Persepsi Nelayan Lepas Bajo Mola

221 dengan kaidah-kaidah perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan livelihood masyarakat.

4. Sanksi;

Supremasi sanksi terhadap aturan Seafood Savers belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sejak UD. PMB. menjadi “member” Seafood Savers, WWF Indonesia memberlakukan sanksi terhadap “member” nya, terhadap perusahaan yang dikemudian hari terdapat kesalahan ataupun terbukti melakukan praktek perikanan yang bersifat merusak. Sanksi dari aturan UD. PMB. terhadap nelayan dijalankan senagat tegas oleh pemilik UD. PMB., Upaya dari pemilik UD. PMB dengan komunikasi dengan nelayan secara langsung melalui sms, untuk memantau nelayan dan kepala atau pekerja keramba. Tentunya hasil dari penerapan sanksi di lapangan belum bisa dikatakan apakah efektif atau tidak. Hal ini terjadi, berdasar hasil wawancara dan pengamatan di lapang, setidaknya dipetakan menjadi dua faktor yang mempengaruhi sanksi tidak bisa berjalan, yaitu : 1. Faktor internal, berkaitan dengan rasionalitas nelayan, bahwa melaut harus mendapatkan hasil. Apapun yang ditemui akan di tangkap. Kontrol dari pihak perusahaan sangat lemah. Hal ini dikarenakan adanya persaingan usaha sesama eksportir dan belum terakomodirnya wacana kebijakan Seafood Savers menjadi kebijakan yang didukung oleh pemerintah. Perusahaan UD. PMB belum bisa mengkontrol ikan tersebut milik siapa, dan asalnya darimana. 2. Faktor eksternal, bahwa di Wakatobi terdapat 3 ekportir yang beroperasi, dua diantaranya belum menerapkan prinsip-prinsip perikanan bertanggungjawab, praktek perikanan yang baik good practice. Hal ini menjadi hambatan buat berjalannya sanksi. Nelayan, bisa masuk ke eksportir manapun dan kordinator manapun, berkaitan dengan tinggi rendahnya harga dan ukuran minimum yang diterima.

5. Pemantaun dan Evaluasi

Pemantuan dan Evaluasi mengenai pengelolaan perikanan dipantau secara rutin oleh WWF Indonesia dan WWF Wakatobi, dengan melibatkan peran 222 serta nelayan sebagai kegiatan dari pemantuan dan evaluasi terhadap UD. PMB., disamping melakukan pemeriksaan terhadap keramba UD.PMB. dan pelibatan UD. PMB. dalam sosialisasi perikanan yang bertanggung jawab. Untuk UD. PMB. melakukan kontrol secara rutin terhadap nelayan dan pekerja keramba dengan membuka akses komunikasi dan pengaduan secara langsung dari lapangan. Masalah terjadi adalah pada level pemantauan dan evaluasi UD. PMB terhadap nelayannya dalam aktifitas melaut. Hal ini disebabkan karena wilayah laut yang luas dan dalam hal ini dibutuhkan kesadaran oleh nelayan. Tegaknya aturan Seafood Savers bukan hal yang mudah, karena membutuhkan kesadaran dari nelayan dan perusahaan. Insentif harga premium belum bisa menjawab terbentuknya kesadaran nelayan untuk mematuhi aturan UD. PMB. sehingga tercipta keefektifan program Seafood Savers. Pemantuan dan Evaluasi terhadap praktek-praktek perikanan secara umum membutuhkan partisipatif dari nelayan. Penggunaan konsep kolaboratif sistem pengelolaan yang hanya dilaksanakan oleh agen-agen pemerintah dan LSM tanpa mengikutsertakan partisipatif dari masyarakat, menjadikan masyarakat berpikir, bahwa pengelolaan bukan merupakan tanggung jawab masyarakat. Kelembagaan yang mengakar di masyarakat belum terbentuk. Hal ini karena disebabkan adanya dominasi pemerintah daerah maupun TNW yang mengintrusi dan memegang semua kekuasaan atas sumberdaya perikanan. Penggunaan kelima indikator diatas, dinilai tepat untuk penilaian institusi dalam bidang perikanan. Keenam indikator cocok diterapkan di Indonesia, dengan keadaan masyarakat yang belum mempunyai kelembagaan normatif sosial maupun ekonomi yang mapan Satria, et.al, 2003; dalam penelitiannya tentang awig-awig. Dimensi kognitif merupakan aturan yang termaktub di dalam Seafood Savers tidak dipunyai dalam pengetahuan lokal komunitas nelayan di Wakatobi. Seafood Savers merupakan upaya global, sebagaimana merupakan dampak globalisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dimensi kognitif yang