182 penyuluhan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan adalah program dari
KKP Pusat yang diperbantukan kepada DKP untuk membentuk kelompok nelayan penerima dana hibah untuk nelayan dari pemerintah, dulu bernama PNPM
perikanan. Dd 30 Tahun, menjelaskan perihal bantuan, bahwa pembentukan kelompok merupakan rekayasa dari DKP. Ketika menanyakan tentang kenapa
kelompok nelayan ini mendapatkan bantuan. Apakah sudah tepat sasaran dan tepat guna. Pertanyaan ini diajukan ke kadis DKP, ternyata jawabannya adalah ya
begitulah adanya. Dedi mengeluh kelompok nelayan dan bantuan sangat kuat interfensi dari Bupati dan Kadis DKP. Mereka yang diberi bantuan adalah orang-
orang yang dekat dengan penguasa. Hal ini senada diucapkan oleh Id, alokasi bantuan perikanan yang terjadi komunitas nelayan Mola. Bantuan yang diberikan
untuk BP SDM KP Balai Penyuluhan Sumberdaya Manusia, Kelautan dan Perikanan itu sebesar 100 juta pada awal-awalnya Tahun 2010, kemudian pada
akhir Tahun 2011 Bulan Oktober per kelompok menerima bantuan sebesar Rp. 65 juta untuk budidaya rumput laut. Keterlambatan dana dari DKP membuat
budidaya untuk rumput laut yang merupakan bantuan dari BP SDMKP dari KKP Pusat yang dialokasikan ke DKP Kabupaten menjadi budidaya rumput laut tidak
berhasil. Penilian Dd 30 Tahun, sebagai staff BP SDMKP terhadap DKP
berkaitan dengan anggaran dana bantuan sangat tertutup. Bantuan yang turun tidak pernah di evaluasi dan di kontrol setelah pemberian bantuan. Tenaga
pendampingan dari DKP juga tidak pernah turun kelapangan. Apalagi di pulau tomia, sekitar ada beberapa kelompok yaitu 5 kelompok di Desa Tongano dan
Desa Lamanggau. Bantuan keramba di Desa Tongano sekarang sudah hilang tidak berbekas, demikian juga dengan bantuan rumput laut pun tidak berhasil. Untuk
idealnya rumput laut di tanam bulan ke-5 sampai bulan ke-9, akan tetapi bantuan turun bulan setelah bulan ke-9. Sedangkan penanaman rumput laut setelah bulan
ke-9, sangat rentan dengan kondisi cuaca dan penyakit. Masalah bantuan dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah provinsi yang diberikan guna mendukung sector perikanan, menjadi hal yang tertutup. Ketidaktransparan tentang kontribusi bantuan yang disebabkan
oleh keputusan Kadis DKP, menjadikan kecemburuan dan kekecawaan nelayan.
183 Pemberian bantuan kepada kelompok juga tidak merata. Penyuluh dari BP
SDMKP sering mendapat kompalin dari masyarakat yang seharusnya itu menerima dan berhak. Ini menandakan bahwa sangat lemah kontrol dari
masyarakat dan sangat kuatnya kekuasaan pejabat yang mempunyai kewenangan.
Tabel 7.2. Bantuan dari pemerintah kabupaten DKP yang berkaitan dengan perikanan Tahun Jenis
Bantuan Anggaran
Keterangan Sumber
data 2005-
2006 Kapal
Pelingkar 10 unit
Rp. 3 Miliar
Tidak layak dan gagal. Pengadaan kapal pelingkar, kapal second sehingga rusak
mesinnya observasi dilapangan. Untuk semua kecamatan sampai sekarang tidak
berfungsi. Wawanca
ra dengan Pak My,
Ln 35 Tahun
Bendahar a DKP
2005- 2011, 5
Mei 2012; Rk, 16
Mei 2012
2006 PEMP
Modal Usaha Koperasi Nelayan. Tidak efektif. Permasalahannya, kelompok
penerima bantuan baru terbentuk, ketika aka nada bantuan. Informasi dan
pembentukan kelompok, adalah orang- orang yang dekat dengan staff atau
fasilitator PEMP Rk, 16
Mei 2012; Dd
17 April 2012
2007 Kapal Pelingkar 18
unit Rp. 18 unit
Tidak layak dan tidak fungsi
20092010 Katinting -
Yang mendapatkan keluarga dari mantan Kades Mola Utara
Rk, 32 Tahun
16 Mei 2012 Tn,
Mola 29 Mei
2012
2010 Rumpon, Katinting,
bodi, BBM -
Dijalankan oleh Badan Penyuluhan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan BP
SDMKP. Hasilnya hanya untuk orang yang dekat dengan Kadispejabat DKP.
