Jaringan Pengaman Prosecution risk of insurance networks

160 komo kons berku Telah pada mem Duga kegia karen Kabu Daer dapa surve didug 2012 Sumb peng kebe zona botto Gambar Potensi odifikasi ik ervasi SPA umpulmya h dilakukan a Tahun 20 mijah ikan k aan 25 lok atan over fi na, kawasa upaten Wak rah untuk pe at berakibat ey terbaru T ga sebagai 2. Berdasar berdaya Al gawetan, per rlanjutan. S asi penataan om up dida 7.2. Peta pote i alam hay kan konsum AGs spaw jenis ikan n survey ol 003 terident karang. Aka kasi tidak ishing dan an Taman katobi sebag embanguna serius terha Tahun 2012 tempat me r Undang- lam Hayati rlindungan Semangat pe n ruang dal asari denga ensi sumberda ati Taman msi karang wning aggre karang tert leh join pro tifikasi 29 an tetapi ha lainnya su destructive n Nasional gai kabupate an daerahny adap keberla 2 dilakukan emijah ikan -Undang N i dan Ekos dan pemanf engelolaan T am kawasan an tiga dim aya penting Ta Naional W g hidup sa egation sit tentu untuk ogram Tam lokasi SPA anya 4 loka dah menga e fishing. Ha l Wakatob en baru yan ya. Kesalah anjutan peri n dengan mo n karang S No. 5 Tah ssitemnya, f faatan lesta Taman Nas n konservas mensi: 1. aman Nasiona Wakatobi ya lah satunya tes dimana k memijah man Nasion AGs yang d asi saja yan alami kerus al ini pentin bi, terjadi ng membutu strategi pem ikanan RP onitoring 1 Sahri, 30 T hun 1990 fungsi Tam ari sumberda ional Waka si yang pen Terdapat p al Wakatobi. ang berkait a adalah k a merupak RPTNW, nal, TNC d diduga seba ng positif m sakan karen ng untuk di pemekaran uhkan Penda mbangunan TNW, 2008 8 lokasi SP Tahun, 26 tentang K man Nasion aya alam ha atobi berkait nunjukkann pergeseran tan dengan konsentrasi kan tempat 2008: 66. dan WWF agi tempat masih aktif. na adanya iperhatikan n otonom apatan Asli kabupaten 8. Adapun PAGs yang November Konservasi nal sebagai ayati untuk tan dengan nya bersifat paradigma 161 tentang pengelolaan kawasan konservasi, yaitu manfaat keberlanjutan sumberdaya pesisir bersama masyarakat dan bersama pemerintah daerah kepentingan ekonomi jangka panjang; 2. Terdapat integrasi dua program yaitu Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD; 3. Pengelolaan zonasi kawasan konservasi disinergikan dengan RTRWP Kabupaten Wakatobi, dengan melibatkan seluruh stakeholder. Sehingga pada Tahun 2007 mengakomodir semua kepentingan stakeholder Kris, 18 Mei 2012. Dalam melaksanakan agenda konservasi Taman Nasional, TNW bermitra dengan TNCWWF dalam satu atap join program. Hal ini di sepakati melalui MoU antara TNCWWF dengan Kemenhut. Join program terbentuk, karena kemitraan mempunyai tujuan, visi, misi yang sejalan dalam pengelolaan sumberdaya berkelanjutan konservasi. Praktek dalam kemitraan join program didasari dengan kordinasi dan konsilidasi kerja, dalam bentuk rencana kerja setiap tahun didalam agenda rencan kerja dan ketika di lapangan diadakan kordinasi dan komunikasi antara satu dengan lainnya. Fungsi adanya join program merupakan praktek kolaboratif sistem yang dibentuk berdasarkan kesepakatan satu dengan lainnya dalam pola kerja kemitraan, dimana TNC dan WWF sebagai supporting sistem dan dana dalam program konservasi bersama Taman Nasional Kris, 18, Mei 2012. Konservasi kawasan Taman Nasional Wakatobi pada kenyataannya menunjukkan tekanan yang berat, yaitu banyak pelanggaran terhadap wilayah zonasi, masih berlangsungnya kegiatan pertambangan batu karang dan pasir laut, masih diketemukannya perburuan satwa yang dilindungi, dan sampai saat ini pun masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang lain terhadap kawasan konservasi. Dalam Tahun 2012, terjadi penembakkan yang menyebabkan kematian nelayan pengebom, karena terkait dengan pemboman karang, yang terjadi di Karang Kaledupa III, Bulan Februari lalu, yang menewaskan satu korban Bajo Kendari dan Tanggal 29 November 2012 di Karang Kapota yang juga menewaskan satu orang Bajo Kendari, akibat pengeboman ikan Tn, 40 Tahun, 4 Desember 2012. Awal terbentuknya zonasi Taman Nasional Wakatobi mendapat perlawanan dari masyarakat. Perlawanan berkaitan dengan zonasi dikarenakan ada 162 pelarangan untuk menangkap ikan di kawasan karang tidak diperbolehkan oleh Taman Nasional Wakatobi. Adanya praktek zonasi, terutama pelarangan untuk menangkap ikan di zona bahari dan zona inti serta zona pariwisata. Menurut penuturan nelayan Bajo Mola, bahwa zonasi berarti pelarangan untuk mendapatkan makan zo: dilarang, nasi: makanan. Aturan kawasan konservasi berimbas nyata terhadap pelarangan untuk masyarakat Wakatobi terutama masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai penambang batu karang dan pasir. Hal ini dinilai mematikan kondisi mata pencaharian masyarakat Bajo, padahal yang membutuhkan material bangunan seperti pasir dan batu karang bukan hanya masyarakat Bajo semata tetapi juga masyarakat Wakatobi. Masyarakat Bajo membutuhkan batu karang untuk menimbun wilayah laut yang digunakan sebagai pemukiman mereka. Sedangkan pasir dan batu karang digunakan sebagai bahan bangunan pasir, pembuatan batako dan pondasi rumah. Transformasi pengetahuan akan rumah batu bangunan rumah dengan batu dan semen mulai sejak Tahun 1970-an akhir. Dimulai dulu dari pembangunan rumah yang ada di Wanci, sedangkan untuk Bajo Mola dimulai dengan rumah, kepala desa Mola Raya pertama yang terletak di Mola Selatan. Untuk Tomia, hampir semua rumah di daratan Tomia sudah menggunakan rumah batu. Hal ini dikarenakan orang Wakatobi berdagang lintas pulau, sampai ke Pulau Jawa. Tranformasi pengetahuan bentuk rumah dari masyarakat Jawa inilah membuat masyarakat membangun rumah batu seperti yang mereka lihat di Jawa H. Armn, 47 Tahun, Juni 2012. Kebutuhan rumah batu dan bangunan berpondasi lebih meningkat ketika Wakatobi menjadi daerah pemekaran Kabupaten Wakatobi. Sampai saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi belum bisa memberikan alternatif, mengenai material bangunan tersebut. Lebih diperparah, kadang untuk membangun infrastruktur pemerintahan, masih menggunakan pasir laut dan batu karang ataupun batu karang yang ada di daratan. Tantangan konservasi Taman Nasional Wakatobi tidak hanya terbatas dalam galian material pasir dan batu karang saja. Untuk aktifitas perikanan, masih terlihat belum efektifnya agenda konservasi yang ada di Wakatobi. Penggunaan alat tangkap yang dapat mengancam degradasi sumberdaya karang menjadi permasalahan serius di dalam kawasan. Jauh sebelum ditetapkannya Taman 163 Nasional Wakatobi, nelayan Wakatobi sudah memanfaatkan sumberdaya perikanan, terutama perikanan karang secara turun menurun. Kebiasaan masyarakat menangkap di daerah karang dengan menggunakan alat tangkap yang masih bebas. Masyarakat beranggapan sumberdaya laut adalah milik bersama. Dalam pandangan masyarakat Bajo, daerah-daerah karang yang memiliki potensi ikan melimpah, sudah di klaim secara turun menurun menjadi hak milik masyarakat. Untuk masyarakat daratan Wangi-Wangi dan Tomia, terdapat pandangan, sejajar dengan pohon kelapa yang berada di kebunnya, sejauh memandang, wilayah lautnya adalah miliknya. Untuk masyarakat daratan baik Wangi-Wangi dan Tomia sudah mengenal sistem Huma. Huma merupakan daerah tangkapan ikan, yang ditandai dengan gubuk di tengah laut diatas karang, menandakan sebagai daerah kekuasaan orang yang mendirikan. Orang Tomia, lebih mengenal ini daripada orang Wangi-Wangi. Huma, adalah peristirahatan sementara, ketika nelayan melaut untuk pasang bubu. Adapun apabila nelayan lain ingin memasang bubu ditempat yang sudah bertuan ada Huma, maka harus ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya. Untuk Wangi-Wangi dan Tomia, dikenal dengan daerah wilayah perikanan masyarakat yang dikenal dengan sero. Sero adalah tempat perangkap ikan didaerah pesisir pasang surut yang diterdiri dari bambu atau batang, di tancapkan dalam dasar pantai memanjang ke laut. Sero merupakan hak kepemilikan pribadi, yang secara adat diatur oleh Sara Hokumi pengaturan yang berhubungan dengan kemaslahatan di bawah keputusan Imam Masjid. Sero mempunyai sifat dapat diturunkan oleh generasinya Hanan, 39 Tahun, 9 Mei 2012. Dengan hadirnya Taman Nasional Wakatobi yang menggunakan sistem pengaturan melalui zonasi, memberikan pengaruh ketakutan masyarakat berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Berdasar hasil survey di lapangan, sampai saat ini masyarakat belum percaya bahwa zonasi telah ditetapkan. Rupaya permasalahan tentang zonasi digunakan sebagai alat kepentingan politik. Dalam hal kepentingan politik, digunakan oleh elit atau oknum tertentu baik untuk mendapatkan pengaruh masa, atau digunakan untuk mempengaruhi masa demi tujuan politik semata. Tahun 2009 terjadi isu provokasi zonasi di Tomia yang dilakukan oleh balon anggota dewan waktu itu. Dengan menyebarkan foto copy 164 peta zonasi taman nasional, sehingga dalam foto copy tersebut berwarna hitam semua yang merupakan daerah zonasi. Pasca pemilihan kepala daerah, terjadi aksi masa besar-besaran berkaitan dengan zonasi Tahun 2011. Isu zonasi menjadi isu sentral bagi pihak yang kalah dama politik kekuasaan dengan mengatasnamakan sebagai penyalur aspirasi masyarakat terutama masyarakat Bajo Skr, 38 Tahun 12 Mei 2012; Udn Knsng 56 Tahun 11 Juni 2012. Bentuk perlawanan dari masyarakat sebagai akibat kekecawaan masyarakat dengan adanya zonasi yang melarang mata pencaharian mereka. Pada Tahun 1996-2003 terjadi banyak sekali zona inti. Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan bagi masyarakat dibuktikan dengan terjadi pengeboman kantor Balai Taman Nasional di Bau-Bau sebelum Tahun 2003, terjadi konflik di Tomia berkaitan dengan zonasi Tahun 2003, yang diduga diprovokatori oleh staf Wakatobi Dive Resort, dan Tahun 2011 demo tentang zonasi terkait dengan pasca pemilikan kepala daerah Sofian, 44 Tahun, 24 April 2011. Polemik tentang zonasi sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat berkaitan dengan livelihood nelayan ikan dasar ikan karang. Pelarangan- pelarangan menggunakan alat-alat tradisional yang menurut peraturan perundang- undangan perikanan, tidak diperbolehkan kerap muncul sebagai konflik antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan, seperti Taman Nasional Wakatobi dan DKP Waktobi. Penggunaan kompressor untuk menangkap teripang, penggunaan ganco untuk menangkap lobster, sampai pada penggunaan bubu, yang dinilai oleh pihak pengelola menggunakan batu karang untuk menenggelamkan bubu. Hal ini jelas di tentang oleh masyarakat. Penentangan masyarakat terbukti dilapangan masih ditemukan alat tangkap yang digunakan secara turun menurun. Berdasar wawancara di lapangan, hampir seluruh masyarakat Bajo terutama masayrakat Bajo Mola dan Bajo Lamanggau, belum meyakini kalau zonasi itu telah ditetapkan. Mereka saat ini masih bebas menangkap ikan dimanapun, kecuali zona inti. Ada permasalahan dengan penetapan zona inti di TNW, yaitu untuk zona daratan dalam zona inti masih terdapat kebun milik masyarakat. Menurut berbagai sumber dari Taman Nasional, bahwa dasarnya hal ini sudah pernah dibahas dan diangkat diskusi dengan stakeholder lainnya, akan tetapi mengingat bahwa ada sistem tradisional kelembagaan adat yang masyarakat 165 masih pegang kuat, terutama berkaitan dengan permasalahan kintal lahan atau kebunpekarangan yang menjadi hak milik. Pemerintah Kabupaten Wakatobi institusi yang mempunyai kewenangan dalam pengaturan zona khusus belum bisa mengganti tukar guling tanah milik warganya di dalam zona inti dengan tanah lainnya. Kepemilikan warga terhadap lahan di zona inti terkait dengan kebun kelapa. Permasalahan yang dihadapi Taman Nasional berkaitan dengan pengelolaannya hingga saat ini salah satunya adalah permasalahan zonasi yang dipolitisasi, oleh pihak yang memanfaatkan secara politik. Sehingga pemahaman masyarakat tentang zonasi apakah sudah ditetapkan atau belum, menjadi pemahan ganda. Sosialisasi tentang zonasi sudah dilakukan, dan pembagian peta zonasi pun sudah diberikan untuk masyarakat. Sebagian dari nelayan sebetulnya memahami zonasi, tetapi mereka menganggap bahwa semua zona masih dijadikan area penangkapan ikan, kecuali zona inti yang mempunyai kondisi alam sangat berat untuk dilewati perahu penangkap ikan Wahyuni, 40 Tahun, 5 Mei 2012. Polemik tumpang tindih kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan dengan kepentingan daerah, menjadi permasalahan tersendiri dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Setidaknya ada empat polemik kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Terdapatnya zonasi dalam zonasi; Pembentukkan Daerah Perlindungan Laut Marine Sanctuary DPL yang dibentuk oleh program COREMAP Phase II, mempunyai tumpah tindih pengelolaan yang pada dasarnya tidak diperbolehkan adanya zonasi dalam zonasi. Akan tetapi karena kepentingan DPL baik secara ekosistem maupun ekonomi tidak menyimpang dari aturan konservasi Taman Nasional, maka diperbolehkannya adanya DPL dalam kawasan konservasi. DPL mempunyai peran dan pengaruh guna mendukung konservasi dengan memperkuat fungsi Taman Nasional sebagai pengelola konservasi dan keberlanjutan sumberdaya. 2. Terdapatnya tumpang tindih kewenangan dengan DKP berkaitan dengan perikanan;