Sejarah Kabupaten Wakatobi S
68 Pulau Onemabaa yang merupakan pulau terpisah dari Pulau induk Tomia. Awal
pekembangan perkampungan menjadi desa di jelaskan dalam table 4.2. dibawah ini sebagai berikut:
Tabel. 4.6. Periodisasi perkembangan masayarakat Bajo Lamanggau Periode
Peristiwa perkembangan kemasyarakatan Lamanggau Sumber data
Sebelum dekade 1970-
an Terjadi perpindahan masyarakat dari daratan Pulau Tomia menuju ke
Pulau Onembaa. Mereka pindah ke Pulau Onemabaa karena kegiatan pertanian lahan kering dan mencari ikan. Awalnya mereka tinggal di
tengah Pulau Onemabaa. Wawancara dengan
Kades Lamanggau 21 Mei 2012
1971 Perpindahan Suku Bajo dari Mola, dengan menggunakan Sope-sope
pakai layar dengan tujuan mencari ikan. Ikan yang di dapat di jual ke masyarakat Tomia. Awal mereka hanya untuk bermalam, ketika
mereka melaut. Hal ini, menggunakan ijin kepada masyarakat Lamanggau setempat.
Wawancara tokoh Bajo Lamanggau, tokoh Desa
Lamanggau dan Kades Lamanggau; 21 Mei
2012
1975-1977 Awal kedatangan mereka hanya 2-3 keluarga tinggal di rumah
penduduk Lamanggau, kemudian diikuti 4 KK lama kelamaan mereka banyak berdatangan dan mendirikan pemukiman di Desa
Lamanggau. Akhirnya mendapat ijin untuk membuat rumah di daerah mangrove.
19751976 Atas anjuran dari pejabat Danramil pada waktu itu, akhirnya mereka
pindah ke daerah bawah, dengan memanfaatkan lahan mangrove untuk di jadikan pemukiman. Alasan mereka untuk pindah ke bawah
adalah untuk memudahkan dalam pendataan penduduk.
1996 Pengusaha asal Swiss, Mr. Lorentz, mendirikan Wakatobi Dive
Resort, yang merupakan jasa pariwisata dengan menjual obyek site keindahan bawah laut
Wawancara Kades Lamanggau, dan tokoh
masyarakat Desa Lamanggau; 21 Mei
2012
2000-sekarang Desa Lamanggau menempati lokasi seperti sekarang. Kondisi antara
masyarakat Lamanggau daratan dengan Bajo Lamanggau menyatu, akan tetapi tetap Bajo Lamanggau membangun pemukiman mereka
masih diatas jeramba, walaupun sudah sambung menjadi satu dalam penghubung akses jalan. Sekarang di Lamanggau terdapat 78 KK
orang Bajo. Wawancara Kades
Lamanggau, tokoh masayrakat Desa
Lamanggau dan observasi langsung
dilapanagan; 21 Mei 2012.
Sumber data: data primer hasil wawancara, Mei 2012.
Gambar 4.4. Desa Lamanggau dari laut kiri, dan pemukiman penduduk Bajo Lamanggau kanan
Komunitas “ Anto Pulo” Kelurahan Tongano Barat
Kelurahan Tongano Barat merupakan salah satu kelurahan dari 9 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia Timur. Luas wilayah desa ini
69 adalah 5 km² atau 7,36 dari luas wilayah Kecamatan Tomia Timur. Batas
wilayah desa yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bahari, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tongano Timur, sebelah selatan berbatasan dengan
Laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Patipelong. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke tiga lingkungan yakni Lingkungan Longa,
Lingkungan Bada dan Lingkungan Lawanata. Jumlah penduduk di desa ini telah mencapai 1.840 jiwa yang terdiri dari 871 jiwa laki-laki dan sisanya 969 adalah
perempuan. Jumlah penduduk di desa ini sebesar 19,61 dari total penduduk di Kecamatan Tomia Timur Laporan CRE Coremap, 2010. Keadaan
topografi desa yakni sebagian adalah wilayah pesisir pantai dan sebagian besar merupakan
wilayah perbukitan dengan struktur bebatuan yang keras. Bila dilihat dari struktur batuannya yang berpori seperti halnya bentuk coralit karang pada umumnya maka
kemungkinan awalnya merupakan pulau yang terbentuk dari proses pergesaran lapisan bumi. Adapun bentuk pantai di desa ini adalah pantai berbatu.
