ABSTRACT RINTO ANDHI SUNCOKO.
a Politic of Seafood Savers on Live Reef Food Fish a Case Study in Wakatobi Regency, Southeast Sulawesi. Under direction of
ARIF SATRIA and SATYAWAN SUNITO
Live reef food fish LRFF which is a commodity found in Wakatobi has emerged in the era of the 1992’s up to present. The commodities are an expansion
phenomenon of a global fishery which is very dynamic. The dynamic trading on the LRFF has affected some problems which relate to an integrated factor linking
to social, economy, ecology and policy making factors. These transboundary trading have involved several actors to engage into a global network live reef food
fish commodity found from fisherman-middlemancoordinator-exporters and consumers. The commodities have traded to be based on the assumption of the
common property resources due to the open access which is embedded on the LRFF. The practices of the type of trading has effected to the overfishing that has
lead to the decline of a fish stock. Moreover, this practice has impacted to the change of the structures of social production, the trading network and market
policies. Seafood Savers has a respond to the market failure due to the degradation of the LRFF commodities. Seafood Savers program is a market instrument for
LRFF management which is a sustainability orientation. The program of Seafood Savers is an important key to successful implementation of the responsibility
fisheries practice on the LRFF in Wakatobi as being in a pilot project supervised by WWF Indonesia. This study used a qualitative approach with constructivism
paradigm. This research also was conducted in the interaction with the political ecology and the intuitional analysis to contribute to the study of a sustainability
policy on the LRFF. Results of this study indicate that there has been no significant change occurred in the use of the commoditization of live reef fish
food. Politics of Seafood Savers have not been able to answer the problem of fishermen on the field. Seafood Savers comes as a power tool market is trying to
shed the patron-client ties Coordinator-fisherman and tried to lift Seafood Savers policy to accommodate into the form of legal partnership working arrangements
between market, state and community. Keywords: LRFF, Seafood Savers program, interaction actors, politics of Seafood
Savers, political ecology, institutions
RINGKASAN RINTO ANDHI SUNCOKO.
Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup
Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ARIF SATRIA dan SATYAWAN SUNITO
Perjalanan panjang komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, menjadikan komoditas ikan dasar ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi yang pada awalnya
tidak mempunyai nilai ekonomi menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya dampak modernisasi dan globalisasi perikanan dunia
yang berkembang dengan gencar pada dekade 1960-an. Globalisasi perikanan karang hidup terjadi ketika fenomena roving bandit sebagai bentuk ekspansi bandit berjalan
menguasai sumber daya ikan karang di perairan Asia Tenggara. Kekuatan pasar perikanan karang hidup Hong Kong sampai di wilayah perikanan Indonesia Timur,
terjadi di pertengahan dekade 1980-an dan masuk ke Wakatobi Tahun 1992.
Dalam penelitian ini mengkaji apakah Seafood Savers memberikan dampak perubahan terhadap pola produksi, distribusi dan konsumsi pada pemanfaatan
sumberdaya ikan konsumsi karang hidup. Dengan kajian ekologi politik, penelitian ini mampu menjawab, arah dan tujuan serta apa yang harus dilakukan kedepannya
berkaitan dengan institusi Seafood Savers. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kontruktivisme.
Interaksi aktor menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup bersifat dinamis. Kedinamikaan komoditas ini, ditandai dengan terbentuknya tiga level
jaringan, yaitu jaringan penangkapan level produksi, jaringan pemasaran level distribusi, dan jaringan pengamanprosecution networking level resiko komoditas
yang bersifat riskan. Jaringan pengaman sebagai jaringan resiko memunculkan adanya rent seeking sebagai bentuk akibat nilai ekonomi komoditas yang tinggi.
Ketiga jaringan tersebut mempengaruhi adanya gap harga pada masing-masing aktor yang terdapat di berbagai level, yaitu level produksi, distribusi sampai pada tahapan
level konsumsi.
Secara general disimpulkan komoditas ikan konsumsi karang hidup menyebabkan terjadinya ikatan patron-klien atau bentuk ikatan baru kiosisasi
karena disebabkan adanya kebutuhan BBM yang sulit, dan juga tidak terjangkau oleh nelayan. Disamping itu, proses penangkapan ikan dipengaruhi beberapa faktor selain
modal melaut BBM dan segala rupa alat penangkapan, dipengaruhi oleh cuaca, ombak dan kondisi ikan menurut nelayan yang semakin langka dilihat dari hasil
tangkapan nelayan. Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat uncertainties dan unpredictable yang dipengaruhi oleh faktor alam sehingga
menuntut sebagian nelayan berada dalam ikatan hutang dari kordinator pengepulmiddle man sebagai jaminan ekonomi nelayan baik untuk kebutuhan
sehari-hari dan perongkosan melaut.
Belum maksimalnya pengelolaan terumbu karang, baik yang dilakukan oleh Taman Nasional Wakatobi dan DPL sebagai bentukan dari regim masyarakat di
Wakatobi, terindikasi masih terjadi praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya laut dan perikanan yang belum bisa diharapakan dari idealisme kawasan konservasi.
Pengelolaan baik yang menjadi program Taman Nasional dan program DPL dari COREMAP, belum mengatasi permasalahan sumberdaya perikanan di Wakatobi.
Temuan hasil di lapangan terindikasi masih terdapat praktek penambangan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan, serta masih terdapat anggapan zonasi
belum ditetapkan dan sampai pada tahapan penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan termasuk penggunaan potassium dan bom.
