Hipotesis Pengarah Konsep Penting Penelitian

62 Gambar peta 4.2. Peta Kepulauan Wakatobi Sumber; tourist agency, Kabupaten Wakatobi dalam presentasi Bupati, 2012 Pada pertengahan 2009, jumlah penduduk Wakatobi adalah berjumlah 103.423 jiwaorang dari yang sebelumnya di tahun 2008 berjumlah 101.475 jiwaorang. Peningkatan yang cukup besar ini salah satunya dipengaruhi oleh perubahan status Wakatobi menjadi kabupaten tersendiri yang lepas dari Kabupaten Buton. Setelah terbentuknya kabupaten baru tentunya akan membawa konsekuensi dibutuhkannya tenaga-tenaga terampil terdidik untuk mengisi pos- pos pemerintahan yang jumlahnya lebih banyak daripada saat masih berstatus kecamatan di bawah Kabupaten Buton. Sedangkan penyebaran penduduk di Kabupaten Wakatobi tersebar dan bervariasi antar kecamatan. Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2010 Kecamatan Penduduk Rata-rata Pertumbuhan 2000 2010 Binongko 8.839 8.385 0,53 Togo Binongko 5.057 4.701 0,73 Tomia 6.593 6.907 0,47 Tomia Timur 10.399 8.460 2,04 Kaledupa 8.853 9.999 1,22 Kaledupa Selatan 6.552 6.644 0,14 Wangi-Wangi 19.021 23.362 2,08 Wangi-Wangi Selatan 24.658 24.537 0,05 Jumlah 89.972 92.995 0,33 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2000-2010 ; Wakatobi Dalam Angka, 2011. Tabel 4.2. Persebaran Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan 2000 dan 2010 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2000, 2010, Wakatobi Dalam Angka 2011. Kecamatan Tahun 2000 Tahun 2010 Penduduk Persebaran Penduduk Persebaran Binongko 8.839 9,82 8.385 9,02 Togo Binongko 5.057 5,62 4.701 5,06 Tomia 6.593 7,33 6.907 7,43 Tomia Timur 10.399 11,56 8.460 9,10 Kaledupa 8.853 9,84 9.999 10,75 Kaledupa Selatan 6.552 7,28 6.644 7,14 Wangi-Wangi 19.021 21,14 23.362 25,12 Wangi-Wangi Selatan 24.658 27,41 24.537 26,39 Jumlah 89.972 100,00 92.995 100,00 63 Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Wakatobi Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara tepatnya di komunitas nelayan Bajo Mola di Pulau Wangi-Wangi dan komunitas nelayan Bajo Lamanggau serta komunitas Nelayan Anto Pulo di Kelurahan Tongano Barat Pulau Tomia. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme seafood savers terjadi dalam tingkat komunitas nelayan dan tingkat eksportir yang beroperasi di Taman Nasional Wakatobi. Pemilihan tempat penelitian di Kepulauan Wakatobi melihat beberapa kriteria yaitu: 1. Taman Nasioal Wakatobi sebagai percontohan seafood savers yang diinisiasikan oleh WWF Indonesia, Capture Fisheries; 2. Kondisi perikanan dan tutupan terumbu karang di perairan TNW masih bagus berdasarkan survey dari LIPI Tahun 1996, sehingga ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi; 3. Karena ada pegaturan kawasan konservasi, sehingga praktek perikanan tangkap yang merusak dapat ditekan serendah mungkin; 4. Memiliki kelembagaan pengaturan kawasan konservasi oleh Taman Nasional Wakatobi. Menurut Wakatobi Dalam Angka 2011, jumlah penduduk yang mendiami komunitas Bajo Mola terdiri dari lima desa, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dan Desa Lamanggau Kecamatan Tomia, serta Desa Tongano Barat Kecamatan Tomia Timur, adalah sebagai berikut: Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Bajo Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Desa Laki-Laki Perempuan Total Mola Bahari 541 547 1088 Mola Nelayan Bakti 708 802 1510 Mola Samaturu 407 451 858 Mola Selatan 965 973 1938 Mola Utara 384 410 794 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2010. Wakatobi Dalam Angka 2011. Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Desa Tongano Barat dan Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan Tomia Timur Desa Laki-Laki Perempuan Total Tongano Barat 781 878 1659 Lamanggau 469 470 939 Sumber : Olahan Sensus Penduduk 2010 , Wakatobi Dalam Angka 2011.

4.4. Gambaran Umum Komunitas Bajo Mola

Desa Mola merupakan wilayah perkampungan Bajo terbesar di Wakatobi yang berada di Pulau Wangi-Wangi. Pada awal perkembangan Bajo Mola, merupakan perpindahan dari Bajo Mantigola dari Pulau Kaledupa. Bajo Mola 64 menempati wilayah kekuasaan Sara Adati Mandati. Kekuasaan Sara Mandati terdapat dua pengaturan di dalamnya, yaitu secara Adati dan Hokumi. Adati adalah kekuasaan Sara yang diatur oleh pemimpin adat, pemimpin adat disini adalah kepala desakepala kampung. Sara Adati biasanya mengatur hal-ihwal mengenai hubungan kemasyarakatan, seperti pemberian lahan untuk komunitas Bajo dalam menempati tanah adat Mandati. Sedangkan Sara Hokumi adalah Sara yang kepemimpinannya diatur oleh Imam Desa. Imam Desa ini adalah tokoh agama yang diyakini masyarakat mempunyai kemampuan secara agama sehingga mempunyai peran dalam urusan hubungan individu dengan individu lainnya muamalah Hannan, 5 Mei 2012. Perkembangan komunitas Bajo Mola, dari perkampungan menjadi desa dijelaskan dalam tabel dibawah ini sebagai berikut: Tabel 4.5. Periodisasi perkembangan masyarakat Bajo Mola. Periode Peristiwa perkembangan kemasyarakatan Bajo Mola Sumber data 1957 Perpindahan suku Bajo datang dari Bajo Mantigola Kaledupa dan menetap di Sara Mandati, dan menjadi perkampungan Bajo Mola Wawancara, nelayan Bajo Mola, Kades Mola Selatan, Kades Mola Samaturu dan Pemangku Adat Bajo Mola Selatan; 2012 1974 Perkampungan Bajo Mola menjadi Desa Mola Raya Wawancara tokoh masyarakat desa Mola Utara, wawancara nelayan Bajo Mola; 2012 1977 Pemerkaran Desa Mola Raya menjadi Desa Mola Utara dan Desa Mola Selatan Wawancara tokoh masyarakat; Kades Mola Selatan dan nelayan Bajo Mola; 2012 2010 Sesuai dengan perkembangan otonomi daerah, Wilayah Wakatobi memekarkan diri menjadi Kabupaten pada Tahun 2003 dan terjadi populasi penduduk Mola sampai 11.000 jiwa, terjadi pemekaran menjadi 5 desa. Dengan pembagian, Desa Mola Utara, menajdi 2 desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Bahari, sedangkan Desa Mola Selatan menjadi tiga desa, yaitu Desa Nelayan Bhakti, Desa Mola Selatan dan Desa Mola Samaturu. Wawancara tokoh masyarakat Mola Selatan, wawancara mantan Kades Mola Utara, wawancara nelayan Bajo Mola; 2012 Sumber data: data primer hasil wawancara, April-Juni 2012. Pemukiman Mola merupakan salah satu dari 21 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak desa ini dari Ibukota Kecamatan adalah sekitar 0,5 km. Luas wilayahnya yakni 3,70 km² atau 1,80 dari luas Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Lokasi desa ini terletak di wilayah 65 pantai dan bentuk desanya memanjang menyusuri pantai. Topografi wilayahnya hampir semua sama yaitu merupakan dataran rendah dengan ketinggian hanya 1-2 meter dari permukaan air laut Laporan CRE Coremap, 2010. Seluruh lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal mulanya merupakan teluk laut dangkal dengan aliran arus yang tidak deras. Karena kebutuhan akan pemukiman sebagai akibat dari pertambahan jumlah penduduk, kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk pemukiman. Bentuk pemukiman dengan pemisahan parit di belakang dan depan rumah penduduk untuk memudahkan akses masyarakat dalam menggunakan perahunya hanya bisa dilewati sampankoli-koli perahu kecil tanpa mesin, hanya dijalankan dengan dayung dan ada yang berukuran cukup besar bisa dilalui bodi, perahu bermesin diesel Djiandong. Sedangkan jalur daratnya berupa jalan kecil yang cukup bisa dilalui kendaraan roda dua. Kondisi perkampungannya tampak gersang dan padat dengan rumah penduduk yang rapat. Perkampungan Bajo Mola tidak mempunyai tanaman baik di daerah pantainya maupun di dalam perkampungannya. Apabila ada angin kencang atau badai yang datang, pemukiman ini tidak memiliki pelindung dan potensial untuk merusak perumahan penduduk. Faktor utama yang menjadi hambatan di desa ini adalah sangat terbatas sarana air bersih, tidak adanya MCK, dan sarana kebersihan lainnya. Filosofi hidup Suku Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Suku Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang memiliki potensi perikanan berlimpah. Menurut penuturan salah satu pemangku tokoh adat Bajo Mola Udn Knsng, 1 Juni 2012, perpindahan orang Bajo dari daratan besar Buton terjadi ketika masa kesultanan Buton, sekitar Tahun 1930-an. Pada Awalnya, pasukan Bajo, sebagai pasukan kelas empat yang ditugaskan oleh Sultan Buton untuk menjaga kewilayahan Kesultanan Buton dari serangan kerajaan dari utara Kerajaan Ternate dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Prajurit Bajo lama-kelamaan menetap di Pulau Kaledupa untuk daerah Wakatobi, karena Kaledupa merupakan Barata pada saat itu, yang merupakan kerajaan bagian dari Kesultanan Buton. Menurut penuturan orang-orang Kaledupa, karena di Kaledupa hidup pemimpin yang merupakan adik kandung