Gambaran umum tentang masyarakat Kelurahan Tongano Barat, adalah sebagian besar mereka memanfaatkan hasil laut. Hal ini dikarenakan kondisi
kesuburan tanah di Pulau Tomia yang tandus. Sebagaian besar mereka mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan, dan pekerjaan sampingan
adaah pekerjaan sehari-hari yang dibutuhkan masyarakat, seperti berkebun, menjadi tukang kayu atau tukang bangunan dan berdagang. Sebelum mereka
mengenal komoditas ikan konsumsi karang hidup, mereka adalah pencari teripang. Sehingga kelompok nelayan di Tongano Barat meggunakan istilah “anto
pulo” yang diambil dari nama jalan di mana digunakan nelayan-nelayan tradisional pendahulunya sebagai jalan untuk melaut mencari teripang. Berikut
perkembangan kelompok nelayan “anto pulo” dari waktu ke waktu:
70
Tabel No.
1.
2.
3.
Sumb l 4.7. Periodisa
Periode 1990-an
1990-an
2007
ber data: data p
Gambar
Gambar pe asi perkemban
primer hasil w
4.5. Tongano
Bajo Mola
Lmg-Tongan eta 4. 6. Loka
ngan masyara Perkem
Nelaya menan
komod untuk
Nelaya untuk
ekspor
Anto p bimbin
Nelaya
wawancara tera
o Barat dari lau
no asi Penelitian P
akat nelayan “A mbangan sejar
an teripang tra ngkap ikan das
ditas subsisten keperluan lok
an mencari ik di jual ke peru
rtir pulo diresmika
ngan Komunto an Tomia
arah dengan k
ut kanan, da
Penelitian, tig Anto Pulo”.
rah adisonal,
sar sebagai
n atau hanya kal saja
an dasar usahaan
an di bawah o komunitas
kelompok “ant
an jalan anto p
a site komunit Keterangan
Perusahaan konsumsi i
hidup belu Tomia
Feri dan E sebagai pio
perusahaan membeli ik
konsumsi k Sudah terja
kesadaran untuk mem
organisasi
to pulo”, 25 Ju
pulo kiri.
tas nelayan d n
n Ikan ikarang
um masuk ke Ence Rahman
oneer n yang
kan karang hidup
adi masyarakat
mbentuk nelayan
uni 2012.
dua pulau.
71 Sebagaimana tertulis di atas bahwa wilayah Kabupaten Wakatobi terdiri
dari wilayah daratan dan lautan yang mana wilayah lautnya mencapai 95,5 dari total luas wilayah kabupaten dengan panjang garis pantai 251,96 km maka potensi
wilayahnya yang paling besar adalah potensi wilayah lautnya. Adapun sumberdaya pesisir dan laut yang telah diketahui dan banyak dikelola oleh
masyarakat dan pemerintah Wakatobi adalah penangkapan ikan, budidaya laut dan terumbu karang. Terumbu karang menjadi salah satu fokus perhatian
tersendiri karena luasannya yang begitu besar dan menjadi aspek yang penting bagi keberlanjutan perekonomian sebagian masyarakat Kabupaten Wakatobi
khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kabupaten Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang yang tersebar di semua wilayah
kecamatan di Kabupaten Wakatobi dan sebuah atol tunggal sepanjang 48 km yang merupakan atol terpanjang di dunia yakni Karang Kaledupa. Di wilayah perairan
kepulauan wakatobi juga terdapat 750 jenis karang dari 850 spesies karang yang ada di dunia dan 900 jenis ikan Laporan CRE Coremap 2010.
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif mengancam keberlanjutan ekologi perairan
Wakatobi menjadi menurun. Bagi masyarakat Bajo khususnya dan masyarakat Wakatobi umumnya, ekosistem perairan Wakatobi merupakan aset terbesar untuk
ekonomi mereka. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka penetapan kawasan tersebut
menjadi kawasan taman nasional adalah salah satu kebijakan pusat negara yang mengarah pada konservasi dan keberlanjutan eksosistem untuk kebutuhan
masyarakat. Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosistem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya dilakukan dengan
konsep keberlanjutan. Akan tetapi konsep keberlanjutan sumberdaya perarian Wakatobi, masih
jauh dari ideal konservasi karena mendapat tantangan dan hambatan kedepan, terlihat kondisi di lapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang
dilakukan oleh masyarakat Wakatobi dengan cara-cara yang eksploitatif, seperti: kegiatan-kegiatan seperti pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang
dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka.
72 Salah satu ancaman langsung degradasi terumbu karang adalah pada
pemanfaatan langsung tambang batu karang oleh masyarakat selama ini. Pemanfaatan batu terumbu karang sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan
maupun penutup pantai untuk daratan. Sedangkan pemukiman penduduk yang tidak berada di tepian pantai telah menggunakan batu gunung sebagai bahan
bangunan. Selain pemanfaatan terumbu karang, juga terjadi pemanfaatan pasir laut yang digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan batu karang dan pasir
laut untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung dan pasir gunung sebagai bahan bangunan. Selain penggunaan langsung batu karang oleh
masyarakat, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak bom dan penggunaan bahan kimia
sianida potassium cyanide. Akan tetapi setelah banyaknya upaya penyadaran dan adanya kegiatan-kegiatan pelestarian terumbu karang, penggunaan alat yang
merusak tersebut telah jauh berkurang, meskipun masih ada sebagian nelayan yang melakukannya.
Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh Kmrdn 50 Tahun, 27 Maret 2012, masyarakat Bajo Mola yang berprofesi sebagai nelayan ikan
konsumsi karang hidup ikan dasar, untuk sebutan masyarakat lokal, namun sudah berhenti dan sekarang berprofesi sebagai penambang pasir:
Kotak 4.1. Gambaran mata pencaharian nelayan dan kendala di Wakatobi Menurut penuturan Pak Kmrdn 50 tahun, bahwa sekarang mencari ikan menjadi sangat sulit.
Karena ikan dasar karang sudah semakin sedikit. Ikan yang sering ditangkapi adalah ikan jenis kerapu, sunu dan ada juga napoleon. Pekerjaan dulu adalah sebagai nelayan ikan dasar saya
sekarang adalah menambang pasir laut yang digunakan untuk bahan bangunan. Pasir laut dijual per perahusatu bak pick up dengan harga 50.000. Awalnya dilarang oleh pemerintah dan Balai
Taman Nasional, tetapi karena untuk keperluan bangunan, akhirnya di perbolehkan hanya yang disekitar pulau saja. Artinya bukan di pantai tetapi di sekitar gugusan pasir yang dekat dengan
pemukiman Bajo.
Pelarangan pengambilan pasir adalah yang masuk dalam zonasi konservasi TN Wakatobi dan masuk dalam wilayah laut milik desa lain yang mempunyai wilayah laut. Peraturan tentang
zonasi menurut penuturan Pak Kmrdn dalah hanya mempersulit rakyat. Artinya, semakin susah mencari ikan. Himbauan dari Pak Bupati pun kadang tidak pas dengan pelarangan ikan yang mau
bertelur itu ditangkap. Tetapi justru ikan karang bisa di pancing ketika pas mau bertelur karena mengumpul di karang. Untuk saat ini masih ada beberapa nelayan yang masih menggunakan bom
dan racun, dengan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terhadap pengawasan zonasi konservasi yang ditetapkan oleh TN nasional adalah kurangnya pengawasan. Artinya tidak masyarakat tidak
dilibatkan untuk memonitor tersebut. Hanya dijalankan oleh Polairud dan TNI AL. Mereka juga tidak difasilitasi oleh pemda. Setiap kali nelayan Mola melapor sering tidak ditanggapi. Pelaku
pengebom dan pembius kebanyakan dari Bajo Kendari. Nelayan Mola tidak bisa berbuat apapun. Disini sebetulnya penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Tetapi dengan diam-diam. Mereka
dengan bekerja sama dengan aparat Polisi dan TNI dalam menangkap napoleon untuk dijual ke Bali. Salah satunya adalah Rtn. Rtn sebagai kordinator menjual Napoleon ke Bali. Bali ke