a Politic of Seafood Savers on Live Reef Food Fish (a Case Study in Wakatobi Regency, Southeast Sulawesi).

(1)

POLITIK SEAFOOD SAVERS

IKAN KONSUMSI KARANG HIDUP

(Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

RINTO ANDHI SUNCOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul “ Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup (Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara)” adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2013

Rinto Andhi Suncoko I353100021


(4)

(5)

ABSTRACT

RINTO ANDHI SUNCOKO. a Politic of Seafood Savers on Live Reef Food Fish (a Case Study in Wakatobi Regency, Southeast Sulawesi). Under direction of

ARIF SATRIA and SATYAWAN SUNITO

Live reef food fish (LRFF) which is a commodity found in Wakatobi has emerged in the era of the 1992’s up to present. The commodities are an expansion phenomenon of a global fishery which is very dynamic. The dynamic trading on the LRFF has affected some problems which relate to an integrated factor linking to social, economy, ecology and policy making factors. These transboundary trading have involved several actors to engage into a global network live reef food fish commodity found from fisherman-middleman(coordinator)-exporters and consumers. The commodities have traded to be based on the assumption of the common property resources due to the open access which is embedded on the LRFF. The practices of the type of trading has effected to the overfishing that has lead to the decline of a fish stock. Moreover, this practice has impacted to the change of the structures of social production, the trading network and market policies. Seafood Savers has a respond to the market failure due to the degradation of the LRFF commodities. Seafood Savers program is a market instrument for LRFF management which is a sustainability orientation. The program of Seafood Savers is an important key to successful implementation of the responsibility fisheries practice on the LRFF in Wakatobi as being in a pilot project supervised by WWF Indonesia. This study used a qualitative approach with constructivism paradigm. This research also was conducted in the interaction with the political ecology and the intuitional analysis to contribute to the study of a sustainability policy on the LRFF. Results of this study indicate that there has been no significant change occurred in the use of the commoditization of live reef fish food. Politics of Seafood Savers have not been able to answer the problem of fishermen on the field. Seafood Savers comes as a power tool market is trying to shed the patron-client ties (Coordinator-fisherman) and tried to lift Seafood Savers policy to accommodate into the form of legal partnership working arrangements between market, state and community.

Keywords: LRFF, Seafood Savers program, interaction actors, politics of Seafood Savers, political ecology, institutions


(6)

(7)

RINGKASAN

RINTO ANDHI SUNCOKO. Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup (Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara). Dibimbing oleh ARIF SATRIA dan SATYAWAN SUNITO

Perjalanan panjang komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, menjadikan komoditas ikan dasar (ikan konsumsi karang hidup) di Wakatobi yang pada awalnya tidak mempunyai nilai ekonomi menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya dampak modernisasi dan globalisasi perikanan dunia yang berkembang dengan gencar pada dekade 1960-an. Globalisasi perikanan karang hidup terjadi ketika fenomena roving bandit sebagai bentuk ekspansi bandit berjalan menguasai sumber daya ikan karang di perairan Asia Tenggara. Kekuatan pasar perikanan karang hidup Hong Kong sampai di wilayah perikanan Indonesia Timur, terjadi di pertengahan dekade 1980-an dan masuk ke Wakatobi Tahun 1992.

Dalam penelitian ini mengkaji apakah Seafood Savers memberikan dampak

perubahan terhadap pola produksi, distribusi dan konsumsi pada pemanfaatan sumberdaya ikan konsumsi karang hidup. Dengan kajian ekologi politik, penelitian ini mampu menjawab, arah dan tujuan serta apa yang harus dilakukan kedepannya berkaitan dengan institusi Seafood Savers. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kontruktivisme.

Interaksi aktor menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup bersifat dinamis. Kedinamikaan komoditas ini, ditandai dengan terbentuknya tiga level jaringan, yaitu jaringan penangkapan (level produksi), jaringan pemasaran (level distribusi), dan jaringan pengaman/prosecution networking (level resiko komoditas yang bersifat riskan). Jaringan pengaman sebagai jaringan resiko memunculkan adanya rent seeking sebagai bentuk akibat nilai ekonomi komoditas yang tinggi. Ketiga jaringan tersebut mempengaruhi adanya gap harga pada masing-masing aktor yang terdapat di berbagai level, yaitu level produksi, distribusi sampai pada tahapan level konsumsi.

Secara general disimpulkan komoditas ikan konsumsi karang hidup menyebabkan terjadinya ikatan patron-klien atau bentuk ikatan baru (kiosisasi) karena disebabkan adanya kebutuhan BBM yang sulit, dan juga tidak terjangkau oleh nelayan. Disamping itu, proses penangkapan ikan dipengaruhi beberapa faktor selain modal melaut (BBM dan segala rupa alat penangkapan), dipengaruhi oleh cuaca, ombak dan kondisi ikan menurut nelayan yang semakin langka (dilihat dari hasil tangkapan nelayan). Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat uncertainties dan unpredictable yang dipengaruhi oleh faktor alam sehingga menuntut sebagian nelayan berada dalam ikatan hutang dari kordinator

(pengepul/middle man) sebagai jaminan ekonomi nelayan baik untuk kebutuhan

sehari-hari dan perongkosan melaut.

Belum maksimalnya pengelolaan terumbu karang, baik yang dilakukan oleh


(8)

Wakatobi, terindikasi masih terjadi praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya laut

dan perikanan yang belum bisa diharapakan dari idealisme kawasan konservasi.

Pengelolaan baik yang menjadi program Taman Nasional dan program DPL dari COREMAP, belum mengatasi permasalahan sumberdaya perikanan di Wakatobi. Temuan hasil di lapangan terindikasi masih terdapat praktek penambangan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan, serta masih terdapat anggapan zonasi belum ditetapkan dan sampai pada tahapan penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan termasuk penggunaan potassium dan bom.

Lahirnya program pengelolaan sumberdaya perikanan karang yang berbasis pasar, program Seafood Savers yang diinisiasi oleh WWF Indonesia pada dasarnya adalah untuk improvisasi produksi perikanan yang merupakan perikanan bertanggungjawab terhadap aspek keberlanjutan perikanan salah satunya sebagai

upaya untuk mengantisipasi kegiatan IUU Fishing yang sudah menjadi kegiatan

dalam perikanan tangkap di wilayah perairan Indonesia. Illegal, Unreported,

Unregulated (IUU) Fishing merupakan kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Perusahaan perikanan UD.PMB., telah secara sukarela (volunteer), melaksanakan praktek perikanan bertanggungjawab dan ramah lingkungan, dengan agenda perikanan berkelanjutan serta memperkuat insentif ekonomi guna menyokong kesejahteraan nelayannya.

