Transformasi Politik POLITIK SEAFOOD SAVERS
270 pembelaaran dan penyadaran terhadap masyarakat, bagaimana menangkap
ikan secara lestari untuk kehidupan mereka dimasa mendatang. Artinya adalah bahwa sumberdaya perikanan semakin menunjukkan angka
keprihatinan, ditunjukkan karena penangkapan berlebih dan penangkapan yang bersifat merusak. Sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk
menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Alat tangkap yang tidak diperbolehkan adalah alat
tangkap yang dapat mengganggu keseimbangan eksosistem karena bersifat merusak, seperti bom dan bius, dan alat tangkap yang dalam prakteknya
dapat merusak terumbu karang seperti ganco dan alat lainnya yang penggunaannya dapat mengancam kerusakan terumbu karang.
2. Pengaturan penangkapan ikan berdasar waktu dan tempat.
Seafood Savers menyadarkan kepada masyarakat untuk menangkap ikan karang dalam jangka waktu tertentu dan area tertentu. Hal ini dikarenakan
kawasan perairan Wakatobi adalah kawasan konservasi yang pola pengaturan luasnnya diatur dengan sistem zonasi. Penyadaran konservasi
terhadap akan pentingnya penataan ruang zonasi dimaksudkan adalah sebagai tempat bank ikan dan tempat pemijahan ikan SPAGs. Seafood
Savers merupakan aturan yang disinkronisasikan dengan aturan Taman Nasional juga dengan aturan perikanan berkelanjutan. Hal ini terlihat,
bahwa Seafood Savers adalah jalan tengah sebagai pintu konservasi dan pintu pembangunan. Artinya, adalahlah bagaimana menciptakan kondisi
perikanan sebagai leading sektor perikanan masyarakat yang ramah lingkungan dalam kawasan konservasi dengan mematuhi kaidah-kaidah
aturan perundang-undangan perikanan dan konservasi. Seafood Savers juga mengatur tentang pola dan ritme, penangkapan ikan
karang. Hal ini belum terlihat berjalan, karena aturan Seafood Savers, meganjurkan kepada nelayan untuk tidak menangkap ikan dalam waktu
bertelur. Tetapi pegetahuan nelayan ikan akan mudah ditangkap ketika
271 ikan tersebut bertelur, dan ikan akan mengalami blooming di karang ketika
musim bertelur. 3.
Pengaturan hasil tangkapan ikan berdasar pada size minimum. Pengaturan penangkapan ikan dalam aturan Seafood Savers, adalah
diharapkan nelayan mampu dan bersedia menangkap ikan dalam batas minimum ukuran tertentu. Untuk ukuran yang dijalankan oleh UD. PMB
seagai firm yang terdaftar dalam Seafood Savers, sudah menerapkan sistem minimum sizing tangkapan ikan konsumsi karang hidup dengan
batas minimum adalah 600 grams. Hal ini dimaksudkan oleh aturan Seafood Savers dan perusahaan adalah guna menjaga reproduksi ikan
karang. Diperkirakan, diatas 600 grams sudah mengalami reproduksi sekali, sehingga siklus perkembangan ikan akan terus berlanjut. Akan
tetapi berdasar fakta di lapangan hal ini sangat susah dipatuhi oleh nelayan anggota UD. PMB. Tentunya ada faktor lain dan rasionalitas nelayan
terutama berkaitan dengan ongkos melaut. Sehingga nelayalan harus mendapatkan hasil apapun ketika melaut untuk menghidari kerugian.
Untuk penerapan ikan pelagis Seafood Savers menerapkan prinsip Best Management Practices dalam pengelolaan perikanan pelagis pasca
tangkap dengan sistem loing. Loing adalah istilah pillet pada ikan tuna yang dikehendaki oleh perusahaan ekspor tuna. Ekspor tuna dari Wakatobi
dikirim ke Jepang. Untuk konsumen di Jepang sudah menerapkan prinsip- prinsip green consumerism MSC, Japan.
Aturan Seafood Savers pengelolaan sumberdaya perikanan dalam poin 1 dan
poin 2 adalah aturan yang mengatur skala penangkapan pada level nelayan, dalam kajian diatas sebagai input kontrol, sedangkan pada poin 3 adalah sebagai output
kontrol. Arti dari input dan output kontrol itu sendiri adalah sebagai monitoring dari hasil penangkapan ikan dilapangan. Input kontrol merupakan sebuah monitoring atas
kontrol sdari praktek bagaimana ikan itu ditangkap, terjadi penangkapan di daerah mana dan dengan cara menggunakan apa ikan tersebut ditangkap. Sedangkan output
kontrol adalah sebagai monitoring hasil dari produksi penangkapan ikan, beserta
272 permintaan minimal size yang diterima oleh eksportir juga termasuk kriteria fisik ikan
bebas dari penangkapan yang menggunakan bahan yang bersifat merusak. Selain ada level nelayan dalam aktifitas produksi penangkapan ikan, Seafood Saver juga
mengatur mengenai kinerja perusahan dengan beberapa langkah kirteria perusahan dinilai telah melakukan praktek penangkapan yang baik good practice.
Kepentingan politik dari program Seafood Savers sebagai kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Wakatobi. Berdasar temuan hasil di
lapangan, di analisis bahwa politik Seafood Savers terdapat empat aspek pola kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang yang ada di
Wakatobi. • Pertama, terdapatnya pola kemitraan yang terjalin antara pihak pengelola
kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan,
serta merupakan pola kemitraan yang berbasis pasar dan komunitas dengan kepentingan ekonomi guna mendukung nilai tambah penghasilan nelayan
yang terdapat pada premium price dan ekologi sebagai keberlanjutan praktek pemanfaatan perikanan yang ramah lingkungan;
• Kedua, dalam hal sosiologi, peranan politik Seafood Savers menggunakan kekuasaannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang, mencoba
menggeser pola jaringan produksi antara nelayan-kordinator yang kian meluruh dengan pola jaringan kerja produksi nelayan-eksportir dalam bentuk
kontraktual. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensial konflik laten yang muncul dari kordinator yang kehilangan kekuasaan secara ekonomi dan
kepercayaan sebagai elit lokal yang merupakan pola jaringan produksi tradsional;
• Ketiga, Seafood Savers sebagai ajang dan wadah berkompetisi antara perusahaan yang good practice dengan yang masih menggunakan cara lama
bad practice roving bandit. Ajang kompetisi tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan pola-pola korporasi dengan jaringan pemanfaatan baru yang
lebih eksploitatif terhadap nelayan dan sumberdaya; dan
273 • Keempat, Seafood Savers, sebagai sarana kekuatan instrument baru yang
memungkinkan terimplementasikan menjadi sebuah kebijakan policy dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang di kawasan konservasi, mengingat
kemampuan regime pengelolaan bersifat komando dinilai kurang maksimal dalam tujuan konservasi yang mendukung livelihood nelayan Wakatobi, serta
sebagai kebijakan jalan tengah dalam kawasan yang mempunyai dualisme pengelolaan yang bersifat state dan local government.
275
10. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 10.1. SIMPULAN
Globalisasi perikanan yaitu, globalisasi produksi, globalisasi pemasaran distribusi dan globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan terjadi dalam
komodifikasi ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi terjadi sebagai akibat adanya ekspansi ”roving bandit” perusahaan perikanan karang hidup Hong Kong,
yang melakukan produksi penangkapan di Wakatobi terjadi mulai Tahun 1992. Globalisasi produksi dalam komodifikasi ikan konsumsi karang hidup melibatkan
interaksi aktor dalam pemanfaatan sumberdaya ikan karang. Interaksi aktor dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup bersifat dinamik yang menimbulkan
perubahan pada dampak sosial, ekonomi, ekologi dan politikkebijakan. Dampak sosial dengan terbentuknya ikatan patron-klien kordinator-nelayan, dampak
ekonomi terdapat ikatan hutang antara nelayan dan kordinator sebagai lembaga pemodal perongkosan melaut dengan ikatan yang asimetris, dimana kordinator
sebagai pihak yang diuntungkan, berdampak ekologi adalah munculnya tangkapan berlebih yang penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak seperti potassium
dan bom, dikarenakan permintaan pasar yang terus menerus, serta dampak politik atau kebijakan, lahirnya persaingan antar eksportir, kordinator, serta
memunculkan fenomena rent seeking sebagai bentuk prosecution network. Globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan terutama komoditas ikan
konsumsi karang hidup di Wakatobi menimbulkan pengelolaan kawasan konservasi dengan regime negara yaitu pengaturan tata ruang kawasan konservasi
dengan sistem zonasi taman nasional, pengaturan kawasan konservasi laut daerah dengan dibentuknya daerah perlindungan laut DPL, dengan sistem no take zone,
dan pengelolaan yang berbasis pasar dengan munculnya program Seafood Savers. Program Seafood Savers muncul sebagai wacana global dan wacana lokal.
Wacana global terkait dengan globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai tekanan dari dunia internasional sebagai upaya precautionary principles
akan tindakan IUU Fishing, dan wacana lokal lahir sebagai inisiasi bahwa pengelolaan dengan regime negara dan regime masyarakat DPL, dinilai belum
sepenuhnya efektif seperti yang diharapkan. Belum terdapatnya keefektifan sistem pengelolaan yang lahir dari konsep state dan communal dikarenakan, wilayah laut
276 tidak mempunyai batas wilayah yang jelas, bersifat open access, dan kesulitan
dalam monitoring, controlling and survellience MCS, sebagai bentuk institusi regulatif pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi.
