Regime Pasar dan Tantangannya

194 dunia. Di Indonesia diinisiasikan oleh WWF Indonesia Fisheries Chapture dalam upaya pengamanan produk-produk perikanan laut yang ramah lingkungan demi terwujudnya keberlanjutan perikanan. Sebagai launch product of Seafood Savers diinisiasikan mulai Tahun 2008 dan di implementasikan pada Tahun 2011. Untuk perikanan ikan konsumsi karang hidup di implementasikan dengan melihat kawasan TN Wakatobi sebagai pilot project adanya upaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap ekologi yaitu Seafood Savers. Seafood Savers merupakan praktek kelola sumberdaya perikanan yang melibatkan kerjasama antar korporasi yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia pada Bulan Oktober Tahun 2009. Tujuan Seafood Savers tidak lain adalah untuk menguatkan dukungan dari sektor industri terhadap praktek perbaikan pengelolaan perikanan laut di Indonesia. Perusahaan perikanan merupakan sektor industri perikanan yang mempunyai kepentingan dan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus kerusakan lingkungan serta kelangsungan sumber daya alam. Inisiasi dari WWF Indonesia, hadir pada Tahun 2009 dengan launch seafood savers, sebagai bentuk upaya konservasi spesies, yang sudah mengkhawatirkan WWF Indonesia, 2011. Untuk komoditas perikanan karang dilakukan di Taman Nasional Wakatobi, dipilih sebagai pilot project untuk program Seafood Savers dengan berbagai pertimbangan. Dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi, terdapat potensi sumberdaya perikanan yang melimpah, termasuk kondisi stok perikanan karang hidup yang masih bagus. Akan tetapi di dalam kawasan juga masih terdapat praktek-praktek penangkapan ikan yang masih bersifat merusak, yaitu dengan menggunakan bom dan bius. Dengan adanya program Seafood Savers, diharapkan mampu untuk mewujudkan keberlanjutan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi. 195

8. INISIASI SEAFOOD SAVERS

8.1. Program Seafood Savers di Wakatobi

Isu lingkungan seperti degradasi ekosistem perikanan, ekploitasi berlebih dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan mempengaruhi perdagangan perikanan dunia sehingga mendorong konsumen untuk benar-benar memperhatikan produk yang beredar di pasar eco-sensitive Deere, 1999-IUCN- FAO. Hal ini tentunya bagi konsumen tidak mudah diterapkan untuk bisa mengerti dan memahami dunia perikanan yang penuh dengan dinamika aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti menggunakan cyanide, bahan peledak dan kegiatan penangkapan yang merusak ekosistem lainnya, sebagai bentuk keprihatinan atas kegiatan IUU Fishing. Menurut data review of the State of World Fisheries and Aquaculture report, FAO 2004; dalam Baird, 2006: 6, sekitar 76 stok perikanan dunia telah tereksploitasi berlebih, bahkan sekitar 3 ada stok yang sudah sangat terancam. Ketika stok terjadi dalam keadaan kritis, maka dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang tak terbaharukan Fauzi, 2004: 8. Dalam keadaan demikian ini, dibutuhkan tindakan untuk melakukan keberlanjutan produk perikanan khususnya perikanan tangkap yang mana menjadi isu sentral tentang keberlanjutan perikanan dunia, dan juga di Indonesia. Salah satu upaya tersebut adalah adanya upaya standarisasi produk dan sertifikasi ecolabel perikanan fish-ecolabeling yang diharapkan mampu menjadi sebuah jawaban atas degradasi kondisi perikanan dunia. Dasawarsa terakhir mulai bermunculan organisasi peduli perikanan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan di Eropa telah aktif membuat program sertifikat produk perikanan ramah lingkungan dengan tujuan melindungi sumber daya laut dan lingkungan laut. Kasus di Jepang, organisasi perikanan telah mempersyaratkan sertifikat ekolabel Marine Stewardship Council untuk komoditas tuna, dan beberapa perusahaan ikan di Amerika Serikat seperti International Seafood Sustainabillity Foundataion ISSF untuk komoditas tuna dan Eropa telah mempersyaratkan sertifikat lacak balak atau Chain of Custody CoC untuk usaha pengolahan dan distribusi produk ikan yang green label Seafood Summit; SeaWeb, 6-8 September 2012. 