Nilai Estetis Jawa Wujud Nilai Sosio Budaya dan Sinkretisme

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 196

4. Nilai Estetis Jawa

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, nilai estetis Jawa berkait dengan keindahan dan keelokan, endah lan elok, suatu objek estetis dalam pandangan manusia Jawa. Sebagaimana umumnya tradisi sastra Timur, dan khususnya tradisi sastra Jawa tidak terlepas dari nilai religius, nilai filsafat, dan nilai etis. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa di dalam budaya Jawa, keindahan dan keelokan berjalin berkelindan secara mutualistis dengan kekudusan dan kesucian nilai relegius Jawa, kebenaran dan ketepatan nilai filsafat Jawa, dan nilai kebaikan dan kesopansantunan atau kepantasan nilai etis Jawa, di sini masing-masing nilai budaya Jawa perlu saling mendukung dan menghargai, tidak berbenturan terus- menerus, misalnya pengalaman estetis mendukung tercapainya pengalaman religius, momen estetis terdorong ke momen religius. Keterkaiatan berbagai nilai budaya Jawa tersebut tampak sangat kuat dalam sastra Jawa Kuno, kualitas sastra Jawa Kuno mencapai puncaknya dalam momen religius. Implikasinya bahwa yang indah dan elok dapat menjangkau arti yang baik, pantas, benar, tepat, kudus, dan suci dalam budaya Jawa. Jadi pada dasarnya, nilai estetis berciri holistis integratif, dalam arti bisa menjangkau atau menembus dimensi etis, filosofis, dan religius yang immaterial-metafisis, bukan semata-mata dimensi estetis yang material-fisis-literer. Dalam pandangan manusia Jawa, keindahan dan keelokan bukan hanya sesuatu yang sudah jadi, melainkan juga sesuatu yang mengada dan menjadi. Keindahan dan keelokan mengada dan menjadi, jika terjadi jumbuhing rasa lan kang dirasakake dan terjadi manunggaling suraos lan wangun. Secara lugas wangun berarti bentuk, sedangkan kang dirasakke berarti yang dirasakan yang bisa berupa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 197 bentuk dan isi. Dalam pandangan manusia Jawa, sesuatu yang dianggap atau dipandang indah dan elok adalah sesuatu yang mapan-selaras bersama. Tidak dapat diabaikan adalah modus bahasa dalam teks novel Hubbu yang menampakkan secara jelas, tegas, modus bahasa Jawa ngoko yang banyak terdapat dalam teks yang diambil dari bahasa komunikasi sehari-hari atau bahasa yang banyak digunakan dalam sastra Jawa kuno, atau bahasa dalam wayang. Misalnya, kalimat yang panjang berpilin-pilin, yang menurut retorika modern menulis atau kiat menulis akademis sebaiknya ditinggalkan yang melukiskan suasana dan keadaan seperti halnya kalimat bahasa Jawa yang melukiskan suasana atau keadaan sesuatu di dalam wayang. Di dalam teks novel Hubbub yang jumlah halamannya 234 halaman, di dalamnya ada berbagai kalimat dengan campuran bahasa Indonesia-Jawa yang kadang maknanya tidak ada dalam bahasa sehari-hari, kecuali sebagai kebiasaan pemakainya untuk menunjukkan keakraban sebagai pengguna komunikasi yang pada akhirnya justru menimbulkan keindahan tersendiri, atau penggunaan kata-kata dan kalimat berbahasa Arab yang menunjuk pada pemakai bahasa tersebut adalah golongan sosial tertentu. Seperti halnya dalam pembukaan teks novel Hubbu, di awal teks terdapat prawayang yang secara metaforis tampak berfungsi sebagai bingkai atau balungan cerita, bahkan juga berfungsi sebagai model tokoh. Prawayang ini mengambil model gambaran wayang kulit Jawa, dalam hal ini