165 masih pegang kuat, terutama berkaitan dengan permasalahan kintal lahan atau
kebunpekarangan yang menjadi hak milik. Pemerintah Kabupaten Wakatobi institusi yang mempunyai kewenangan dalam pengaturan zona khusus belum
bisa mengganti tukar guling tanah milik warganya di dalam zona inti dengan tanah lainnya. Kepemilikan warga terhadap lahan di zona inti terkait dengan
kebun kelapa. Permasalahan yang dihadapi Taman Nasional berkaitan dengan
pengelolaannya hingga saat ini salah satunya adalah permasalahan zonasi yang dipolitisasi, oleh pihak yang memanfaatkan secara politik. Sehingga pemahaman
masyarakat tentang zonasi apakah sudah ditetapkan atau belum, menjadi pemahan ganda. Sosialisasi tentang zonasi sudah dilakukan, dan pembagian peta zonasi pun
sudah diberikan untuk masyarakat. Sebagian dari nelayan sebetulnya memahami zonasi, tetapi mereka menganggap bahwa semua zona masih dijadikan area
penangkapan ikan, kecuali zona inti yang mempunyai kondisi alam sangat berat untuk dilewati perahu penangkap ikan Wahyuni, 40 Tahun, 5 Mei 2012.
Polemik tumpang tindih kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan dengan kepentingan daerah, menjadi permasalahan tersendiri dalam pengelolaan
Taman Nasional Wakatobi. Setidaknya ada empat polemik kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan adalah sebagai berikut:
1. Terdapatnya zonasi dalam zonasi;
Pembentukkan Daerah Perlindungan Laut Marine Sanctuary DPL yang dibentuk oleh program COREMAP Phase II,
mempunyai tumpah tindih pengelolaan yang pada dasarnya tidak diperbolehkan adanya zonasi dalam zonasi. Akan tetapi karena
kepentingan DPL baik secara ekosistem maupun ekonomi tidak menyimpang dari aturan konservasi Taman Nasional, maka
diperbolehkannya adanya DPL dalam kawasan konservasi. DPL mempunyai peran dan pengaruh guna mendukung konservasi
dengan memperkuat fungsi Taman Nasional sebagai pengelola konservasi dan keberlanjutan sumberdaya.
2. Terdapatnya tumpang tindih kewenangan dengan DKP berkaitan
dengan perikanan;
166 Praktek-praktek perikanan di kawasan menjadi tanggung jawab
Taman Nasional dan DKP. Akan tetapi peran DKP lebih mendominasi. Segala perijinan berkaitan dengan perikanan adalah
tanggung jawab DKP, termasuk anggaran dari hasil perikanan. DKP dan Taman Nasional mempunyai tugas pokok da fungsi
masing-masing sesuai dengan kewenangannya. Akan tetapi dalam prakteknya DKP lebih mendominasi dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan. 3.
Terdapatnya tumpang tinding kewenangan dengan Disparbud berkaitan dengan kepariwisataan;
Pariwisata yang diperbolehkan di dalam kawasan adalah pariwisata yang bersifat wisata alam. Artinya tidak ada bentuk pariwisata
buatan yang akan merusak sifat dari alam itu sendiri. Pariwisata diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan agenda
konservasi dan Undang-Undang konservasi serta dapat memperkuat fungsi kontrol dan pengawasan konservasi. Zona
pariwisata bawah laut mendukung adanya konservasi terumbu karang. Adapun kegiatan pariwisata yang diperbolehkan adalah:
kegiatan parwisata yang menghormati kebudayaan lokal; tidak melanggaran aturan perundang-undangan; dan memberikan
kontribusi secara ekonomi kepada masyarakat dan daerah. Ada tiga pengelolaan konservasi di Wakatobi, dua diantaranya adalah milik
pribadi. Ijin kepariwisataan terdapat dua jenis, ijin usaha pariwisata alam untuk perusahaan jasa wisata yang berbadan hukum-
dikeluarkan oleh Menhut dan kontrol dari Ditjen PHKA dan ijin usaha jasa wisata untuk jasa wisata perorangan-dikeluarkan oleh
Ka Sekwil TN. Wakatobi Diver Resort WDR di Tomia merupakan usaha pariwisata yang dijalankan oleh investor asing;
saat ini pendaftaran dalam LPPA sedang dalam proses. Patuno Resort, yang diduga merupakan kepunyaan Bupati Wakatobi,
belum mempunyai ijin. Untuk pengelolaan wisata yang sudah melibatkan masyarakat adalah wisata Pulau Hoga. Di Hoga ada
167 masyarakat Kaledupa dan Bajo Sampela yang diberi wewenang
untuk menjaga dan mengelola zona pariwisata. Permaslahan selanjutanya berkaitan dengan ego Disparbud Wakatobi dan Taman
Nasional Wakatobi. masing-masing lembaga membentuk daerah wisata yang dikelola masyarakat. Taman Nasional membentuk 5
desa binaan sebagai Model Desa Konservasi MDK, yaitu di Desa Darawa dan Samabahari Kaledupa, Desa Kapota Wangi-Wangi,
Desa Teemoane Tomia dan Desa Wali Binongko. Disparbud membentuk desa konservasi sendiri, dengan menetapkan desa
konservasi yang sudah terdapat DPL dari COREMAP seperti di Desa Waha Wangi-Wangi. Permasalahan berikutnya adalah,
bahwa daerah memberikan tarikan retribusi untuk pengunjung pariwisata, yang seharusnya adalah kewenangan dari Taman
Nasional Wakatobi. Perijinan tentang masuk kawasan konservasi, belum sepenuhnya efektif. Di lapangan dibuktikan dengan
kunjungan turis baik untuk WDR di Tomia, maupun Patuno Resort belum diterapakan sepenuhnya ijin masuk kawasan konservasi. Hal
ini terjadi karena pihak penyelenggara jasa konservasi mempunyai kewenangan tersendiri sehingga Taman Nasional tidak isa
mengkontrolnya. 4.
