Pola Produksi Jaringan Penangkapan

253 mekar dari Kabupaten Buton dan menjadi wilayah kabupaten tersendiri, sehingga memunculkan permasalahan bahwa batas dan luas kawasan TNW berhimpit dan sama persis dengan luasan Kabupaten Wakatobi RPTNW 2008: 2. Dalam rangka harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional dengan pembangunan daerah, sebagai ujud untuk mengantisipasi berbagai perubahan politik, dan pemerintahan serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya sehingga dilakukanlah revisi RPTN dalam jangka waktu 25 tahun kedepan 1998-2023. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengelola kawasan dalam perencanaan pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, sebagai dasar pijakan kebijakan dan renstra Kabupaten Wakatobi yang selaras dengan pengelolaan TNW RPTNW, 2008: 4. Taman Nasional Wakatobi, terdapat 6 zonasi, yaitu zona inti, zona pemanfaatan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan tradisional dan zona khusus. Zona khusus adalah zona daratan yang diserahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Menurut RPTN sebagai zona khusus adalah zona penyangga, dimaksudkan agar pengelolaan mata pencaharian masyarakat dan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan daratan Wakatobi selaras dengan pengembangan wilayah perairan sebagai kawasan konservasi taman nasional RPTNW, 2008: 3. Dalam prakteknya bahwa keharmonisan antara taman nasional dengan daerah, belum terlihat bersinergis betul. Kabupaten Wakatobi sebagai daerah pemekaran baru membutuhkan modal dalam membangun wilayahnya. Penetapan leading sektor perikanan dan pariwisata sebagai agen pembangunan di Wakatobi, tentunya harus melihat pertimbangan sebagai kawasan konservasi taman nasional. Potensi Wakatobi yang dominan hanyalah perikanan, untuk pariwisata belum bisa dikatakan sebagai kemandiaran untuk menyokong pembangunan daerah. Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, nelayan Wakatobi, baik orang darat mauapun orang Bajo mengenal laut adalah sebagai sumberdaya milik bersama dan siapa saja boleh memanfaatkan hasil lautnya. Hal ini menjadikan nelayan Bajo sebagai suku laut menjelajah disetiap karang yang ada di gugusan karang Wakatobi adalah kebun milik mereka koko dilao. Setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional, 254 yang pengelolaan kawasan dengan menggunakan sistem zonasi, terdapat perubahan anggapan dan kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini pada awalnya menimbulkan konflik penolakan zonasi oleh masyarakat terhadap taman nasional. Aturan-aturan taman nasional dengan menggunakan sistem zonasi, dengan tujuan untuk konservasi terumbu karang dalam jangka panjang demi keberlanjutan ekosistem dan mendukung praktek ekonomi masyarakat jangka panjang. Akan tetapi aturan-aturan konservasi zonasi taman nasional, mendapat reaksi dari nelayan, dikarenakan terdapat aturan yang melarang nelayan beroperasi dan hanya diperbolehkan pada zona pemanfaatan umum dan pemanfaatan lokal. Tata ruang zonasi taman nasional laut tidak semudah dengan tata ruang taman nasional yang ada di daratan, karena laut tidak bisa diberi marka bouy dan untuk tata batasnya tidaklah jelas. Mata pencaharian nelayan menangkap ikan sebagai komoditas, mempunyai sifat fugitive, bergerak bebas. Secara otomatis nelayan akan mencari daerah yang banyak ikannya, walaupun masuk dalam zona yang tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan. Pemahaman dualisme tentang zonasi di kawasan Wakatobi masih terjadi pemahaman simpang siur sampai sekarang. Pemahaman yang ganda sampai saat ini terjadi di nelayan disebabkan karena nelayan belum mempercayai adanya penetapan zonasi. Simpang siur informasi tentang penetapan zonasi di gunakan oleh kepentingan segelintir orang untuk kepentingan politisnya. Dalam sebuah kasus di Pulau Tomia terjadi pada Tahun 2009, dimana bakal caleg mengkampanyekan dirinya, dengan menggunakan zonasi taman nasional sebagai alatnya untuk memperoleh dukungan massa terutama dari nelayan. Nelayan, terutama Bajo masih menganggap zonasi baru menjadi wacana dan belum ditetapkan oleh Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Wakatobi. Pemahaman ini disebabkan oleh informasi dari kepentingan politik dalam meraih dukungan massa. Belum selesainya permasalahan pemahaman dan ketaatan nelayan terhadap sistem zonasi taman nasional, Tahun 2009 munculah Daerah Perlindungan Laut DPL yang di usung oleh COREMAP Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Wakatobi. Kebijakan desentralisasi sebagai semangat otonomi daerah 255 terwujud pada devolusi kewenangan dan kekuasaan KKP kepada daerah melalui dinasinstansi yang terkait yaitu DKP. DPL merupakan konsep awal yang bagus bahwa partisipasi komunal ditonjolkan untuk berperan aktif dalam mengelola kawasan laut milik desa. DPL dibentuk dari luasan laut milik desa, diambil 10 sebagai daerah perlindungan laut. Terlihat di lapangan, bahwa DPL menimbulkan kritik dari masyarakat, bahwa DPL bersifat sangat ekslusif bagi penduduk desa yang mempunyai laut. Pertama, DPL dibentuk dengan pertimbangan tutupan karang masih bagus yaitu ≥50 persen. Dalam kawasan DPL tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan dan budidaya. Akan tetapi praktek di lapangan, DPL dimanfaatkan sebagai budidaya rumput laut. Hal ini jelas sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya DPL. Sifat ekslusifitas komunal atau kelompok tertentu, tentunya akan mengalienasi pengguna sumberdaya perikanan lain seperti nelayan Bajo. Kedua, DPL digunakan sebagai zona pariwisata dalam site penyelaman untuk kepentingan wisata, yang tidak jarang dimanfaatkan oleh perusahaan wisata swasta, sehingga, nelayan pun tidak bisa menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk menangkap ikan, terlebih-lebih ketika ada wisatawan menyelam. Pihak resort pariwisata yang mempunyai site penyelaman melarang keras nelayan untuk melintas di wilayah tersebut. Ketiga, bahwa DPL adalah zonasi dalam zonasi, didalam aturannya, terdapat pengaturan yang berbeda yaitu milik komunal masyarakat yang mempunyai DPL. Akan tetapi pihak taman nasional berdiam diri dan mendukung, karena tujuannya adalah mendukung konservasi taman nasional. Keempat, penentuan DPL yang dilakukan oleh COREMAP Phase II sebagai no take zone area, di lokasikan pada zona pemanfaatan tradional lokal dalam koridor sistem zonasi taman nasional. Hal ini menjadikan lebih sempit akses pemanfaatan nelayan terhadap sumberdaya perikanan di kawasan zonasi taman nasional. Sistem tata ruang perairan Wakatobi baik zonasi kawasan taman nasional ataupun DPL adalah sistem kavling area, sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan akses untuk nelayan yang tidak memiliki wilayah laut, seperti Bajo. Kavling tersebut diwujudkan sebagai praktek zonasi kawasan konservasi yang diyakini sumberdaya