Lahirnya program pengelolaan sumberdaya perikanan karang yang berbasis pasar, program Seafood Savers yang diinisiasi oleh WWF Indonesia pada dasarnya
adalah untuk improvisasi produksi perikanan yang merupakan perikanan bertanggungjawab terhadap aspek keberlanjutan perikanan salah satunya sebagai
upaya untuk mengantisipasi kegiatan IUU Fishing yang sudah menjadi kegiatan dalam perikanan tangkap di wilayah perairan Indonesia. Illegal, Unreported,
Unregulated IUU Fishing merupakan kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak
dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Perusahaan perikanan UD.PMB., telah secara sukarela volunteer, melaksanakan
praktek perikanan bertanggungjawab dan ramah lingkungan, dengan agenda perikanan berkelanjutan serta memperkuat insentif ekonomi guna menyokong
kesejahteraan nelayannya.
Hambatan program Seafood Savers yang merupakan aturan perikanan bertanggungjawab serta ramah lingkungan yang dijalankan oleh UD.PMB., belum
bisa berjalan sebagaimana idealnya. Aturan-aturan yang terkandung didalam Seafood Savers, perlu dirumuskan terutama permasalahan size ikan yang masuk. Nelayan
tidak setuju dengan adanya batas ukuran ikan yang masuk ke perusahaan. Akan tetapi praktek-praktek perikanan ramah lingkungan seperti tidak menggunakan bahanalat
tangkap yang merusak lingkungan yang terdapat dalam aturan perusahaan “member” Seafood Savers¸ nelayan sepakat akan hal tersebut. Kesadaran nelayan terhadap
keberlanjutan lingkungan sudah mulai nampak. Sebagai penghargaan kesadaran nelayan akan keberlanjutan perikanan dan melaksanakan praktek-praktek perikanan
yang ramah lingkungan, nelayan mendapatkan insentif ekonomi berupa premium price dari UD. PMB.
Seafood Savers,merupakan jaringan bisnis to bisnis, yang menekankan pada cara-cara penangkapan ikan di lapangan secara bertanggungjawab. Praktek program
Seafood Savers diharapkan mampu menjadi jalan tengah untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi. Politik Seafood Savers menjadikan alat
bisnis baru untuk perusahaan, sehingga terjadi persaingan antara perusahaan yang sudah melakukan praktek penangkapan dengan ramah lingkungan dan masih
menggunakan cara-cara yang merusak.
Dalam analisis pembahasan, bahwa politik Seafood Savers, membawa empat konsep kekuasaan, yaitu:
1 Konsep kemitraan, bahwa Seafood Savers dipakai sebagai kerjasama kemitraan
antara perusahaan UD. PMB dengan nelayan, iNGO WWF dan TNC Wakatobi, Taman Nasional Wakatobi, DKP Wakatobi serta masyarakat;
2 Konsep pergeseran kekuasaan, bahwa Seafood Savers merupakan upaya
peluruhan adanya ikatan patronase kordinator-nelayan yang didalamnya terhadap ikatan hutang yang asimetris;
3 Konsep persaingan, bahwa Seafood Savers sebagai wahana baru untuk
persaingan antara perusahaan yang sudah melaksanakan good practice fishing anggota Seafood Savers, dan yang belum;
4 Konsep rekomendasi kebijakan, bahwa Seafood Savers diharapkan sebagai
rekomendasi kebijakan yang diangkat sebagai kebijakan pengelolaan perikanan.
Kendala program incentive premium price, belum mampu mengakomodir kepentingan masyarakat nelayan sebagai bentuk kemitraan komunitarian dan
market. Hal ini terlihat bahwa insentif ekonomi dari premium price, belum mengakomodir kepentingan semua nelayan perusahaan UD. PMB., dikarenakan
masih banyak nelayan yang terdapat dalam ikatan hutang kordinator-nelayan.
Kendala program Seafood Savers, adalah minimalnya akses pasar perikanan bertanggungjawab yang terdapat pada komoditas ikan konsumsi karang hidup.
Identifikasi di Wakatobi, hanya terdapat satu perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup, yaitu UD. PMB. Sebagai hambatan terbesar dari implementasi program
ini adalah pengetahuan konsumen di Hong Kong yang belum menerapkan adanya hasil ikan dari label Seafood Savers. Pemerintah Hong Kong menerapkan sistem
perdagangan bebas, hal ini yang sulit sebagai tuntutan untuk menjadikan pengetahuan konsumen terhadap produk perikanan karang yang ramah lingkungan dan
bertanggungjawab. Sehingga, keterlibatan dan peran serta stakeholder, termasuk peran negara mempunyai andil yang besar akan keberhasilan program Seafood Savers
sebagai program perikanan bertanggungjawab guna terciptanya perikanan yang berlanjut sustainable fisheries.
Kata Kunci: ikan konsumsi karang hidup, program Seafood Savers, interaksi aktor,
politik Seafood Savers, ekologi politik, institusi
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hasil perikanan adalah kekayaan kelautan yang dekat dengan kehidupan manusia karena dimanfaatkan setiap orang. Adapun hasil perikanan tangkap
meliputi ikan pelagis, ikan karang, lobster, kepiting, teripang, jenis kerang- kerangan dan lain sebagainya. Hasil tangkapan laut tersebut mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi sehingga sampai saat ini penangkapan terus menerus terjadi untuk memenuhi konsumsi pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar
negeri. Aktifitas penangkapan ikan yang berlangsung secara terus menerus tidak diimbangi dengan usaha pengelolaan berkelanjutan dalam menjaga ketersediaan
ikan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Salah satu hasil tangkapan perikanan yang menarik dikaji adalah komoditas ikan konsumsi karang hidup.
Komoditas tersebut melibatkan berbagi aktor dalam produksi dan distribusi. Dipasarkan melalui jaringan pemasaran internasional dalam keadaan hidup untuk
memenuhi permintaan pasar luar negeri, ikan-ikan tersebut ditangkap di sekitar perairan berkarang oleh nelayan lokal di Indonesia. Perairan Wakatobi merupakan
wilayah bagian timur Indonesia sebagai salah satu daerah penghasil ikan konsumsi karang hidup yang masih cukup potensial ketersediaan stok ikannya.