Rk, 16 Mei
2012; Dd30
Tahun Penyuluh
BP SDMKP,
17 April 2012
2011 Keramba apung bantuan
dari KKP Rp.
250.000,- Di Mola, orang yang mendapatkan bukan
nelayan ikan dasar ikan karang hidup. Yang menjadi kordinator yang
menentukan siapa yang mendapatkan adalah orang yang dekat dengan pejabat
pemerintah. Tn,40
Tahun Dmrdn
41 Tahun
Mola 29 Mei
184
2012 20102011 Bantuan
rumput laut Rp. 65
jutakelom pok
Tidak berhasil sebagaimana semestinya. Kesalah teknis pemberian bantuan.
Budidaya rumput laut tidak berhasil karena terserang penyakit
Dd, 30 Tahun1
7 April 2012
2012 Kelompok Jaring 20
orang, Kelompok
Lamba 20 orang,
2 kelompok bantuan tali
dan benih rumput laut
Jaring 4 karung 10
pcs, Lamba 4
karung 10 pcs.
Tiga karung
benih 50 kg
Yang mendapatkan orang Lamanggau daratan, bukan Bajo Lamanggau
Skr 38 Tahun,
Lamangg au 12
Mei 2012.
Sumber: Wawancara dengan berbagai nara sumber, baik nelayan, tokoh masyarakat ataupun staf DKP; April-Juni 2012.
Porgram COREMAP Phase II diharapkan memberikan warna baru tentang konservasi. Akan tetapi dalam prakteknya masih jauh dari praktek konservasi.
Idrs, 30 Tahun 19 April 2012, menjelaskan bahwa dilematis untuk konservasi dari program COREMAP. Program COREMAP seharusnya yang menguatkan
kapasitas masyarakat dalam konservasi terumbu karang, belum terlihat untuk di Wakatobi. Hal ini disebabkan antara pelaksanaan juknis di lapangan dengan
usulan masyarakat yang dituangkan dalam Rencana Pengelolaan Terumbu Karang RPTK belum sinkron. Sebagai contoh adalah tidak tepatnya pembangunan infra
struktur yang tidak ada kaitannya dengan program konservasi terumbu karang. Hal ini dikarenakan ada instruisi kekuasaan yang dilakukan oleh elit penguasa.
Penguasa yang mempunyai wewenang terhadap program ini, tidak hanya sebatas pada anggaran bantuan, tetapi juga menentukan siapa yang bisa mendukung
kekuasaannya.
7.3. Regime Pasar dan Tantangannya
Ada pembicaraan menarik dengan salah satu eksportir ikan konsumsi karang hidup 16 Juli 2012, bahwa ada seorang pejabat KKP pernah mengatakan,
kalau agenda konservasi terumbu karang COREMAP gagal maka yang membiayai rehabilitasi terumbu karang adalah perusahaan perikanan karang
hidup. Perusahaan perikanan karang hidup sanggup membiayai rehabilitasi karang tetapi hanya di daerah operasi tangkapannya saja. Tidak boleh di daerah operasi
tangkapan orang lain, dan setidaknya ada kebijakan regulasi juga untuk pengusaha lainnya. Banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah dalam
185 mengelola konservasi terumbu karang. COREMAP untuk Indonesia Timur
dibiayai oleh World Bank dan di Indonesia Barat oleh Asian Development Bank yang keseluruhannya adalah pinjaman Pemerintah Indonesia. Kesemuanya
pembiayaan rehabilitasi terumbu karang adalah hutang yang harus dipertanggungjawabkan keberhasilannya.
