberangkatkan di peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Sepanjang jalan desa
dipenuhi orang seakan-akan menjelma lautan manusia. Banyak orang berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di
antara kepala manusia. Gerakannya demikian cepat. Pelayatnya ditaksir ribuan, seperti suporter sepak bola yang memadati sebuah pertandingan tim
kesayangan. Mashuri, 2007: 27-28
Sementara itu, golongan abangan atau kejawen adalah golongan Islam yang walaupun tidak menjalankan salah satu rukun Islam, tetapi tetap percaya kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 116
ajaran keimanan agama Islam, dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Golongan abangan sangat yakin akan adanya Allah. Seperti halnya orang
muslim pada umumnya, mereka juga percaya bahwa Muhammad adalah Nabinya. Mereka juga percaya bahwa orang yang baik akan masuk sorga
minggah swargi
dan yang banyak berbuat dosa akan masuk neraka. Golongan abangan atau kejawen menitikberatkan pada aspek animistis dan
sinkretisme Jawa secara keseluruhan, dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini.
Dua jam kami di luar ruangan. Untung kami adalah anak-anak yang terbiasa di bawah terik matahari. Masing-masing adalah pencari rumput dan
penggembala. Aku sendiri seorang yang sering keluyuran ke tegalan, sawah-sawah, mencari jengkerik, burung, mencari ikan di parit, berenang
dengan batang pisang, atau mencari buah-buahan yang terbiar matang di pohonan. Di kala senggang, di antara kami pasti akan membantu orang tua
menyiangi rumput di sawah. Bahkan pada musim tanam atau panen, sekolah kami akan libur dengan sendirinya karena murid akan bergelut di
sawah orang tuanya. Mashuri, 2007: 34
Novel
Hubbu
juga memperlihatkan adanya pengakuan strata sosial dalam masyarakat kota. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan,
jabatan, dan kekuasaan. Pengakuan pada strata sosial kelas atas terlihat dalam penggalan berikut.
Sejak awal, ia mengesankan diri bukan orang sembarangan. Ia ke kampus naik mobil bagus dan berkelas. Dari sana, kutahu ia berasal dari
keluarga berada. Ketika awalnya ia cuek kepadaku, aku pun maklum. Antara aku dan dia, kupandang seperti langit dan bumi. Mashuri, 2007:60
c. Seni Budaya Jawa