Ikan konsumsi karang atau dikenal oleh nelayan Wakatobi sebagai ikan dasar. Komoditas ikan dasar mempunyai dua jenis, yaitu ikan karang hidup yang
ditangkap dalam keadaan hidup dan dijual ke tengkulak dalam keadaan hidup, dan ikan segar ikan mati ditangkap dalam keadaan hidup dijual ke tengkulak dalam
keadaan mati segar. Secara terminologi ikan konsumsi karang hidup diartikan sebagai ikan karang yang mempunyai habitat di karang yang dikenal dengan
sebutan kerapu dan sunu. Nelayan menangkap ikan karang secara bebas di alam, ikan karang tidak berpindah tempat, kecuali pasca reproduksi ikan akan berpindah
tempat akan tetapi masih dalam lingkungan karang disekitarnya. Ikan karang bereproduksi disekitar karang dan sangat jarang ditemukan di perairan dalam.
Karang sebagai habitat ikan karang berada di perairan yang dangkal, atol dan gugusan terumbu karang. Menurut nelayan ikan konsumsi karang hidup, ikan
konsumsi karang hidup atau ikan dasar yang ditangkap diperairan dangkal
2 berkarang mulai kedalaman 10 meter sampai 30 meter, dengan jarak tergantung
tempat gugusan karang, terdapat dari karang ke karang sampai dengan jarak ratusan kilometer Fougeres, 2005: 16; data penelitian 2012. Menurut Li, 1996
dalam Muldoon, 2009, ikan konsumsi karang hidup adalah penjagaan ikan karang dalam keadaan hidup dan terlihat segar tanpa cacat apapun sebelum
sampai pada proses dimasak yang sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat China-Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat pasar ikan konsumsi karang hidup
terbesar di dunia, dimana permintaan ikan konsumsi karang hidup semakin besar sampai kondisi saat ini Johannes and Riepen, 1995. Konsumen di Hong Kong
berani membayar dengan harga mahal untuk komoditas ikan karang konsumsi yang hidup dibandingkan dengan komoditas ikan karang yang di perdagangkan
dalam keadaan segar ataupun dibekukan. Permintaan pasar yang terus menerus dan semakin meningkat maka terjadi
eksploitasi berlebihan sekaligus terjadi ekspansi fishing ground ke daerah lain yang lebih jauh sehingga menyebabkan kondisi perikanan karang hidup sekarang
mengalami keprihatinan. Dekade 1990-an adalah era penangkapan terbesar ikan konsumsi karang hidup di Perairan Indonesia Timur, khususnya Perairan
Spermonde. Berdasar penelitian sebelumnya, Johannes and Riepen 1995, memperkirakan bahwa Indonesia menjadi pemasok terbesar untuk perikanan
karang hidup di Hong Kong pada dekade 1990-an, sedangkan Cesar 1996; dalam Bentley, 1999, memperkirakan jumlah total ekspor Indonesia untuk ikan
konsumsi karang hidup sekitar 10.000 and 20.000 ton per tahun. Pada pertengahan dekade 1990-an stok permintaan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia hampir
lebih dari 50 didatangkan dari Kepulauan Spermonde. Kepulauan Spermonde adalah penghasil perikanan karang konsumsi hidup terbesar di Indonesia Hasil
wawancara dengan pemilik CV. Ikan konsumsi karang hidup di Jakarta, 2010- 2012.
Berdasar penelitian di Kepulauan Spermonde, struktur nelayan ikan karang hidup diwarnai dengan ikatan patronase yang dikenal dengan sebutan punggawa-
sawi. Punggawa adalah seorang majikan yang memberikan jaminan baik dalam bentuk materi hutangan, jaminan sosial lainnya, serta jaminan keamanan kepada
3 sawi nelayan nya. Sedangkan Sawi adalah seorang nelayan yang menjual hasil
tangkapannya kepada punggawanya Radjawali, 2011; Deswandi, 2012. Deswandi 2012, menyebutkan bahwa jenis patronase yang terdapat di
struktur nelayan Spermonde, adalah 1. Punggawa Bonto atau Punggawa Lompo atau yang dikenal sebagai punggawa darat, mempunyai peran sebagai penjamin
keperluan untuk nelayannya, baik hutang, sebagai pembeli ikan maupun pelindung buat nelayannya. 2. Punggawa laut, merupakan pemimpin kapal yang
bertanggung jawab terhadap kepentingan nelayan dalam menangkap ikan, juga merupakan mediator antara punggawa darat dan nelayan. 3. Sawi merupakan
nelayan, yang menjadi buruh terhadap punggawanya. 4. Bos, adalah eksportir ikan konsumsi karang hidup, juga sebagai penjamin keungan dan keamanan untuk
punggawa darat di bawahnya. 5. Pekerja perusahaan perikanan, merupakan buruh yang bekerja kepada bos eksportir ikan karang hidup.
Radjawali 2011, menjelaskan pada ikatan patronase tersebut terdapat ikatan hutang yang bersifat terus menerus. Artinya adalah, sawi atau nelayan yang
menghutang terhadap punggawanya, mempunyai ikatan hutang dalam setiap aktifitas penangkapan ikan, mulai dari perongkosan untuk melaut, jaminan sosial
terhadap keluarga sawi yang ditinggal melaut, dan juga jaminan sosial untuk keamanan sawi apabila tertangkap petugas atau mengalami musibah di laut.
