249
9. POLITIK SEAFOOD SAVERS
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat public goals dan bukan tujuan yang bersifat pribadi private goals. Politik lebih
memfokuskan kepada kegiatan pada suatu sistem politik yang menyangkut proses yang menentukan dalam melaksanakan tujuan itu sendiri. Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum public policies yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang tersedia
Budihardjo, 1989:8. Damsar 2010: 11-12, menambahkan bahwa pengertian politik dapat dipahami sebagai kekuasaan, kehidupan publik, pemerintahannegara,
konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian atau alokasi.
Easton, 1953 dalam bukunya The Political System dalam Martin, 1990: 5-10 menjelaskan bahwa sistem politik adalah sistem yang dapat memelihara dan
mengubah tatanan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritatif
sebagaimana nilai tersebut mempengaruhi distribusi sebagai penggunaan kekuasaan. Sifat otoritatif diartikan sebagai hal umum yang dianggap sah, sedangkan nilai-nilai
otoritatif diartikan sebagai sumberdaya yang langka dan kekuasaan sendiri diartikan sebagai kekuatan yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kekuasaan dapat berupa
dukungan dari komunitas sebagai suatu rangkain dukungan kesulurahan, dukungan regime, dan dukungan otoritas politik itu sendiri yang berarti tujuan politis tertentu.
Sehingga konsep politik menurut Easton berarti mekanisme “pengalokasian nilai-nilai otoritatif” seperti mempengaruhi distribusi dan kekuasaan yang dialokasikan kepada
masyarakat. Ada banyak pandangan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik
Caporaso and Levine, 1992. Politik dapat diartikan sebagai “siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” Lasswell, 1996; “pertarungan untuk
mendapatkan kekuasaan” Morgenthau, 1948; “seni dan ilmu dari pemerintahan atau “sosialisasi konflik” Schattschneider, 1960, “pola-pola kekuasaan, aturan dan
250 kewenangan” Easton, 1981; “konflik murni, yaitu pertentangan antar grup atau
kutub Schmitt, 1976 dan “ penyelerasan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan melalui kebijakan publik Crick, 1964. Kekuasaan, kewenangan,
kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik semuanya terkait dalam pemahaman politik dalam Caporaso and Levine, 1992.
Menurut Damsar, 2010: 66, menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi dua macam, yaitu kekuasaan yang bersifat paksaan coercive dan kekuasaan
sahotoritas. Terminologi kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan untuk menguasai dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk
mengatasi perlawanan dari orang lain untuk mencapai tujuan, khususnya untuk mempengaruhi orang lain. Paksaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain dengan cara tidak memiliki legitimasi sah, sedangkan otoritas adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sebagai suatu bentuk yang terlegitimasi.
Penggunaan kekuasaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara kerjasama, persaingan dan konflik.
Dalam politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang dijalankan oleh pilar negara, pilar masyarakat dan
pilar pasar. Ketiga pilar tersebut mempunyai kekuasaan dan cara yang berbeda dalam memanfaatkan dan menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk di
dalamnya sumberdaya perikanan. Melalui beberapa regime pengelolaan sumberdaya, politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi dijelaskan sebagai berikut:
9.1. Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State dan
Private Property Right Tata Kelola Berbasis AreaLuasan
Menurut Adhuri 2005, kritik pengelolaan sumberdaya tersebut sering ditemui ketidakharmonisan antara masyarakat dengan aparat pengelola dari pusat,
yang disebabkan karena terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia dan finansial dalam pelaksanaan monitoring, surveillance dan controlling MSC, kebijakan-
kebijakan yang dihasilkan, subordinasi kepentingan ekonomi jangka pendek dengan kepentingan ekonomi jangka panjang konservasi, serta terjadinya resistensi dari
251 masyarakat tentang aturan pengelolaan yang bersifat top-down. Sehingga diperlukan
sebuah transformasi kekuasaan dengan sebuah istilah devolution. Devolution of major resources management and allocation to the local level may be more effective
than management effort which distant and understaffed government agencies can provide Bailey and Zernerm, 1992; dalam Adhuri, 2005.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam dibutuhkan kesadaran pemerintah pusat untuk membagikan atau menumpahkan tanggung jawab dan kekuasaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkan wilayahnya. Hal ini dharapkan agar pemanfaatan sumberdaya alam
lebih efektif dan berlanjut. Carney and Farrington 1998, menyebutkan beberapa pembaharuan tipe type of reform pengelolaan sumberdaya alam, yaitu privatisasi,
desentralisasi dan deregulasi. Ketiga tipe pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam, yang dianggap ideal dan mementingkan rakyat adalah desentralisasi. Carney
dan Farrington 1998, menyebutkan bahwa desentralisasi adalah pergeseran kekuasaan dari pusat ditumpahkan atau dikuasakan ke daerah. Pergeseran kekuasaan
di dalam desentralisasi, terdapat dua tipe, yaitu devolusi dan dekonsentrasi. Devolusi adalah desentralisasi yang di dalamnya terdapat transformasi kekuasaan berupa
pembetukan dan revitalisasi kebijakan berdasar kepentingan daerah. Jadi hukum dan kebijakan serta legislatif dibentuk sesuai dengan porsi dan kepentingan daerah.
Sedangkan dekonsentrasi adalah pergeseran atau transformasi kekuasaan bersifat operasional kekuasaan dari kementrian pusat kepada sub unit daerah. Dekonsentrasi
sering disebut sebagai redefinisi dari pergeseran skup dari kementrian pusat terbagi
menjadi sub unit, dan tidak terjadi perubahan atau pergesaran kekuasaan apapun.
Bromley, 1991 dalam Hanna, et.al, 1995: 17, menjelasakan bahwa terdapat dua komponen dalam hak kepemilikan sumberdaya regime property right, yaitu: 1.
property rights itu sendiri, melekat sifat hak kepemilikan dan kewajibannya dalam memanfaatkan potensi sumberdaya di dalamnya, dan 2. property rule, seperti aturan-
aturan yang mengikat hak dan kewajiban dari yang memiliki sumberdaya. Hanna, et.al., 1995: 18 menjelaskan beberapa tipe regime pengelolaan sumberdaya alam
berdasarakan atas spectrum kepemilikannya Mc Cay and Acheson 1987; Berkes,
252 1989; Bromley, 1989 and Ostrom, 1990, menyebutkan tipe regime kepemilikan
sumberdaya alam, diantaranya adalah: • Private property res privatae,kepemilikan atas sumberdaya yang dimiliki
secara individual, kepemilikan individu mempunyai hak dalam kontrol dan akses dalam pemanfaatan sumberdaya secara sosial dan ekonomi Black,
1968; • Common property res communes, kepemilikan sumberdaya yang dimiliki
oleh kelompok atau komunitas, mempunyai sifat melarang masuk terhadap bukan pemilik.
• State property res publicae, kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kepentingan unit politik, pemerintahnegara dimana kewenangannya terdapat
pada agen publik. • Open access res nullius, sumberdaya yang tidak bertuan, tidak ada yang
memiliki dan property yang bersifat open to all. Dinamika dari open access merupakan kajian utama dari “Tragedy of the Common”.
Pengelolaan sumberdaya alam menjadi kawasan konservasi laut di Perairan Wakatobi, di kuasai dengan sistem komando dari pusat, walaupun terdapat sistem
komunal dan devolusi kekuasaan pemerintah yang dimiliki oleh pemerintah daerah serta sistem pasar. Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di
Kawasan Taman Nasional Wakatobi, menjadi menarik, ketika Wakatobi ditunjuk, seluruh daerah Kabupaten Wakatobi menjadi luasan konservasi Taman Nasional.
Melihat potensi sumberdaya dan human capital Wakatobi, tak lain kecuali mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Eksistensi nelayan Bajo, dikenal sebagai suku
laut yang tidak mempunyai akses atas sumberdaya lahan, menjadi permasalahan tersendiri ketika terdapat zonasi baik yang datang dari sistem zonasi Taman Nasional
dan sistem zonasi Daerah Perlindungan Laut Marine Sanctuary, sebagai pengelolaan tata ruang dari COREMAP Phase II yang didukung oleh DKP
Kabupaten. Transisi kepemilikan sumberdaya perairan di Wakatobi, mengalami
tranformasi sejak Tahun 1996, dengan ditunjuknya perairan Wakatobi menjadi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.
393KPTS-VI1996, kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 19 Agustus Tahun 2002 yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi dan
namanya menjadi Taman Nasional Wakatobi. Desember Tahun 2003 Wakatobi