Tabel 4.2. Persebaran Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2000 dan 2010 62

2 berkarang mulai kedalaman 10 meter sampai 30 meter, dengan jarak tergantung tempat gugusan karang, terdapat dari karang ke karang sampai dengan jarak ratusan kilometer Fougeres, 2005: 16; data penelitian 2012. Menurut Li, 1996 dalam Muldoon, 2009, ikan konsumsi karang hidup adalah penjagaan ikan karang dalam keadaan hidup dan terlihat segar tanpa cacat apapun sebelum sampai pada proses dimasak yang sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat China-Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat pasar ikan konsumsi karang hidup terbesar di dunia, dimana permintaan ikan konsumsi karang hidup semakin besar sampai kondisi saat ini Johannes and Riepen, 1995. Konsumen di Hong Kong berani membayar dengan harga mahal untuk komoditas ikan karang konsumsi yang hidup dibandingkan dengan komoditas ikan karang yang di perdagangkan dalam keadaan segar ataupun dibekukan. Permintaan pasar yang terus menerus dan semakin meningkat maka terjadi eksploitasi berlebihan sekaligus terjadi ekspansi fishing ground ke daerah lain yang lebih jauh sehingga menyebabkan kondisi perikanan karang hidup sekarang mengalami keprihatinan. Dekade 1990-an adalah era penangkapan terbesar ikan konsumsi karang hidup di Perairan Indonesia Timur, khususnya Perairan Spermonde. Berdasar penelitian sebelumnya, Johannes and Riepen 1995, memperkirakan bahwa Indonesia menjadi pemasok terbesar untuk perikanan karang hidup di Hong Kong pada dekade 1990-an, sedangkan Cesar 1996; dalam Bentley, 1999, memperkirakan jumlah total ekspor Indonesia untuk ikan konsumsi karang hidup sekitar 10.000 and 20.000 ton per tahun. Pada pertengahan dekade 1990-an stok permintaan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia hampir lebih dari 50 didatangkan dari Kepulauan Spermonde. Kepulauan Spermonde adalah penghasil perikanan karang konsumsi hidup terbesar di Indonesia Hasil wawancara dengan pemilik CV. Ikan konsumsi karang hidup di Jakarta, 2010- 2012. Berdasar penelitian di Kepulauan Spermonde, struktur nelayan ikan karang hidup diwarnai dengan ikatan patronase yang dikenal dengan sebutan punggawa- sawi. Punggawa adalah seorang majikan yang memberikan jaminan baik dalam bentuk materi hutangan, jaminan sosial lainnya, serta jaminan keamanan kepada 3 sawi nelayan nya. Sedangkan Sawi adalah seorang nelayan yang menjual hasil tangkapannya kepada punggawanya Radjawali, 2011; Deswandi, 2012. Deswandi 2012, menyebutkan bahwa jenis patronase yang terdapat di struktur nelayan Spermonde, adalah 1. Punggawa Bonto atau Punggawa Lompo atau yang dikenal sebagai punggawa darat, mempunyai peran sebagai penjamin keperluan untuk nelayannya, baik hutang, sebagai pembeli ikan maupun pelindung buat nelayannya. 2. Punggawa laut, merupakan pemimpin kapal yang bertanggung jawab terhadap kepentingan nelayan dalam menangkap ikan, juga merupakan mediator antara punggawa darat dan nelayan. 3. Sawi merupakan nelayan, yang menjadi buruh terhadap punggawanya. 4. Bos, adalah eksportir ikan konsumsi karang hidup, juga sebagai penjamin keungan dan keamanan untuk punggawa darat di bawahnya. 5. Pekerja perusahaan perikanan, merupakan buruh yang bekerja kepada bos eksportir ikan karang hidup. Radjawali 2011, menjelaskan pada ikatan patronase tersebut terdapat ikatan hutang yang bersifat terus menerus. Artinya adalah, sawi atau nelayan yang menghutang terhadap punggawanya, mempunyai ikatan hutang dalam setiap aktifitas penangkapan ikan, mulai dari perongkosan untuk melaut, jaminan sosial terhadap keluarga sawi yang ditinggal melaut, dan juga jaminan sosial untuk keamanan sawi apabila tertangkap petugas atau mengalami musibah di laut. Temuan penelitian sebelumnya Radjawali, 2011, menyebutkan bahwa dalam proses produksi dan pengiriman ikan konsumsi karang hidup melalui proses birokrasi yang harus dipenuhi oleh para pelaku produksi, distribusi terutama oleh pedagang ikan konsumsi karang hidup punggawa. Untuk mendukung usaha produksinya para punggawa mempunyai hubungan yang baik terhadap aparat pemerintah, termasuk petugas perikanan tangkap dari DKP, polisi sektor ataupun resort, TNI AL, pegawai pelabuhan serta badan karantina KKP dan petugas bea cukai di bandara. Jaringan pengaman ini risk of insuranceprosecution networks dilakukan untuk