Terdapatnya polemik pembebasan lahan berkaitan dengan masalah zona khusus dalam zona inti.
Sampai saat ini belum ada upaya pembebasan lahan penduduk kebun kelapa yang berada di tengah-tengan zona inti. Namun hal
ini terus diupayakan oleh Taman Nasional dengan Pemda untuk membahas masalah ini. Permasalahan ini diakui oleh pihak Taman
Nasional, mengingat sumberdaya kelautan adalah open access dan terbatasnya kemampuan Taman Nasional dalam monitoring.
Tekanan dan kendala konservasi dalam kawasan Taman Nasional di Wakatobi sangat berat, mengingat bahwa: Pertama, penetapan kawasan
konservasi laut seluas dengan wilayah kabupaten. Kedua, laut merupakan sumberdaya milik bersama yang sudah di manfaatkan secara turun menurun dan
168 bebas bagi siapapun free for all. Ketiga, potensi alam di Wakatobi
mengandalkan sektor perikanan, dan hidup komunitas Bajo yang tidak mempunyai akses ke lahan pertanian kecuali hidup sebagai nelayan. Sejak
ditetapkannya kawasan konservasi laut di Wakatobi, terdapat tranformasi pengaturan sumberdaya yang bersifat sentralisasi. Sistem pengelolaan Taman
Nasional di Wakatobi, merunut dari kondisi di lapangan dapat ditemukan data sebagai berikut :
Tabel 7.1. Kelemahan dan kelebihan regime state dalam pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Regimes Kelemahan Kelebihan
State Property Taman
Nasional Wakatobi
- Terjadi pengaturan satu arah dari pemerintah terhadap
pengelolaan sumberdaya alam; -
Terjadi ketumpang tindihan Undang-Undangregulasi pemanfaatan perikanan dan pariwisata dengan DKP;
Disparbud ataupun pihak pengelola jasa pariwisata asingperorangan;
- Terjadi pengkavlingan daerah laut yang merupakan
adanya proses kepemilikan Negara, sehingga terjadi perubahan pemanfaatan perikanan oleh masyarakat;
- Terdapat dualisme kebijakan SDA
konservasionisme- paradigma Taman Nasional dan developmentalisme-paradigma pembangunan daerah;
- Mengingat bahwa wilayah kawasan sangat luas, yaitu,
1,39 juta Ha., menjadikan lemahnya dalam monitoring, surveillance and control sehingga masih
terjadi kebocoran dalam pemanfaatan sumberdaya;
- Terjadi pemaksaan perubahan kebiasaan
nelayan,yang tadinya bebas dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, menjadi ada batasan-batasan
strick berkaitan dengan zonasi
- Memunculkan konflik laten antara masyarakat
dengan pemerintah sebagai pelindung sumberdaya perikanan dan konflik masyarakat dengan pemerintah
sebagai agen pembangunan;
- Karena potensi sumberdaya kelautan dan perikanan
Wakatobi melimpah, dan adanya konsep devolusi dan desentralisasi pengelolaan lingkungan untuk daerah,
menjadikan banyak stakeholdershareholder mempunyai kepentingan akan kawasan. Sehingga
memunculkan tindakan rent seeking dari agen pemerintah dan fenomena free rider tumbuh subur
sebagai praktek pemanfaatan dualisme konservasi dan pembangunan.
- Ada control access yang
jelas dari pemerintah sebagai agen pelindung
sumberdaya dan pembangunan ekonomi;
- Pemerintah daerah,
negara dan masyarkat mempunyai tanggung
jawab akan kerusakan menipisnya SDA;
- Terdapat kelembagaan
konservasi yang mapan dengan perhatian ke arah
konservasi wilayah.
Diadopsi dan disarikan dari Berkes, 1988; Satria, 2009.
Indikator belum efektif dan efesiennya institusi pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, setidaknya dipengaruhi oleh tiga pilar
dimensi Scott, 2004; Satria, 2006; 2009: 14, yaitu 1. Pilar normatif: dimensi yang berisi sitem nilai yang menjadi dasar pengelolaan sumberdaya perikanan. 2.
Pilar regulatif: berisi tentang tata pengelolaan sumberdaya perikanan dan 3. Pilar
169 kognitif: berisi tentang teknik pengelolaan sumberdaya perikanan beserta dengan
pengetahuan lokal. Pertama, dimensi normatif, sistem nilai yang menjadi dasar pengelolaan
kawasan untuk saat ini sebagai aturan formal belum terakomodir sepenuhnya dalam praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Nelayan Bajo
di Wakatobi mengenal adagium pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai wilayah mereka. Adagium tersebut berupa semboyan, apabila
ada daun masih banyak pada pohonnya maka di laut pun masih banyak tersedia ikannya. Disamping itu, padangan masyarakat Bajo tentang laut merupakan kebon
bagi mereka koko dilao. Aturan-aturan dari Taman Nasional Wakatobi merupakan hal yang baru dikenal oleh masyarakat Wakatobi, khususnya oleh
masyarakat Bajo. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bajo untuk memahami aturan taman nasional membutuhkan waktu dan proses yang lama.
Kedua, dimensi regulatif bahwa belum efektif pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan terkait tentang zonasi kawasan konservasi adalah sebagai
berikut: a
Kejelasan batas wilayah: lemahnya tata batas tentang zonasi kawasan di laut adalah tidak adanya tanda markbouy yang jelas
disetiap zonasi. Untuk beberapa tahun kebelakang pernah dipasang tanda di setiap zona pemanfaatan bahari di Zona Karang Kaledupa
III, akan tetapi sekarang sudah hilang; b
Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal: belumtidak ada terobosan alternatif livelihood untuk nelayan. Akan tetapi inisiasi zonasi
Tahun 2001 berjalan secara efektif, melibatkan peran serta grass root pada Tahun 2003 dengan ditetapkan revisi zonasi pada Tahun
2007. Bentuk partisipatif grass root diikutsertakan masyarkat Bajo dalam pemanfaatan ruang. Revisi zonasi merupakan zonasi adaptif,
artinya disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya; c
Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya: masyarakat belum mampu secara mandiri untuk membuat aturan-
aturan yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat sebagai pedoman dan pandangan hidup masyarakat untuk mengelola
170 sumberdaya perikanan; dari pihak Taman Nasional memberikan
pembinaan, pengetahuan dan pemberdayaan terkait tuntutan ditegakanya arturan konservasi; Taman Nasional mengkaji aturan
lokal dalam kaitannya apakah bertentangan atau tidak dengan aturan konservasi yang lebih tinggi “asas derograt infriori lex
derogat superiori” diberlakuan sebagai asas legitimasi perundang- undangan;
d Belum adanya kelembagaan lokal yang mempunyai fungsi sebagai
aturan pengelolaan sumberdaya perikanan. Masyarakat belum mempunyai bargaining position dan posisi dalam menentukan
mekanisme aturan pengelolaan, membuat dan merevisi aturan tersebut. Aturan tersebut masih dirumuskan dan diputuskan oleh
stakeholder pemerintah. Dalam membuat mekanisme aturan, peran masyarakat sangat miskin. Pengakuan keadilan dan distribusi
keadilan yang diterima di masyarakat dalam keterlibatan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat miskin.
e Masyarakat belum mampu melaksanakan instrument dan
melakukan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan pengawasan masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan
dinamika struktur sosial nelayan Wakatobi dipengaruhi oleh ikatan patron-klien. Monitoring dari Taman Nasional belum maksimal,
dan juga monitoring dari DKP Pemda. Pelaksanaan monitoring mendapat kendala dalam hal supporting dana. Ada tiga bentuk
operasi kawasan, yaitu operasi gabungan, operasi fungsional dan operasi rutin. Operasi gabungan melibatkan semua stakeholder
termasuk TNIPolri; operasi fungsional merupakan tupoksi JagawanaPolhut dan operasi rutin adalah operasi yang dilakukan
join program termsuk operasi insidental; f
Sanksi belum dilakukan secara optimal oleh pengelola kawasan konservasi. Banyak pelanggaran yang masih terjadi. Dan
mudahnya penyelesaian pelanggaran yang di sinyalir menggunakan jasa rent seeking. Banyaknya stakeholder dan shareholder aktor
171 pemerintah yang mempunyai kepentingan akan Taman Nasional,
sehingga optimalisasi supremasi hukum menjadi lemah. Sistem banyak pintu menjadikan penerapan sanksi menjadi lemah. Taman
Nasional menggandeng Polisi, TNI AL dan Kejaksaan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran destructive fishing dikenakan
sanksi pidana; g
Mekanisme penyelesaian konflik sudah melalui proses peradilan. Akan tetapi, karena institusi penegakkan hukum belum efektif,
banyak terjadi yang konflik yang tidak selesai. Taman Nasional melakukan tindakan preemptive dan preventive berkaitan dengan
pelanggaran kawasan. Pembinaan, sosialisasi dan pengetahuan dierikan kepada pelaku pelanggar kawasan;
h Belum ada pengakuan dari pemerintah akan local wisdom sebagai
aturan formal pengelolaan sumberdaya perikanan. Taman Nasional masih mempertimbangkan pengetahuan lokal berkaitan dengan
penagturan zonasi; i
Sudah terbentuk jaringan antar komunitas, yaitu terbentuknya forum komunikasi nelayan pulau Jala bridging social
capitalism. Sudah terdapat jejaring dengan LSM TNCWWF, Jagawan Taman Nasional, dan DKP melalui program COREMAP
linking social capital. Akan tetapi, untuk komunitas Bajo, jejaring dengan sesama komunitas nelayan dan jejaring di luar
komunitas mendapat kendala, karena dari budaya masyarakat Bajo yang tertutup dan pemalu. Pemalu dan tertutup disebabkan karena
kesejarahan, masyarakat Bajo menjadi komunitas marjinal dari pada komunitas lainnya. Bajo mempunyai kebatasan dalam
bergaul, karena hambatan komunikasi dan Bahasa Indonesia. Ketiga, dimensi kognitif, belum terakomodirnya pengetahuan-pengetahuan
lokal dalam aturan formal konservasi kawasan Taman Nasional laut Wakatobi. Pengetahuan masyarakat Kaledupa”tuba dikatatuang” yang artinya ambillah ikan
hari ini secukupnya dan simpan untuk masa depan, belum menjadi aturan formal. Sistem Huma yang dimiliki oleh masyarakt Wangi-Wangi Desa Numana dan
172 masyarakat Tomia, tidakbelum diakui sebagai pengetahuan lokal. Meluruhnya
pengetahuan Bajo tentang satwa laut yang pamali seperti gurita, lumba-lumba dan penyu ditangkap sebagai dampak masuknya pasar, dan menghilangnya ”maduai
pinah” ritual ijin kepada mbo dilao sebagai penguasa di lautan agar berkah dan “pamunang ala’ baka raha pemberian anugrah baik dan buruk menghomati
tempat yang dilarang. Tuba dikatatuang sebagai ungkapan masyarakat daratan Wakatobi, yang berarti, tangkaplah ikan hari ini secukupnya dan sisakan untuk
besok demi anak cucu kita. Semboyan Tuba dikatatuang saat ini sedang digalakan oleh pihak konservasi Taman Nasional Wakatobi bekerja sama dengan join
program TNC-WWF Wakatobi, yang diperkuat melalui pembentukan kelompok masyarakat antar pulau. Untuk Wangi-wangi KOMANANGI, Kaledupa
FORKANI, Tomia KOMUNTO dan Binongko FONEB.
7.2. Regime Masyarakat
Perkembangan pengaturan kawasan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan di Wakatobi, terdapat upaya pemerintah pusat maupun NGO serta
dibantu oleh pemerintah daerah tentang konservasi sumberdaya kelautan dan pesisir Wakatobi. Konservasi tersebut dimulai dari banyaknya penelitian yang
dilakukan baik oleh LIPI maupun oleh Operation Wallacea pada era 1990-an. Dari adanya penelitian tersebut membuahkan hasil kebijakan, bahwa kawasan
perairan Taman Nasional Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional pertama kalinya pada Tahun 1996. Kemudian program konservasi yang kedua adalah
adanya upaya konservasi dan rehabilitasi terumbu karang di perairan Indonesia. Program konservasi dan rehabilitasi terumbu karang ini dinamakan dengan
COREMAP. COREMAP merupakan program inisiasi dari LIPI, KKP pada waktu itu namanya Departemen Kelautan dan Perikanan DKP dan asing World
BankADB dan AUSAid, sebagai bentuk upaya pembangunan konservasi melalui konsentrasi ke pelesatrian dan perbaikan terumbu karang, yang meliputi tiga fase.
Fase I merupakan Fase Inisiasi, 1998-2004, Fase II dinamakan sebagai fase desentralisasi dan akselerasi 2004-2009 dan Fase III dinamakan sebagai fase
kelembagaan 2010-2015. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang COREMAP
phase II, merupakan program nasional dengan tujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dan institusi lokal capacity building dalam pengelolaan terumbu
173 karang dengan penguatan kapasitas institusi lokal dan kesadaran mengelola
sumberdaya karang secara keberlanjutan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Program COREMAP phase II menitikberatkan pembangunan
Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD yang dikenal oleh masyarakat sebagai Daerah Perlindungan Laut DPLmarine sanctuary. Pola program KKLD ini
tidak langsung menyentuh pada aspek rehabilitasi terumbu karang, akan tetapi lebih kearah penguatan kebijakan dalam membentuk kelompok masyarakat
pengelola terumbu karang, yang tujuannya untuk mencari alternatif mata pencaharian, sehingga diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap
penggunaan sumberdaya karang. Faktor-faktor ekonomi sebagai alternatif mata pencaharaian yang dikaji kelayakannya adalah: 1. Kesesuaian lokasi seperti
kebutuhan pengembangan mariculture, kondisi lingkungan perairan, dan kebiasaan masyarakat setempat, 2. Penguasaan teknologi, 3. Mempunyai
manfaat sebagai kepentingan umum, 4. Ketersediaan sarana dan prasarana, 4. Tersedianya tenaga terampil, dan 5. Keterjangkauan akses komoditi terhadap
pasar Ditjen KP3K DKP, COREMAP Phase II, 2006. Program KKLD merupakan salah satu upaya jejaring Kawasan Konservasi
Laut KKL sebagai bentuk pengelolaan kolaboratif sumberdaya perikanan yang menjadi agenda utama Departemen Kelautan Perikanan sekarang Kemetian
Kelautan Perikanan KKP. Tujuan dengan dibentuknya jejaring KKL adalah sebagai penopang: 1. Menggambarkan, menjaga dan memelihara
keanekaragaman hayati, 2. Memberikan model pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan KKP, 3. Menjaga dan melindungi biota laut yang
dilindungi dari berbagai ancaman, 4. Menjaga potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, serta 5. Upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan Kawasan
Konservasi Perairan. Program Kawasan Konservasi Perikanan terus diupayakan oleh KKP baik ditingkat lokal maupun regional. Program ini salah satunya
diinisiasi oleh COREMAP Phase II yang mengintegrasikan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut DPL tingkat desa sebagai sebuah pengelolaan KKLD tingkat
kabupaten Ditjen KP3K DKP; COREMAP Phase II, 2006. Sejarah COREMAP Phase II 2005 masuk ke wilayah Wakatobi dimulai
Tahun 2006 sampai Tahun 2011. Tujuan COREMAP di Wakatobi mempunyai
174 tujuan mikro dan makro. Untuk tujuan mikro, dengan melakukan penyadaran
kepada masyarakat akan manfaat terumbu karang dan pentingnya konservasi terumbu karang. Sedangkan tujuan makro, untuk saat ini belum dilakukan, yaitu
mengenai pembangunan teknis transplantasi karang Ir, 2 Juni 2012. Untuk memenuhi tujuan mikro dan makro, COREMAP mempunyai
struktur yang bekerja di tiga level pemberdayaan, yaitu tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa. Struktur lembaga yang bekerja di masyarakat adalah
sebagai berikut: 1.
SETO senior extension and training officer, mempumyai tanggung jawab untuk kordinasi aktivitas fasilitator masyarakat
dalam melaksanakan agenda COREMAP di empat kecamatan di Kabupaten Wakatobi;
2. Fasilitator Masyarakat community facilitator, melakukan
pendampingan kelembagaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengelolaan
dan rehabilitasi terumbu karang; 3.
Motivator Desa village motivator, mempunyai tugas mendampingi masyarakat, mendukung dan memfailitasi lahirnya
Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang.
Gambar 7.3. Struktur Organisasi COREMAP
PMU Project Management Unit Community Based Management
MD FM
LPSTK Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang
DPL Daerah Perlindungan Laut
Pokwasmas Lembaga keuangan
mikro SETO
Ba seed fund
simpan-p turun, Tah
sebesar R sebesar Rp
seed fund untuk mem
dari kesep grant ad
COREMA jt. dan Tah
Seb termbu ka
Perlindung Adapun
Pembentu COREMA
Saat ini W Tu
ataupun w budidaya t
Gambar 7.4
antuan dana d merupaka
pinjam, untu hun 2007 s
Rp. 5,6 jt. p. 100jt per
d¸ kira-kira mbangun in
pakatan ma dalah sebag
AP baru seb hun 2011 su
bagai ujud arang, ak
gan Laut D pembiayaan
ukan DPL AP, dan dis
Wakatobi me ujuan utama
wisata. Untu tidak diperb
. Peta DPL ma
a dari CORE an dana be
uk anggaran sebesar Rp.
Sedangkan r desa. Menu
mencapai nfrsatruktur
asyarakat. A gai berikut:
banyak 23 d udah tidak a
d dari adan khirnya di
DPL yang n pembua
disepakati sepakati titi
emiliki 54 D a untuk pem
uk kegiatan bolehkan da
asyarakat desa
EMAP seca ergilir seba
n satu desa 19,3 jt, Ta
n bantuan u urut penutu
20. Seda desa seper
Adapun dan Tahun 200
esa, Tahun ada pendana
nya RPTK bentuk LP
g terbentuk atan DPL
oleh masy ik kordinat
DPL yang te mbentukan D
n aktifitas alam kawasa
a yang difasili
ara mikro t agai bentuk
a adalah Rp. ahun 2008
untuk mem ran, Ir, 2 Ju
angkan untu rti jalan seta
na turun sec 09 terdapat
2010 turun aan dari CO
K rencana PSTLK dib
dari 10 itu dari
yarakat dan t untuk dae
erbagi dalam DPL adalah
perikanan an DPLIr,
itasi oleh COR
terdapat dua k pinjaman
. 50 juta, de Rp. 25 jt d
mbangun inf uni 2006, un
uk village g apak, gardu
cara bertaha t penambah
n dana Rp. 1 OREMAP.
pengelola bentuklah k
total area anggaran
n difasilita erah perlind
m empat kec h sebagai sa
baik penan 2 uni 2012
REMAP COR
a program, n ke masya
engan pemb dan Tahun
frastruktur ntuk kredit m
grant digun u, dll. tergan
ap untuk vi han desa b
100 jt dan R
aan sumber kawasan D
laut milik village g
atori oleh p dungan ters
camatan. arana konse
ngkapan ata .
REMAP, 200
175 yaitu
arakat bagian
2009 desa,
macet nakan
ntung illage
binaan Rp. 50
rdaya Daerah
desa. grant.
pihak sebut.
ervasi aupun
8
176 Idrs, 30 Tahun, 28 Maret, 2011 sebagai fasilitator COREMAP tingkat
kecamatan 2009-2011 menegaskan bahwa agenda COREMAP dengan tujuan mikro merupakan aplikasi terhadap penguatan kelembagaan masyarakat terhadap
sumberdaya terumbu karang dan penguatan kelembagaan keuangan rumah tangga. Kelembagaan ekonomi rumah tangga Lembaga Keuangan MikroLKM
merupakan stimulus bantuan simpan pinjam yang ditujukan untuk masyarakat tidak mampu serta masyarakat yang mempunyai mata pencaharian yang
tergantung dari sumberdaya karang dan laut dengan tujuan untuk meminimalisir kegiatan penambangan pasir dan batu karang beralih menjadi pembudidaya
rumput laut atau ikan serta alternatif mata pencaharian lain. Idrs, juga menjelaskan bahwa program COREMAP untuk unit pedesaan dibentuk POKWASMAS yang
dibekali pelatihan pemetaan desa dan DPL serta pelatihan transplantasi karang dan pelatihan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.
Permasalahan mengenai seed fund, menjadi polemik tersendiri. Terhambatnya kredit macet sekitar 20 Ir, 2 uni 2012, dikarenakan oleh
pemahaman masyarakat bahwa seed fund adalah hibah untuk masyarakat sehingga tidak dikembalikan Tn, 40 Tahun, 3 Mei 2012. Menurut penuturan Rk, 32
Tahun, 16 Mei 2012, hal ini disebabkan karena seed fund oleh masyarakat diartikan sebagai pinjaman negara, sehingga masyarakat tidak berhak untuk
mengembalikan dana bergulir tersebut. Seed fund untuk masing-masing desa memiliki perbedaan besar pinjaman, ada yang sebesar Rp. 2,5 jt.,-Rp. 2 jt., Rp. 1
jt., bahkan ada yang hanya Rp. 500.000,-. Menurut Styni, 8 Juni, 2012, dana bergulir sebagai program seed fund untuk Desa Waha mempunyai kendala dalam
pengembalian pinjaman. Banyaknya kredit macet dikarenakan salah satunya adalah tidak ada kelanjutan usaha yang modalnya diperoleh dari hasil pinjaman.
Pinjaman COREMAP dikelola oleh LPSTK dengan bunga sebesar 1-1,5 setiap bulan. Kebanyakan masyarakat meminjam dana bergulir sekitar Rp. 1 juta
untuk jangka waktu 12 bulan dan setiap bulan mengembalikan Rp. 99.000,-. Permasalahan yang terjadi dalam istilah kredit macet untuk pinujaman dana
bergulir dikarenakan sebetulnya belum adanya alternatif mata pencaharian untuk masyarakat.
177 Tidak efektifnya village grant ataupun seed fund ini juga dipengaruhi oleh
kekuatan aktor penguasa yang ada di desa. Kedekatan aktor elit desa dengan staff dari COREMAP membawa dampak yang menyebabkan disparitas sosial.
Dana yang digulingkan untuk village grant banyak yang tidak tepat dan tidak merata secara keadilan bagi masyarakat yang seharusnya menerima bantuan
tersebut. Sebagai contoh, akuisisi bantuan oleh kepala desa, yang seharusnya menjadi milik masyarakat desa adalah bantuk kelembagaan peran ibu-ibu. Salah
satu di komunitas Bajo Mola, salah satu desa di Mola, program bantuan COREMAP untuk pengembangan ekonomi masyarakat yang melibatkan peran
dan pemberdayaan ekonomi rumah tangga untuk ibu-ibu sebagai alternatif pekerjaan diakui oleh seorang kepala desa. Ketidakadilan tersebut bahwa bantuan
dijadikan sebagai usaha pribadi dan keluarganya. Idrs, 30 Tahun 19 April 2012, menjelaskan bahwa program COREMAP
banyak yang tidak tepat sasaran dan tepat guna. Banyak sekali program bantuan dari COREMAP mengenai fasilitas ataupun sarana yang berkaitan perikanan ke
masyarakat. Hal ini disesuaikan karena ada yang kurang tepat dalam pendekatan distribusi bantuan kepada masyarakat. Lemahnya monitoring dan kontrol dari
PMU dan SETO terhadap distribusi bantuan menjadikan batuan tersebut tidak terdistribusikan secara benar, yaitu salah target ke orang-orang yang sebetulnya
tidak perlu menerima. Hal ini disebabkan ada dua faktor yaitu faktor teknis dan faktor politis. Faktor teknis adalah identifikasi permasalahan dilapangan, melalui
pendekatan perbaikan livelihood dan siapa saja yang berhak menerima bantuan. Faktor teknis ini tidak diterima sebagai identifikasi yang utuh dari staff yang
bekerja di lapangan oleh atasan COREMAP, seperti SETO dan PMU. Sedangkan faktor politis adalah ada keterkaitannya dengan aroma dominasi politik oleh
penguasa. Disamping itu, juga terlihat ada permainan pada level fasilitator
masyarakat dan level motivator desa, bahwa program COREMAP digunakan juga untuk mencari hasil tambahan untuk staff yang ada di lapangan. Sehingga, proses
identifikasi dan pendistribusian bantuan juga terjadi pada aras staff di lapangan menjadi bias politik dan ekonomi yang digunakan untuk kedekatan staff dengan
masyarakat terutama elit desa kepala desa, perangkat desa ataupun tokoh desa.
178 Hal ini dibuktikan dengan pembentukan kelompok yang menerima bantuan adalah
kelompok yang dibentuk oleh fasilitator masyarakat dan atau motivator desa. Tentunya sudah ada persekutuan politik dan ekonomi antara kelompok yang
dibentuk secara tiba-tiba dengan motivator desa ataupun fasilitator masyarakat Tn, 40 Tahun, 3 Mei 2012. Akan tetapi tidak secara general, hanya terjadi
dibeberapa desa saja, seperti di Mola Nelayan Bakti dan Mola Selatan. Penyimpangan penggunaan program village grant di Desa Longa dan
Patuno Kecamatan Wangi-Wangi, adalah alokasi dana village grant untuk membangun pagar penduduk ditepi jalan, yang jauh melenceng dari agenda
COREMAP. Program COREMAP juga dipakai secara politik oleh pejabat pemerintah yang mempunyai kepentingan. Hal ini dibuktikan dengan dipecatnya
delapan anggota COREMAP yang tidak mendukung Pilkada, dari Kepala Daerah Wakatobi terpilih. Kegagalan program COREMAP lainnya adalah tidak berbekas
pada bantuan, seperti pengadaan keramba yang tidak berbekas sampai saat ini. Seperti kasus di Desa Nelayan Bakti perkampungan Bajo Mola Idrs, 30 Tahun,
19 April 2012. Program seed fund dan village grant belum mampu menjawab konservasi
terumbu karang di Wakatobi. Agenda besar rehabilitasi konservasi terumbu karang yang dijalankan oleh COREMAP untuk di Wakatobi belum bisa
memberikan jawaban alternatif mata pencaharian masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Bajo. Pembuatan DPL yang menjadi pembatasan akses
masyarakat Bajo masyarakat yang tidak mempunyai akses laut secara komunal dalam memanfaat sumberdaya karang termasuk ikan karang hidup. Sehingga,
nelayan ikan karang hidup masih tetap mencari ikan dasar di karang yang tidak terdapat DPL. Peruntukan DPL dalam prakteknya, jauh dari konsep awal
pembentukan DPL yaitu sebagai zona konservasi dan pariwisata tanpa ada aktifitas yang menggunakan sumberdaya karang termasuk aktifitas penangkapa
ika di DPL. Akan tetapi dalam prakteknya, DPL juga digunakan oleh masyarakat untuk budidaya mariculture seperti budidaya rumput laut. Untuk kedepannya
akan terjadi konflik horizontal sesama masyarakat desa yang memiliki DPL, dalam berkompetisi akses memanfaatkan zona DPL untuk budidaya mariculture.
179 Tujuan dibentuknya DPL untuk pemulihan sumberdaya terumbu karang
recovery, yang dirumuskan sebagai bentuk keseimbangan antara pemulihan serta kelestarian sumberdaya karang dengan pemanfaatan sumberdaya karang. Akan
tetapi untuk saat ini belum terlihat hasil yang menyentuh sesuai dengan agenda keseimbangan pemulihan terumbu karang dan pemanfaatan. Permasalahan
mengenai DPL, dalam tahap konsep sangat bagus. Akan tetapi kenyataan dilapangan bahwa DPL belum atau tidak berfungsi secara efektif. Untuk sebagian
masyarakat di Kaledupa Selatan, DPL digunakan untuk budidaya rumput laut, juga di Desa Liya Bahari, Wangi-Wangi Selatan. DPL, merupakan bentuk ekslusi
dan alienasi terhadap pengguna sumberdaya yang berasal dari desa lainnya. Ekslusivitas wilayah DPL hanya diperuntukan untuk anggota masyarakat
desa yang mempunyai wilayah DPL tersebut. Styni, 40 Tahun 8 Juni 2012, menjelaskan bahwa untuk Desa Waha, DPL diperuntukkan untuk wisata yang
dikelola masyarakat Desa Waha. Peruntukan DPL hanya untuk kegiatan warga desanya. Warga desa yang lain diperbolehkan lewat, tetapi tidak boleh menangkap
ikan dan sandar di daerah DPL apalagi menggunakan bom dan potassium. Peruntukan untuk menambang pasir diperbolehkan hanya untuk masyarakat Desa
Waha pasir tersebut hanya untuk kepentingan pribaditidak diperjualbelikan, dan tidak ada aktivitas penambangan batu karang. Nelayan Desa Waha diperbolehkan
bersandar asal dengan batu yang sudah karang yang sudah mati dan tidak diperkenakan dengan jangkar.
DPL digunakan untuk budidaya rumput laut oleh masyarakat desa yang memiliki DPL. Dari 54 DPL yang terbentuk, salah satunya untuk Wangi-Wangi
Selatan yaitu Desa Liya Mawi dan Kaledupa Selatan untuk Desa Tanjung dijadikan oleh masyarakat desa sebagai areal budidaya rumput laut. Budidaya
rumput laut digunakan sebagai bentuk usaha masyarakat untuk tidak menggantungkan mata pencahariannya menggunakan sumberdaya karang.
Permasalahan yang terjadi adalah mulai terbentuk klaim atas wilayah DPL yang digunakan untuk budidaya rumput laut. Untuk kasus di Desa Tanjung, hampir
seluruh wilayah laut milik Desa Tanjung digunakan sebagai budidaya rumput laut. Menurut penuturan petani budidaya rumput laut 10 Juni 2012, mengatakan
bahwa kepemilikan budidaya rumput laut rata-rata pemiliknya mempunyai 1-3 ha.
180 Dalam satu ha terdapat budidaya rumput laut sepanjang 100 meter dengan
kedalaman 7 depa dikonversi ke meter, 10,5 meter. 1 ha mempunyai luas 100m2x100m2, yang bisa menampung 25 tali rumput laut berjejer jarak antar
tali 4 meter berbaris dengan panjang tali sampai 90 meter. Hal ini nantinya akan menjadi persoalan berkaitan dengan permasalahan
konservasi Taman Nasional. Ketidakmerataan distribusi kesempatan untuk menggunakan wilayah laut desa termasuk DPL menjadi masalah tersendiri untuk
masyarakat yang tidak mempunyai daerah laut, seperti Bajo Mola. Selain kecemburuan sosial, yang menjadi kekhawatiran konflik kedepan adalah sifat
eksklusivitas dari DPL itu sendiri. Dalam mekanisme DPL terdapat aturan mekanisme yang berhak untuk memanfaatkan DPL dan juga sanksi terhadap
pelanggaran DPL. Aturan tersebut diakomodir oleh perdes. Untuk setiap desa mempunyai aturan desa berkaitan dengan DPL yang berbeda. Sebagai contoh
untuk di Desa Tanjung, apabila ada perahubodi dan memutuskan tali budidaya rumput laut maka dikenai sanksi pertali membayar Rp. 500.000,-. Kemudian ada
kecenderungan dari masyarakat pemudidaya, apabila terdapat gangguan pada budidaya rumput laut, seperti berwarna kuning, masyarakat Desa Tanjung,
menuduh orang Bajo yang menyebabkan rumput laut kuning, karena menggunakan potassium untuk menangkap ikan.
Kajian DPL yang merupakan zonasi dalam zonasi Taman Nasional, menjadi perbincangan tersendiri. Di dalam DPL tersebut terdapat overlapping
kebijakan antara kebijakan DKP dan kebijakan TNW. DPL selain digunakan sebagai daerah konservasi juga digunakan sebagai daerah pariwisata. Hal ini
tentunya, apabila diatur dan disinergitaskan dengan aturan Taman Nasional tidak akan terjadi permasalahan. Akan tetapi saat ini di lapangan kordinasi antara
program DPL dengan zonasi taman nasional belum bisa menjawab persoalan tekanan terhadap kawasan terumbu karang. Di lapangan masih terdapat praktek-
praktek perikanan yang dilakukan masyarakat dalam zonasi yang tidak diperbolehkan penangkapan ikan, terutama masyarakat Bajo yang tidak
mempunyai wilayah DPL. Pelaksanaan program COREMAP pada aras kabupaten dijadikan sebagai
program politik bantuan, yang di alokasikan dananya untuk tindakan korupsi bagi
181 pejabatnya. Hal ini dikaitkan bahwa COREMAP adalah kegiatan yang sarat
dengan bantuan dana taktis. Sehingga digunakan oleh pejabat yang berkuasa demi kepentingan dirinya. Fenomena rent seeking sebagai tindakan korupsi pejabat
dalam struktur organisasi COREMAP menimbulkan efek kecemburuan antara masyarakat dengan COREMAP. Ketidakpercayaan masyarakat terbukti dari
bantuan yang diberikan COREMAP tidak menawab permasalahan konservasi terumbu karang.
Penambahan desa baru dalam program RPTK, dibuat agar terjadi kebocoran dana. Pembuatan RPTK yang melahirkan LPSTK mempunyai
anggaran besar termasuk anggaran village grant, yang mana hal ini dilakukan agar terjadi kebocoran dana. Ini dilakukan oleh ketua PMU Kadis DKP
Wakatobi. Pada Tahun 2010, terjadi pemotongan gaji yang dilakukan oleh ketua PMU bersama SETO terhadap gaji Fasilitator Masyarakat FM dan Motivator
Desa MD, hal ini berkaitan dengan kunjungan Menteri KKP pada waktu itu dan artis Manohara. Tindakan ini merupakan bentuk dari pengambilan keputusan oleh
ketua PMU dimana difasilitasi oleh SETO Rk, 32 Tahun, 16 Mei 2012. COREMAP salah satu permasalahan bagaimana penyaluran dana yang
dikelola keuangannya oleh DKP. Program salah target dan sasaran sering disuarakan oleh nelayan sebagai kekecawaan mereka terhadap kinerja DKP. DKP
Kabupaten Wakatobi dinilai tidak melihat dilapangan ketika akan menggelontorkan bantuan. Staff DKP dan pejabatnya lebih dinilai kepada
kepentingan politis mereka. Hal ini ditunjukkan dilapangan, apabila ada bantuan dari DKP Kabupaten, baik berkaitan dengan pengadaan infrastruktur maupun
bantuan program konservasi, yang mendapatkan adalah orang yang dekat dengan pemerintah saja, seperti kepala desa maupun keluarganya. Nelayan KTP nelayan
bukan asli, sebutan untuk masyarakat Bajo Mola yang menganggap sebagai nelayan gadungan dan berani tampil di publik ketika ada permasalah pemberian
bantuan dari pemerintah selalu mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan bantuan karena difasilitasi oleh orang-orang pemerintahan. Tentunya hal ini
menjadi kecemburuan bagi masyarakat Bajo. Dd, 30 Tahun 17 April 2012, menjelaskan tentang tugasnya bahwa di
Wakatobi sebagai penyuluh untuk perikanan budidaya. BP SDMKP Balai
182 penyuluhan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan adalah program dari
KKP Pusat yang diperbantukan kepada DKP untuk membentuk kelompok nelayan penerima dana hibah untuk nelayan dari pemerintah, dulu bernama PNPM
perikanan. Dd 30 Tahun, menjelaskan perihal bantuan, bahwa pembentukan kelompok merupakan rekayasa dari DKP. Ketika menanyakan tentang kenapa
kelompok nelayan ini mendapatkan bantuan. Apakah sudah tepat sasaran dan tepat guna. Pertanyaan ini diajukan ke kadis DKP, ternyata jawabannya adalah ya
begitulah adanya. Dedi mengeluh kelompok nelayan dan bantuan sangat kuat interfensi dari Bupati dan Kadis DKP. Mereka yang diberi bantuan adalah orang-
orang yang dekat dengan penguasa. Hal ini senada diucapkan oleh Id, alokasi bantuan perikanan yang terjadi komunitas nelayan Mola. Bantuan yang diberikan
untuk BP SDM KP Balai Penyuluhan Sumberdaya Manusia, Kelautan dan Perikanan itu sebesar 100 juta pada awal-awalnya Tahun 2010, kemudian pada
akhir Tahun 2011 Bulan Oktober per kelompok menerima bantuan sebesar Rp. 65 juta untuk budidaya rumput laut. Keterlambatan dana dari DKP membuat
budidaya untuk rumput laut yang merupakan bantuan dari BP SDMKP dari KKP Pusat yang dialokasikan ke DKP Kabupaten menjadi budidaya rumput laut tidak
berhasil. Penilian Dd 30 Tahun, sebagai staff BP SDMKP terhadap DKP
berkaitan dengan anggaran dana bantuan sangat tertutup. Bantuan yang turun tidak pernah di evaluasi dan di kontrol setelah pemberian bantuan. Tenaga
pendampingan dari DKP juga tidak pernah turun kelapangan. Apalagi di pulau tomia, sekitar ada beberapa kelompok yaitu 5 kelompok di Desa Tongano dan
Desa Lamanggau. Bantuan keramba di Desa Tongano sekarang sudah hilang tidak berbekas, demikian juga dengan bantuan rumput laut pun tidak berhasil. Untuk
idealnya rumput laut di tanam bulan ke-5 sampai bulan ke-9, akan tetapi bantuan turun bulan setelah bulan ke-9. Sedangkan penanaman rumput laut setelah bulan
ke-9, sangat rentan dengan kondisi cuaca dan penyakit. Masalah bantuan dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah provinsi yang diberikan guna mendukung sector perikanan, menjadi hal yang tertutup. Ketidaktransparan tentang kontribusi bantuan yang disebabkan
oleh keputusan Kadis DKP, menjadikan kecemburuan dan kekecawaan nelayan.