Temuan penelitian sebelumnya Radjawali, 2011, menyebutkan bahwa dalam proses produksi dan pengiriman ikan konsumsi karang hidup melalui
proses birokrasi yang harus dipenuhi oleh para pelaku produksi, distribusi terutama oleh pedagang ikan konsumsi karang hidup punggawa. Untuk
mendukung usaha produksinya para punggawa mempunyai hubungan yang baik terhadap aparat pemerintah, termasuk petugas perikanan tangkap dari DKP, polisi
sektor ataupun resort, TNI AL, pegawai pelabuhan serta badan karantina KKP dan petugas bea cukai di bandara. Jaringan pengaman ini risk of
insuranceprosecution networks dilakukan untuk mempelancar usaha mereka. Dilihat dari segi peraturan perundang-undangan belum ada secara sepesifik
mengatur usaha perikanan tangkap konsumsi karang hidup. Prospek yang menjanjikan dari bisnis ikan konsumsi karang hidup menyebabkan pemunculan
pemburu rente rent seeking yang merupakan praktek saling menguntungkan
4 secara bisnis dan finansial dari petugas pemerintah dan para pengusaha ikan
konsumsi karang hidup. Merujuk temuan sebelumnya Glaser, et.al. 2010; Radjawali, 2011,
terlihat jelas bahwa nelayan sekarang dalam usaha menangkap ikan semakin jauh karena adanya penangkapan berlebih over fishing. Karena over fishing tersebut
dan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan yaitu menggunakan racun dan bom menyebabkan terumbu karang sebagai habitat ikan karang menjadi
rusak. Racun jenis cyanide dipergunakan untuk menangkap ikan konsumsi karang hidup dan bom diperuntukkan untuk menangkap ikan konsumsi segar dalam
keadaan sudah mati. Kerusakan ekologi habitat ikan karang terjadi karena penangkapan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pasar Hong Kong
terutama dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, nelayan di kepulauan Spermonde melakukan penangkapan
sampai ke Teluk Bone dan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Penangkapan ikan masih terus berlangsung sampai sekarang bahkan semakin meningkat sekalipun
nelayan telah sadar tentang kelangkaan ikan. Kenekatan mereka berburu ikan karang berhubungan dengan alasan ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi.
Upaya global dalam menjawab permasalahan adanya kerusakan ekosistem dan penurunan sumberdaya perikanan menciptakan sebuah program kerjasama
government to government dalam upaya konservasi sumberdaya perikanan. Wasistini 2009, menyebutkan, di Kepulauan Spermonde telah terdapat adanya
program konservasi COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang jangka
panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu
karang serta ekosistem terkait di Indonesia, dengan tujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
Upaya konservasi baru-baru ini sedang diinisiasikan dan dikampanyekan oleh WWF Indonesia adalah bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan
sumberdaya perikanan melalui perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap produk perikanan yang mengikat pada produk, proses produksi dan
pemasaran yang ramah lingkungan. Praktek perikanan yang bertanggungjawab
5 tersebut adalah berupa Seafood Saver. Tentunya mekanisme Seafood Savers ini
menjadi tanggungjawab stakeholder yang termasuk dalam rantai perdagangan ikan konsumsi karang hidup. Praktek good fishing responsibility yang ditujukan
untuk produk perikanan tangkap dari laut ini adalah bertumpu pada produsen dengan praktek perikanan ramah lingkungan, yang kemudian implementasinya
pada perikanan Indonesia dibantu oleh WWF Indonesia dengan membangun mekanisme Seafood Savers. Mekanisme ini dibangun sebagai sebuah bridging
mechanism, untuk membantu produsen dan retail di Indonesia mendapatkan sertifikasi MSC sebagai tujuan akhir. Dalam implementasi Seafood Savers untuk
perikanan tangkap, WWF Indonesia membangun beberapa tahapan yang secara jelas merupakan langkah penyiapan bagi perikanan tangkap terkait memperbaiki
praktek perikanannnya menuju standar kelestarian perikanan dengan menggunakan standar Illegal, Unreported, Unregulated IUU fishing terdapat
pada tahapan conditioning dan standar sertifikasi MSC pada tahapan Fishery Improvement Program. Relasi antar aktor dalam komoditas ikan konsumsi
karang hidup sangat berpengaruh terhadap keberhasilan praktek Seafood Savers perikanan karang hidup. Selain melekat pada produk ikan kosumsi karang hidup,
proses produksi mulai dari proses penangkapan, pemberokan pengepakan ikan dalam keadaan hidup, sampai dengan ikan tersebut berada di pasar, perikanan
bertanggung jawab juga melekat pada stakeholderaktor yang mempunyai kepentingan dalam praktek hijau tersebut, seperti nelayan, pedagang kordinator,
bos pembeli besar dengan UD., CV. atau perusahaannya ataupun aktor pengimpor perusahaan besar, lembaga pengkampanye Seafood Savers LSM
serta negara yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan tentang Seafood Savers tersebut.
Satria 2009, menyebutkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah kegagalan dari pasar. Pasar tidak bisa mengkontrol penggunaan
sumerdaya alam secara keberlanjutan. Dalam usaha untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan perlu ada dua pendekatan instrumen.
Pertama, yaitu instrumen pasar, dimana instrumen pasar dijadikan sebagai dasar kebijakan. Dalam produksi, ada batasan dalam sistem quota penangkapan,
sementara dalam perdagangan pasar, ecolabelling adalah senjatanya. Kedua,
6 pengembangan mekanisme sistem pengelolaan kolaboratif collaborative
management. Konsep kolaboratif manajemen dianggap ideal karena melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan sampai
pada tahap pengawasan. Kolaboratif manajemen adalah proses demokratisasi dalam pengelolaan perikanan karena ada kesamaan hak antar stakeholder.