196 Wacana global mengenai keberlanjutan perikanan berangkat dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi KTT Pembangunan Berkelanjutan, Johannesburg, Afrika Selatan pada Tahun 2002. KTT Johannesburg merupakan lanjutan dari KTT Bumi yang diadakan pertama kali di Stockholm, Swedia Tahun 1972 dan KTT Bumi kedua, di Rio de Janeiro, Tahun 1992. Ketiga KTT tersebut membahas mengenai langkah kedepan tentang masalah pembangunan dan lingkungan. Hasil kesepakatan KTT Johannesburg Tahun 2002, yang membahas tentang Program Pembangunan Kelautan dan Pesisir, diantaranya adalah poin mengenai pelaksanaan kode etik penangkapan ikan yang bertanggung jawab the 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries dengan panduan teknis penangkapan dari badan pangan dunia FAO, dan melaksanakan rencana aksi nasional dalam kawasan regional berkaitan dengan pencegahan, penghentian dan penghapusan penangkapan ikan secara illegal, Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Supriadi, 2006: 100. Sebagai ujud dari wacana global tentang degradasi perikanan dunia, WWF Indonesia menginisiasikan adanya Seafood Savers yang diperuntukan bagi perusahaan yang bergerak di perikanan karang dengan mematuhi beberapa skema “member”Seafood Savers. Tercatat beberapa poin penting dalam program Seafood Savers adalah bahwa hal ini merupakan ikatan kerjasama Business to Business pada jaringan bisnis komoditas. Seafood Savers merupakan konvensi atau persetujuan antara produser, retail, dan lembaga keuangan yang terikat dalam jaringan bisnis komoditas perikanan laut. Tujuan Seafood Savers untuk menciptakan kerjasama kemitraankolaborasi perusahaan dengan nelayan dalam melakukan praktek perikanan yang sustainable, dengan tujuan adalah sebagai berikut: 1. Memberikan advokasipendampingan terhadap perusahaan untuk mendapatkan sertifikasi eco-label MSCASC, 2. Memfasilitasi kelembagaan- kelembagaan yang berkaitan dengan isu sosial dan transfer pertukaran informasi social learning dalam rangka praktek perikanan berkelanjutan. Adapun tujuan dari Seafood Savers, adalah sebagai berikut: • Memberikan bantuan kepada perusahaan untuk mendaptkan sertifikat MSCASC • Memberikan dukungan kelembagaan untuk mensosialisasikan isu perikanan Sumber: WWF Indonesia, 2011 197 Hal ini dilaksanakan sebagai upaya adanya keprihatinan terhadap kondisi ikan karang di Indonesia, khususnya Indonesia Timur dalam bentuk komoditas ekspor serta mekanisme penangkapan komoditas yang semakin memprihatinkan di wilayah perikanan tangkap Indonesia Timur. Skema delapan langkah perusahaan menjadi “member” dari Seafood Savers, adalah sebagai berikut: Gambar. 8.1. Skema “member” perusahaan terhadap Seafood Savers WWF, Indonesia, 2012. Keterangan: 9 Tahap 1. Pengajuan aplikasi sebagai awal bergabunganya perusahaan sebagai “member” oleh Seafood Savers kepada WWF Indonesia; 9 Tahap 2. Proses seleksi perusahaan yang dilakukan oleh WWF sebagai aturan bisnis global, dengan mempertimbangkan kelaikan perusahaan yang beritikad melaksanakan good practice fishing dan nilai positif dari perusahaan dengan analisis ekonomi, politik, sosial dan kultur; 9 Tahap 3. Langkah di mana identifikasi perusahaan dalam melakukan aktifitas penangkap perikanan dengan usaha mampu menciptakan perikanan berkelanjutan; 9 Tahap 4. Melakukan MoU antara perusahaan rekanan