Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State dan

261 konsumsi karang hidup. Konservasi kawasan seperti taman nasional dan DPL belum bisa memberikan jawaban antara realitas kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan perikanan. Isu besar dari wacana pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pasar, dikarenakan keprihatinan terhadap degradasi sumberdaya lingkungan yang semakin menunjukan kerusakan. Menurut Hempel, 1996 dalam Riyanto, 2005:10, terdapat empat faktor yang menjadi degradasi lingkungan yaitu: Pertama, nilai-nilai dasar yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan adalah etika antroposentris yaitu demi memenuhi kepuasannya manusia cenderung mengorbankan spesies flora dan fauna disekitarnya dan etika kontemposentris yaitu lemahnya pengkayaan oleh generasi sekarang ke generasi yang akan datang; Kedua, pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi; Ketiga, perilaku konsumen yaitu ketegangan antara keinginan dan kebutuhan serta konsekuensi ekologinya; dan Keempat politik ekonomi. Selain keempat aspek tersebut, Satria 2009a:35-36, menambahkan bahwa, degradasi sumberdaya perikanan disebabkan adanya kegagalan pasar dan kegagalan tata kelola. Oleh karena itu pendekatan pasar menjadi acuan kebijakan pengelolaan komoditas yang berkaitan dengan sumberdaya. Kebijakan pasar tersebut adalah kebijakan kouta, dan kebijakan ecolabelling. Kebijkan kouta lebih menekankan pada produsen, sementara ecolabelling pada penekanan level konsumen. Solusi dari kegagalan tata kelola adalah, perlu di wujudkannya kolaboratif manajemen, pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengikutsertakan semua stakeholder, yaitu negara, masyarakat dan pasar. Belum terwujudnya pengelolaan komoditas dan kawasan terumbu karang yang ideal, setidaknya dapat dipetakan penyebabnya selain tumpang tindih kewenangan daerah dan pusat tetapi juga karena kawasan konservasi berbasis area tidak mengikutsertakan peran pasar untuk bertanggung jawab terhadap proses eksploitasi komoditas. Eksploitasi komoditas ikan konsumsi karang hidup terjadi sebagai akibat adanya permintaan pasar regional di Hong Kong yang berlangsung terus menerus. Salah satu dampak dari eksploitasi sumberdaya ikan konsumsi karang 262 hidup, masih terdapat praktek-praktek illegal fishing yang sehuarusnya tidak terjadi di dalam kawasan konservasi masih berlangsung dikarenakan adanya permintaan pasar terhadap spesies yang tidak boleh ditangkap. Seafood Savers, muncul sebagai wacana global dan wacana lokal. Sebagai wacana global produk Seafood Savers merupakan pengelolaan sumberdaya perikanan karang hidup yang diterapkan pada kawasan yang masih terdapat praktek-praktek bad practice yang tergolong dalam karakter IUU Fishing. Sampai saat ini belum diketemukan aturan khusus yang mengatur ikan konsumsi karang hidup. Keunikan dan dinamika komoditas ini adalah menjaga agar tetap hidup komoditas dari mulai ditangkap sampai di tangan konsumen yang didalamnya terdapat praktek-praktek spesifik tertentu yang tidak berada di perikanan tangkap lainnya. Sebagai wacan lokal, Seafood Savers merupakan regime pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertumpu pada rasionalitas pasar. Seperti dijelaskan dalam Bab. VI. bahwa komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai dampak sosial dan ekonomi, terdapat dalam jaringan penangkapan, sampai jaringan distribusi dan jaringan pengaman merupakan upaya memanfaatkan hasil tangkapan liar di dalam kawasan konservasi. Jaringan penangkapan, jaringan pemasaran sampai pada jaringan pengaman menyebabkan terjadinya perubahan- perubahan kondisi yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan. Secara kajian ekologi, adaptasi ikan konsumsi karang hidup adalah di ekosistem karang yang merupakan salah satu dari delapan potensi konservasi kawasan Taman Nasional Wakatobi yang dilindung menjadi area target. Kehadiran Seafood Savers sebagai wacana lokal merupakan inisiasi pengelolaan perikanan yang di inisiasikan oleh WWF Indonesia, guna mengelola komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan konservasi yang berbasis pasar sebagai penyokong antara kepentingan konservasi dan developmentalis. Tentunya kehadiran Seafood Savers, menjadi hal yang pro dan kontra, terlebih kepentingan dari Seafood Savers, adalah untuk siapa?. Dukungan dalam konservasi, Seafood Savers adalah proses bridging mechanism untuk mengurangi adanya praktek IUU Fishing. Ikan konsumsi karang 263 hidup, banyak ditangkap dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, seperti cyanide. Permasalahan klasik dari komoditas ikan konsumsi karang hidup adalah belum ditemukannya regulasi yang spesifik mengenai perikanan tangkap maupun batas quota tangkap untuk ikan konsumsi karang hidup. Selain itu, permasalahan pelaporan mengenai produksi ikan konsumsi karang hidup sampai sekarang juga belum jelas. Agenda besar adanya Seafood Savers adalah terwujudnya Fisheries Improvement Management, sebagai usaha sertifikasi eco-label. Temuan di lapangan, bahwa di Wakatobi masih beroperasi eksportir yang mengirimkan produksi ikan konsumsi karang hidup dengan menggunakan kapal impor langsung dari Hong Kong. Operasi daerah penangkapan berada di Wakatobi, akan tetapi ijin pengawasan ada di Buton. Sedangkan ijin untuk surat keterangan asal ikan ada di Wakatobi, dengan mengatasnamakan baik dari nama CV. ataupun dari kordinatror yang menjadi kepercayaan CV. tersebut. Tentunya hal ini menjadikan dualisme pelaporan hasil tangkapan. Tercatat di Buton dan juga di Wakatobi dengan quota yang berbeda. Tercatat di DKP Wakatobi, jumlah ekspor ikan itu hanya 2500kg, sedangkan di Buton bisa mencapai 7000kg. Faktor ini disebabkan karena di Buton, itu sudah mengambil ikan dari area penangkapan daerah lain, seperti di Selayar. Akan tetapi hal ini menjadi ganjil, ketika merunut dari hasil wawancara dengan penjaga keramba, bahwasanya kapal Hong Kong, membawa ikan ke Wakatobi dan mengangkut, apabila jumlah minimum ikan yang ada di dua keramba Wakatobi itu 4000kg. Belum adanya aturan khusus tentang komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan sehingga menjadikan adanya dualisme pelaporan quota, disebabkan daerah belum mempunyai aturan tentang penataan keramba-keramba ikan konsumsi karang hidup milik eksportir. Jarak lokasi keramba dengan pulau menjadi kendala dalam proses pengawasan. Walaupun kawasan perairan Wakatobi sudah menjadi taman nasional, akan tetapi sifat dari komoditas ikan konsumsi karang hidup tetap bersifat wild capture. Sifat dari wild capture, menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup tidak ada yang memiliki ketika bebas di alam. Kondisi ini disebut dengan ferea naturae. 264 Menurut, Fauzi, 2010: 19, kondisi ferea naturae adalah kondisi dimana ikan memiliki sifat alamiah wild by nature, tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kondisi seperti inilah komoditas perikanan mengalami gejala kegagalan pasar. IUU Fishing, yang terjadi pada komoditas ikan konsumsi karang hidup memunculkan fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar dicirikan sebagai berikut: 1. Adanya persaingan yang tidak sehat. Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat oligopsoni dan oligopoli, dimana penjual banyak, pembeli sedikit level produsen, dan penjual sedikit pembeli banyak level konsumen. Harga merupakan kewenangan eksportir, yang bisa memainkan harga pasar di tingkat produsen dan harga pasar di tingkat konsumen. 2. Eksternalitas adalah kondisi pasar, ketika dalam aktifitas ekonomi pihak ketiga. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, terdapat ekternalitas ekonomi negatif, yaitu turut campurnya pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam produksi komoditas. Rent seeking¸ menjadi eksternalitas negatif pihak ketiga. Sehingga terdapat ketidakseimbangan antara social benefit dengan social cost. Apabila social cost lebih tinggi daripada social benefit, maka tidak ada biaya beban moral untuk rekoveri masyarakat dan lingkungan Fauzi: 2005: 20, Rustiadi, 2011:32. 3. Asimetris informasi. Merupakan situasi dimana informasi tidak tersebar merata atau terjadi ketidakpastian informasi. Eksportir ikan konsumsi karang hidup mempunyai informasi lebih banyak, baik harga maupun akses pasar daripada nelayankordinator. Perubahan sosial-ekonomi dari Seafood Savers, belum terasa nyata untuk nelayan. Seafood Savers, merupakan aturan antara perusahaan dengan nelayan yang mengikat nelayan. Artinya, posisi antara perusahaan dan nelayan tidak berimbang 265 dalam posisi tawar. Adanya informasi asimetris tentang produk dan harga masih dikuasai oleh perusahaan Seafood Savers terhadap nelayannya. Pemberian premium price, menguntungkan nelayan tanpa ikatan hutang terhadap kordinator patron untuk pendapatan, akan tetapi nelayan yang masih dalam ikatan kordinator tidak bisa merasakan adanya premium price. Pola pergeseran kekuasaan sebagai itikad baik perusahaan Seafood Savers menghapus rantai patronase menjadi ikatan kontrak yang bersifat terbatas dalam jangka waktu. Dikarenakan struktur patronase sudah hidup sebelum Seafood Savers diinisiasikan. Ikatan nelayan mempunyai ikatan hutang terhadap kios, sebagai penjamin modal nelayan untuk melaut. Dalam wawancaranya di Bali, perusahaan yang menjadi anggota Seafood Savers pesimis Seafood Savers akan berhasil tanpa ada campur tangan regulasi dari pemerintah. Perusahaan tersebut, belum memakai logo Seafood Savers karena pihaknya, berkeyakinan akan melaksanakan kaidah-kaidah perikanan ramah tangkap, akan tetapi tidak mengikuti prosedur dari WWF 14 Juli 2012. Pesimistis dengan adanya Seafood Savers, dikarenakan penerapan untuk batas minimum quota tangkap untuk ukuran, tidak diikuti oleh perusahaan eksportir ikan konsumsi karang hidup lainnya. Pada pertemuan workshop konservasi Napoleon, bahwa eksportir keanggotaan Seafood Savers, sangat khawatir dan pesimis tentang moratorium Napoleon dan berubah status menjadi Appendix I dalam CITES. Menurutnya, ketika pemerintah tidak tegas melarang Napoleon, maka di lapangan masih banyak praktek penangkapan Napoleon yang menggunakan bius. Sehingga, ini akan merusak bisnis bagi perusahaan yang sudah mengikuti standar ramah lingkungan seperti Seafood Savers.

9.3. Analisis Politik Seafood Savers, Sebagai Pengelolaan Perikanan Karang

Hidup melalui Mekanisme Pasar Seafood Savers, secara politik diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya perikanan dengan mendekatkan pada aspek pasar. Kajian OECD tentang using market mechanism to manage fisheries; 2006, menjelaskan bahwa ada tiga tipologi 266 instrument pengelolaan sumberdaya perikanan. Pertama, tipologi pengelolaan berdasar pada metode kontrol. Kedua, tipologi pengelolaan berdasar pada tujuan kebijakan peraturan, dan Ketiga, tipologi berdasar pada variabel kontrol. Pertama, instrument pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar pada metode kontrol. Secara general, instrument metode kontrol menekankan pada bidang ekonomi sebagai kebijakan pengelolaan. Ada dua macam, yaitu, • Pertama, instrument ekonomi yang menekankan cost dan benefit terhadap perusahaan perikanan atau nelayan terhadap penggunaan sumberdaya perikanan. Instrument ekonomi diantaranya adalah: a Menciptakan pasar market creation, misalnya hak penjualan atau ijin. Instrument ini merupakan instrument pasar, berupa keputusan ekonomi yang dilakukan oleh aktor yang berinteraksi dalam jaringan pasar menyangkut hak dan ijin sebagai atribut kekuasaan para aktor yang berinteraksi. Hak tersebut di kemukakan Tara Scott 1998 dalam OECD 2006, seperti hak ekslusif pengguna, hak untuk mendapatkan keuntungan dan hak untuk menjual. b Monetary transfer, misalnya, pembayaran atau pajak seperti, paak, subsidi, dan fee. Hal ini di lakukan dengan tujuan sebagai bentuk ekonomi insentif dan bukan pendekatan pasar. 2. Pengukuran pengelolaan atas pasar berdasar pada peraturan dan legalisasi. Peraturan dan legalisasi dalam pengelolaan pasar dinilai lebih fleksibel daripada instrument eknonomi, meskipun aktor pasar tidak dapat lebih bebas dalam menggunakan sumberdaya akan tetapi dinilai mengeluarkan cost yang sedikit dalam berproduksi. • Kedua, pengelolaan SDP berdasar pada tujuan peraturan. Pengelolaan SDP pada instrument ini terdapat dua pengukuran, yang masing-masing berbeda pada istilah dan tujuan serta kemampuan modalnya. Dua pengaturan tersebut adalah 267 a Menjaga produktivitas stok ikan melalui tindakan teknis, seperti instrument pengaturan terhadap ukuran tangkap, jenis alat tangkap yang diperolehkan dan TAC, jumlah quota yang boleh ditangkap. b Menyesuaikan kapasitas penangkapan ikan untuk melalui kontrol dan akses. Hal ini berarti berbagi kapasitas produktif dan reproduktif antar pengguna terhadap stok ikan, seperti seleksi terhadap perusahaan yang berhak untuk beroperasi dalam penangkapan ikan, dan pembagian distribusi alokasi penangkapan ikan untuk setiap perusahaan perikanan. Berikut dijelaskan dengan gambar tentang dua komponen pengelolaan sumberdaya perikanan menurut OECD, 2006; 22: Gambar 9.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan karang dengan program Seafood Savers. • Ketiga, tipologi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis variabel kontrol. Tipologi pengelolaan ini berdasar pada jenis sumberdaya perikanan yang bersifat fugitive Ciriacy-Wantrup, 1952. Karena sifat yang melekat pada sumberdaya ikan adalah fugitive maka diperlukan aturan untuk mengelola dengan kontrol variabel, seperti moda aturan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan, seperti aturan Total Allowed Catch TAC, maupun Individual Transferable Qouta ITQ. Ketiga pilar tersebut adalah instrument pasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis pada aturan pasar. Setidaknya ada empat alasan mengapa hal Pengelolaan Perikanan Seafood Savers 2. Akses dan kontrol untuk perusahaan: sharing that capacity among all the harvester 1.Aturan Penangkapan: -Teknik Penangkapan, -Jenis yang ditangkap,- Minimal size yang ditangkap d. mengikuti aturan perusahaan c. Mengikuti aturan pemerintah dan aturan kawasan konservasi b. Pembatasan area tangkap dan penggunaan alat tangkap a. Selektifitas Penangkapan Sumber: Diadopsi dari Boncoeur and Troades, 2003; 268 ini muncul seagai bentuk keprihatinan sumberdaya perikanan yang mengalami overcapacity maupun overexploitation: 1. Pertama, insentif ekonomi tidak terbentuk sebagai hasil interaksi pasar; 2. Kedua, pajak dan biaya sumber daya hampir tidak digunakan sebagai insentif ekonomi sebagian besar digunakan untuk biaya pemuliah pengelolaan sumberdaya; 3. Ketiga, subsidi tidak digunakan secara tepat akan tetapi digunakan dalam proyek “subsidi perikanan dan pembangunan berkelanjutan”; 4. Keempat, efek utama dari insentif ekonomi diharapkan dapat dikelola sebagai input misalnya dari pemasukan ijin lisensi kapal atau output misalnya retribusi quota tangkap sehingga hak akses dibayarkan kepada pemegang hak. Tabel 9.4. Tipologi instrument pengelolaan SDP berbasis pasar Tujuan kebijakan Metode kontrol Variabel kontrol Usaha Perikanan input control Usaha Penangkapan output control Pengelolaan produksi dan reproduksi kapasitas stok ikan Pengaturan administrative pengukuran secara teknik -mesh size -sizeamount of gear -areatime closure -size and sex selectivity -TAC Pengaturan akses insentif-akses kontrol Peraturan administrasi akses dan kontrol -Limited a non- transferable c permitslicense LL -Individual non- tranferable effort quota IE -Territorial User Right in Fisheries TURF -Other types of effort limits -Individual b non- transferable c qoutas -Community-based catch qoutas CQ -Other type of catch limits maximum landings or vessel catch limits-VC Ekonomi berbasis pasar akses ekonomi kontrol atau hak -Transferable c licences a LTL -Individual tranferable effort qoutas ITE Individual b tranferable qoutas ITQ Economic not market- based monetary transfer -input d tax -Subsidy -Charges -Landing tax -Subsidy -Charges a Sistem yang membatasi jumlah kapal yang berhak