Bryant dan Bailey 1997, dalam bukuya “Third World Political Ecology”, menyebutkan bahwa dalam kajian ekologi politik di dalamnya mengandung
politicizied environmental, artinya bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam banyak melibatkan aktor-aktor yang berinteraksi baik dalam tingkat lokal,
regional maupun global. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, adalah komoditas transboundary, artinya ada produksi lokal dan diekspor keluar untuk
kebutuhan konsumen permintaan pasar. Ketika terdapat jaringan perdagangan, maka terdapat interaksi antar aktor pada level produksi, distribusi dan konsumsi
yang lintas teritorial. Eden 2011, menjelaskan dalam “bahwa dalam memahami konsep
ecolabelling tidak terlepas dari relasi kekuasaan power dari masing-masing aktor dalam memanfaatkan sumberdaya yang mempunyai label ramah lingkungan.
Dijelaskan secara lanjut oleh Eden, bahwa ecolabelling merupakan simbol green governance yang diminta oleh konsumen consumer power yang terikat dalam
fungsi perdagangan. Hal ini menjadi rasionalitas konsumen untuk mementingkan keuntungan komoditas dan memunculkan adanya biaya untuk meminimalisir
kerusakan lingkungan dan kerugian manusia terutama produsen, peminimalisiran polusi lingkungan, mencegah penurunan daya dukung
sumberdaya, meminimalisir bahaya pekerja, minimal upah pekerja, ketidak amanan pekerja dan bentuk eksploitasi lain terhadap pekerja dan sumberdaya.
Wakatobi adalah salah satu tempat percontohan untuk dilakukannya Seafood Savers oleh WWF Indonesia sebagai badan inisiator Seafood Savers.
Wakatobi adalah merupakan singkatan dari empat pulau yaitu: Pulau Wangi- wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Taman Nasional
Wakatobi adalah Taman Nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 393Kpts-VI1996 Tanggal 30 Juli
1996 dan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651KptsII2002 Tanggal
7 19 Agustus 2002 dengan menetapkan luas areal konservasi seluas 1.390.000 Ha.
Tujuan penetapan Taman Nasional adalah sebagai sistem penyangga pelestarian keanekaragaman hayati, menjamin terwujudnya pembangunan ekonomi daerah
secara berkelanjutan terutama dari sektor perikanan dan pariwisata, serta menjamin tersedianya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi
masyarakat setempat. Selain mempunyai fungsi konservatif dan sosio-ekologis, Wakatobi juga sebagai tempat berbagai riset, seperti kegiatan Operation
Wallacea, Coremap, LIPI, penelitian akademisi, dll. Pendekatan ke masyarakat dilakukan dengan diadakannya penyuluhan, training, kampanye lingkungan,
bantuan maupun pembinaan masyarakat nelayan dalam bentuk mata pencaharaian alternatif. Pengelolaan taman nasional juga diwujudkan dengan menjalin
kerjasama intensif dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, LIPI, dan Joint Program Taman Nasional, WWF dan
TNC www.tamannasionalwakatobi.org
, diunduh 17 Desember 2011; RPTNW, 2008.
Penetapan Wakatobi sebagai pilot project seafood savers, dengan melihat beberapa kriteria yaitu:
1. Terdapat lembaga pengelola Taman Nasional Wakatobi, DKP
Kabupaten Wakatobi serta partner utama WWF Indonesia, Fisheries Captured pada wilayah tersebut;
2. Terdapat pengusaha ikan konsumsi karang hidup yang akan
melakukan perubahan praktek perikanannya sesuai dengan standar kelestarian good practice, mengingat kondisi stok perikanan di
Wakatobi masih potensial, serta dampak kegiatan penangkapan perikanan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan;
dan 3.
Memiliki kelembagaaninstitusi pengelolaan perikanan yang berjalan. Seafood Savers merupakan instrumen pengelolaan
sumberdaya yang di inginkan oleh produsen dan konsumen, sebagai akibat adanya isu jangka pendek dan jangka panjang. Isu
jangka pendek adalah: penangkapan yang bersifat merusak, adanya
8 target penangkapan secara terus menerus karena permintaan pasar
dan overfishing. Sedangkan isu jangka panjang adalah dampak kemusnahan
keanekaragaman hayati, penurunan produksi perikanan dan ketahanan pangan di masyarakat, serta menurunnya livelihood pada komunitas nelayan. Diharapkan
Seafood Savers dalam perkembangannya dapat memberikan bantuan fasilitas kepada perusahaan perikanan dan nelayan untuk memperbaiki praktek
penangkapannya sesuai dengan standar kelestarian sertifikasi ekolabel Marine Stewardis Council dengan cara melakukan kegiatan dimana, partner seafood
savers, UD. PMB., mulai memberlakukan beberapa aturan, yaitu: 1.
Peraturan yang mengikat kepada nelayannya untuk mulai memperbaiki kegiatan perikanannya sesuai dengan kontrak
keanggotaan sebagaimana terlampir, 2.
Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, 3.
Melepas tangkapan ikan dalam perkembangan juvenile dan ikan dewasa bertelur,
4. Tidak akan menangkap ikan dalam keadaan bebas di alam,
5. Tidak dibolehkan menangkap species ikan yang dilindungi,
6. Menjaga dan Melindungi terumbu karang,
7. Mengikuti kebijakan perusahaan dan pemerintah, dan
8. Bersedia dikeluarkan dari keanggotaan perusahaan apabila
ketentuan-ketentuan sebelumnya dilanggar UD. PMB., 2011. Dalam memahami isu tersebut UD. PMB., yang berada di Bali merupakan
perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup terbesar di Indonesia, yang mempunyai 49 tempat titik penangkapan ikan konsumsi karang hidup, yang salah
satunya adalah di Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Untuk operasi pengambilan ikan UD. PMB. mempunyai keramba di Pulau Wangi-wangi dan
Pulau Tomia. Di Pulau Wangi-wangi terdapat satu kordinator yang menjual ikannya ke UD. PMB dan memiliki sekitar dua puluh nelayan penangkap ikan
konsumsi karang hidup. Sedangkan di Pulau Tomia terdapat beberapa kordinator yang menjual ikan ke UD. PMB. dan mempunyai sekitar tiga puluh nelayan.
9 Indikator bahwa instrumen kelembagaan institutional berjalan efektif,
dilihat pada penerimaan masyarakat dan pasar terhadap pendekatan instrumen tersebut. Disamping itu, keterlibatan masyarakat dan pasar juga terlihat dalam
membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan keluatan. Seafood Savers sebagai salah satu instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan dan
kelautan yang berkelanjutan mengandung kebijakan-kebijakan dasar yang turut disumbangkan dari pihak konsumen. Berjalannya Seafood Savers untuk
komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan sifat populisnya komunitarian apabila dalam kelembagaan pengelolaan
sumber daya alam, masyarakat dan pasar sebagai stakeholder berkolaborasi dalam merumuskan dan merencanakan manajeman Seafood Savers tersebut.
Penelitian ini penting dilakukan terutama untuk meneliti dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup, interaksi antar aktor dan stakeholder
dalam komoditas tersebut, bagaimana peran kelembagaan dalam tata kelola kawasan konservasi, peran kelembagaan dalam mempraktekkan Seafood Savers,
interaksi antar aktor dalam memahami Seafood Savers, dampak Seafood Savers itu sendiri bagi produksi dan distribusi dalam komunitas nelayan Wakatobi dalam
keberlangsungan komoditas ikan konsumsi karang hidup. Penelitian ini menjadi kajian menarik tersendiri sebagai studi analisis kolaborasi berbagai pihak di
antaranya pasar, masyarakat, LSM dan negara yang menentukan kebijakan menjadi sangat penting untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
yang berkelanjutan dan berpihak terhadap nelayan dan lingkungan.
1.1. Rumusan Masalah
Hasil studi sebelumnya, Sadovy, et.al. 2003; Fougeres, 2005; Wasistini, 2009; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012 di lapangan, setidaknya menunjukkan
tentang upaya pengelolaan berkelanjutan sumberdaya perikanan konsumsi ikan karang hidup yang sudah atau sedang dilaksanakan di perairan Indonesia Timur.
Upaya tersebut sebagai bentuk respon atas kerusakan sumberdaya terumbu karang sebagai akibat eksploitasi penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang
cenderung bersifat merusak penangkapan ikan dengan alat tangkap bom dan cyanidebius. Penyelamatan keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi
karang hidup yang sudah dilakukan adalah rehabilitasi karang melalui program
10 konservasi dan terumbu karang COREMAP untuk program kawasan rehabilitasi
dan konservasi terumbu karang serta pembentukan dan penetapan perlindungan kawasan konservasi laut seperti Taman Nasional Wakatobi.
Seafood Savers yang merupakan inisiasi WWF Indonesia untuk perusahaan, dikampanyekan kepada khayalak adalah bentuk baru dari upaya
konservasi spesies ikan konsumsi karang hidup. Praktek Seafood Savers menimbulkan studi baru untuk mempelajari bagaimana keefektifan dan manfaat
Seafood Savers di tingkat komunitas dengan melihat adanya permintaan pasar yang besar dari konsumen. Kondisi nyata dari perlakuan komoditas ikan konsumsi
karang hidup sebagai kajian menarik adalah, Pertama, dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup terdapat penangkapan dengan menggunakan zat kimia.
Kedua, cara distribusi pada tingkat pengiriman merupakan permasalahan tersendiri yang unik untuk dikaji lebih lanjut karena menggunakan perlakuan
khusus dalam menjaga ikan agar tetap hidup dan sehat. Ketiga, berkaitan tentang interaksi antar aktor yang terlibat dalam usaha Seafood Savers tersebut,
bagaimana alur dan jaringan perdagangan yang terbentuk serta keterkaitannya dengan komunitas nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Dengan
demikian, kehadiran Seafood Savers akankah menjadi pilar dari elaborasi berbagai kepentingan diantara komunitas dan pasar? Karena itu pendekatan komunitarian
pada tingkat produksi dan pasar pada tingkat middle man akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih mendalam.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang, dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup merupakan komoditas transboundary yang
menimbulkan berbagai permasalahan diberbagai lini produksi, distribusi dan konsumsi. Perdagangan transboundary ikan konsumsi karang hidup menimbulkan
masalah di tingkat lokal dan global dalam kaitannya dengan persoalan sosio- ekologis. Penetapan kriteria Seafood Savers sebagai upaya eco-standarization
ikan konsumsi karang hidup ternyata berdampak terhadap tata cara untuk menjaminkan keamanan makanan laut. Penelitian ini mengkaji pola pengelolaan
sumberdaya perikanan yang terdapat di Taman Nasional Wakatobi, apakah pola pengaturan sumberdaya perikanan tersebut diatur oleh pemerintah Taman
Nasional, Masyarakat, LSM atau Pasar, sehingga dibutuhkan kedalaman
11 penelitian dalam pendekatan sektor pasar market approach dan pendekatan
komunitas communitarian approach. Terkait dengan penelitian ini untuk mengerti peran kelembagaan
pengelolaan sumerdaya perikanan, dan pengamatan tentang praktek pencapaian Seafood Savers menjadi sangat penting karena terdapat berbagai aspek yang
saling terkait seperti sosial, ekonomi, ekologi serta kebijakan sebagai etika politik dalam menjelaskan kedinamikaan komoditas ikan konsumsi karang hidup yang
cenderung dipandang sebagai komoditas yang homogen. Berdasarkan uraian tersebut, untuk memperjelas arah penelitian ini, memunculkan empat pertanyaan
spesifik, yaitu: 1.