Belum maksimalnya pengelolaan terumbu karang, baik yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Wakatobi dan COREMAP di Wakatobi, terindikasi
masih terjadi praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya laut dan perikanan yang belum bisa diharapakan dari idealisme kawasan konservai. Pengelolaan baik yang
menjadi program Taman Nasional dan program COREMAP, belum mengatasi permasalahan sumberdaya perikanan di Wakatobi. Praktek penambangan batu
karang dan pasir laut untuk bahan bangunan, serta masih terdapat anggapan zonasi belum ditetapkan dan sampai pada tahapan penggunaan alat tangkap perikanan
yang tidak ramah lingkungan termasuk penggunaan potassium dan bom. Alasan masyarakat menggunakan sumberdaya kelautan dan perikanan
menjadi salah satu mata pencaharian tunggal, adalah bentuk rasionalitas logis, mengingat praktek-praktek konservasi yang ada di kawasan belum menjawab
permasalahan masyarakat berkaitan dengan alternatif livelihood mereka. Adanya sistem zonasi Taman Nasional mengubah pola kebiasaan lama yang secara turun
menurun dilakukan oleh nelayan ikan karang. Sistem konservasi komando dari regime negara, menyebabkan nelayan tidak leluasa lagi dalam menggunakan
sumberdaya perikanan. Disisi lain, dengan terbentuknya DPL sebagai program COREMAP yang merupakan zona konservasi dan pariwisata, menimbulkan
adanya polemik-polemik permasalahan baru bagi masyarakat yang tidak mempunyai wilayah laut desa, dan akses nelayan terhadap sumberdaya menjadi
semakin sempit, dikarenakan DPL berada di zona pemanfaatan lokal. Eksklusi dan alienasi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan di dalam DPL kepada
pengguna sumberdaya dari desa lain pun terjadi. Ketika
permasalahan penggunaan sumberdaya belum bisa terjawabkan oleh sistem pengelolaan kawasan dengan regime negara dengan hadirnya Taman
Nasional dan ataupun dengan regime masyarakat dengan sistem devolusi kekuasaan dari LIPI dan Kementrian Kelautan Perikanan KKP kepada Dinas
186 Kelautan Perikanan Kabupaten sebagai ujud dari konsep desentralisasi melahirkan
politik dana dan politik bantuan. Kehadiran pola pengelolaan tersebut menjadikan pola pemanfaatan sumberdaya perikanan karang tidak berubah sesuai dengan
agenda konservasi dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Konsep pengelolaan modernisasi secara global melahirkan pola
pengelolaan konservasi yang di dorong oleh pasar. Agenda konservasi melalui jaringan business to bussines, diinisiatifkan sebagai upaya menjawab belum
efektifnya pengelolaan sumberdaya perikanan yang diatur oleh negara dan pemerintah daerah. Standarisasi produk perikanan ramah lingkungan merupakan
upaya praktek-praktek perikanan berkelanjutan yang berharap bisa mendukung upaya konservasi dan pembangunan ekonomi di kawasan Taman Nasional
Wakatobi. Standarisasi dan pola pemanfaatan produk perikanan yang
bertanggungjawab adalah suatu tanda bahwa produk yang dijual tersebut diperoleh melalui suatu cara yang memperhatikan kaidah lingkungan sehingga
pemanfaatan sumber daya alam dapat berlangsung selama mungkin. Dalam produk perikanan, standarisasi produk perikanan mengacu pada produk yang
diperoleh dari hasil tangkapan di alam. Food Agriculture Organization FAO telah menerbitkan pedoman bagi pemerintah dan organisasi yang telah
menjalankan, atau sedang mempertimbangkan untuk membentuk skema standrisasi perikanan tangkap dalam rangka sertifikasi serta promosi produk
berlabel dari penangkapan yang berkelanjutan atau dikelola dengan baik. Secara garis besar persyaratannya adalah dapat dipercaya, melalui proses
audit independen, sertifikasi pihak ketiga, transparansi dalam penentuan standard dan akuntabilitas, dan mendasarkan standar pada kajian ilmiah yang baik. Prinsip-
prinsip sertifikasi ekolabel menurut FAO sebagai bentuk dari consensus Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF Tahun 1998, adalah sebagai berikut:
1. be a voluntary nature and market driven;
2. be transparent;
3. be non discriminatory, do not crate obstacles to trade and allow
for fair competition; 4.
establish clear accountability for the promoters of schemes and for
187 the certifying bodies in conformity with international standards;
5. there should be reliable auditing and verification process ;
6. recognize the sovereign rights of state and comply with all relevant
laws and regulations; 7.
ensure equivalence of standards between countries; 8.
be based on the best scientific evidence; 9.
be practical, viable and verifiable; 10.
ensure that labels communicate truthful information; 11.
must provide for clarity Deere, 1999: 30 IUCN-The World Conservation Union and FAO.