Seafood Savers adalah program pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab diinisiasikan oleh WWF Indonesia, sebagai unit pengelolaan
perikanan dengan melihat keberlanjutan ekosistem perikanan karang dan livelihood nelayan. Seafood Savers, merupakan pilot project pengelolaan
perikanan berbasis pasar dalam kawasan konservasi. Seafood Savers pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang merupakan jaringan Bussiness to
Bussiness, mengikat pada perusahaan sebagai usaha produksi perikanan tangkap ikan konsumsi karang hidup dengan menggunakan prinsip good practice fishing
dan responsibility fishing untuk keberlanjutan perikanan. Di Wakatobi UD. PMB. telah menerapkan praktek perikanan ramah
lingkungan dan menerapkan kaidah Seafood Savers sebagai upaya praktek perikanan yang peduli keberlanjutan ekosistem ikan karang dan kesejahteraan
nelayan. Namun, usahanya belum bisa dikatakan berjalan secara efektif ataupun tidak, dikarenakan program yang dijalankan oleh UD. PMB dan program Seafood
Savers, relatif masih baru. Ada dua faktor yang menyebabkan, yaitu: 1
Seafood Savers merupakan inisiatif yang baru lahir dan diimplementasikan di Wakatobi, serta belum mendapatkan dukungan dari pemerintah;
2 Yang kedua disebabkan sebagai berikut:
• Kelemahan kontrol perusahaan dalam pengawasan program perusahaan di lapangan;
• Masih terdapat ikatan hutang yang terjadi pada patron-klein; • Belum memberikan insentif secara ekonomi kepada nelayan yangt
terikat hutang kordinator; • Terdapat otoritas keputusan harga pada pihak kordinator;
• Terdapat perusahaan yang belum menerapkan aturan Seafood
Savers; • Tidak melihat sistem nilai masyarakat Bajo, dengan adagium,
sepanjang daun masih ada di pohon, sepanjang itu, laut masih menyediakan ikan;
277 • Belum mengakomodir pengetahuan lokal nelayan, seperti tuba
dikatattuang menangkap ikan secukupnya dan disisakan untuk hari esok sebagai aturan Seafood Savers maupun perusahaan.
Bedasarkan hasil penelitian, interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan Seafood Savers, dapat dikategorikan menjadi dua interaksi, yaitu interkasi nelayan
lepas-eksportir, dan nelayan terikat hutang-kordinator-eksportir. Dalam usaha mematuhi dan menjalankan aturan UD. PMB. dan program Seafood Savers, tidak
terlihat kepatuhan mutlak terhadap aturan yang dibuat oleh UD. PMB. baik oleh kordinator maupun nelayan anggotanya. Interaksi aktor dalam jaringan
penangkapan komoditas ikan konsumsi karang hidup, tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah terdapat aturan Seafood Savers. Hal ini disebabkan karena
aturan UD. PMB. terdapat hal-hal yang memberatkan untuk kordinator dan nelayan, seperti batas aturan minimal size ikan yang diterima yaitu 600 grams.
Nelayan lepas, akan menjual hasil tangkapannya 600 grams ke perusahaan lain, sedangkan untuk tangkapan 600 grams di jual ke UD. PMB, karena untuk
mendapatkan insentif premium price. Hal tersebut juga terjadi di kordinator, kordinator di Wakatobi, mempunyai dua akses jaringan pasar, yaitu ke perusahaan
Seafood Savers UD. PMB. dan perusahaan non-SS CV. JM. Terdapat rasionalitas ekonomi pada kordinator maupun nelayan.
Nelayan yang terikat oleh ikatan hutang kordinator tidak mempunyai pilihan untuk bebas menjual hasil tangkapannya. Nelayan terikat akan mengikuti
apa yang diperintahkan oleh kordinatornya, sekalipun adalah penangkapan ikan yang dilindungi seperti Napoleon dan penggunaan alat tangkap yang bersifat
merusak seperti potassium. Kesamaan interaksi aktor yang terjadi dalam komoditas ikan konsumsi
karang hidup, dengan atau tidak mengikuti kaidah Seafood Savers, adalah dengan melakukan transaction on the ship, yang merupakan perlawan tersembunyi dari
nelayan atauapun kordinator terhadap perusahaan, yang mana saling menitip ataupun bertukar hasil tangkapan untuk menjual ke perusahaan yang bersedia
menerima kondisi dan ukuran ikan dan membayar lebih. Hal tersebut terjadi setidaknya terdapat empat faktor yang mempengaruhinya, yaitu: