Pola Konsumsi pada Level Konsumen

256 yang melekat di dalam kawasan area pun ikut ter-kavling dalam kerangka zona konservasi. Pandangan pola pengkavlingan, dinilai oleh sosiolog perikanan Craig Harris dalam Satria, 2009a:54, sebagai pola pengelolaan yang bersifat modernisasi. Modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah dicirikan dengan kuatnya dominasi state yang didistribusikan secara top down. Lahirnya DPL, menjadikan bentuk disparitas sesama komunitas yang hidup di Wakatobi. Nelayan Bajo tidak mempunyai hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan terhadap DPL. DPL menjadi milik komunal bagi masyarakat desa yang mempunyai wilayah laut desa dan DPL tetapi hal tersebut menjadi “komunalisasi” yang bersifat ekslusi, dilakukan oleh kelompok masyarakat desa tertentu yang mempunyai DPL dan laut desa terhadap nelayan Bajo. Menyangkut hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan dan pesisir, nelayan Bajo yang hidupnya menggantungkan dari komoditas laut baik karang maupun laut dalam, tidak mempunyai pilihan lain, selain harus melaut di daerah yang menjadi milik negara. Hak nelayan yang tidak mempunyai wilayah laut menjadi terampas khususnya nelayan Bajo untuk hak memanfaatkan withdrawal right maupun hak mengelola management right. Adapun temuan data di lapangan berkaitan dengan hak kepemilikan sumberdaya adalah sebagai berikut: Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya Zona Pemanfaatan Lokal Zona DPL Zona Pariwisata Akses X X X Pemanfaatan X - - Pengelolaan X - - Eksklusi X - - Pengalihan - - - Tipe Hak Propieter Authorized entrance Authorized entrance Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang April-Juni 2012 257 Tabel 9.2. Hak nelayan daratan desa lain yang mempunyai wilayah laut desa DPL terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya Zona Pemanfaatan Lokal Zona DPL Zona Pariwisata Akses X X X Pemanfaatan X X - Pengelolaan X X - Eksklusi X X - Pengalihan - - - Tipe Hak Propieter Claimant Authorized entrance Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang April-Juni 2012 Tabel 9.3. Hak pengusaha resort pariwisata terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi Kemampuan Menggunakan Sumberdaya Zona Pemanfaatan Lokal Zona DPL Zona Pariwisata Akses X X X Pemanfaatan X - X Pengelolaan X - X Eksklusi X - X Pengalihan - - X Tipe Hak Propieter Claimant Owner Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang April-Juni 2012 Praktek dilapangan mengenai ketidakharmonisan antara pemerintah daerah dan pihak taman nasional tercermin dalam pengaturan sumberdaya perikanan dalam kawasan. DKP sebagai instansi yang mempunyai tugas untuk perikanan daerah bergerak sendiri dan mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan dari mulai perijinan, monitoring sampai kontrol, sedangkan Balai Taman Nasional Wakatobi sangat patuh dengan garis komando konservasinya. Sehingga sistem lempar batu, sembunyi tangan terhadap pengawasan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi taman nasional laut terjadi dikarenakan mempunyai dualisme kewenangan. Akibat yang terjadi dari adanya dualisme kewenangan adalah masuknya pihak ketiga free 258 rider yang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ikut serta memanfaatkan sumberdaya perikanan di dalam kawasan. Praktek terdapatnya free riders adalah masih terjadinya penangkapan komoditas yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi dalam kawasan, dan praktek produksi penangkapanya masih menggunakan illegal fishing gear. Terdapatnya praktek illegal fishing seperti penggunaan cyanide untuk menangkap Napoleon dan menggunakan bom untuk menangkap ikan karang segar, tak lain dampak dari ego kepentingan antara daerah dengan taman nasional, sehingga nelayan yang menjadi korban sebagai pelaku illegal fishing. Ego kepentingan antara pemerintah daerah dan Taman Nasional terlihat dari tumpang tindih kewenangan dalam sektor perikanan. Pemerintah daerah melalui DKP mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan sedangkan Taman Nasional Wakatobi mempunyai kekuasaan terhadap kawasan konservasinya. Dijelaskan oleh Satria, 2009a:55, bahwa ketidakharmonisan antara perikanan dan konservasi merupakan cerminan dari simpang siur dan tumpang tindihnya kewenangan dan kebijakan yang menjadi kiblat masing-masing instansi. Pada level lokal terjadi ketidakharmonisan antara taman nasional, pemerintah daerah, nelayan, dan pengusaha wisata. Pada level nasional terjadi ketidakharmonisan antara KKP dengan Kemenhut. Pada level nasional, dicerminkan oleh adanya pertimbangan dasar kebijakan yang tidak pernah saling sinergis. Cerminan ketidaksinergisan dalam produk hukum sebagai dasar kebijakan seperti: dalam Keputusan DitJend PHKA No. SK.149IV-KK2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi yang tidak menimbang dari Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K. Hal tersebut pun terjadi sebaliknya, ketika Kemenhut merujuk ke umbrella act Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, KKP, dalam membentuk peraturan, belum terlihat merujuk terhadap Undang- Undang tersebut. Sehingga hal ini menurut Satria 2009a: 69, disebut sebagai bentuk disharmonisnya produk hukum yang menyebabkan konflik institusional di kedua institusi pemerintah. Tumpang tindih kepentingan menjadi permasalahan klasik mengenai penanganan konservasi laut. Tetapi, apabila di tengok lebih jauh, perebutan 259 kewenangan tersebut berkaitan dengan masalah teknis-birokratis sebagai politik anggaran dari masing-masing institusi. Dalam hal ini, konservasi kawasan belum bisa menopang kesejahteraan nelayan, dan belum bisa memberikan jawaban alternatif, livelihood terhadap nelayan ikan konsumsi karang hidup, khusunya nelayan Bajo. Sehingga boleh dikatakan bahwa nelayan, belum tersentuh permasalahannya dan selalu berada dalam dua paradigma, yaitu konservasi dan developmentalis sebagai ujud dari pemekaran daerah baru di dalam kawasan konservasi.

9.2. Transformasi Politik

Seafood Savers sebagai Pengelolaan Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup berbasis Pasar Selama dua dekade sudah, United Nation Convention on the Law of the Sea UNCLOS, sumberdaya perikanan dunia mendapat perhatian yang cukup serius berkaitan tentang keberlanjutannya, berkaitan dengan konsep yang dinyatakan oleh Hardin sebagai “tragedy of the commons”, dimana telah terjadi penangkapan berlebih overexploitation, penurunan daya kapasitas sumberdaya di bawah ambang batas overcapacity dan terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya perikanan OECD; 19. Merujuk dari laporan FAO 1994 OECD, 2006; 20, bahwa terjadi penurunan tangkapn dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi pada ikan komersial ikan demersal. Penurunan hasil tangkapan ikan demersal komersial, dikarenakan mempunyai siklus trophic level yang rentan dalam produksi ikan di alam, dan hal ini juga terjadi pada komoditas ikan pelagis kecil Pauly et. al., 1998, dalam OECD, 2006; 20. Ketidakseimbangan antara pemanfaatan frekuensi penangkapan ikan dan kemampuan stok produktivitas ikan terjadi karena faktor meningkatnya pengguna sumberdaya perikanan, dan praktek overfishing serta belum jelasnya kebijakan yang mengatur unrugelated praktek penangkapan ikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan seharusnya di dukung oleh keuntungan secara teknik dan merupakan lapangan pekerjaan tambahan bagi nelayan didukung oleh kebijakan pemerintah, untuk menghambat laju degradasi sumberdaya perikanan. Secara bersamaan, 260 pertumbuhan produksi perikanan dapat menjadi andalan pembangunan bagi beberapa negara OECD, 2006; 20. OECD Tahun 2006, memaparkan paradigma pembangunan berkelanjutan sektor perikanan yang terdiri dari tiga pilar, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Permasalahan dasar dalam penggunaan sumberdaya perikanan adalah terletak pada aspek ekonomi. Persaingan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan produksi, menciptakan sisi negatif, terhadap peningkatan penggunaan sumberdaya perikanan yang semakin langka menurun. Outline mekanisme pengelolaan secara ekonomi sumberdaya perikanan beserta implikasinya digambarkan sebagai berikut: Gambar. 9.1. Outline mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan secara ekonomi Melihat kondisi perikanan di Wakatobi yang berada pada dua konsep besar paradigma developmentalis dan konservasi, diperlukan jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan perikanan terutama berkaitan dengan komoditas ikan Sifat Sumberdaya Perikanan Common Renewable Crowding exteralitas jangka pendek Stock externalitas jangka panjang Overexploitation Overcapacity Equity issue konflik pengguna Efficiency issue hilangnya penyewaan sumberdaya Resources conservation issue Sumber: Diadopsi Boncoeur dan Troadec, 2003; OECD, 2006,