Inisiatif Seafood Savers pada dasarnya adalah untuk improvisasi produksi perikanan yang bertanggung jawab sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya
IUU Fishing yang sudah menjadi kegiatan dalam perikanan tangkap di wilayah perairan Indonesia. Illegal, Unreported, Unregulated IUU Fishing merupakan
kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau
lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Definisi dan batasan dari IUU Fishing mengadopsi dari IPOA International Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate-IUU Fishing sebagai hasil dari komite FAO pada konvensi perikanan dunia pada Tahu 2001 Baird, 2006:9.
Menurut IPOA-IUU II. Nature and Scope of IUU Fishing and the International Plan of Action 2001, Baird, 2006:11; Nikijuluw; 2008: 13-48,
adalah sebagai berikut: Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :
• Penangkapan yang dilakukan oleh suatu negara atau kapal asing diperairan yang bukan merupakan yuridiksinya, tanpa izin ke pemeintahnegara dan
kegiatan perikananya bertentangan dengan aturan yuridiksi negara tersebut;
• Penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal ikan berbendera salah satu negara yang tergabung dalam RFMO Regional Fisheries Management
Organisation tetapi pengoperasian kapalnya bertentangan dengan aturan yang diadopsi oleh RFMO tersebut;
188 • Penangkapan ikan yang bertentangan dengan undang-undang suatu negara
atau peraturan internasional termasuk aturan-aturan yang ditetapkan oleh negara anggota RMFO.
Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah : a Penangkapan ikan tanpa izin;
b Penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsuizin ganda; c Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang;
d Penangkapan Ikan dengan jenis spesies yang tidak sesuai dengan izin. Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :
• Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau terjadi salah pelaporan kepada otoritas pemerintah tertentu danatau bertentangan
dengan hukumaturan yang berlaku; • Kegaiatan penangkapan ikan yang dilakukan di kawasan yang merupakan
kompetensi suatu RMFO tertentu, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah pelaporan, sehingga bertentangan dengan prosedur
pelaporan yang berlaku di RMFO. Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di Indonesia:
• Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan;
• penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain transshipment di tengah laut
Kegiatan Unregulated Fishing: • Kegiatan penangkapan ikan pada kawasan yang merupakan tanggung
jawab RFMO tertentu, akan tetapi bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO. Dilakukan oleh
kapal yang tidak beridentitas negara, atau kapal yang berbendera bukan negara RFMO atau perusahan ikan tertentu;
• Penangkapan ikan atas jenis ikan tertentu atau didaerah perairan tertentu yang terdapat pengelolaan konservasi baik diatur oleh negara tersebut atau
merujuk aturan internasional. Kegiatan Unregulated Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah:
• Penangkapan ikan di laut lepas yang berkaitan dengan spesies tertentu;
189 • Penangkapan jenis ikan tertentu di daerah konservasi yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Sebagai kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi memiliki aturan
yang tidak melegalkan tindakan perikanan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya terumbu karang dan menangkap spesies yang
dilindung secara peraturan perundang-undangan seperti yang termaktub dalam UU No.5 Tahun 1990 Pasal 21 1,2; UU No. 31 Pasal 8 1; PP No 7 Tahun 1999
dan PP. No 8 Tahun 1999. Merujuk dari aturan Taman Nasional Wakatobi, ada beberapa spesies target perikanan yang dilindungi dalam kawasan yaitu: Penyu
Sisik, Penyu Hijau, Lumba-Lumba, Napoleon, Ketam Kelapa, Kima dan Lola RPTNW, 2008; 21-22.
Aktivitas produksi komoditas ikan konsumsi karang hidup yang terjadi di Perairan Wakatobi, masih besar kemungkinan terjadi praktek IUU Fishing.
