Gambaran Umum Komunitas Bajo Mola
72 Salah satu ancaman langsung degradasi terumbu karang adalah pada
pemanfaatan langsung tambang batu karang oleh masyarakat selama ini. Pemanfaatan batu terumbu karang sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan
maupun penutup pantai untuk daratan. Sedangkan pemukiman penduduk yang tidak berada di tepian pantai telah menggunakan batu gunung sebagai bahan
bangunan. Selain pemanfaatan terumbu karang, juga terjadi pemanfaatan pasir laut yang digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan batu karang dan pasir
laut untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung dan pasir gunung sebagai bahan bangunan. Selain penggunaan langsung batu karang oleh
masyarakat, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak bom dan penggunaan bahan kimia
sianida potassium cyanide. Akan tetapi setelah banyaknya upaya penyadaran dan adanya kegiatan-kegiatan pelestarian terumbu karang, penggunaan alat yang
merusak tersebut telah jauh berkurang, meskipun masih ada sebagian nelayan yang melakukannya.
Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh Kmrdn 50 Tahun, 27 Maret 2012, masyarakat Bajo Mola yang berprofesi sebagai nelayan ikan
konsumsi karang hidup ikan dasar, untuk sebutan masyarakat lokal, namun sudah berhenti dan sekarang berprofesi sebagai penambang pasir:
Kotak 4.1. Gambaran mata pencaharian nelayan dan kendala di Wakatobi Menurut penuturan Pak Kmrdn 50 tahun, bahwa sekarang mencari ikan menjadi sangat sulit.
Karena ikan dasar karang sudah semakin sedikit. Ikan yang sering ditangkapi adalah ikan jenis kerapu, sunu dan ada juga napoleon. Pekerjaan dulu adalah sebagai nelayan ikan dasar saya
sekarang adalah menambang pasir laut yang digunakan untuk bahan bangunan. Pasir laut dijual per perahusatu bak pick up dengan harga 50.000. Awalnya dilarang oleh pemerintah dan Balai
Taman Nasional, tetapi karena untuk keperluan bangunan, akhirnya di perbolehkan hanya yang disekitar pulau saja. Artinya bukan di pantai tetapi di sekitar gugusan pasir yang dekat dengan
pemukiman Bajo.
Pelarangan pengambilan pasir adalah yang masuk dalam zonasi konservasi TN Wakatobi dan masuk dalam wilayah laut milik desa lain yang mempunyai wilayah laut. Peraturan tentang
zonasi menurut penuturan Pak Kmrdn dalah hanya mempersulit rakyat. Artinya, semakin susah mencari ikan. Himbauan dari Pak Bupati pun kadang tidak pas dengan pelarangan ikan yang mau
bertelur itu ditangkap. Tetapi justru ikan karang bisa di pancing ketika pas mau bertelur karena mengumpul di karang. Untuk saat ini masih ada beberapa nelayan yang masih menggunakan bom
dan racun, dengan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terhadap pengawasan zonasi konservasi yang ditetapkan oleh TN nasional adalah kurangnya pengawasan. Artinya tidak masyarakat tidak
dilibatkan untuk memonitor tersebut. Hanya dijalankan oleh Polairud dan TNI AL. Mereka juga tidak difasilitasi oleh pemda. Setiap kali nelayan Mola melapor sering tidak ditanggapi. Pelaku
pengebom dan pembius kebanyakan dari Bajo Kendari. Nelayan Mola tidak bisa berbuat apapun. Disini sebetulnya penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Tetapi dengan diam-diam. Mereka
dengan bekerja sama dengan aparat Polisi dan TNI dalam menangkap napoleon untuk dijual ke Bali. Salah satunya adalah Rtn. Rtn sebagai kordinator menjual Napoleon ke Bali. Bali ke
73
eksportir Apng dan diekspor ke Hong Kong. Nelayan disini menjual Napoleon dengan harga sekitar Rp.300.000,-kg kemudian oleh Rtn di jual ke Bali dengan harga Rp. 800 000.- per kg.
Nelayan Mola menjadi banyak yang kaya terjadi pada saat eksploitasi penyu hijau pada akhir dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Penyu tersebut dijual ke Bali untuk upacara pernikahan
Adat Hindu dan ada yang dijual ke Hong Kong melalui AB, penjual dari Pangkal Pinang. Mr. Lee juga dari singapura ikut mengambil penyu hijau dan juga ikut meramaikan adanya pengekploitasi
kerapu ikan karang. Pada awal perdagangan ikan dasar, awalnya ikan dasar tidak ada harganya. Ikan kerapu hitam dan merah Sai Sing dan Tong Sing harganya hanya 2500 per kg dan di jual
mati. ikan kerapu tiger harganya 5000. Tetapi setelah masuknya pembeli dari luar termasuk masuknya pembeli dari Pangkal Pinang, Singapura dan Hong Kong menjadikan ikan kerapu
tersbeut bernilai lebih. Ikan kerapu di jual dari nelayan dalam keadaan hidup adalah Rp. 40.000,- kg dan di jual ke pengepul sekitar Rp.80.000,- kg. Pak Kmrddn. adalah penggepul ikan dasar
yang di jual ke Abu Bakar. Ikan saising dan tongsing di beli dengan harga Rp.45000,-kg sampai Rp.50000,-kg kemudian di jual dengan harga Rp. 80.000,- sampai Rp. 90.000,-kg. ini terjadi
pada sekitar tahun 1995-2007 an. Napoleon kadang di beli dari nelayan dengan harga Rp. 100.000,-per ekor, kemudian di jual ke kordinator dengan harga Rp.200.000-Rp. 300.000,-.
Termahal adalah Penyu Hijau Penyu Laut. Bisa di beli dari nelayan dengan harga Rp. 1-2 juta per ekor tergantung bobotnya, kemudian bisa di jual di bali sekitar Rp.4-5 juta per ekor. Sampai
saat ini pun masih sering terjadi selundupan Napoleon dan Penyu Hijau. Tetapi secara diam-diam. Penyelundup bekerjasama dengan Polisi,dan TNI AL, dan tidak jarang dengan petugas Jagawana
itu sendiri. Bahan racun untuk menangkap Napoleon, potassium didatangkan dari Bali dan Malaysia. Memang ada yang menyuplai termasuk para kordinator tersebut. Jenis potassium yang
paling berbahaya adalah potassium yang bentuknya seperti kamper kapur barus. Pemahaman akan pasir menurut pemaham Pak Kmrdn, pasir laut itu tumbuh, setiap kali di ambil besoknya ada
lagi. Begitupun karang, ada terus. Pak Kmrdn berpendapat bahwa, selama daun jatuh dari pohonnya, selama itu masih ada ikan. Selama ada laut selama itu pula ada ikan, dan selama pasir
dan karang dibutuhkan oleh manusia, maka tidak akan habis. Kebutuhan akan air bersih masih beli, sebulan bisa menyetor antara Rp.30.000,- sampai Rp.50.000,- tergantung pemakian dari
PDAM. Dan untuk pemasangan instalasi sekitar Rp. 1,5 juta.
Gambar 4.7. Pengambilan batu karang oleh penduduk untuk bahan bangunan Mola, 2012.
Mata pencaharian masyarakat Bajo dan Wakatobi yang berprofesi sebagai nelayan sangat beragam. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan dan
desakan ekonomi dalam hidupnya. Kebutuhan akan pembangunan wilayah pemekaran baru Kabupaten Wakatobi tak lepas dari pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan kelautan yang tak sedikit berdampak pada eksploitasi sumberdaya yang nantinya dirasa akan menuai kerusakan sumberdaya perairan Wakatobi.