Bagaimana dampak dari komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta bagaimana Seafood
Savers bekerja dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup? 2.
Bagaimana interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan Seafood Savers? 3.
Apakah aturan-aturan yang dikandung di dalam Seafood Savers berdampak pada perbaikan proses produksi, distribusi dan konsumsi?
4. Apakah instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan
sumberdaya perikanan karang hidup di Taman Nasional Wakatobi, mengakomodasi kepentingan komunitas dan pasar?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi ini berdasar dari rumusan masalah di atas adalah untuk menelusuri dan meganalisis proses mekanisme Seafood Savers yang
diterjemahkan sebagai instrumen keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup secara lestari. Secara spesifik penelitian ini
bertujuan untuk: 1.
Menganalisis dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta menganalisis
bekerjanya institusi Seafood Savers dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup.
2. Menganalisis interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan seafood
savers.
12 3.
Menganalisis apakah aturan-aturan dan mekanisme yang dikandung di dalam aturan Seafood Savers yang berdampak pada perbaikan proses
produksi, distribusi dan konsumsi. 4.
Mengetahui instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan sumberdaya perikanan karang hidup di kepulauan Wakatobi,
mengakomodasi kepentingan komunitas dan pasar.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khazanah baru dalam kajian
ekologi politik pesisir khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai upaya berkelanjutan yang berguna sebagai referensi
bagi peneliti, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah, LSM, masyarakat dan perusahaan perikanan dalam
melaksanakan tatakelola perikanan yang berkelanjutan. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun kebijakan yang bottom up sehingga pemberlakuan instrument
Seafood Savers berpihak pada komunitas nelayan penangkap ikan karang hidup.
3. Hasil peneltian ini diharapkan memberikan ruang diskusi kritis bagi
peneliti dan merangsang adanya penelitian selanjutnya dalam memahami kontek permasalahan sumberdaya lingkungan yang terjadi di Indonesia.
13
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Globalisasi, Roving Bandits dan Sumberdaya Kelautan Perikanan
Tingginya pemanfaatan hasil laut dunia, menjadikan cermin tentang krisis sumberdaya perikanan global. FAO melaporkan pada Tahun 2005 terjadi
penangkapan perikanan laut dunia mencapai 84,2 juta ton Satria, et.al., 2009c: 1. Dengan adanya krisis perikanan laut dunia, menjadikan cermin dalam pengelolaan
perikanan bertanggung jawab dan memperhatikan ekosistem untuk kedepannya, guna menjawab pembangunan perikanan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan jika
kelestarian sumberdaya ikan di suatu negara terganggu, dikhawatirkan akan merusak ataupun mengganggu perikanan global, karena stok ikan di negara lain
pun ikut terganggu, khususnya untuk komoditas ikan yang mempunyai sifat fleet migration, lintas teritorial negara transboundary Satria, et.al.2009c:2.
Satria 2009b: 129-; 2009c: 117, mengemukakan bahwa globalisasi perikanan terdapat dalam tiga isu, yaitu globalisasi produksi, globalisasi
pengelolaan sumberdaya dan globalisasi perdagangan. Isu pertama adalah globalisasi produksi, produksi perikanan suatu negara sangat tergantung pada
sumberdaya ikan global. Dalam globalisasi produksi terdapat polarisasi antara kekuatan investor antara negara maju NM dengan nengara sedang berkembang
NSB seperti Indonesia. NSB, dinilai lamban dalam menyiasati kebijakan produksi perikanan dan akhirnya mengalami penurunan dalam produksi
perikanan. Sedangkan NM memiliki investor dengan kekuatan modal dan teknologi berlebih, sehingga terjadi ekspansi produksi perikanan terhadap wilayah
NSB. Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, baik NM maupaun NSB, diharuskan tunduk pada konvensi internasional tentang
pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari. Konsekuensi dari pembangkangan terhadap konvensi internasional, akan dikenai sanksi melakukan
praktek Illegal, Unregullated, Unreported Fishing, termasuk dalam pencurian dan tangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Sedangkan isu ketiga, globalisasi
perdagangan dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi NSB. Peluangnya adalah NSB mempunyai kesempatan besar untuk meraih pasar NM, sedangkan
ancamannya adalah bahwa keuntungan dari hasil perdagangan hanya akan
14 dinikmati oleh eksportir atau pengusaha besar, sedangkan nelayan hanya
menikmati harga lokal yang menjadi permainan eksportir. Produksi seringkali dikaitkan sebagai hasil dari proses kerja. Bernstein
2010, secara inisial mendefinisikan bahwa produksi sebagai hasil dari suatu proses dimana buruhpekerja memanfaatkan sumberdaya sebagai wujud untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pekerja yang memproduksi hasil dari proses kerja, memanfaatkan sumerdaya alam sebagai produser dalam lingkungannya.
Dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan adalah aktor produser yang memproduksi hasil komoditas tersebut.