Praktek-praktek IUU Fishing tersebut terbungkus pada praktek-praktek yang lain. Produksi komoditas yang terdapat di kawasan perairan Wakatobi mempunyai dua
sifat komoditas, komoditas untuk memenuhi pasar dalam negeri dan untuk pasar ekspor. Untuk pasar ekspor, seperti halnya usaha produksi penangkapan Napoleon
yang dibarengi dengan usaha produksi ikan Kerapu dan Sunu. Untuk mengelabui pengontrolan dari pihak Jagawana dan DKP, beberapa pengumpul ikan
kordinator menggunakan kedok ikan Kerapu dan Sunu sebagai usaha utama mereka Idr, 30 Tahun, 30 Maret 2012.
Penangkapan komoditas Napoleon kebanyakan menggunakan bius potassium, walaupun Napoleon pada dasarnya bisa tertangkap melalui pancing,
bubu ataupun jaring lamba. Akan tetapi untuk penangkapan dengan menggunakan bubu dan jaring kebanyakan mati. Susahnya Napoleon ditangkap
menggunakan alat tangkap pancing, dikarenakan bentuk morfologi mulut Napoleon yang menurut nelayan susah untuk makan umpan dari pancing,
disamping habitat Napoleon di karang yang dikenal sebagai ikan pemalu My, 20 Tahun, 22 Mei 2012; Armn, 18 Mei 2012.
Penangkapan spesies target perikanan yag tergolong dilindungi yang kebutuhannya untuk pasar domsetik adalah masih terjadinya penangkapan dan
pemanfaatan spesies seperti: Kima, Penyu Hijau penyu laut dan telurnya. Hal ini
190 masih banyak ditemukan di masyarakat atau pasar tradisional. Masyarakat
memanfaatkan kima untuk dimakan sendiri dan dijual dalam bentuk sudah dikeringkan. Sedangkan untuk Penyu Laut dan telurnya di jual di pasar. Harga
daging Penyu Laut dijual dengan harga Rp. 10.000kg, sedangkan telurnya Rp. 3000,-butir. Menurut informasi dari masyarakat Ketam Kelapa masih sering
ditemukan di pasar tetapi sudah sangat jarang. Satu ekor Ketam Kelapa Kepiting Kanari: bahasa Wanci di jual denga harga Rp. 150.000ekor.
Komoditas spesies target tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat ataupun dijual ke eksportir. Seperti untuk Napoleon dan Penyu Laut, salah satu kordinator
di Mola kadang mendapat pesanan apabila ada pejabat pemerintah datang ke Wakatobi. Pesanan tersebut dikirim ke salah satu resort yang ada di Wangi-
Wangi. Menurut penuturan Md. Kllng 40 Tahun, 4, April 2003 bahwa Napoleon kadang dipesan oleh resort yang ada di Wanci dan kadang untuk
Napoloen mati di jual ke kendari. Harga satu ekor Napoleon mati ukuran up diatas 600 gram dijual seharga Rp. 500.000,- untuk kondisi hidup di jual antara
Rp. 500.000,- sampai Rp. 1 jt. Kllg, membeli dari nelayan seharga Rp. 200.000,- untuk kondisi mati dan Rp. 400.000,- untuk kondisi hidup tergantung ukuran.
Kllg, saat ini masih sering mendapat pesanan tentang Napoleon oleh pejabat. Menurutnya Napoleon mempunyai khasiat informasi dari orang putih orang
cina yaitu bisa mencuci darah 10 kali dan memperpajang umur. Menurutnya yang paling banyak proteinya adalah bagian sisik. Napoleon juga mempunyai mitos
sebagai segala obat buat penyakit dan obat kuat. Penyu Laut menurut laporan nelayan dan kordinator dimanfaatkan sudah
seperti tradisi. Bukan hanya orang Bajo saja dan Bali yang mengkonsumsi Penyu Laut, tetapi juga Masyarakat Mandati yang mengkonsumsi Penyu Laut untuk
hajatan ataupun pesta keluarga. Penyu menurut kepercayaan masyarakat Mandati adalah sesajian yang istimewa dan menu makanan utama untuk menjamu para
pejabat. Nn, 18 Tahun 29 Maret 2012, menjelaskan bahwa kadang diancam oleh polisi, kalau punya Penyu tetapi tidak di jual dengan dalih akan ditangkap
dan dilaporkan. Penyu tersebut dihargai dengan harga Rp. 50.000,- ampai Rp.150.000,- tergantung dari ukuran.