mempelancar usaha mereka. Dilihat dari segi peraturan perundang-undangan belum ada secara sepesifik mengatur usaha perikanan tangkap konsumsi karang hidup. Prospek yang menjanjikan dari bisnis ikan konsumsi karang hidup menyebabkan pemunculan pemburu rente rent seeking yang merupakan praktek saling menguntungkan 4 secara bisnis dan finansial dari petugas pemerintah dan para pengusaha ikan konsumsi karang hidup. Merujuk temuan sebelumnya Glaser, et.al. 2010; Radjawali, 2011, terlihat jelas bahwa nelayan sekarang dalam usaha menangkap ikan semakin jauh karena adanya penangkapan berlebih over fishing. Karena over fishing tersebut dan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan yaitu menggunakan racun dan bom menyebabkan terumbu karang sebagai habitat ikan karang menjadi rusak. Racun jenis cyanide dipergunakan untuk menangkap ikan konsumsi karang hidup dan bom diperuntukkan untuk menangkap ikan konsumsi segar dalam keadaan sudah mati. Kerusakan ekologi habitat ikan karang terjadi karena penangkapan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pasar Hong Kong terutama dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, nelayan di kepulauan Spermonde melakukan penangkapan sampai ke Teluk Bone dan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Penangkapan ikan masih terus berlangsung sampai sekarang bahkan semakin meningkat sekalipun nelayan telah sadar tentang kelangkaan ikan. Kenekatan mereka berburu ikan karang berhubungan dengan alasan ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Upaya global dalam menjawab permasalahan adanya kerusakan ekosistem dan penurunan sumberdaya perikanan menciptakan sebuah program kerjasama government to government dalam upaya konservasi sumberdaya perikanan. Wasistini 2009, menyebutkan, di Kepulauan Spermonde telah terdapat adanya program konservasi COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, dengan tujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir. Upaya konservasi baru-baru ini sedang diinisiasikan dan dikampanyekan oleh WWF Indonesia adalah bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan melalui perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap produk perikanan yang mengikat pada produk, proses produksi dan pemasaran yang ramah lingkungan. Praktek perikanan yang bertanggungjawab 5 tersebut adalah berupa Seafood Saver. Tentunya mekanisme Seafood Savers ini menjadi tanggungjawab stakeholder yang termasuk dalam rantai perdagangan ikan konsumsi karang hidup. Praktek good fishing responsibility yang ditujukan untuk produk perikanan tangkap dari laut ini adalah bertumpu pada produsen dengan praktek perikanan ramah lingkungan, yang kemudian implementasinya pada perikanan Indonesia dibantu oleh WWF Indonesia dengan membangun mekanisme Seafood Savers. Mekanisme ini dibangun sebagai sebuah bridging mechanism, untuk membantu produsen dan retail di Indonesia mendapatkan sertifikasi MSC sebagai tujuan akhir. Dalam implementasi Seafood Savers untuk perikanan tangkap, WWF Indonesia membangun beberapa tahapan yang secara jelas merupakan langkah penyiapan bagi perikanan tangkap terkait memperbaiki praktek perikanannnya menuju standar kelestarian perikanan dengan menggunakan standar Illegal, Unreported, Unregulated IUU fishing terdapat pada tahapan conditioning dan standar sertifikasi MSC pada tahapan Fishery Improvement Program. Relasi antar aktor dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup sangat berpengaruh terhadap keberhasilan praktek Seafood Savers perikanan karang hidup. Selain melekat pada produk ikan kosumsi karang hidup, proses produksi mulai dari proses penangkapan, pemberokan pengepakan ikan dalam keadaan hidup, sampai dengan ikan tersebut berada di pasar, perikanan bertanggung jawab juga melekat pada stakeholderaktor yang mempunyai kepentingan dalam praktek hijau tersebut, seperti nelayan, pedagang kordinator, bos pembeli besar dengan UD., CV. atau perusahaannya ataupun aktor pengimpor perusahaan besar, lembaga pengkampanye Seafood Savers LSM serta negara yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan tentang Seafood Savers tersebut. Satria 2009, menyebutkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah kegagalan dari pasar. Pasar tidak bisa mengkontrol penggunaan sumerdaya alam secara keberlanjutan. Dalam usaha untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan perlu ada dua pendekatan instrumen. Pertama, yaitu instrumen pasar, dimana instrumen pasar dijadikan sebagai dasar kebijakan. Dalam produksi, ada batasan dalam sistem quota penangkapan, sementara dalam perdagangan pasar, ecolabelling adalah senjatanya. Kedua, 6 pengembangan mekanisme sistem pengelolaan kolaboratif collaborative management. Konsep kolaboratif manajemen dianggap ideal karena melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan sampai pada tahap pengawasan. Kolaboratif manajemen adalah proses demokratisasi dalam pengelolaan perikanan karena ada kesamaan hak antar stakeholder. Bryant dan Bailey 1997, dalam bukuya “Third World Political Ecology”, menyebutkan bahwa dalam kajian ekologi politik di dalamnya mengandung politicizied environmental, artinya bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam banyak melibatkan aktor-aktor yang berinteraksi baik dalam tingkat lokal, regional maupun global. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, adalah komoditas transboundary, artinya ada produksi lokal dan diekspor keluar untuk kebutuhan konsumen permintaan pasar. Ketika terdapat jaringan perdagangan, maka terdapat interaksi antar aktor pada level produksi, distribusi dan konsumsi yang lintas teritorial. Eden 2011, menjelaskan dalam “bahwa dalam memahami konsep ecolabelling tidak terlepas dari relasi kekuasaan power dari masing-masing aktor dalam memanfaatkan sumberdaya yang mempunyai label ramah lingkungan. Dijelaskan secara lanjut oleh Eden, bahwa ecolabelling merupakan simbol green governance yang diminta oleh konsumen consumer power yang terikat dalam fungsi perdagangan. Hal ini menjadi rasionalitas konsumen untuk mementingkan keuntungan komoditas dan memunculkan adanya biaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dan kerugian manusia terutama produsen, peminimalisiran polusi lingkungan, mencegah penurunan daya dukung sumberdaya, meminimalisir bahaya pekerja, minimal upah pekerja, ketidak amanan pekerja dan bentuk eksploitasi lain terhadap pekerja dan sumberdaya. Wakatobi adalah salah satu tempat percontohan untuk dilakukannya Seafood Savers oleh WWF Indonesia sebagai badan inisiator Seafood Savers. Wakatobi adalah merupakan singkatan dari empat pulau yaitu: Pulau Wangi- wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Taman Nasional Wakatobi adalah Taman Nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 393Kpts-VI1996 Tanggal 30 Juli 1996 dan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651KptsII2002 Tanggal 7 19 Agustus 2002 dengan menetapkan luas areal konservasi seluas 1.390.000 Ha. Tujuan penetapan Taman Nasional adalah sebagai sistem penyangga pelestarian keanekaragaman hayati, menjamin terwujudnya pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan terutama dari sektor perikanan dan pariwisata, serta menjamin tersedianya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. Selain mempunyai fungsi konservatif dan sosio-ekologis, Wakatobi juga sebagai tempat berbagai riset, seperti kegiatan Operation Wallacea, Coremap, LIPI, penelitian akademisi, dll. Pendekatan ke masyarakat dilakukan dengan diadakannya penyuluhan, training, kampanye lingkungan, bantuan maupun pembinaan masyarakat nelayan dalam bentuk mata pencaharaian alternatif. Pengelolaan taman nasional juga diwujudkan dengan menjalin kerjasama intensif dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, LIPI, dan Joint Program Taman Nasional, WWF dan TNC www.tamannasionalwakatobi.org , diunduh 17 Desember 2011; RPTNW, 2008. Penetapan Wakatobi sebagai pilot project seafood savers, dengan melihat beberapa kriteria yaitu: 1. Terdapat lembaga pengelola Taman Nasional Wakatobi, DKP Kabupaten Wakatobi serta partner utama WWF Indonesia, Fisheries Captured pada wilayah tersebut; 2. Terdapat pengusaha ikan konsumsi karang hidup yang akan melakukan perubahan praktek perikanannya sesuai dengan standar kelestarian good practice, mengingat kondisi stok perikanan di Wakatobi masih potensial, serta dampak kegiatan penangkapan perikanan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan; dan 3. Memiliki kelembagaaninstitusi pengelolaan perikanan yang berjalan. Seafood Savers merupakan instrumen pengelolaan sumberdaya yang di inginkan oleh produsen dan konsumen, sebagai akibat adanya isu jangka pendek dan jangka panjang. Isu jangka pendek adalah: penangkapan yang bersifat merusak, adanya 8 target penangkapan secara terus menerus karena permintaan pasar dan overfishing. Sedangkan isu jangka panjang adalah dampak kemusnahan keanekaragaman hayati, penurunan produksi perikanan dan ketahanan pangan di masyarakat, serta menurunnya livelihood pada komunitas nelayan. Diharapkan Seafood Savers dalam perkembangannya dapat memberikan bantuan fasilitas kepada perusahaan perikanan dan nelayan untuk memperbaiki praktek penangkapannya sesuai dengan standar kelestarian sertifikasi ekolabel Marine Stewardis Council dengan cara melakukan kegiatan dimana, partner seafood savers, UD. PMB., mulai memberlakukan beberapa aturan, yaitu: 1. Peraturan yang mengikat kepada nelayannya untuk mulai memperbaiki kegiatan perikanannya sesuai dengan kontrak keanggotaan sebagaimana terlampir, 2. Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, 3. Melepas tangkapan ikan dalam perkembangan juvenile dan ikan dewasa bertelur, 4. Tidak akan menangkap ikan dalam keadaan bebas di alam, 5. Tidak dibolehkan menangkap species ikan yang dilindungi, 6. Menjaga dan Melindungi terumbu karang, 7. Mengikuti kebijakan perusahaan dan pemerintah, dan 8. Bersedia dikeluarkan dari keanggotaan perusahaan apabila ketentuan-ketentuan sebelumnya dilanggar UD. PMB., 2011. Dalam memahami isu tersebut UD. PMB., yang berada di Bali merupakan perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup terbesar di Indonesia, yang mempunyai 49 tempat titik penangkapan ikan konsumsi karang hidup, yang salah satunya adalah di Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Untuk operasi pengambilan ikan UD. PMB. mempunyai keramba di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Tomia. Di Pulau Wangi-wangi terdapat satu kordinator yang menjual ikannya ke UD. PMB dan memiliki sekitar dua puluh nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan di Pulau Tomia terdapat beberapa kordinator yang menjual ikan ke UD. PMB. dan mempunyai sekitar tiga puluh nelayan. 9 Indikator bahwa instrumen kelembagaan institutional berjalan efektif, dilihat pada penerimaan masyarakat dan pasar terhadap pendekatan instrumen tersebut. Disamping itu, keterlibatan masyarakat dan pasar juga terlihat dalam membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan keluatan. Seafood Savers sebagai salah satu instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan mengandung kebijakan-kebijakan dasar yang turut disumbangkan dari pihak konsumen. Berjalannya Seafood Savers untuk komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan sifat populisnya komunitarian apabila dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat dan pasar sebagai stakeholder berkolaborasi dalam merumuskan dan merencanakan manajeman Seafood Savers tersebut. Penelitian ini penting dilakukan terutama untuk meneliti dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup, interaksi antar aktor dan stakeholder dalam komoditas tersebut, bagaimana peran kelembagaan dalam tata kelola kawasan konservasi, peran kelembagaan dalam mempraktekkan Seafood Savers, interaksi antar aktor dalam memahami Seafood Savers, dampak Seafood Savers itu sendiri bagi produksi dan distribusi dalam komunitas nelayan Wakatobi dalam keberlangsungan komoditas ikan konsumsi karang hidup. Penelitian ini menjadi kajian menarik tersendiri sebagai studi analisis kolaborasi berbagai pihak di antaranya pasar, masyarakat, LSM dan negara yang menentukan kebijakan menjadi sangat penting untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan dan berpihak terhadap nelayan dan lingkungan.

1.1. Rumusan Masalah

Hasil studi sebelumnya, Sadovy, et.al. 2003; Fougeres, 2005; Wasistini, 2009; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012 di lapangan, setidaknya menunjukkan tentang upaya pengelolaan berkelanjutan sumberdaya perikanan konsumsi ikan karang hidup yang sudah atau sedang dilaksanakan di perairan Indonesia Timur. Upaya tersebut sebagai bentuk respon atas kerusakan sumberdaya terumbu karang sebagai akibat eksploitasi penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang cenderung bersifat merusak penangkapan ikan dengan alat tangkap bom dan cyanidebius. Penyelamatan keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup yang sudah dilakukan adalah rehabilitasi karang melalui program