menangkap ikan, maksimum kapasitas penangkapan dan waktu penangkapan ikan.. 269 b kuota individu = pembagian TAC Total Allowable Catch dialokasikan untuk kapal atau perusahaan perikanan. c Transferable= tradable on market. d komponen usaha perikanan konsumsi menengah, modal, dan tenaga kerja. Sumber: OECD Secretariat and Boncoceur and Troades, 2003; 26. Menarik dikaji, apakah Seafood Seavers adalah bentuk pengelolaan sumberdaya yang berbasis pasar dan merupakan instrument baru pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif dan efesien?, bagaimana keberpihakan Seafood Savers terhadap nelayan yang rentan modal dan sumberdaya perikanan?. Tentunya belum dapat dianalisis keberhasilan dari seafood Savers, mengingat Seafood Savers adalah program inisiasi baru dari WWF Indonesia. Akan tetapi kebijakan dari Seafood Savers, menjadi sebuah kebijakan yang menarik untuk dianalisis. Berdasarkan dari konsep OECD, 2006 tentang Using Market Mechanism to Manage Fisheries, Seafood Savers merupakan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berdasar pada instrument pola pengaturan sumberdaya berdasar atas produksi dan reproduksi kapasitas stok ikan pada level nelayan dan pola pengaturan akses dan kontrol pada level perusahaan. Seafood Savers adalah pola pengaturan yang terdapat pada aturan produksi dan reproduksi. Pada level nelayan, aturan tersebut memberikan pembelajaran terhadap nelayan untuk menangkap ikan secara lestari. Adapun pengaturan yang terdapat pada Seafood Savers, adalah: 1. Pengaturan penggunaan alat tangkap. Pengaturan penggunaan alat tangkap pada level nelayan merupakan aturan Seafood Savers, guna mendukung kebijakan konservasi dan keberlanjutan perikanan. Kebijakan konservasi ini tertuang dalam amanah Taman Nasional, di mana kawasan pesisir Wakatobi adalah kawasan konservasi. Sedangkan untuk keberlanjutan perikanan, dengan menggunakan praktek- praktek perikanan lestari untuk mendukung ekonomi keerlanjutan masyarakat, seperti yang diamanahkan oleh UU No. 31 Tahun 2004. Pengaturan penggunaan alat tangkap yang tertuang dalam aturan Seafood Saevers merupakan kebijakan awal untuk memberikan transformasi 270 pembelaaran dan penyadaran terhadap masyarakat, bagaimana menangkap ikan secara lestari untuk kehidupan mereka dimasa mendatang. Artinya adalah bahwa sumberdaya perikanan semakin menunjukkan angka keprihatinan, ditunjukkan karena penangkapan berlebih dan penangkapan yang bersifat merusak. Sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Alat tangkap yang tidak diperbolehkan adalah alat tangkap yang dapat mengganggu keseimbangan eksosistem karena bersifat merusak, seperti bom dan bius, dan alat tangkap yang dalam prakteknya dapat merusak terumbu karang seperti ganco dan alat lainnya yang penggunaannya dapat mengancam kerusakan terumbu karang. 2. Pengaturan penangkapan ikan berdasar waktu dan tempat. Seafood Savers menyadarkan kepada masyarakat untuk menangkap ikan karang dalam jangka waktu tertentu dan area tertentu. Hal ini dikarenakan kawasan perairan Wakatobi adalah kawasan konservasi yang pola pengaturan luasnnya diatur dengan sistem zonasi. Penyadaran konservasi terhadap akan pentingnya penataan ruang zonasi dimaksudkan adalah sebagai tempat bank ikan dan tempat pemijahan ikan SPAGs. Seafood Savers merupakan aturan yang disinkronisasikan dengan aturan Taman Nasional juga dengan aturan perikanan berkelanjutan. Hal ini terlihat, bahwa Seafood Savers adalah jalan tengah sebagai pintu konservasi dan pintu pembangunan. Artinya, adalahlah bagaimana menciptakan kondisi perikanan sebagai leading sektor perikanan masyarakat yang ramah lingkungan dalam kawasan konservasi dengan mematuhi kaidah-kaidah aturan perundang-undangan perikanan dan konservasi. Seafood Savers juga mengatur tentang pola dan ritme, penangkapan ikan karang. Hal ini belum terlihat berjalan, karena aturan Seafood Savers, meganjurkan kepada nelayan untuk tidak menangkap ikan dalam waktu bertelur. Tetapi pegetahuan nelayan ikan akan mudah ditangkap ketika