Berdasar dari hasil survey penelitian, dibagi beberapa jenis nelayan yang terdapat
74 di Wakatobi yang diambil dari ketiga lokasi penelitian. Kategori jenis nelayan
dijelaskan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.8. Kategori Jenis Nelayan di Perairan Wakatobi Hasil observasi peneliti, 2012 Kategori
Nelayan Jenis Nelayan
Berdasarkan jenis produksi
Nelayan ikan pelagis Tuna,
Ikan Babi, Cakalang, dll
Nelayan ikan dasar kerapu,
suni, napoleon, gurita, teripang,
udang-udangan Nelayan
budidaya nelayan
pembudidaya rumput laut
Nelayan pemanfaat
sumberdaya lainnya
penambang pasir, penambang
batu karang Berdasarkan alat
tangkap Rumpon, kapal
pelingkar, pancing laying
dan pancing model gurita
Pancing kedo, pancing tonda,
bubu, lamba, jarring biasa,
pembius dan pembom
Lahan milik sendiri atau
menyewa Linggis, sekop,
sedot mesin
Berdasarkan kemampuan
modal dan teknologi
Modal besar, dengan kapal
pelingkar. Modal kecil dengan
perahu bodi Perahu bodi dan
sampan kaloko koli-koli
Berdasarkan ukuran barisan.
Melebihi dua baris ikatan
rumput laut sudah modal bear
Mesin sedot, seperti alat
penyedot pasir yang ditarik
dengan mesin disel, dan alat
tradisonal dengan linggis
dan skop Berdasarkan
struktur kemampuan
modal Bos, pengepul-
penarik investor, dan nelayan
Kordinator besar, kordinator kecil,
dan nelayan Lahan milik
sendiri da menyewa
Bos dan penambang
Berdasarkan etnis
Sama Bajo, Bagai selain
Bajo Sama Bajo,
Bagai selain Bajo
Bagai selain Bajo
Sama Bajo- penambang,
Bagai selain Bajo-bos.
Sumber: Olahan data primer, hasil pengamatan dan wawancara April-Juni 2012.
Hasil penelitian menunjukkan, nelayan diketahui berdasar empat kategori, yaitu: 1. Berdasar jenis produksi; 2. Berdasar pada kepemilikan alat produksi
teknologi; 3. Berdasarkan pada alat tangkap; 4. Berdasar pada kekuatan modal dan teknologi serta, 5. Berdasar pada etnis suku. Namun secara umum kategori
nelayan dibedakan berdasarkan oleh sarana produksi alat tangkap yang dimiliki. Berdasarkan data statistik dari DKP Wakatobi, jumlah sarana penangkap ikan di
Wakatobi tahun 2009 khususnya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan mencapai 386 unit yang terdiri dari 73 unit motor tempel, 184 unit perahu tanpa motor, 114 unit
kapal motor 5 GT, 15 unit kapal motor 5 GT dan Kecamatan Tomia mencapai 20 unit yang terdiri dari 26 unit motor tempel, 76 unit perahu tanpa motor, 91 unit
kapal motor 5 GT, 9 unit kapal motor 5 GT.
75
Tabel 4.9. Jumlah Sarana Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 Unit Kecamatan Motor
Tempel Perahu
Tanpa Motor Kapal
Motor 5 GT
Kapal Motor
≥ 5 GT Wangi-Wangi
Selatan 73 184 114
15 Tomia 26
76 91
9 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009.
Berikutnya, jumlah alat penangkap ikan juga sudah mencapai 967 unit yang terdiri dari 8 unit pukat cincin , 349 unit jaring insan, 504 unit pancing, 54
unit perangkap, dan 50 unit alat penangkap lainnya.
Tabel 4.10. Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 Unit Kecamatan Pukat
Kantong Pukat
Cincin Jaring
Insang Jaring
Cincin Pancing Perangkap Lainnya
Wangi-Wangi Selatan
- 4 229
- 464 22 20 Tomia -
4 120
- 42
32 30
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009.
Sektor perikanan merupakan sektor unggulan sebagai pemasok PDRB Kabupaten Wakatobi, sedangkan sektor lainnya berupa sektor perdagangan, hotel
restoran, serta sektor jasa-jasa adalah sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Wakatobi. Kontribusi ketiga sektor ini dalam PDRB mencapai
80,7. Distribusi peranan sektoral terhadap perekonomian berurutan menurut nilai tambah adalah sektor perikanan 45,47 ; sektor perdagangan hotel dan
restoran 18,77; sektor jasa-jasa 16,43; sektor keuangan 5,86; sektor bangunan 4,64; sektor penggalian 3,07; sektor industri pengolahan
2,84; sektor pengangkutan dan komunikasi 2,15; sektor listrik dan air bersih 0,77. Pada tahun 2006, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB
mencapai 51,70. Namun demikian, peranan sektor perikanan tampaknya dalam jangka pendek belum akan dapat digeser oleh sektor lain dalam sumbangsihnya
terhadap PDRB Wakatobi. Hal ini disebabkan peranan sektor lain masih jauh dibawah sektor pertanian perikanan lihat tabel berikut.
76
Tabel 4.11. Peranan Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2009 dalam .
No. LAPANGAN
USAHA 2006 2007 2008 2009
1. Pertanian Perikanan
51,70 49,32 46,88 45,48 2.
Pertambangan dan Penggalian 2,81
2,76 3,29
3,07 3.
Industri Pengolahan
2,81 2,94 2,92 2,81 4.
Listrik, Gas dan Air Bersih 0,85
0,84 0,77
0,77 5.
KonstruksiBangunan 3,60 3,80 4,31 4,64
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
13,67 15,26
16,53 18,78
7. Pengangkutan dan Komunikasi
2,15 2,33
2,19 2,15
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
6,62 6,42
6,52 5,86
9. Jasa - jasa
15,79 16,32
16,57 16,44
Jumlah 100 100 100 100 Sumber: Wakatobi Dalam Angka, 2011
Tabel 4.12. Perkembangan Subsektor dengan Pertumbuhan Nilai Tambah di atas Pertumbuhan Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006-2009 dalam .
No. Sub
Sektoral 2006 2007 2008 2009
1. Pertanian 5,4
9,06 18,18 63,20 2.
Perdagangan Besar dan Eceran 2,41
10,7 11,06
29,21 3. Hotel
11,5 12,2 12,75 50,56
4. Restoran
5,13 3,74 3,85 45,91
5. Pos dan Telekomunikasi
16,96 7,46
11,04 35,29
6. Hiburan dan Rekreasi
7,65 17,86
13,6 59,85
PDRB 6,04 6,07 7,21
13,67 Sumber: Wakatobi Dalam Angka, 2011
Gambar pendapatan rumah tangga nelayan juga bervariasi menurut lokasi penelitian dilakukannya survey pemantauan kondisi sosial ekonomi. Hasil survey
bila dilihat berdasarkan lokasi survey di tiga lokasi penelitian, rendahnya pendapatan nelayan di ketiga lokasi penelitian seperti yang akan diuraikan secara
terinci dengan pendapatan rumah tangga nelayan yang diwawancarai peneliti 2012 pada selanjutnya dalam komodifikasi ikan konsumsi karang hidup,
disebabkan oleh karena umumnya mata pencaharian masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai nelayan. Produksi perikanan tangkap mengalami penurunan di
ketiga lokasi penelitian tersebut .
Hal ini disebabkan karena kondisi alam terutama cuaca sudah tidak menentu dalam tiga tahun terakhir, kondisi gelombang dan
ombak yang cukup besar dengan armada yang tidak memadai, banyaknya nelayan yang memulai mencari ikan tangkap dan menurut masyarakat terjadinya kondisi
penurunan jumlah ikan dasar di karang sehingga hasilnya pun sulit untuk diprediksi untuk 3 tahun terakhir.
Berdasarkan wawancara dan survey sosial-ekonomi, secara umum tingkat pendapatan masyarakat di tiga lokasi dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor
internal, eksternal dan struktural. Selain ketiga faktor tersebut juga menjadi