dengan WWF Indonesia sebagai bentuk pemenuhan persyaratan pelaksanaan praktek perikanan berkelanjutan sebagai rekomendasi pelaporan identifikasi; 9 Tahap 5. Pengkondisian di lapangan sebagai bentuk praktek perusahaan sebagai pemenuhan dari MoU; 9 Tahap 6. Tahap Evaluasi dan perencanaan ke depan yang dilakukan oleh WWF Indonesia terhadap perusahaan, apakah sesuai dengan kriteria di dalam MoU atau tidak. Pada fase ini merupakan titik penting terhadap penilaian perusahaan apakah layak untuk menjadi “member” Seafood Savers ataupun tidak; 198 9 Tahap 7. Persetujuan antara perusahaan perikanan yang sudah layak uji untuk melakukan praktek Seafood Savers dengan WWF Indonesia; 9 Tahap 8. Fase di mana perusahaan anggota telah memenuhi syarat sebagai perusahaan yang berhak mendapatkan sertifikat MSC atau ASC sebagai standar pelaksanaan perikanan berkelanjutan. WWF Wakatobi, program fisheries officer mengadakan pelatihan dan sosialisasi praktek-praktek perikanan ramah lingkungan sebagai bentuk pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang baik good practice dan bertanggungjawab. Menurut informasi dari project leader join program TNC- WWF 21 April 2012, menjelaskan bahwa sosialisasi praktek perikanan tangkap yang baik dilakukan secara intensif kepada masyarakat melalui beberapa pelatihan dan sosialiasi Best Management Practice BMP, Seafood Savers yang merupakan bagian dari program Ecosystem Approach Fisheries Management EAFM sebagai langkah menuju Marine Stewardess Council MSC. MSC adalah output Fisheries of Improvement Management¸ untuk sertifikasi ekolabeling perikanan karang konsumsi. Kriteria-kriteria dari BMP adalah Pertama, menggunakan penangkapan dengan peralatan tangkap yang ramah lingkungan. Kedua, BMP mempunyai tahapan dalam produksi perikanan mulai dari proses penangkapan, pasca tangkap, proses packing sampai pada sistem transportasi produk perikanan. Ketiga, BMP memberikan pengertian kepada nelayan mengenai minimum size hasil tangkapan. Inti dari BMP adalah membawa produk perikanan nelayan mengedepankan kualitas daripada kuantitas menjadi pengharapan mempunyai nilai ekonomi yang lebih daripada tidak menggunakan BMP. BMP merupakan rangkaian dari perikanan bertanggung jawab seperti, dimana BMP adalah praktek produksi dengan menggunakan kaidah-kaidah pengutamaan kualitas produk sedangkan Seafood Savers merupakan output dari BMP. Li, 12 April 2012, menjelaskan bahwa BMP merupakan program baru yang sedang dikampanyekan oleh WWF Indonesia, dimana kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi sebagai pilot projectnya untuk Seafood Savers. BMP lahir karena ada keresahan masyarakat dan keprihatinan sumberdaya perikanan yang sudah menunjukkan adanya: 1. Penurunan stok ikan, 2. Menekankan hasil tangkapan pada kualitas produk daripada kuantitas produk, 3. Memperbaiki cara 199 pengelolaan produk ikan, mulai dari penangkapan, sampai distribusi produk perikanan. Perbaikan pengelolaan produk perikanan meliputi: menjaga kualitas produk, kebersihan produk, dan penggunaan perlakuan bahan kimia yang berbahaya bagi manusia ataupun lingkungan. BMP dikampanyekan kepada masyarakat sebagai perikanan lestari berkelanjutan. Seafood Savers adalah program terbarukan pengelolaan ikan konsumsi karang hidup, diinisiasikan sebagai bentuk perikanan tangkap yang bertanggungjawab dengan memperhatikan kaidah penangkapan perikanan ramah lingkungan good practice. Inisiasi Seafood Savers berangkat dari kondisi perikanan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia, ditangkap lebih dari 50 langsung di pasarkan tanpa melihat kesempatan terhadap ikan untuk bereproduksi bertelur. Praktek-praktek penangkapan yang merusak lingkungan masih kerap dilakukan di lapangan, WWF Indonesia, mencatat dengan perkiraan, sekitar 15 per tahun terjadi kerusakan karang di perairan Indonesia, akibat dari adanya penggunaan alat tangkap yang merusak termasuk penggunaan alat perangkap dan bius yang merusak terumbu karang Toward Sustainable LRFF in Indonesia, WWF Indonesia, 2012. Tingginya permintaan pasar di Hong Kong terhadap komoditas ikan konsumsi karang hidup menjadi suatu kajian yang menarik untuk diteliti. Diperkirakan sampai sekarang masih terjadi kurang lebih 32.000 metric ton mt bahkan lebih sampai 60.000 mt per musim untuk permintaan pasar di Hong Kong WWF, annual report, 2012; data primer dan sekunder penelitian 2012. Tekanan permintaan pasar terhadap komoditas ikan konsumsi karang hidup yang mempunyai nilai ekonomi tinggi menyebabkan terjadinya penangkapan yang berlebih tanpa diimbangi oleh praktek-praktek keberlanjutan sumberdaya perikanan dan konservasi kawasan. Isu yang diusung oleh Seafood Savers berkaitan dengan masih maraknya pratek-praktek buruk perikanan tangkap bad practice, berkaitan dengan isu lingkungan dan produksi perikanan, diantaranya: 1. Penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan destructive fishing method; 2. Target penangkapan terhadap pemijahan ikan targeting of spawning aggregations; dan 3. Penangkapan ikan secara berlebih overfishing. Ketiga aktivitas tersebut berkitan dengan IUU Fishing, yang mengancam terhadap 200 keberlanjutan keanekaragaman hayati ekosistem terumbu karang, menurunnya produksi perikanan dan ketahanan pangan komunitas nelayan dan juga menurunnya kesempatan livelihood komunitas nelayan WWF Indonesia, 2012. Kesepahaman terhadap isu-isu keberlanjutan perikanan karang, UD. PMB sebagai salah satu perusahaan terbesar yang bergerak dalam komoditas perikanan karang, menerapkan praktek-praktek perikanan ramah lingkungan, menjadi pioner akan program Seafood Savers yang diinisiasikan oleh WWF Indonesia. Kesepakatan perusahaan UD. PMB dengan WWF Indonesia guna mendampingi dan menilai mekanisme praktek produksi UD. PMB sebagi perusahaan yang menerapkan praktek perikanan tangkap ramah lingkungan dengan memperhatikan kesejahteraan nelayan. Aturan-aturan yang menjadi landasan program Seafood Savers, praktek produksi perikanan ramah lingkungan antara UD. PMB dengan nelayan ikan dasar di Wakatobi tersirat dalam 9 aturan perusahaan UD. PMB, yiatu: 1. Penangkapan ikan dasar menggunakan alat yang ramah lingkungan; 2. Melepaskan ikan berukuran juvenile; 3. Tidak diperbolehkan menangkap induk ikan yang bertelur; 4. Tidak membudidaya ikan yang ditangkap dari alam; 5. Tidak menangkap ikan yang dilindungi oleh aturan pemerintah TNW; 6. Menjaga dan melindungi ekosistem terumbu karang; 7. Mengikuti aturan perusahaan; 8. Mematuhi aturan pemerintah; 9. Sepakat dan setuju dikeluarkan dari keanggotaan, apabila melangar peraturan. Usaha guna mendukung program Seafood Savers, UD. PMB dengan diakomodasi-advokasi oleh WWF Wakatobi, melakukan beberapa kegiatan kemasyarakatan sebagai bentuk pendekatan ke nelayan dalam sosialisasi program perikanan lestari, diantaranya adalah sosialisasi best management practice BMP, dan Seafood Savers SS. Kegiatan kemasyarakatan dan sosialisasi perikanan lestari di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, meliputi: 1. Penyadaran dan penguatan kapasitas untuk nelayan; 2. Harga premium premium price, terhadap hasil produksi yang ramah lingkungan dan mengikuti aturan 201 perusahaan; 3. Implementasi sistem pemantuan dan pengawasan terhadap hasil tangkapan; dan 4. Ber-kolaborasi dengan stakeholder lainnya yang peduli dalam isu perikanan karang dan konservasi terumbu karang. Seafood Savers merupakan label hijau, sehingga label hijau dirumuskan sebagai mekanisme eco-standardization produk perikanan yang fokus dalam kajian supply komoditas konsep pembangunan green label dalam ranah politik konsumen yang terangkai dalam hubungan produksi dan konsumsi Bostrom and Klintman, 2008:3. Eco-standadization dalam prakteknya melibatkan interaksi aktor baik dalam keahlian, pengalaman dan praktek pengetahuan tentang label hijau. Adapun aktor yang terlibat adalah konsumen, pembeli professional, brokeraktor pemasaran, organisasi dan gerakan sosial SMOs, organisasi gerakan lingkungan EMOs, perhimpunan buruh, aktor pengusaha termasuk pekerja di dalamnya. Keterlibatan aktor memberi pengaruh terhadap keberhasilan eco-standardization yang tidak hanya bermodalkan atas pengalaman dan pengetahuan aktor yang terlibat, tetapi lebih jauh kepada nilai, kepentingan, ideologi politik dan misi Bostrom dan Klintman, 2008: 6. Label hijau eco- satndardization terdapat dalam jaringan bussines to bussines B to B dan end consumerisme actor sebagai ujud dari power knowledge of consumer Eden, 2011: 170. Seafood Savers dikampanyekan sebagai “jaringan pasar”. Menurut Li, 12 April 2012, penggunaan istilah “jaringan pasar” disosialisasikan kepada masyarakat agar mudah dipahami. Seafood Savers adalah istilah asing Bahasa Inggris, yang susah dipahami oleh kebanyakan nelayan, dan untuk menghindari adanya salah tafsir sebagai arti “pelarangan”. Filosofi menggunakan istilah “jaringan pasar” untuk Seafood Savers, pada dasarnya membantu produk perikanan nelayan dihubungkan dengan pasar langsung. Tujuan dengan adanya Seafood Savers untuk menghapus rantai jaringan komoditas nelayan-kordinator- eksportir, menjadi nelayan-pasar. Akan tetapi masih belum sepenuhnya berjalan, dalam agenda Seafood Savers, diharuskan nelayan membentuk kelompok, karena mekanisme skema Seafood Savers, adalah harus berbadan hukum, kelompok resmi yang legal secara hukum. 202 Menurut, Li, 12 April 2012, pelaksanaan sosialisasi program Seafood Savers, diluncurkan oleh WWF Indonesia, Tahun 2009, kemudian Tahun 2010 diinisiasikan . satu tahun berikutnya, Tahun 2011 program Seafood Savers, dijalankan di Wakatobi. Tahun 2012, sosialisasi Seafood Savers, masuk dalam pelatihan BMP dan pelatihan perikanan tangkap. Tabel 8.1. Time line pelaksanaan sosialisasi Seafood Savers, ikan konsumsi karang hidup Tahun 2011-2012. Waktu Target sosialisasi Keterangan 3031 Mei 2011 Nelayan ikan dasar Mola Utara Komunitas Bajo Mola kelompok “mitra sunu”, dibawah kordinator. Hj. Nhyt. 10 Agustus 2011 Nelayan ikan dasar Mola Selatan Komunitas Bajo Mola 15 Oktober 2011 Nelayan ikan dasar Mola Samaturu Komunitas Bajo Mola kelompok “panen bola” dibawah kordinator Hj. Hyt. 21 Desember 2011 Nelayan ikan dasar Mola Selatan Komunitas Bajo Mola 23 Oktober 2011 Nelayan ikan dasar Mantigola Komunitas Bajo Mantigola 19 Desember 2011 Nelayan ikan dasar Mantiogola Komunitas Bajo Mantigola 22 Oktober 2011 Nelayan ikan dasar Desa Tirau Desa Tirau dan DesaTongano Barat komunitas nelayan Tomia 18 Desember 2011 Nelayan ikan dasar Desa Tongano Barat Untuk Desa Tongano Barat “anto pulo”, langsung sosialisasi bersama perusahaan eksportir UD. PMB. 2 Mei 2012 Nelayan ikan dasar Lamanggau Komunitas nelayan Bajo Lamanggau dan Lamanggau darat 3 Mei 2012 Nelayan ikan dasar Sama Bahari Komunitas nelayan Bajo Sampela, Kaledupa 26 Mei 2012 Nelayan ikan dasar Mola Nelayan Bakti Komuniats Bajo Mola Sumber data: Li, 24 April 2012, dan pengamatan dilapangan, April-Juni 2012. Kendala fasilitator dalam melakukan kampanye Seafood Savers, adalah hambatan akses pasar yang menjadi output dalam menghubungkan nelayan dengan pasar. Sedangkan pada level produksi, terjadi penekanan target yang dilakukan oleh kordinator middle man kepada nelayanannya An, 15 Juni 2012. Sosialisasi yang dilakukan oleh WWF Wakatobi tentang perikanan tangkap yang baik, disertai dengan kampanye Seafood Savers terhadap nelayan ikan konsumsi karang hidup dan nelayan tuna. Implementasi dari sosialisasi tentang praktek perikanan tangkap ramah lingkungan, selain teknik untuk menangkap ikan dengan cara-cara produktif dan mempedulikan kelanjutan ekosistem ikan, juga diajarkan untuk membuat log book hasil tangkapan. Log book berisi catatan yang berkaitan dengan hasil tangkapan dalam sekali melaut, menangkap di daerah area karang mana, harga jual ikan berapa, berapa awak kapal yang ikut melaut, dan berapa kilo pertangkapanspesies. 203

8.2. Persepsi Nelayan Terhadap Program Seafood Savers

Pengetahuan nelayan terhadap Seafood Savers, masih sangat lemah. Hal ini tentunya karena institusi Seafood Savers masih baru diimplementasikan ke masyarakat yaitu akhir Tahun 2011. Penelitian dilapangan menggunakan lima puluh responden yang tersebar di ketiga komunitas nelayan, yaitu komunitas Bajo Mola, komunitas Lamanggau dan komunitas “Anto pulo” di Kelurahan Tongano Barat. Selain ditujukan kepada nelayan, pemilihan responden juga ditujukan ke kordinator dengan pegawainya di Mola dan penjaga keramba UD. PMB. Responden nelayan dengan menggunakan stratified sampling, diantaranya lima responden yang tidak ikut dalam anggota UD. PMB. bukan nelayan UD. PMB, enam responden nelayan lepas tanpa ikatan panjar kordinator, anggota nelayan UD. PMB, enam belas nelayan di bawah kordinator anggota nelayan di bawah kordinator dengan ikatan panjar, enam responden Lamanggau di bawah kordinator, dan tiga belas responden nelayan “anto pulo” anggota UD. PMB, dibawah kordinator. Satu responden kordinator di Mola dan tiga responden pekerjanya dan satu orang kepala penjaga keramba UD. PMB. Tabel. 8.2. Responden pengetahuan nelayan terhadap aturan UD. PMB, “member” Seafood Savers di Wakatobi. Jumlah Responden Kategori nelayan Keterangan SS Non SS 5 nelayan - 9 Nelayan Bajo Mola Wangi- Wangi Selatan 6 nelayan lepas 9 - Nelayan Bajo Mola 16 nelayan terikat kordinator 9 - Nelayan Bajo Mola 6 nelayan terikat kordinator 9 - Nelayan Bajo Lamanggau Tomia 13 nelayan terikat “Anto pulo” 9 - Nelayan Kelurahan Tongano Barat Tomia Timur 1 kordinator 9 - Bajo Mola 3 responden penjaga keramba 9 - Penjaga keramba UD. PMB. Bali Jumlah 50 responden Sumber: Data interview dengan responden dari berbagai komunitas dan kategori nelayan April- Juni 2012. Data dari responden menyajikan bahwa hanya 71,5 persen dari responden yang mengetahui dan setuju dengan adanya program Seafood Savers sebagai pelabelan produk ikan yang ramah lingkungan dan sebanyak 28,5 persen dalam 204 keadaan ragu-ragu. Kebanyakan responden tidak mengetahui secara dalam tentang Seafood Savers, dikarenakan profesi mereka sebagai nelayan yang jarang di rumah, sehingga sangat jarang mereka mendapatkan informasi yang berkaitan dengan sosialisasi Seafood Savers. Mereka lebih memahami sosialisasi dari WWF Wakatobi mengenai perikanan ramah tangkap, diajari bagaimana proses perlakuan ikan pasca tangkap di lapangan dan seharusnya yang ditangkapan dalam ukuran diatas 600 gram dengan menggunakan alat ramah lingkungan seperti pancing. Dari semua responden, ditemukan data bahwa mereka setuju dengan adanya praktek penangkapan yang ramah lingkungan. Nelayan beranggapan bahwa membius itu merugikan nelayan yang benar-benar memakai pancing. Nelayan “Anto pulo” Desa Tongano Barat, sangat sepakat dengan praktek penangkapan ikan yang tidak merusak karang juga tidak merusak ekosistem laut baik yang dilindungi secara undang-undang konservasi maupun tidak. Di bawah ini terdapat prosentase dari lima puluh responden, pandanganpersepsi dan sikap nelayan terhadap program Seafood Savers yang mengacu pada aturan-aturan UD. PMB adalah sebagai berikut: Tabel. 8.3. Prosentase persepsi dan sikap responden terhadap Seafood Savers No. Prosentase Pandangan terhadap SS Seafood Savers S RR TS 1. 71,5 28,5 SS adalah label perikanan yang ramah lingkungan 2. 98 2 SS terdapat aturan perikanan yang menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, tidak menggunakan bom, bius atau alat tangkap lainnya yang merusak terumbu karang 3. 98 2 SS terdapat dalam proses penangkapan, penanganan pasca tangkap dan transportasi ikan yang ramah lingkungan good practice 4. 98 2 0 Terdapat aturan-aturan kontrak kerja antara perusahaan dan nelayan 5. 2 2 96 Aturan perusahaan terdapat pada aturan batas minimal quota ikan yang boleh ditangkap 6. 2 4 94 Terdapat pada aturan perusahaan tentang minimum size 600 gram yang boleh ditangkap 7. 96 2 2 Bebas dari zat kimia seperti obat-obatan dan anti toksin No. Prosentase Sikap terhadap SS Seafood Savers S RR TS 1. 4 96 Nelayan setuju dengan kebijakan minimum size 600 gram 2. 12 88 Kebijakan minimum size 600 gram menguntungkan nelayan 3. 94 4 2 Kebijakan minimum size 600 gram merugikan nelayan 4. 98 2 0 Kebijakan premium price menguntungkan usaha penangkapan ikan 5. 0 2 98 Kebijakan premium price merugikan usaha penangkapan ikan 6. 32,5 35 32,5 Aturan perusahaan UD. PMB. menguntungkan usaha perikanan nelayan 205 7. 20,5 30,5 49 Aturan Perusahaan UD. PMB. merugikan usaha perikanan nelayan 8. 67 19 14 Kebijakan UD. PMBSS akan berhasil di laksanakan Keterangan: S Setuju; RR Ragu-ragu dan TS Tidak Setuju. Sumber data: Kuisioner 2012; sebagai data numerikal, yang digunakan untuk data primer guna mendukung analisis-deskriptif kualitatif.

8.2.1. Persepsi Nelayan “ Anto Pulo” Tongano Barat, Tomia Timur sebagai

nelayan terikat hutang semu terhadap kordinator. Komunitas nelayan “Anto pulo” mempunyai bentuk ikatan kordinator- nelayan yang terdapat ikatan hutang ekonomi secara semu. Artinya, adalah bahwa di dalam jaringan patronase yang terjadi, bahwa kordinator lebih dominan memberikan bentuk kekuasaannya daripada kekuatan ekonomi. Kordinator dalam komuniatas “Anto pulo” lebih dominan sebagai mediator antara nelayannya dengan pihak perusahaan UD. PMB., serta menjadi backing up nelayan guna memfasilitasi apabila ada keluhan nelayan terhadap perusahaan. Walaupun sesekali memberikan hutang perongkosan kepada nelayannya ataupun membiayai perongkosan kepada nelayannya dalam jumlah yang relatif sedikit, seperti untuk keperluan pancing ataupun tali pancing. Hal ini dikarenakan komunitas “Anto pulo” sudah mempunyai kelembagaan keuangan secara mandiri yang berbentuk koperasi sebagai wadah simpan dan pinjam kepada anggotanya. Menurut nelayan “Anto pulo”, program dari UD. PMB, masih ragu-ragu, karena nelayan masih belum yakin terhadap ikan yang ada di keramba UD. PMB itu adalah ikan yang diperoleh dengan cara menangkap yang ramah lingkungan. Menurut Slkhn, 40 Tahun 24 Juni 2012, “kata label itu berarti harus sudah ada jaminan bahwa ikan tersebut ditangkap dengan menggunakan alat yang ramah lingkungan, tidak menggunakan bius atau alat yang merusak lainnya. Hal ini masih ragu, karena ikan yang masuk di keramba itu ikan nelayan lain juga”. Percampuran ikan yang masuk ke keramba perusahaan, inilah yang menyebabkan nelayan ragu. Seafood Savers, selama ini belum terlihat dampak di lapangan sebagai peredam terhadap aktifitas penggunaan bius dan bom. Nelayan “Anto pulo” masih sering melihat dan menemui orang Bajo Lamanggau menggunakan bius. Aturan UD. PMB., baru mengatur tidak boleh menangkap baby ukuran kecil dan Napoleon. Selain itu, kebijakan perusahaan belum mengatur tentang cara