Hambatan program Seafood Savers yang merupakan aturan perikanan

bertanggungjawab serta ramah lingkungan yang dijalankan oleh UD.PMB., belum

bisa berjalan sebagaimana idealnya. Aturan-aturan yang terkandung didalam Seafood Savers, perlu dirumuskan terutama permasalahan size ikan yang masuk. Nelayan tidak setuju dengan adanya batas ukuran ikan yang masuk ke perusahaan. Akan tetapi praktek-praktek perikanan ramah lingkungan seperti tidak menggunakan bahan/alat tangkap yang merusak lingkungan yang terdapat dalam aturan perusahaan “memberSeafood Savers¸ nelayan sepakat akan hal tersebut. Kesadaran nelayan terhadap keberlanjutan lingkungan sudah mulai nampak. Sebagai penghargaan kesadaran nelayan akan keberlanjutan perikanan dan melaksanakan praktek-praktek perikanan

yang ramah lingkungan, nelayan mendapatkan insentif ekonomi berupa premium

price dari UD. PMB.

Seafood Savers,merupakan jaringan bisnis to bisnis, yang menekankan pada cara-cara penangkapan ikan di lapangan secara bertanggungjawab. Praktek program Seafood Savers diharapkan mampu menjadi jalan tengah untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan konservasi. Politik Seafood Savers menjadikan alat bisnis baru untuk perusahaan, sehingga terjadi persaingan antara perusahaan yang sudah melakukan praktek penangkapan dengan ramah lingkungan dan masih menggunakan cara-cara yang merusak.

Dalam analisis pembahasan, bahwa politik Seafood Savers, membawa empat konsep kekuasaan, yaitu:

1) Konsep kemitraan, bahwa Seafood Savers dipakai sebagai kerjasama kemitraan antara perusahaan UD. PMB dengan nelayan, iNGO (WWF dan TNC Wakatobi), Taman Nasional Wakatobi, DKP Wakatobi serta masyarakat;


(9)

2) Konsep pergeseran kekuasaan, bahwa Seafood Savers merupakan upaya peluruhan adanya ikatan patronase (kordinator-nelayan) yang didalamnya terhadap ikatan hutang yang asimetris;

3) Konsep persaingan, bahwa Seafood Savers sebagai wahana baru untuk

persaingan antara perusahaan yang sudah melaksanakan good practice fishing anggota Seafood Savers, dan yang belum;

4) Konsep rekomendasi kebijakan, bahwa Seafood Savers diharapkan sebagai

rekomendasi kebijakan yang diangkat sebagai kebijakan pengelolaan perikanan.

Kendala program incentive premium price, belum mampu mengakomodir

kepentingan masyarakat (nelayan) sebagai bentuk kemitraan komunitarian dan

market. Hal ini terlihat bahwa insentif ekonomi dari premium price, belum

mengakomodir kepentingan semua nelayan perusahaan UD. PMB., dikarenakan masih banyak nelayan yang terdapat dalam ikatan hutang kordinator-nelayan.

Kendala program Seafood Savers, adalah minimalnya akses pasar perikanan bertanggungjawab yang terdapat pada komoditas ikan konsumsi karang hidup. Identifikasi di Wakatobi, hanya terdapat satu perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup, yaitu UD. PMB. Sebagai hambatan terbesar dari implementasi program ini adalah pengetahuan konsumen di Hong Kong yang belum menerapkan adanya

hasil ikan dari label Seafood Savers. Pemerintah Hong Kong menerapkan sistem

perdagangan bebas, hal ini yang sulit sebagai tuntutan untuk menjadikan pengetahuan konsumen terhadap produk perikanan karang yang ramah lingkungan dan bertanggungjawab. Sehingga, keterlibatan dan peran serta stakeholder, termasuk peran negara mempunyai andil yang besar akan keberhasilan program Seafood Savers sebagai program perikanan bertanggungjawab guna terciptanya perikanan yang berlanjut (sustainable fisheries).

Kata Kunci: ikan konsumsi karang hidup, program Seafood Savers, interaksi aktor, politik Seafood Savers, ekologi politik, institusi


(10)

(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

POLITIK SEAFOOD SAVERS

IKAN KONSUMSI KARANG HIDUP

(Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

RINTO ANDHI SUNCOKO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(14)

(15)

Judul Tesis : Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup (Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara)

Nama : Rinto Andhi Suncoko

NRP : I353100021

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. Drs. Satyawan Sunito, Ph.D. Ketua Anggota

Diketahui:

Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil di selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2012 ini adalah Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup (Studi Kasus di Kabupaten Wakatobi , Sulawesi Tenggara). Karya ilmiah ini dibuat guna penyelesaian studi Program Magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:

1. Dr. Arif Satria, SP. MSi. dan Drs. Satyawan Sunito, Ph.D. selaku pembimbing tesis yang memberikan arahan dan bimbingan guna menyempurnakan karya ilmiah ini.

2. Dr. Rilus A. Kinseng MA. selaku penguji luar tesis, yang telah memberikan kritik, masukan dan saran untuk menyermpurnakan karya ilmiah ini.

3. Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus A. Kinseng selaku wakil Program Studi Sosiologi Pedesaan, yang selalu memberi motivasi dan mendukung penyelesaian studi ini.

4. Dosen-dosen yang mengajar selama kuliah di Sosiologi Pedesaan.

5. Kedua orang tua ku, Bapak Soekiman, S.H. dan Ibu Sri Purwati S.Pd. yang telah memberikan dukungan baik moral dan material selama menempuh studi dan penelitian, sehingga saya bisa menyelesaikan belajar S2 di IPB. 6. Kedua orang tua angkat, Prof. Bernhard Adeney dan Dr. Farsijana

Adeney-Rissakotta terima kasih atas dorongan dan dukungan selama ini baik moral maupun material serta bimbingan dan diskusi sehingga saya tetap semangat untuk belajar.

7. Masyarakat Bajo Mola, Lamanggau dan Masyarakat Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa serta Tomia atas kerjasama, dukungan dan informasi yang diberikan.

8. WWF Wakatobi, dan WWF Indonesia, atas bantuan dana penelitian dan informasi yang diberikan.


(18)

9. Taman Nasional Wakatobi, TNC Wakatobi, DKP Wakatobi, atas bantuan dan informasi yang diberikan.

10.Terima kasih kepada Bapak Heru Purnomo yang telah memberikan banyak informasi dan terima kasih banyak atas perkenaannya kepada saya dalam meneliti di perusahaan Bapak.

11.Terima kasih kepada kawan-kawan Sosiologi Pedesaan Angkatan 2010, Mas Yanu, Bu Sukma, Bu Sri, Mas Aldi, Mas Deni, Mas Deni Kusuma, Mas Ali, Mas Tarmidji dan Bu Susi atas diskusi dan pembelajaran selama kuliah di Sosiologi Pedesaan.

12.Terima kasih kepada rekan-rekan kos di Pondok Iona, Cibanteng-Darmaga, Bogor.

Bogor, April 2013


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyumas, 17 Mei 1982 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Soekiman, S.H. dan Ibu Sri Purwati, S.Pd. Pada Tahun 2000, penulis menempuh pendidikan sarjana melalui jalur UMPTN pada Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Tahun 2002, penulis mengambil pendidikan sarjana melalui jalur SPMB pada Fakultas Hukum pada perguruan tinggi yang sama. Pada Tahun 2006 penulis lulus pendidikan sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan pada Tahun 2008 penulis lulus pendidikan sarjana sains pada Fakultas Biologi pada perguruan tinggi yang sama. Kesempatan mengikuti practicum internship dengan mendapatkan fellowship dari NAM S&T Centre India, dan ZMT Bremen, selama 3 bulan pada Tahun 2008-2009. Kemudian pada Tahun 2010, penulis melanjutkan studi ke program magister pada Program Studi Sosiologi Pedesaan dengan biaya sendiri. Pada Tahun 2012, penulis mendapatkan beasiswa riset tentang penelitian S2 dari WWF Jakarta dan mendapatkan kesempatan mengikuti international workshop Seafood Summit, dengan mendapatkan fellowship dari SeaWeb.


(20)

(21)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR TABEL DAFTAR KOTAK DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB. 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 9

1.3. Tujuan Penelitian 11

1.4. Manfaat Penelitian 12

BAB. 2. TINJAUN PUSTAKA

2.1. Globalisasi, Roving Bandits dan Sumberdaya Kelautan Perikanan 13

2.2. Struktur Sosial Masyarakat Nelayan 16

2.3. Jaringan Perdagangan Ikan Konsumsi Karang Hidup 21

2.4. Kepemilikan Sumberdaya 25

2.5. Seafood Savers sebagai Instrumen Pengelolaan Ikan Konsumsi Karang Hidup 28 2.6. Ekologi Politik Seafood Savers Ikan Konsumsi Karang Hidup 32

2.7. Kelembagaan Sumberdaya Perikanan 34

2.8. Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran 40

2.9. Hipotesis Pengarah 46

2.10. Konsep Penting Penelitian 46

BAB. 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian 49

3.2. Target, Lokasi dan Waktu Penelitian 51

3.3. Teknik Pengumpulan Data 52

3.4. Teknik Penentuan Informan 54

3.5. Analisis Data 54

BAB. 4. LOKASI PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Perairan dan Kepulauan Wakatobi 57

4.2. Letak Geografis Kawasan Taman Nasional Wakatobi 58

4.3. Sejarah Kabupaten Wakatobi 59

4.4. Gambaran Umum Komunitas Bajo Mola 63

4.5. Gambaran Umum Masyarakat Bajo Lamanggau 67


(22)

BAB. 5. KOMODIFIKASI IKAN KONSUMSI KARANG HIDUP

5.1. Sejarah Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup di Wakatobi 81 5.2. Interaksi Aktor/Stakeholder dalam Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang

Hidup 97

BAB. 6. DAMPAK KOMODIFIKASI IKAN KONSUMSI KARANG HIDUP

6.1. Dampak Sosial Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup 114

6.1.1. Jaringan Penangkapan Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup 114 6.1.2. Jaringan Pemasaran/Distribusi Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup 128

6.2. Dampak Ekonomi Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup 139

6.3. Dampak Ekologi Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup 146

6.4. Dampak Kebijakan (Politik) Komodifikasi Ikan Konsumsi Karang Hidup 149 6.4.1. Jaringan Prosecution Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup 150

BAB. 7. PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KARANG

7.1. Regime Negara/State 155

7.2. Regime Masyarakat 172

7.3. Regime Pasar dan Tantangannya 184

BAB. 8. INISIASI SEAFOOD SAVERS

8.1. Program Seafood Savers di Wakatobi 195

8.2. Persepsi Nelayan Terhadap Program Seafood Savers 203

8.2.1. Persepsi Nelayan “Anto Pulo” Kelurahan Tongano Barat, Tomia Timur 205 8.2.2. Persepsi Nelayan Lamanggau dan Bajo Lamanggau, Tomia 207 8.2.3. Persepsi Nelayan Bajo Mola (terikat nelayan hutang kordinator) 208

8.2.4. Persepsi Nelayan Bukan Anggota Seafood Savers 209

8.2.5. Persepsi Nelayan Lepas Bajo Mola 211

8.2.6. Persepsi Penjaga Keramba dan Kordinator 212

8.3. Seafood Savers sebagai Institusi Pengelolaan Ikan Konsumsi Karang Hidup

(Bagaimana SS bekerja dalam komoditas LRFFT) 217

8.4. Interaksi Aktor dalam Mematuhi aturan Seafood Savers 224

8.4.1. Hubungan antara Kordinator dengan Eksportir 228

8.4.2. Hubungan antara Kordinator dengan Nelayan Terikat 232

8.4.3. Hubungan antara Nelayan Lepas dengan Eksportir 238

8.5. Perubahan Pola Produksi, Distribusi dan Konsumsi dalam Seafood Savers 241

8.5.1. Pola Produksi Jaringan Penangkapan 242

8.5.2. Pola Distribusi Jaringan Pemasaran 244


(23)

BAB. 9. POLITIK SEAFOOD SAVERS

9.1. Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State

dan Private Property Right (Tata Kelola Berbasis Area/Luasan) 250 9.2. Transformasi Politik Seafood Savers sebagai Pengelolaan

Komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup berbasis Pasar 259

9.3. Analisis Politik Seafood Savers,

Sebagai Pengelolaan Perikanan Karang Hidup melalui Mekanisme Pasar 265

BAB. 10. SIMPULAN DAN SARAN

10.1. Simpulan 275

10.2. Saran 279


(24)

DAFTAR TABEL

1. Tabel. 2.1. Empat Tesis Ekologi Politik 32

2. Tabel 4.1. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut

Kecamatan 2010 62

3. Tabel 4.2. Persebaran Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut Kecamatan

2000 dan 2010 62

4. Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Bajo Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 63 5. Tabel 4.4. Jumlah Penduduk Desa Tongano Barat dan Bajo Lamanggau

Kecamatan Tomia dan Tomia Timur 63

6. Tabel 4.5. Periodisasi perkembangan masyarakat Bajo Mola. 64 7. Tabel. 4.6. Periodisasi perkembangan masayarakat Bajo Lamanggau 68 8. Tabel 4.7. Periodisasi perkembangan masyarakat nelayan “Anto Pulo”. 70

9. Tabel 4.8. Kategori Jenis Nelayan di Perairan Wakatobi 74

10.Tabel 4.9. Jumlah Sarana Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 75 11. Tabel 4.10. Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009

(Unit) 75 12. Tabel 4.11. Peranan Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi

Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2009 76 13. Tabel 4.12. Perkembangan Subsektor dengan Pertumbuhan Nilai Tambah di

atas Pertumbuhan Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006-2009 (dalam

%). 76 14. Tabel 4.13. Pembagian musim penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang

dibedakan menjadi dua musim, musim timur dan musim barat. 78 15. Tabel 5.1. Perkembangan sejarah komoditas Ikan Konsumsi Karang Hidup 88 16. Tabel 5.2. Perubahan sebagai dampak adanya komodifikasi ikan konsumsi

karang hidup. 89

17. Tabel 5.3. Perubahan sebagai dampak adanya komodifikasi ikan konsumsi

karang hidup. 91

18. Tabel. 5.4. Perubahan harga per periodik waktu komoditas 92 19. Tabel. 5.5. Aktor/Stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya ikan konsumsi

karang hidup. 103

20. Tabel. 5.6. Power dan Pengetahuan aktor/stakeholder dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan konsumsi karang hidup. 107

21. Tabel. 5.7. Konsep jaringan interaksi aktor dan stakeholder, serta dampaknya

terhadap penggunaan sumberdaya perikanan karang hidup. 109

22. Tabel. 6.1. Jenis komoditi ikan konsumsi karang hidup yang mempunyai nilai

jual tinggi di Wakatobi. 115

23. Tabel 6.2. Akor yang terlibat dalam jaringan penangkapan 116 24. Tabel. 6.3. Tabel harga dan nama pasaran serta kode dan size di Karang


(25)

25. Tabel. 6.4. Ukuran, jenis dan nama pasaran ikan konsumsi karang hidup

periode 2009-2012 119

26. Tabel 6.5. Tipologi nelayan lepas dan nelayan terikat Bajo Mola 120 27. Tabel 6.6. Tipologi nelayan terikat Bajo Lamanggau dan terikat (lepas)

“antopulo” Tongano Barat 121

28. Tabel. 6.7. Aktor yang terlibat dalam jaringan pemasaran 129

29. Tabel 6.8. Pinjaman terhadap kordinator/kios 139

30. Tabel 6.9. Modal kordinator dalam sekali melaut (Hj. Hyt) 140 31. Tabel 6.10. Harga beli kordinator ke nelayan (Kordinator Hj. Hyt/Mola). 141 34. Tabel 6.11. Pembagian musim puncak dan musim sedang untuk komoditas

Tuna dan Ikan Karang 143

35. Tabel 6.12. Musim produksi berdasar dari informasi nelayan dan data sekunder

distribusi ikan karang hidup menurut DKP (2009-2012) 143

36. Tabel 6.13. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga Nelayan lepas Mola 144 37. Tabel 6.14. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan “anto pulo

Tongano Barat, nelayan lepas, dibawah kordinator Srfdn. 144

38. Tabel 6.15. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan di bawah

kordinator Bu Hj. Hyt. Mola dan Pak Ling. 144 39. Tabel 6.16. Aktor dalam Jaringan Pengaman (prosecution networks) 152

40. Table 7.1. Kelemahan dan kelebihan regime state dalam pengelolaan

Sumber Daya Perikanan 168

41. Tabel 7.2. Bantuan dari pemerintah kabupaten (DKP) yang berkaitan dengan

perikanan 183

42. Tabel 8.1. Time line pelaksanaan sosialisasi Seafood Savers, ikan konsumsi

karang hidup Tahun 2011-2012. 202

43. Tabel. 8.2. Responden pengetahuan nelayan terhadap Seafood Savers

di Wakatobi 203

44. Tabel. 8.3. Prosentase persepsi dan sikap responden terhadap Seafood Savers 204 45. Tabel. 8.4. Pemaparan persepsi nelayan, kordinator dan penjaga keramba

terhadap SS. 214

46. Tabel 8.5. Jumlah nelayan UD. PMB aktif (2012) 225

47. Tabel 8.6. Harga Ikan Konsumsi Karang Hidup di Sai Kung, Hong Kong. 247 48. Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan

di Wakatobi 256

49. Tabel 9.2. Hak nelayan daratan (desa lain yang mempunyai wilayah laut desa

(DPL) terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi 257 50. Tabel 9.3. Hak pengusaha resort pariwisata terhadap Kepemilikan

Sumberdaya Perikanan di Wakatobi 257


(26)

DAFTAR KOTAK


(27)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1. Bagan alir Kerangka Pemikirian Penelitian 45

2. Gambar peta 4.1. Peta Coral Triangle Center dan akses transport ke kepualuan

Wakatobi 61

3. Gambar 4.2. Peta Kepulauan Wakatobi 62

4. Gambar 4.3. Perumahan di Mola dari arah laut (kiri), dan kondisi pemukiman

Mola(kanan). 67 5. Gambar 4.4. Desa Lamanggau dari laut (kiri), dan pemukiman penduduk Bajo

Lamanggau (kanan) 68

6. Gambar 4.5. Tongano Barat dari laut (kanan), dan jalan anto pulo (kiri). 70 7. Gambar 4.6. Lokasi Penelitian Penelitian, tiga site komunitas nelayan (dua

pulau) 70 8. Gambar 4.7. Pengambilan batu karang oleh penduduk untuk bahan bangunan

(Mola, 2012). 73

9. Gambar. 5.1. Time line eksploitasi dan perdagangan

Ikan Konsumsi Karang Hidup 81

10. Gambar. 5.2. Peta Ekspansi pasar Hong Kong terhadap sumberdaya perikanan

karang dunia 83

11. Gambar 5.3. Latar Belakang Sejarah Komidifkasi Ikan Dasar

di Wakatobi beserta jalur perdagangannya. 95

12. Gambar 5.4. Time line sejarah perkembangan komodifikasi ikan konsumsi

karang hidup di Wakatobi. 96

13. Gambar 5. 5. Bagan rantai produksi komoditas ikan konsumsi karang hidup. 101 14. Gambar 5. 6. Bagan interkasi aktor dalam pemanfaatan sumberdaya ikan

karang hidup di Wakatobi. 106

15. Gambar. 6.1. Diagram supply chain beserta keterlibatan aktor komoditas ikan konsumsi karang hidup di Wakatobi. Diadopsi dari sumber: The International

Standard for the Trade in LRFF (2004); WWF Annual Report (2012). 130 16. Gambar 6.2. Diagram alir distribusi ikan dari Wakatobi ke Hong Kong

(adopsi, Geoffrey Muldoon, 2008; Seafood Ecolabelling.

Sumber: data dan pengamatan di lapangan (April-Juli 2012). 132 17. Gambar 6.3. Kurva penurunan volume ekspor LRFF (data sekunder dari DKP

Wakatobi; 2009-2012 (Maret). 148

18. Gambar. 7.1. Peta zonasi Taman Nasional revisi Tahun 2005

(RPTN Wakatobi 2008) 157

19. Gambar 7.2. Peta potensi sumberdaya penting Taman Nasional Wakatobi. 160

20. Gambar 7.3. Struktur Organisasi COREMAP 174

21. Gambar 7.4. Peta DPL masyarakat desa yang difasilitasi oleh COREMAP


(28)

22. Gambar. 8.1. Skema keanggotaan perusahaan terhadap Seafood Savers (WWF,

Indonesia, 2012). 197

23. Gambar 8.2a dan b. Hubungan nelayan dalam keanggotaan

SS maupun non-SS yang terikat dalam tiga eksportir di Wakatobi (2012). 226-227 24. Gambar 8.3. Nota nelayan ikan konsumsi karang hidup (UD. PMB) (2012). 232

25. Gambar 8.4. Hasil Tracking, fishing ground nelayan lepas dan nelayan terikat

yang menggunakan kapal (dibawah ikatan kordinator), 22 April -3 Mei 2012). 232

26. Gambar 8.5. Aktifitas nelayan terikat di laut. 237

27. Gambar 8. 6. Kesejarahanpeluruhan ikatan patron-klien nelayan di Wakatobi 238 28. Gambar 8.7. Aktifitas penangkapan ikan nelayan lepas dan penjualan ikan di

keramba. 241

29. Gambar 8.8. Aktifitas penggunaan alat tangkap pancing. 243

30. Gambar 8.9. Aktifitas perlakuan ikan mulai di keramba sampai packing siap

ekspor. 244

31. Gambar 8.10. Komoditas ikan konsumsi karang hidup pada level konsumen

(Hong Kong). 247

32. Gambar 9.1. Outline mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan secara

ekonomi 260 33. Gambar 9.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan karang dengan

program Seafood Savers 267


(29)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Tracking GPS, Lokasi Area Tangkapan Ikan 2. Quisioner Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga 3. Panduan Wawancara

4. Jadwal Penelitian  

   


(30)

(31)

1   

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hasil perikanan adalah kekayaan kelautan yang dekat dengan kehidupan manusia karena dimanfaatkan setiap orang. Adapun hasil perikanan tangkap meliputi ikan pelagis, ikan karang, lobster, kepiting, teripang, jenis kerang-kerangan dan lain sebagainya. Hasil tangkapan laut tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga sampai saat ini penangkapan terus menerus terjadi untuk memenuhi konsumsi pasar baik pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Aktifitas penangkapan ikan yang berlangsung secara terus menerus tidak diimbangi dengan usaha pengelolaan berkelanjutan dalam menjaga ketersediaan ikan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Salah satu hasil tangkapan perikanan yang menarik dikaji adalah komoditas ikan konsumsi karang hidup. Komoditas tersebut melibatkan berbagi aktor dalam produksi dan distribusi. Dipasarkan melalui jaringan pemasaran internasional dalam keadaan hidup untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri, ikan-ikan tersebut ditangkap di sekitar perairan berkarang oleh nelayan lokal di Indonesia. Perairan Wakatobi merupakan wilayah bagian timur Indonesia sebagai salah satu daerah penghasil ikan konsumsi karang hidup yang masih cukup potensial ketersediaan stok ikannya.

Ikan konsumsi karang atau dikenal oleh nelayan Wakatobi sebagai ikan dasar. Komoditas ikan dasar mempunyai dua jenis, yaitu ikan karang hidup yang ditangkap dalam keadaan hidup dan dijual ke tengkulak dalam keadaan hidup, dan ikan segar (ikan mati) ditangkap dalam keadaan hidup dijual ke tengkulak dalam keadaan mati (segar). Secara terminologi ikan konsumsi karang hidup diartikan sebagai ikan karang yang mempunyai habitat di karang yang dikenal dengan sebutan kerapu dan sunu. Nelayan menangkap ikan karang secara bebas di alam, ikan karang tidak berpindah tempat, kecuali pasca reproduksi ikan akan berpindah tempat akan tetapi masih dalam lingkungan karang disekitarnya. Ikan karang bereproduksi disekitar karang dan sangat jarang ditemukan di perairan dalam.

Karang sebagai habitat ikan karang berada di perairan yang dangkal, atol dan gugusan terumbu karang. Menurut nelayan ikan konsumsi karang hidup, ikan konsumsi karang hidup atau ikan dasar yang ditangkap diperairan dangkal


(32)

2   

berkarang mulai kedalaman 10 meter sampai 30 meter, dengan jarak tergantung tempat gugusan karang, terdapat dari karang ke karang sampai dengan jarak ratusan kilometer (Fougeres, 2005: 16; data penelitian 2012). Menurut Li, 1996 (dalam Muldoon, 2009), ikan konsumsi karang hidup adalah penjagaan ikan karang dalam keadaan hidup dan terlihat segar tanpa cacat apapun sebelum sampai pada proses dimasak yang sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat China-Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat pasar ikan konsumsi karang hidup terbesar di dunia, dimana permintaan ikan konsumsi karang hidup semakin besar sampai kondisi saat ini (Johannes and Riepen, 1995). Konsumen di Hong Kong berani membayar dengan harga mahal untuk komoditas ikan karang konsumsi yang hidup dibandingkan dengan komoditas ikan karang yang di perdagangkan dalam keadaan segar ataupun dibekukan.

Permintaan pasar yang terus menerus dan semakin meningkat maka terjadi eksploitasi berlebihan sekaligus terjadi ekspansi fishing ground ke daerah lain yang lebih jauh sehingga menyebabkan kondisi perikanan karang hidup sekarang mengalami keprihatinan. Dekade 1990-an adalah era penangkapan terbesar ikan konsumsi karang hidup di Perairan Indonesia Timur, khususnya Perairan Spermonde. Berdasar penelitian sebelumnya, Johannes and Riepen (1995), memperkirakan bahwa Indonesia menjadi pemasok terbesar untuk perikanan karang hidup di Hong Kong pada dekade 1990-an, sedangkan Cesar 1996; (dalam Bentley, 1999), memperkirakan jumlah total ekspor Indonesia untuk ikan konsumsi karang hidup sekitar 10.000 and 20.000 ton per tahun. Pada pertengahan dekade 1990-an stok permintaan ikan konsumsi karang hidup di Indonesia hampir lebih dari 50% didatangkan dari Kepulauan Spermonde. Kepulauan Spermonde adalah penghasil perikanan karang konsumsi hidup terbesar di Indonesia (Hasil wawancara dengan pemilik CV. Ikan konsumsi karang hidup di Jakarta, 2010-2012).

Berdasar penelitian di Kepulauan Spermonde, struktur nelayan ikan karang hidup diwarnai dengan ikatan patronase yang dikenal dengan sebutan punggawa-sawi. Punggawa adalah seorang majikan yang memberikan jaminan baik dalam bentuk materi (hutangan), jaminan sosial lainnya, serta jaminan keamanan kepada


(33)

3   

sawi (nelayan) nya. Sedangkan Sawi adalah seorang nelayan yang menjual hasil tangkapannya kepada punggawanya (Radjawali, 2011; Deswandi, 2012).

Deswandi (2012), menyebutkan bahwa jenis patronase yang terdapat di struktur nelayan Spermonde, adalah 1). Punggawa Bonto atau Punggawa Lompo atau yang dikenal sebagai punggawa darat, mempunyai peran sebagai penjamin keperluan untuk nelayannya, baik hutang, sebagai pembeli ikan maupun pelindung buat nelayannya. 2). Punggawa laut, merupakan pemimpin kapal yang bertanggung jawab terhadap kepentingan nelayan dalam menangkap ikan, juga merupakan mediator antara punggawa darat dan nelayan. 3). Sawi merupakan nelayan, yang menjadi buruh terhadap punggawanya. 4). Bos, adalah eksportir ikan konsumsi karang hidup, juga sebagai penjamin keungan dan keamanan untuk punggawa darat di bawahnya. 5). Pekerja perusahaan perikanan, merupakan buruh yang bekerja kepada bos eksportir ikan karang hidup.

Radjawali (2011), menjelaskan pada ikatan patronase tersebut terdapat ikatan hutang yang bersifat terus menerus. Artinya adalah, sawi atau nelayan yang menghutang terhadap punggawanya, mempunyai ikatan hutang dalam setiap aktifitas penangkapan ikan, mulai dari perongkosan untuk melaut, jaminan sosial terhadap keluarga sawi yang ditinggal melaut, dan juga jaminan sosial untuk keamanan sawi apabila tertangkap petugas atau mengalami musibah di laut.

Temuan penelitian sebelumnya (Radjawali, 2011), menyebutkan bahwa dalam proses produksi dan pengiriman ikan konsumsi karang hidup melalui proses birokrasi yang harus dipenuhi oleh para pelaku produksi, distribusi terutama oleh pedagang ikan konsumsi karang hidup (punggawa). Untuk mendukung usaha produksinya para punggawa mempunyai hubungan yang baik terhadap aparat pemerintah, termasuk petugas perikanan tangkap dari DKP, polisi sektor ataupun resort, TNI AL, pegawai pelabuhan serta badan karantina KKP dan petugas bea cukai di bandara. Jaringan pengaman ini (risk of insurance/prosecution networks) dilakukan untuk mempelancar usaha mereka. Dilihat dari segi peraturan perundang-undangan belum ada secara sepesifik mengatur usaha perikanan tangkap konsumsi karang hidup. Prospek yang menjanjikan dari bisnis ikan konsumsi karang hidup menyebabkan pemunculan pemburu rente (rent seeking) yang merupakan praktek saling menguntungkan 


(34)

4   

secara bisnis dan finansial dari petugas pemerintah dan para pengusaha ikan konsumsi karang hidup.

Merujuk temuan sebelumnya (Glaser, et.al. 2010; Radjawali, 2011), terlihat jelas bahwa nelayan sekarang dalam usaha menangkap ikan semakin jauh karena adanya penangkapan berlebih (over fishing). Karena over fishing tersebut dan cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan yaitu menggunakan racun dan bom menyebabkan terumbu karang sebagai habitat ikan karang menjadi rusak. Racun jenis cyanide dipergunakan untuk menangkap ikan konsumsi karang hidup dan bom diperuntukkan untuk menangkap ikan konsumsi segar dalam keadaan sudah mati. Kerusakan ekologi habitat ikan karang terjadi karena penangkapan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pasar Hong Kong terutama dalam menyambut perayaan Tahun Baru Imlek. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, nelayan di kepulauan Spermonde melakukan penangkapan sampai ke Teluk Bone dan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Penangkapan ikan masih terus berlangsung sampai sekarang bahkan semakin meningkat sekalipun nelayan telah sadar tentang kelangkaan ikan. Kenekatan mereka berburu ikan karang berhubungan dengan alasan ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi.

Upaya global dalam menjawab permasalahan adanya kerusakan ekosistem dan penurunan sumberdaya perikanan menciptakan sebuah program kerjasama government to government dalam upaya konservasi sumberdaya perikanan. Wasistini (2009), menyebutkan, di Kepulauan Spermonde telah terdapat adanya program konservasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, dengan tujuan untuk menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.

Upaya konservasi baru-baru ini sedang diinisiasikan dan dikampanyekan oleh WWF Indonesia adalah bentuk kepedulian terhadap keberlangsungan sumberdaya perikanan melalui perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap produk perikanan yang mengikat pada produk, proses produksi dan pemasaran yang ramah lingkungan. Praktek perikanan yang bertanggungjawab 


(35)

5   

tersebut adalah berupa Seafood Saver. Tentunya mekanisme Seafood Savers ini menjadi tanggungjawab stakeholder yang termasuk dalam rantai perdagangan ikan konsumsi karang hidup. Praktek good fishing responsibility yang ditujukan untuk produk perikanan tangkap dari laut ini adalah bertumpu pada produsen dengan praktek perikanan ramah lingkungan, yang kemudian implementasinya pada perikanan Indonesia dibantu oleh WWF Indonesia dengan membangun mekanisme Seafood Savers. Mekanisme ini dibangun sebagai sebuah bridging mechanism, untuk membantu produsen dan retail di Indonesia mendapatkan sertifikasi MSC sebagai tujuan akhir. Dalam implementasi Seafood Savers untuk perikanan tangkap, WWF Indonesia membangun beberapa tahapan yang secara jelas merupakan langkah penyiapan bagi perikanan tangkap terkait memperbaiki praktek perikanannnya menuju standar kelestarian perikanan dengan menggunakan standar Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing (terdapat pada tahapan conditioning) dan standar sertifikasi MSC (pada tahapan Fishery Improvement Program). Relasi antar aktor dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup sangat berpengaruh terhadap keberhasilan praktek Seafood Savers perikanan karang hidup. Selain melekat pada produk (ikan kosumsi karang hidup), proses produksi (mulai dari proses penangkapan, pemberokan (pengepakan) ikan dalam keadaan hidup), sampai dengan ikan tersebut berada di pasar, perikanan bertanggung jawab juga melekat pada stakeholder/aktor yang mempunyai kepentingan dalam praktek hijau tersebut, seperti nelayan, pedagang (kordinator), bos (pembeli besar dengan UD., CV. atau perusahaannya) ataupun aktor pengimpor (perusahaan besar), lembaga pengkampanye Seafood Savers (LSM) serta negara yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan tentang Seafood Savers tersebut.

Satria (2009), menyebutkan bahwa salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah kegagalan dari pasar. Pasar tidak bisa mengkontrol penggunaan sumerdaya alam secara keberlanjutan. Dalam usaha untuk melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan perlu ada dua pendekatan instrumen. Pertama, yaitu instrumen pasar, dimana instrumen pasar dijadikan sebagai dasar kebijakan. Dalam produksi, ada batasan dalam sistem quota penangkapan, sementara dalam perdagangan (pasar), ecolabelling adalah senjatanya. Kedua,


(36)

6   

pengembangan mekanisme sistem pengelolaan kolaboratif (collaborative management). Konsep kolaboratif manajemen dianggap ideal karena melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan sampai pada tahap pengawasan. Kolaboratif manajemen adalah proses demokratisasi dalam pengelolaan perikanan karena ada kesamaan hak antar stakeholder.

Bryant dan Bailey (1997), dalam bukuya “Third World Political Ecology”, menyebutkan bahwa dalam kajian ekologi politik di dalamnya mengandung politicizied environmental, artinya bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam banyak melibatkan aktor-aktor yang berinteraksi baik dalam tingkat lokal, regional maupun global. Komoditas ikan konsumsi karang hidup, adalah komoditas transboundary, artinya ada produksi lokal dan diekspor keluar untuk kebutuhan konsumen (permintaan pasar). Ketika terdapat jaringan perdagangan, maka terdapat interaksi antar aktor pada level produksi, distribusi dan konsumsi yang lintas teritorial.

Eden (2011), menjelaskan dalam “bahwa dalam memahami konsep ecolabelling tidak terlepas dari relasi kekuasaan (power) dari masing-masing aktor dalam memanfaatkan sumberdaya yang mempunyai label ramah lingkungan. Dijelaskan secara lanjut oleh Eden, bahwa ecolabelling merupakan simbol green governance yang diminta oleh konsumen (consumer power) yang terikat dalam fungsi perdagangan. Hal ini menjadi rasionalitas konsumen untuk mementingkan keuntungan komoditas dan memunculkan adanya biaya untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dan kerugian manusia (terutama produsen), peminimalisiran polusi lingkungan, mencegah penurunan daya dukung sumberdaya, meminimalisir bahaya pekerja, minimal upah pekerja, ketidak amanan pekerja dan bentuk eksploitasi lain terhadap pekerja dan sumberdaya.

Wakatobi adalah salah satu tempat percontohan untuk dilakukannya Seafood Savers oleh WWF Indonesia sebagai badan inisiator Seafood Savers. Wakatobi adalah merupakan singkatan dari empat pulau yaitu: Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Taman Nasional Wakatobi adalah Taman Nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 Tanggal 30 Juli 1996 dan berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No. 7651/Kpts/II/2002 Tanggal


(37)

7   

19 Agustus 2002 dengan menetapkan luas areal konservasi seluas 1.390.000 Ha. Tujuan penetapan Taman Nasional adalah sebagai sistem penyangga pelestarian keanekaragaman hayati, menjamin terwujudnya pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan terutama dari sektor perikanan dan pariwisata, serta menjamin tersedianya sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. Selain mempunyai fungsi konservatif dan sosio-ekologis, Wakatobi juga sebagai tempat berbagai riset, seperti kegiatan Operation Wallacea, Coremap, LIPI, penelitian akademisi, dll. Pendekatan ke masyarakat dilakukan dengan diadakannya penyuluhan, training, kampanye lingkungan, bantuan maupun pembinaan masyarakat nelayan dalam bentuk mata pencaharaian alternatif. Pengelolaan taman nasional juga diwujudkan dengan menjalin kerjasama intensif dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, LIPI, dan Joint Program Taman Nasional, WWF dan TNC (www.tamannasionalwakatobi.org, diunduh 17 Desember 2011; RPTNW, 2008).