epos panjang yang menggetarkan Mahabaratha yang sudah mengalami penjawaan sedemikian rupa sehinga jejak-jejak keindiaannya tidak terasa kental lagi. Di dalamnya digambarkan kekecewaan Danaraja terhadap ayahandanya Begawan Wisrawa yang telah memenggal kasihnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 198 dengan Dewi Sukesi. Agar lebih jelas, prawayang yang dimaksud ditulis selengkapnya berikut ini. Prawayang Lontar Lokapala Ayahku Begawan Wisraa, yang aku cintai. Perjalanan kasih kita usai sudah. Kini jejak-jejaknya menderakan bilur- bilur luka di dada. Izinkanlah, dalam lontarku ini, aku bertanya: sampai di mana kasih seorang ayah pada putranya. Aku putramu, yang kau beri nama Wisrawana dan bergelar Danapati alias Danaraja ketika memerintah Praja Lokapala menggantikanmu, tak juga mengerti, sampai di mana kasihmu kepadaku. Ingatanku masih terpatri pada tragedi hidup yang pernah kau sulut dan membakar seluruh diri dan harapanku. Sayang, segalanya bermula begitu indah. Sebuah perjalanan kasih yang dipenuhi dengan kidung-kidung langit nan agung. Bahkan ada ketulusan yang tercetak di jejak-jejakmu, bagai ketulusan ombak yang selalu berakhir di pasir-pasir pantai. Sayang, semua yang diawali dengan niat suci itu berakhir hampa, berakhir nista Ayahku, segala ikhwal peristiwa itu masih mengambang di pelupukku. Ketika dadaku bersimbah rindu dan harap pada Dewi Sukesi, puteri Alengka, kau mengajukan diri untuk meminangnya. Kau pertaruhkan kekaribanmu dengan Prabu Sumali, ayah sang Dewi, agar segala renjana yang memagut diriku bisa ikhlas merajut mahligai, agar asmaraku bisa tersalurkan dengan rela, tanpa adanya darah yang tertumpah dari tangan hitam Arya Jambumangli, paman sang Dewi, yang saat itu mencetuskan sayembara perang laga berhadiah dewi pujaanku itu. Kasihmu sampai ke sekujur tubuhku. Aku merasakannya begitu penuh seiring lagkahmu berayun menjemput mempelaiku, tapi sungguh batas sebuah kasih dan birahi begitu tipis untuk dirumuskan. Aku pun belum mampu memisah antara asmara yang bermuara pada raga dengan yang berpusar pada jiwa. Aku belum mampu untuk meretaskan jarak antara nafsu dan rindu yang berpalung pada kedalaman kalbu. Ternyata kau juga setali tiga uang dengan putramu yang masih diliputi kehinaan ini. Kau rela memangsa calon menantumu di bilik rahasia, saat kau hendak wartakan rahasia langit dalam Sastra Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai syarat dari Sukesi, agar ia bersedia dipersunting dan diperistri. Ah, ayahku, kenapa batas antara rahasia dan kasat mata kadang tak ada dan tak bisa dirumuskan dengan kata-kata. Aku tahu kau telah melangkah dalam pertapaan dan menggeluti kerahasiaan dewata dan hampir purna; tapi Sukesi, kau masih juga laki-laki. Harum daging Sukesi masih mampu menyihir birahi kejantananmu. Kau nistakan kepercayaanku dan kau perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 199 lumatkan segela kehendakku dengan hasratmu. Niat yang suci itu pun sekarat dan berganti laknat. Mungkin ada yang mempersalahkan sepasang dewa dari swargaloka dengan terjadinya tragedi penuh kama itu, karena sepasang dewa itu telah merasuk ragamu dan raga Sukesi; mengalir lewat darahmu dan darah Sukesi, lalu menerbitkan birahi berapi-api, sehingga percumbuan itu terjadi, persetubuhan pun tak terhindari. Tapi aku tak terima dengan alasan itu. Ayahku. Bukan dewa yang terlalu mencampuri urusanmu, tapi hawa yang melekat di tubuhmulah yang menjadi batu sandunganmu. Kau telah mengerti bahaya menguat ilmu rahasia Sastra Gendra. Kau telah lebih memahami bahwa pengetahuan itu tak bisa dikabarkan untuk apa pun kepentingan yang bernama dunia, apa pun kepentingan yang berujung pada sebuah pamrih. Tapi lebih dari itu, pengetahuan itu tak layak kau jabarkan, karena kau hanya sampai dan berkutat di jalan. Sedangkan di jalan begitu banyak lubang dan pemberhentian. Sungguh, kau belum sampai di tujuan. Bukti pun nyata, Ayahku. Lihatlah saudara-saudaraku yang terlahir dari rahim Sukesi, yang berasal dari benihmu yang tersemai dalam senggama itu. Saudara-saudaraku: Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, menjadi biang bencana yang mengancam kelangsungan dunia. Mereka wujud angkara; persatuan amarah dan nafsu hina dari percumbuan nista yang telah kau rajut bersama calon pengantinku, calon menantumu sendiri. Aku hanya bisa memuji putra terakhirmu, yang terlahir dari garba Suksesi: Gunawan Wibisana, yang terlahir dengan kesempurnaan seorang ksatria: jiwa raga. Meski dewata telah mengampunimu dengan kelahiran putera terakhirmu, tapi perih di dada ini seakan membatu, mengekal, dan mengasingkanku ke tanah yang dipenuhi murka dan keterasingan. Aplagi bila aku mengingat Ibundaku Lokawati yang terlunta dalam kepapaan tiada akhir, setelah peristiwa itu. Ibundaku yang telah melahirkanku, dan meniupkan separuh hidupnya padaku, hanya bisa mengucurkan air mata, meratapi jalan panjang penuh kabut yang telah kau tinggalkan dan kau wariskan. Airmata yang mengalir tidaklah bening, ayahku. Airmata itu berwarna merah, seperti cairan yang keluar dari jantung yang hidup ketika ditusuk dengan pedang yang tajam. Kau memang menang dalam sejarah, Ayahku. Tetapi di mataku kau hancur, baik sebagai ayah, suami, raja, maupun sebagai laki-laki. Di mataku, kasihmu telah terbelah, berkeping-keping, tak setulus bening yang pernah kau dermakan di jalan-jalan kebaktian katika kau undur dari takhta dan memilih hidup di dunia tapa. Kasihmu tak lagi syahdu, seperti ketika sintuhmu begitu riuh memuji langit, dengan tebaran kasih padaku, puteramu. Kapadaku, kau gagal dalam kasih, kau gagal dalam segala ihwal yang berujung pada cinta dan keikhlasan, seperti kegagalanmu untuk memboyong Sukesi menjadi pendamping hidupku. Kau lancungkan harapanku dalam kekosongan tiada akhir. Dalam sebuah takdir yang hanya layak untuk ditapaki orang-orang yang terlahir fakir, dan benih keturunan sudra. Ataukah kau memang sudra yang berlindung di balik baju brahmana. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 200 Maafkan kelancanganku, ayahku. Aku berkata demikian, sebab aku manusia yang masih mengenal perih dan duka. Dalam rusuh kalbu ini, ayahku. Aku berkata demikian, sebab aku manusia yang masih mengenal perih dan duka. Dalam rusuh kalbu ini, aku ingin kau jawab pertanyaan-pertanyaanku, agar perjalananku menapaki takdir dan karmaku tak menemu gelap dan piatu. Ayahku, benarkah kasih harus disemai dengan airmata, agar tumbuh menjadi jiwa-jiwa penuh nyawa. Benarkah cinta harus diuji dengan duka lara, agar kita tahu ujung sebuah setia. Benarkah ada rahsia dari tata indera untuk menguak renik perasaan, sehingga kita tak bisa berbuat apa-apa tanpa mengenal inti segalanya. Benarkah ada jalan yang harus dilewati dalam kabut dan kepastian wujud untuk sebuah impian, untuk sebuah harapan, agar tujuan menjadi demikian menjanjikan sebuah pertemuan yang menggembirakan. Ayahku, aku terlalu awam untuk mengerti semuanya, dan aku tak bisa diam untuk menunggu jawaban, sebab saat ini aku belum menuju gerbang ke alam kedewataan, aku manusia biasa. Aku masih manusia. Salam taklim dari puteranda, seorang wisrawana, seorang pecinta yang terpenggal rasa dari ayahnya, seorang pecinta yang dipenggal asanya oleh ayah tercinta. Struktur naratif teks Hubbu secara sepintas mengesankan ada kemiripan dengan struktur lakon wayang, modus bahasa teks yang disisipi bahasa Jawa, kejawa-jawaan, dan makna teks yang perlu dibaca secara intertekstual dengan lakon- lakon wayang demi keindahan dan kedalaman pemahaman-pemaknaan merupakan penanda-penanda nilai estetika khususnya estetika wayang. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa struktur naratif Hubbu terbagi atas tiga bagian yang masing-masing bersifat metaforis atau simbolis. Secara substantif, bagian pertama yang terdiri dari atas sembilan anak bab yang judulnya sangat metaforis mirip dengan pathet nem atau jejer janturan seperti dalam wayang, bagian ini memperkenalkan dan melukiskan masa kanak-kanak para tokoh dengan segala suka duka, dan kegagalan menjalani karier hidup; kemudian bagian kedua yang terdiri atas tujuh anak bab yang judulnya juga sangat metaforis mirip dengan pathet sanga atau adegan perang sabrang, perang gagal, gara-gara, dan perang kembang wayang karena seperti halnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 201 wayang, bagian ini memperkenalkan dan melukiskan masa remaja tokoh, pergulatan melawan berbagai nafsu, pencarian jati diri, dan proses menuju kedewasaan para tokoh; selanjutnya, bagian ketiga terdiri atas sembilan anak bab yang judulnya sangat metaforis pula mirip dengan pathet manyura atau perang bubrah, perang sampak manyura, dan tancep kayon wayang karena bagian ini melukiskan kedewasaan para tokoh dan tugas masing-masing tokoh. Struktur naratif yang seperti struktur lakon wayang tersebut ditunjang oleh modus kejawalisanan bahasa Indonesia yang oleh Umar Kayam disebut multilingual. Kutipan-kutipan berikut adalah contoh modus kejawalisanan atau ke ngoko an bahasa dalam teks novel Hubbu. “Mentang-mentang ketua kelas, tidak bekerja” sindir Lukman kepadaku, sambil cengar-cengir. Ia teman satu kelas, anak sekdes. “Jangan nyolong balung” Mashuri, 2007:31 Padahal aku Cuma melihat tontonan itu tak lebih sampai 15 menit,” kata Somad memecah kebekuan. “ Wong aku tak mengerti jalan ceritanya. Aku Cuma lihat orang jualan mainan,” lanjutnya. mashuri, 2007:34 Modus kejawaaslian dan kelisanan bahasa Indonesia seperti kutipan di atas banyak sekali muncul dalam bagian-bagian teks novel Hubbu . Modus bahasa seperti ini semakin menegaskan representasi nilai estetis wayang khususnya, sehingga teks novel Hubbu tersebut bisa disebut sebagai eksposisi keindahan dan keelokan dalam pandangan budaya Jawa. Untuk kepentingan estetis , teks ini banyak menggunakan bahasa Jawa, khususnya bahasa wayang mulai tataran bunyi, kata, frase, dan klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Kemudian katafrase berupa konsep-konsep budaya Jawa dan Islam berjalin berkelindan, adat-istiadat budaya Jawa, tokoh dan lakon wayang, nama-nama tempat dan peralatan, istilah jorokmisuhkasarkurang sopan, dan konsep kehidupan Jawa. Klausa bisa bermakna seru, idiom, ungkapan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 202 dan pepatah. Demikian juga kalimat bisa berupa kalimat tanya dan kalimat seru khas Jawa. Selanjutnya, wacana bisa berupa parikanpantunpantun Jawa, tembang- tembang Jawa, gaya bahasa, dan ucapanperkataan dalam peristiwa hari besar. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. Aja enak kalung saputangan Saputangan sing akeh kembange Aja wani guru ajar parikan Amarga guru iki mandhi unine Representasi nilai estetis Jawa dalam novel Hubbu menjadi semakin tampak dengan munculnya berulang-ulang penyebutan Sastra Gendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dari awal, prawayang, sampai pada bagian akhir teks tersebut ulang dan hampir pada tiap bab mendominasi penyebutan. Meski tidak dijelaskan secara jelas sampai di mana pencarian Jarot terhadap rahasia yang tersembunyi dalam ajaran tersebut sampai pada meninggalnya tokoh utama ini. Dengan kata lain, berdasarkan penanda-penanda tekstual yang ada, dalam batas tertentu teks novel Hubbu merepresentasikan keindahan dan keelokan menurut prespektif budaya Jawa. Seperti terlihat dalam penggalan teks berikut. “ Sastra Jendra. Sastra Jendra Yu Ningrat, pangruwating barang sekalir, ingkang kawruh tan wonten malih, wus kawengku sastradi, pungkas- pungkasaning kawruh ditya diyu raksesa, myang sato siningwanadri, lamun weruh atine Sastra Jendra” Arjuna Wiwaha, Pupuh Sinom, hal 26 “ Ing ijaman Kaliyuga iku iga aran jaman kukila, wong-wong nadha pating silebar, ngalih panggonan, nguraya panguripan lan golek pangayoman, dening kataman ribedan lan kasangsaran Jangka Jayabaya. Mashuri, 2007:142 Keindahan dan keelokan menurut perspektif budaya Jawa terletak pada kemampuan teks novel Hubbub untuk meluluhkan atau meleburkan pengarangnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 203 dan atau sang penikmat ke dalam penanda-penanda tekstual. Kemudian akan muncul pertanyaan: bilakah pengarang dan atau pembaca sebagai penikmat luluh atau lebur ke dalam penanda-penanda tekstual? Pengarang dan atau pembaca sebagai penikmat dikatakan luluh atau lebur ke dalam penanda-penanda tekstual jika pada satu sisi mereka terpesona dan terhanyut oleh penanda-penanda tekstual dalam teks dan pada sisi lain penanda-penanda tekstual itu sesuai atau cocok dengan norma-norma atau cita rasa keterpesonaan dan keterhanyutan manusia Jawa. Hal inilah yang disebut jumbuhing rasa lan kang dirasakake atau manunggaling wangun lan suraos.

C. Resepsi Pembaca

Novel ditulis oleh pengarang untuk disodorkan kepada pembaca dalam bentuk teks. Sebagai teks yang telah diluncurkan, novel menjadi milik publik untuk ditafsirkan makna dan unsur-unsurnya. Publik memiliki serangkaian hal untuk memperlakukan teks novel tersebut sebagai objek telaah. Otonomi teks menjadi demikian penting ketika jarak antara teks dengan pengarangnya semakin meruang. Keberadaan teks dapat menembus ruang dan waktu. Sementara pengarang dan publik secara timbal balik memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi dalam rangka mengklarifikasi eksisitensi teks. Seperti yang dikatakan Aminuddin di bab 2, bahwa resepsi sastra menekankan penelaahan karya sastra pada aspek respon proses dan penerimaan yang diberikan pembaca. Jika sebuah karya sastra setelah hadir di tengah masyarakat pembaca, maka pembaca mempunyai hak otonom atas teks yang dibacanya. Pemahaman terhadap karya tersebut akan menjadi beragam bersebab berbagai