191 Berdasarkan keterangan diatas aktivitas Illegal Fishing, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan adalah penggunaan metode dan teknologi yang bersifat merusak, yang bertentang dengan perundang-undangan perikanan dan
konservasi. Penyebab Illegal Fishing yang terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut:
• Meningkat dan tingginya permintaan ikan termasuk pasar ekspor di luar negeri;
• Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut • Belum ada visi yang sama antar aparat penegak hukum
• Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana terhadap kegiatan
penggunaan alat yang merusak lingkungan. Kegiatan perikanan di perairan Wakatobi berkaitan dengan area kawasan
konservasi adalah dengan Unreported Fishing hasil produksi perikanan. Untuk penangakapan aktivitas ikan konsumsi karang hidup masih ada yang
menggunakan sistem pengangkutan yang mengundang kapal impor dari Hong Kong. CV. J.M. mulai dari Tahun 1992 sampai sekarang masih menggunakan
pengiriman komoditas ke Hong Kong dengan kapal. Dalam sistem pengambilan komoditas ikan konsumsi karang hidup, dilakukan malam hari Hndr, 39 Tahun,
27 April 2012. Kapal impor Hong Kong mendapat ijin dari DKP Buton dan mengurus perijinan juga untuk keterangan asal ikan ke DKP Wakatobi.
pengurusan ijin atas surat keterangan asal ikan untuk DKP Wakatobi diwakili oleh kordinator kepercayaan dari CV. J.M., sedangkan untuk DKP Buton di urus oleh
staff kantor CV. J.M. data sekunder DKP Wakatobi dan DKP Buton. Pelaporan hasil tangkapan ikan untuk wilayah Wakatobi masih
mempunyai kendala. Hal ini dikarenakan setiap kordinator masih malas untuk memberikan pembukuan produksi tangkapan ikan konsumsi karang hidup Li; An,
16 Juni 2012. Kendala tentang pelaporan produksi hasil tangkapan ikan juga tidak hanya datang dari pelaku pengusaha, akan tetapi juga dari Dinas Kelautan
Perikanan Kabupaten yang masih longgar dalam pengawasan dan pengaturan. H. Bh 2 Juni 2012, menjelaskan bahwa mengenai pengawasan kouta
perikanan yang dilakukan oleh DKP Wakatobi tertanggal 31 Mei 2012. Menyatakan bahwa pihaknya masih menetapkan harga per kilogram sebagai
192 retribusi daerah dengan ketentuan harga dasar sebagai pelaksanaan Keputusan
Bupati yang merupakan kombinasi harga di pasar dengan harga di nelayan, bukan harga di pengusaha. Inilah yang menjadi kekurangan dalam pengontrolan
produksi ikan. Kemudian apabila ada laporan yang dilaporkan ke DKP sebelam proses pengangkutan ikan, itu tidak pas di kondisi lapangan, diberi toleransi,
misalnya dalam laporan itu ada 10 ton, ternyata lebih dari 10 ton, maka tidak dikenakan sanksi apapun dan dianggap wajar. Tetapi apabila lebih dari 5 ton dari
apa yang dilaporkan akan ditindak. Penyebab Unreported Fishing yang terjadi di Wakatobi adalah sebagai
berikut: • Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan log book
angkutan ikan; • Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data
hasil tangkapan log bookangkutan ikan; • Hasil tangkapan dan fishing ground dianggap rahasia dan tidak untuk
diketahui pihak lain saingan; • Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang
sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol; • Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan memiliki
pelabuhantangkapan tersendiri; • Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas
terkait cenderung lebih rendah dari sebenarnya. Menurut petugas retribusi laporan produksi umumnya tidak pernah mencapai 20 dari produksi
yang sebenarnya. Sementara itu dari kajian tentang ijin quota penangkapan Napoleon
sebagai ikan yang dilindung, terdapat bahwa pemberian ijin kepada salah satu perusahaan yang beroperasi di perairan Wakatobi, yaitu CV. J.M. memiliki ijin
penangkapan dari BKSDA Wilayah II Sulawesi Tenggara yang ada di Kabupaten Buton. Ijin tersebut melampirkan nelayankordinator yang berhak menangkap
Napoleon. Ditemukan dalam data sekunder ada tiga kordinator yang berasal dari Wakatobi, yaitu Hyd dari Mola, Ily Tomia dan Dmr Tomia. Kelengahan dan
tidak adanya sistem cross check antar dinas ataupun departemen menjadikan
193 kebocoran dalam perijinan. BKSDA setempat tidak saling kordinasi denga Balai
Taman Nasional Wakatobi dan DKP setempat. Penyebab Unregulated Fishing:
• Lemahnya peraturan perundangan; • Lemahnya monitoring, control and surveillance terhadap kawasan;
• Tumpang tinding kewenangan pengelolaan kawasan konservasi
konservasi; • Belum harmonisanya produk hukum tentang pengelolaan kawasan
konservasi; • Banyak terlibat aktor yang memanfaatkan kawasan konservasi untuk
tindakan kepentingan politiknya. Komoditas Napoleon menjadikan Napoleon diburu walaupun merupakan
aktivitas illegal dalam kawasan konservasi. Penggunaan alat tangkap yang cepat untuk mendapatkan Napoleon tetap dilakukan walaupun telah ada larangan dari
aturan konservasi Taman Nasional Wakatobi. Kegiatan tangkapan dan usaha Napoleon menjadi catatan tersendiri sebagai usaha yang terselubung dan bersifat
illegal yang legal. Rekomendasi tersebut merupakan hasil dari penilaian langsung di
lapangan yang dilakukan oleh WWF-Indonesia. Beberapa elemen yang menjadi obyek dalam penilaian tersebut mencakup aktivitas perikanan perusahaan,
kesesuaian aktivitas perikanan dengan standar IPOA-IUU Fishing dan kepatuhan perusahaan terhadap praktik-praktik ramah lingkungan lainnya, seperti
pengelolaan limbah B3, efisiensi energi, dan menuju kepemilikan atas sertifikat ekolabel. Selain itu, kajian ini juga menyentuh hal-hal di luar isu lingkungan,
yaitu mekanisme rantai dagang supply chain dan pembagian keuntungan yang diberlakukan dalam rantai tersebut WWF Indonesia, 2011. Agenda Seafood
Savers mempunyai tujuan dalam mendukung pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi terutama dalam perlindungan daerah karang, sebagaimana
merupakan delapan potensi sumberdaya kawasan Wakatobi yang harus dijaga kelestariannya.
Keprihatinan dunia terhadap kegiatan IUU Fishing, meningkatkan kesadaran masayrakat dunia terutama konsumen terhadap kondisi kritis perikanan
194 dunia. Di Indonesia diinisiasikan oleh WWF Indonesia Fisheries Chapture dalam
upaya pengamanan produk-produk perikanan laut yang ramah lingkungan demi terwujudnya keberlanjutan perikanan. Sebagai launch product of Seafood Savers
diinisiasikan mulai Tahun 2008 dan di implementasikan pada Tahun 2011. Untuk perikanan ikan konsumsi karang hidup di implementasikan dengan melihat
kawasan TN Wakatobi sebagai pilot project adanya upaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap ekologi yaitu Seafood Savers.
Seafood Savers merupakan praktek kelola sumberdaya perikanan yang melibatkan kerjasama antar korporasi yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia pada
Bulan Oktober Tahun 2009. Tujuan Seafood Savers tidak lain adalah untuk menguatkan dukungan dari sektor industri terhadap praktek perbaikan
pengelolaan perikanan laut di Indonesia. Perusahaan perikanan merupakan sektor industri perikanan yang mempunyai kepentingan dan berpengaruh pada
pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus kerusakan lingkungan serta kelangsungan sumber daya alam. Inisiasi dari WWF Indonesia, hadir pada Tahun
2009 dengan launch seafood savers, sebagai bentuk upaya konservasi spesies, yang sudah mengkhawatirkan WWF Indonesia, 2011. Untuk komoditas
perikanan karang dilakukan di Taman Nasional Wakatobi, dipilih sebagai pilot project untuk program Seafood Savers dengan berbagai pertimbangan. Dalam
kawasan Taman Nasional Wakatobi, terdapat potensi sumberdaya perikanan yang melimpah, termasuk kondisi stok perikanan karang hidup yang masih bagus. Akan
tetapi di dalam kawasan juga masih terdapat praktek-praktek penangkapan ikan yang masih bersifat merusak, yaitu dengan menggunakan bom dan bius. Dengan
adanya program Seafood Savers, diharapkan mampu untuk mewujudkan keberlanjutan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi Taman Nasional
Wakatobi.