Proses produksi tersebut utuk menghasilkan perdagangan melalui proses distribusi sebagai penyalur hasil produksi dari produser ke konsumen. Damsar
2009, menyebutkan, distribusi adalah sebuah media pertukaran yang terdapat di dalamnya suatu perangkat hubungan sosial untuk mengalokasikan barang dan jasa
dari produsen ke konsumen dalam sirkulasi perdagangan melalui pertukaran media pasar. Aktor distribusi adalah aktor yang mempunyai modal dan mampu
membeli hasil produksi dari produsen. Middle man adalah aktor yang mempunyai kemampuan secara modal dan jaringan pemasaran dalam memanfaatkan
pertukaran hasil produsen ke konsumen. Produksi bukan hanya proses yang terkait dengan hasil dan kerja saja,
tetapi lebih mendalam tentang hubungan antara pekerja dan pemilik modal dalam usahanya memanfaatkan sumberdaya alam termasuk penggunanaan teknologi,
pemberian modal dan jaminan sosial keamanan. Radjawali 2011; 2012, dalam usaha produksi ikan konsumsi karang hidup, punggawa middle man sebagai
pemilik modal memberikan kepada nelayannya modal bekal untuk menangkap ikan, teknologi sebagai peralatan alat tangkap, kapal, memberikan jaminan sosial
dan keamanan terhadap aktifitas produksinya. Sedangkan sawi sebagai nelayannya menyerahkan dan menjual hasil tangkapannya kepada punggawa
untuk keberlangsungan proses produksi dan distribusi dalam rangkain rantai perdagangan supply chain komoditas ikan konsumsi karang hidup sampai tahap
eksportir ke konsumen Hong Kong. Johannes and Rippen 1995, menyatakan bahwa perusahaan perikanan
Hong Kong memulai eksploitasi ikan konsumsi karang hidup di sekitar laut China
15 Selatan pada awal Tahun 1968. Ikan konsumsi karang hidup dikonsumsi sampai
ke konsumen dalam keadaan hidup setelah penangkapan, tetapi pada awalnya kebanyakan komoditas tersebut adalah ikan air tawar dan beberapa jenis ikan laut
yang ditangkap secara sedikit oleh nelayan lokal. Setelah Tahun 1968, tingkat konsumerisme meningkat untuk lebih mengkonsumsi ikan yang mempunyai
warna mencolok seperti jenis ikan karang tropis. Laju perkembangan ekonomi di Asia Tenggara pada saat itu juga mendukung munculnya elit-elit Hong Kong yang
mampu membeli komoditas ikan konsumsi karang hidup. Oomen 1998 dalam Donnelly 2009, menyatakan bahwa adanya hubungan kultur China-Hong Kong
dengan mengkonsumsi ikan konsumsi karang hidup yang biasanya penuh dengan identik warna merah. Mitos China mengatakan apabila mengkonsumsi karang
hidup menambahkan kekuatan dan keberkahan dalam hidup dan akan mengalami proses reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya yang lebih baik dengan kehidupan
saat ini. Perdagangan ikan karang konsumsi hidup di Indonesia dimulai dengan
masuknya kapal Hong Kong sekitar dekade 1980-an Radjawali, 2011. Pengusaha perikanan dari Hong Kong mempekerjakan nelayan di Kepulauan
Spermonde sebagai penyelam untuk menangkap ikan karang hidup. Mereka jugalah yang membeli dan mengirim langsung ke Hong Kong dengan
menggunakan kapalnya sendiri yang dilengkapi bak akuarium besar sehingga ikan-ikan tersebut bisa hidup dalam perjalanan dari Spermonde ke Hong Kong.
Fenomena masuknya investor ikan konsumsi karang hidup, merupakan fenomena roving bandit. Secara terminologi roving bandit merupakan bentuk
kontras dari stationary bandits, Olson 2000 dalam FAO 2009: 11-12. Roving bandit merupakan bentuk ekspansi sumberdaya perikanan yang tidak mempunyai
insentif dan tanggung jawab dalam ekspansi sumberdaya perikanan. Hal ini merupakan peran roving bandits yang dijalankan oleh aktor dengan mobilitas
tinggi, dimana dapat mengekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan efisien. Ketika sumberdaya perikanan mulai menurun ataupun tidak mempunyai
keuntungan dalam jangka waktu yang lama, roving bandits akan berpindah dan menemukan area baru untuk eksploitasi. Dampak dari ekspansi roving bandits
adalah tidak ada konseksuensi tanggungjawab terhadap wilayah yang telah di
16 eksploitasi untuk memulihkan kembali potensial wilayah perikanannya. FAO
2009, menyebutkan bahwa fenomena roving bandits, sebagai modernisasi perikanan yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: 1. Kemampuan
teknik peralatan dan teknologi, seperti kapal dan teknologi penangkapan lainnya, 2. Operator perdagangan yang mumpuni. Sehingga modernisasi perikanan
menguasai dua modal, yaitu teknologi dan jaringan pasar. Pengaruh dari hadirnya roving bandits merupakan bentuk dari “tragedy of
the commons” yang melekat sifat bebas akses open access terhadap sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan akan mengalami deplesi sebagai bentuk dari
pengaruh globalisasi, seperti pengaruh pasar baru yang menyebabkan terjadinya ekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan terus menerus Berkes, et,al.
2006.
2.2. Struktur Sosial Masyarakat Nelayan
Struktur sosial sangat erat sekali hubungannya dengan sistem sosial. Struktur sosial melekat pada hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi
sosial. Pola hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial terwujud dalam rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Hak
dan kewajiban antar interaksi pelaku tersebut melekat pada peran dan status antar pelaku. Status dan peran itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam
masyarakat menurut kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang berkaitan dengan kesatuan sosial dan interaksi sosial. Menurut Satria 2002, status adalah
kumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing aktor pelaku, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Status dan peran seorang
nelayan berbeda dengan status dan peran seorang bos. Peran dan status pada suatu masyarakat diatur oleh norma-norma yang diakui dan dipatuhi oleh pelaku.
Kompleksitas karakteristik struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat, semakin modern masayarakat tersebut maka semakin
luas interaksi sosialnya dan semakin banyak pula sumber status, peran, hak dan kewajiban antar pelakunya. Satria 2002, menyebutkan karakteristik masyarakat
pesisir sebagari representasi komunitas desa-pantai yang memiliki karakteristik sebagai berikut: