Wujud Nilai Kehormatan Manusia Jawa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 158 terjaganya kerukunan, meski sebagian orang Jawa yang lain menilai hal tersebut negatif.

e. Wujud Nilai Kehormatan Manusia Jawa

Nilai kehormatan manusia Jawa berkenaan dengan takzim, khidmat, berharkat dan bermartabat. Dalam bahasa Jawa, istilah atau ungkapan yang mencerminkan nilai hormat atau biasa dikaitkan dengan nilai kehormatan adalah kurmat, ajingajeni, sungkan, lingsem, ajrih, risih, bisa rumangsa, bisa njaga praja , dan empan papan. Nilai kehormatan selalu berada dalam konteks hierarkis. Setidak-tidaknya salah satu pihak menempatkan diri di atas atau di bawah pihak yang lain. Di sini keberadaan, kekuasaan, kedudukan, dan posisi sosial, kultural, bahkan kosmis menjadi penting untuk diperhatikan. Berlakunya sikap, tindakan, dan atau perbuatan hormat, takzim, dan khidmad secara hierarkis bergantung pada tata krama dan anggah-ungguh sebagai etiket. Sebagaimana halnya nilai jatmika dan rukun, nilai hormat juga dipandang penting oleh manusia Jawa karena dipandang mampu mendukung bertahannya dan terjaminnya sebuah keselarasan. Maka dari itu, setiap manusia Jawa wajib berusaha menerima, mengusahakan, menunaikan, menjaga, dan menjamin kehormatan atau keadaan hormat. Untuk itu setiap manusia Jawa mengeksternalisasikan dan mengaktualisasikan ke dalam berbagai sikap, tindakan, perbuatan, dan perilaku dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 159 Desa Alas Abang masih berkesadaran instransitif-magis dalam arti menganut kebudayaan mistis. Maka warga alas Abang tidak hanya hormat, takzim, dan khidmad kepada sesama manusia, tetapi juga kepada unsur-unsur alam semesta. Salah satu unsur yang dihormati dan ditakzimi oleh orang-orang Alas Abang adalah makhluk gaib dan arwah leluhur mereka. Hal ini dapat terjadi karena sang leluhur dianggap atau dipercaya menentukan, mengendalikan, dan melindungi keselarasan Alas Abang, dalam hal ini Sunan Gunung yang menurunkan Mbah Kiai Adnan sebagai cikal bakal pendiri Desa Alas Abang dari desa brandal menjadi desa santri. Hal tersebut tersirat dalam deskripsi berikut ini. Jika kau ingin menyaksikan istirah sempurna, kau bisa mengarah ke kompleks makan desa. Kau bisa bersua dengan makam-makam tua. Kau bisa berziarah pada seorang anak turun mulia di sana. Ia masih berdarah Sunan Gunung, sosok yang dikeramatkan warga Jawa Timur. Moyang yang menjadi cikal bakal desa. Moyang yang menurunkan orang-orang agung terutama Mbah Adnan. Kau bisa berkaca kembali tentang jalan hidup anak-anak manusia, dengan berbagai warna, dari sebuah wilayah yang selalu dilingkari dengan aura yang bernama tuah, juga berkah. Kau bisa berdoa hingga mulutmu berbuih, sehingga tubuhmu bisa menggetarkan arus-arus di luar dirimu, dari semesta desa yang dikekalkan oleh asa, berkumpar pada sang Esa. Kau seakan-akan bisa bercakap dengan embun di daun, dengan kicau burung, bahkan dengan desau angin yang kerap membuatmu dingin bila kau berada di tengah lain. Mashuri, 2007:125 Hal tersebut tersirat pula dalam deskripsi dalam kata-kata dan tindakan Jarot, seperti dalam kutipan berikut. Aku ke makam Sunan Ampel di kampung Ampeldenta. Menunggu Sawitri menjatuhkan pilihan, aku seperti membutuhkan sentuhan yang bisa membangkitkan semangat untuk hidup, juga semangat mati. Aku selalu memilih Ampel untuk itu. Aku merasa Ampel seperti oase di tengah padang gurun gersang dengan sumber mata air yang jernih, teduh pohon kurma dan tenda-tenda kafilah yang istirah sebelum berjalan lebih jauh menjelajahi pelosok jazirah. Aku merasa Surabaya laksana sebentang padang tandus dan Ampel adalah oasenya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 160 Di depan makam pesiar agama di akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit itu aku tak mampu berucap ikrar seperti yang lalu: doa-doa panjang yang berdesir bersama angin malam dan kesunyian. Mashuri, 2007:132 Di samping merepresentasikan permasalahan hormat yang menjadi kultus tersebut, merepresentasikan juga hormat, takzim, khidmad, dan keseganan warga Alas Abang dalam menjunjung harkat dan martabat sesama manusia. Sebagai contoh digambarkan, warga Alas Abang pada umumnya sangat hormat, takzim, dan segan kepada sesepuh mereka yang diyakini memiliki pengetahuan atau kemampuan lebih wong linuwih , yaitu Mbah Adnan, sehingga ketika wafatnya peziarah menyalatkan sampai bergelombang hingga lebih dari seratus lima puluh gelombang dan ribuan peziarah mengantarkan ke peristirahatannya yang terakhir, perjalanan jenazahnya membuat orang yang melihat bergidik. Contoh kutipan berikut menggambarkan bagaimana Mbah Kiai Adnan diberi penghormatan sebagai orang yang memang layak dan pantas mendapat penghormatan. Tampak orang-orang mulai bergerak. Mungkin jenazah Mbah segera diberangkatkan. Benar juga, ternyata Mbah sudah mulai diberangkatkan ke masjid desa untuk disalati bersama. Jaraknya tak lebih dari 100 meter dari rumah. Selama orang meyalati Mbah, aku merasa terpaku sendiri di langgar, tetap bersandar di bawah jendela kamar santri, berada di sebelah kiri langgar. Aku lama di sana. Bahkan dari corong masjid aku mendengar salat jenazah itu sudah mecapai 100 gelombang berjamah. Mashuri, 2007:27 Setelah disalati sebanyak 151 gelombang secara berjamah, akhirnya jenazah Mbah Kiai Adnan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir. Perjalanan jenazahnya membuat siapa saja bergidik. Sepanjang jalan desa dipenuhi orang seakan-akan lautan manusia. Banyak orang berebut membawa keranda jenazah. Sehingga keranda itu seakan berlari di antara kepala manusia. Geraknya demikian cepat. Pelayatnya ditaksir ribuan, seperti suporter sepak bola yang memadati sebuah pertandingan tim kesayangan. Mashuri, 2007:28 Seperti terlihat dalam penggalan teks di atas, sikap, tindakan, perbuatan, dan perilaku hormat, takzim, dan segan orang-orang Alas Abang sedemikian tinggi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 161 kepada Mbah Adnan. Tampaknya dalam konstelasi sistem sosial dan kultural, mereka mengerti betul akan tempat masing-masing di Alas Abang dan mengerti betul tempat kedudukan, posisi, dan peran Mbah Adnan selaku sesepuh dan Kiai sekaligus pendiri pondok. Tidak mengherankan Mbah Adnan menjadi tumpuan bagi warga Alas abang. Tempat berguru, tempat bertanya, tempat meminta nasihat, tempat membaca sasmita , dan sebagainya, sehingga terlihat dihormati, ditakzimi, disegani, karena memang Mbah Adnan adalah orang berkualitas secara agama maupun secara sosial-kultural. Hormat, takzim, dan segan bukan tuntutan eksternal, melainkan kualitas pribadi. Pada satu pihak, pribadi yang terhormat tepat dan pantas mendapatkan kehormatan, ketakziman, dan keseganan dalam arti sosiokultural. Siapa pun wajib menghormati, mentakzimi, dan menyeganinya. Pada pihak lain, pribadi tidak terhormat tidak tepat dan pantas mendapatkan kehormatan, ketakziman, dan keseganan. Orang lain pun tidak perlu menghormatinya, justru kalau perlu membiarkannya. Nilai kehormatan atau keadaan hormat, takzim, segan, dan rikuh akan dapat terjaga, dapat dipertahankan, bahkan berkembang jika semua pihak saling memperhatikan dan saling diperhartikan dengan tentu saja kualitas pribadi terhormat. Untuk membasuh tubuh, kau bisa memilih pergi ke telaga di sebelah masjid desa, atau ke langgar yang tidak jauh dari sana. Di telaga kau bisa bercermin, sambil menikmati hening yang tiba-tiba mengerling kepadamu dan mengajakmu untuk terus bersama. Atau kau bisa ke padusan di langgar panggung, sambil mendengarkan bibir lugu melantunkan ayat-ayat langit, yang bisa menyayat hatimu untuk lebih tahu warna dunia sebenarnya. …. Kau seakan-akan bisa bercakap dengan embun di daun, dengan kicau burung, bahkan dengan desau angin yangkerap membuatmu dingin bila kau berada di tempat lain. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 162 Dari nafas hijau yang berhembus, kau bisa menghimpun sebuah ruang khusus di tubuhmu, lalu menjadikannya sebagai ruang rahasia, ruang pribadi jiwamu. Dari angkasa yang membiru, kau bisa merajutnya menjadi lanskap kedamaian di kalbu. Kau bisa menjadikan Alas abang sebagai sebuah rumah di hatimu, sehingga kau bisa berkali-kali pulang tanpa perlu merasa kehilangan. Kau bisa menjadikannya kenangan terindah. Mengenangnya untuk lebih terarah dalam menapaki hidup. Merajut sejarah hidup yang selalu merah, semerah dan segairah Alas Abang ini. Mashuri, 2007:125 Dalam kutipan di atas tersaji gambaran sangat khas dari masyarakat Alas Abang dalam menghayati, memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan rasa hormat dan takzim kepada alam semesta, khususnya lingkungan lahir Desa Alas Abang. Kehormatan dan ketakziman dalam masyarakat Alas Abang kepada alam dipercayai hubungan mereka akan selaras. Dengan kata lain, rasa hormat mereka kepada alam akan mendorong keserasian dan keselarasan hubungan manusia dengan alam. Rasa hormat dan takzim mereka kepada alam merupakan kearifan tradisi kebudayaan Jawa yang berbasis tanah dan bumi. Selain nilai kehormatan kepada alam semesta, juga merepresentasikan nilai kehormatan kepada sesama manusia. Hal ini tampak pada Jarot yang digambarkan sebagai pribadi berkualitas dengan selalu bersikap, berucap, bertindak, dan berperilaku hormat dan takzim, bahkan segan kepada orang lain, kepada guru, utamanya kepada orang tuanya. Sikap hormat ini sudah berurat semenjak Jarot kanak-kanak. Bentuk sikap hormat dan takzim Jarot kepada guru dan orang tuanya tereksternalisasi dengan selalu mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan, tidak membantah dan tidak melawan, serta tidak memprotes atau menuntut bermacam- macam. Yang penting bagi Jarot tahu di mana tempat dan waktunya empan papan. Seperti tampak dalam kutipan berikut. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 163 Ia pernah pula tidak bisa menghapal sebait dari Tanwirul Qari, bait-bait sajak untuk pelajaran tajwid. Padahal hanya salah sepele: hanya wawu yang harus dibaca domah tapi ia membacanya kasrah. Ia langsung berdiri, setelah diberi aba-aba sebanyak tiga kali dan ia tak mampu memperbaiki kesalahannya. Hukumannya ternyata tidak hanya berdiri. Jari kelingkingnya ditekuk. Ia tidak menjerit, tetapi hanya meringis. Mashuri, 2007:22 Begitu pula ketika Jarot terkena marah ibunya karena ada laporan dari orang tua teman-teman sekolahnya kalau dia berbuat nakal kepada teman-teman perempuannya. “Kamu apakan Siti kemarin?” Tanya Ibu setiap kali ada laporan dari ibu Siti yang masuk ke rumah. Jika tidak begitu, teguran Ibu pasti: “Kamu apakan lagi Umi?” Aku biasa diam dan tak membantah apa pun yang dikatakan ibu. Bila menghadapi Ayah atau Ibu, aku memang terlanjur menerapkan buku “Ajaran Sunan Kalijaga” yang dikemas dalam sebuah tutur tanya jawab antara orang tua dan anak. Kata-katanya halus. Tidak membantah, jika tidak setuju, alangkah baiknya diam saja, sambil didengarkan. Untuk masalah buku yang sudah dimakan ngengat ini, aku berterima kasih pada Somad. Buku antik itu adalah buku ayahnya, yang dipersilakan Somad untuk kubawa, meski diawali dengan setengah paksaan dan ancaman. Mashuri, 2007:30 Kutipan di atas menggambarkan kualitas pribadi Jarot, meskipun dia masih kanak-kanak tetapi sudah memiliki pengetahuan filsafat ajaran dari Sunan Kalijaga yang dipelajari dari buku usang pemberian sahabatnya Somad. Untuk menunjukkan sikap hormat kepada orang tuanya, Jarot berusaha tidak membantah dan tidak melawan ketika dimarahi ayahnya karena berguru ngelmu Jawa kepada Wak Tomo. “Meski kau sembunyi-sembunyi, aku tetap tahu kau berguru pada Wak Tomo. Mari hadapi aku, aku juga pernah berguru pada seorang Kiai di Pilang, ilmu malaikat”. Tantang Ayah dengan mata berkilat. Episode hidupku yang satu ini demikian dalam menikam hati, kerap aku meringis bila mengingatnya, atau bila tak sengaja peristiwa itu memasuki wilayah ingatan dan kesadaranku. Aku sendiri tak tahu bagaimana mulanya tiba-tiba Ayah menendang ulu hatiku dengan tendangan punggung kaki. Mungkin karena aku tetap berdiri tegak, yang dianggap sebagai kuda-kuda dan siap menerima serangan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 164 sehingga lelaki yang kaku itu langsung menghajarku. Terang saja, aku limbung dan ambruk. Aku tetap tegak bukan karena menantang Tak ada kamus dalam hudupku berani berduel dengan Ayah, gara-gara berbeda guru, berbeda ajaran atau berbeda dalam hal menggali hidup batin. Untuk urusan apa pun, aku tak mungkin melawannya, bahkan untuk sekedar membantah di hadapannya pun tak mungkin. Mashuri, 2007:42

3. Nilai Etis Jawa