Pola Distribusi Jaringan Pemasaran

255 terwujud pada devolusi kewenangan dan kekuasaan KKP kepada daerah melalui dinasinstansi yang terkait yaitu DKP. DPL merupakan konsep awal yang bagus bahwa partisipasi komunal ditonjolkan untuk berperan aktif dalam mengelola kawasan laut milik desa. DPL dibentuk dari luasan laut milik desa, diambil 10 sebagai daerah perlindungan laut. Terlihat di lapangan, bahwa DPL menimbulkan kritik dari masyarakat, bahwa DPL bersifat sangat ekslusif bagi penduduk desa yang mempunyai laut. Pertama, DPL dibentuk dengan pertimbangan tutupan karang masih bagus yaitu ≥50 persen. Dalam kawasan DPL tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan dan budidaya. Akan tetapi praktek di lapangan, DPL dimanfaatkan sebagai budidaya rumput laut. Hal ini jelas sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya DPL. Sifat ekslusifitas komunal atau kelompok tertentu, tentunya akan mengalienasi pengguna sumberdaya perikanan lain seperti nelayan Bajo. Kedua, DPL digunakan sebagai zona pariwisata dalam site penyelaman untuk kepentingan wisata, yang tidak jarang dimanfaatkan oleh perusahaan wisata swasta, sehingga, nelayan pun tidak bisa menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk menangkap ikan, terlebih-lebih ketika ada wisatawan menyelam. Pihak resort pariwisata yang mempunyai site penyelaman melarang keras nelayan untuk melintas di wilayah tersebut. Ketiga, bahwa DPL adalah zonasi dalam zonasi, didalam aturannya, terdapat pengaturan yang berbeda yaitu milik komunal masyarakat yang mempunyai DPL. Akan tetapi pihak taman nasional berdiam diri dan mendukung, karena tujuannya adalah mendukung konservasi taman nasional. Keempat, penentuan DPL yang dilakukan oleh COREMAP Phase II sebagai no take zone area, di lokasikan pada zona pemanfaatan tradional lokal dalam koridor sistem zonasi taman nasional. Hal ini menjadikan lebih sempit akses pemanfaatan nelayan terhadap sumberdaya perikanan di kawasan zonasi taman nasional. Sistem tata ruang perairan Wakatobi baik zonasi kawasan taman nasional ataupun DPL adalah sistem kavling area, sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan akses untuk nelayan yang tidak memiliki wilayah laut, seperti Bajo. Kavling tersebut diwujudkan sebagai praktek zonasi kawasan konservasi yang diyakini sumberdaya 256 yang melekat di dalam kawasan area pun ikut ter-kavling dalam kerangka zona konservasi. Pandangan pola pengkavlingan, dinilai oleh sosiolog perikanan Craig Harris dalam Satria, 2009a:54, sebagai pola pengelolaan yang bersifat modernisasi. Modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah dicirikan dengan kuatnya dominasi state yang didistribusikan secara top down. Lahirnya DPL, menjadikan bentuk disparitas sesama komunitas yang hidup di Wakatobi. Nelayan Bajo tidak mempunyai hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan terhadap DPL. DPL menjadi milik komunal bagi masyarakat desa yang mempunyai wilayah laut desa dan DPL tetapi hal tersebut menjadi “komunalisasi” yang bersifat ekslusi, dilakukan oleh kelompok masyarakat desa tertentu yang mempunyai DPL dan laut desa terhadap nelayan Bajo. Menyangkut hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan dan pesisir, nelayan Bajo yang hidupnya menggantungkan dari komoditas laut baik karang maupun laut dalam, tidak mempunyai pilihan lain, selain harus melaut di daerah yang menjadi milik negara. Hak nelayan yang tidak mempunyai wilayah laut menjadi terampas khususnya nelayan Bajo untuk hak memanfaatkan withdrawal right maupun hak mengelola management right. Adapun temuan data di lapangan berkaitan dengan hak kepemilikan sumberdaya adalah sebagai berikut: Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya Zona Pemanfaatan Lokal Zona DPL Zona Pariwisata Akses X X X Pemanfaatan X - - Pengelolaan X - - Eksklusi X - - Pengalihan - - - Tipe Hak Propieter Authorized entrance Authorized entrance Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang April-Juni 2012