Penetapan Wakatobi sebagai pilot project seafood savers, dengan melihat beberapa kriteria yaitu:

1. Terdapat lembaga pengelola (Taman Nasional Wakatobi, DKP Kabupaten Wakatobi) serta partner utama (WWF Indonesia, Fisheries Captured) pada wilayah tersebut);

2. Terdapat pengusaha ikan konsumsi karang hidup yang akan melakukan perubahan praktek perikanannya sesuai dengan standar kelestarian (good practice), mengingat kondisi stok perikanan di Wakatobi masih potensial, serta dampak kegiatan penangkapan perikanan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan; dan

3. Memiliki kelembagaan/institusi pengelolaan perikanan yang berjalan. Seafood Savers merupakan instrumen pengelolaan sumberdaya yang di inginkan oleh produsen dan konsumen, sebagai akibat adanya isu jangka pendek dan jangka panjang. Isu jangka pendek adalah: penangkapan yang bersifat merusak, adanya


(38)

8   

target penangkapan secara terus menerus karena permintaan pasar dan overfishing.

Sedangkan isu jangka panjang adalah dampak kemusnahan keanekaragaman hayati, penurunan produksi perikanan dan ketahanan pangan di masyarakat, serta menurunnya livelihood pada komunitas nelayan. Diharapkan Seafood Savers dalam perkembangannya dapat memberikan bantuan fasilitas kepada perusahaan perikanan dan nelayan untuk memperbaiki praktek penangkapannya sesuai dengan standar kelestarian sertifikasi ekolabel Marine Stewardis Council dengan cara melakukan kegiatan dimana, partner seafood savers, UD. PMB., mulai memberlakukan beberapa aturan, yaitu:

1. Peraturan yang mengikat kepada nelayannya untuk mulai memperbaiki kegiatan perikanannya sesuai dengan kontrak keanggotaan sebagaimana terlampir,

2. Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan,

3. Melepas tangkapan ikan dalam perkembangan juvenile dan ikan dewasa bertelur,

4. Tidak akan menangkap ikan dalam keadaan bebas di alam, 5. Tidak dibolehkan menangkap species ikan yang dilindungi, 6. Menjaga dan Melindungi terumbu karang,

7. Mengikuti kebijakan perusahaan dan pemerintah, dan

8. Bersedia dikeluarkan dari keanggotaan perusahaan apabila ketentuan-ketentuan sebelumnya dilanggar (UD. PMB., 2011). Dalam memahami isu tersebut UD. PMB., yang berada di Bali merupakan perusahaan ekspor ikan konsumsi karang hidup terbesar di Indonesia, yang mempunyai 49 tempat titik penangkapan ikan konsumsi karang hidup, yang salah satunya adalah di Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Untuk operasi pengambilan ikan UD. PMB. mempunyai keramba di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Tomia. Di Pulau Wangi-wangi terdapat satu kordinator yang menjual ikannya ke UD. PMB dan memiliki sekitar dua puluh nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan di Pulau Tomia terdapat beberapa kordinator yang menjual ikan ke UD. PMB. dan mempunyai sekitar tiga puluh nelayan.


(39)

9   

Indikator bahwa instrumen kelembagaan (institutional) berjalan efektif, dilihat pada penerimaan masyarakat dan pasar terhadap pendekatan instrumen tersebut. Disamping itu, keterlibatan masyarakat dan pasar juga terlihat dalam membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan keluatan. Seafood Savers sebagai salah satu instrumen pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan mengandung kebijakan-kebijakan dasar yang turut disumbangkan dari pihak konsumen. Berjalannya Seafood Savers untuk komoditas ikan konsumsi karang hidup dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan sifat populisnya (komunitarian) apabila dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat dan pasar sebagai stakeholder berkolaborasi dalam merumuskan dan merencanakan manajeman Seafood Savers tersebut.

Penelitian ini penting dilakukan terutama untuk meneliti dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup, interaksi antar aktor dan stakeholder dalam komoditas tersebut, bagaimana peran kelembagaan dalam tata kelola kawasan konservasi, peran kelembagaan dalam mempraktekkan Seafood Savers, interaksi antar aktor dalam memahami Seafood Savers, dampak Seafood Savers itu sendiri bagi produksi dan distribusi dalam komunitas nelayan Wakatobi dalam keberlangsungan komoditas ikan konsumsi karang hidup. Penelitian ini menjadi kajian menarik tersendiri sebagai studi analisis kolaborasi berbagai pihak di antaranya pasar, masyarakat, LSM dan negara yang menentukan kebijakan menjadi sangat penting untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan dan berpihak terhadap nelayan dan lingkungan.

1.1. Rumusan Masalah

Hasil studi sebelumnya, (Sadovy, et.al. 2003; Fougeres, 2005; Wasistini, 2009; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012) di lapangan, setidaknya menunjukkan tentang upaya pengelolaan berkelanjutan sumberdaya perikanan konsumsi ikan karang hidup yang sudah atau sedang dilaksanakan di perairan Indonesia Timur. Upaya tersebut sebagai bentuk respon atas kerusakan sumberdaya terumbu karang sebagai akibat eksploitasi penangkapan ikan konsumsi karang hidup yang cenderung bersifat merusak (penangkapan ikan dengan alat tangkap bom dan cyanide/bius). Penyelamatan keberlanjutan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup yang sudah dilakukan adalah rehabilitasi karang melalui program 


(40)

10   

konservasi dan terumbu karang (COREMAP) untuk program kawasan rehabilitasi dan konservasi terumbu karang serta pembentukan dan penetapan perlindungan kawasan konservasi laut seperti Taman Nasional Wakatobi.

Seafood Savers yang merupakan inisiasi WWF Indonesia untuk perusahaan, dikampanyekan kepada khayalak adalah bentuk baru dari upaya konservasi spesies ikan konsumsi karang hidup. Praktek Seafood Savers menimbulkan studi baru untuk mempelajari bagaimana keefektifan dan manfaat Seafood Savers di tingkat komunitas dengan melihat adanya permintaan pasar yang besar dari konsumen. Kondisi nyata dari perlakuan komoditas ikan konsumsi karang hidup sebagai kajian menarik adalah, Pertama, dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup terdapat penangkapan dengan menggunakan zat kimia. Kedua, cara distribusi pada tingkat pengiriman merupakan permasalahan tersendiri yang unik untuk dikaji lebih lanjut karena menggunakan perlakuan khusus dalam menjaga ikan agar tetap hidup dan sehat. Ketiga, berkaitan tentang interaksi antar aktor yang terlibat dalam usaha Seafood Savers tersebut, bagaimana alur dan jaringan perdagangan yang terbentuk serta keterkaitannya dengan komunitas nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Dengan demikian, kehadiran Seafood Savers akankah menjadi pilar dari elaborasi berbagai kepentingan diantara komunitas dan pasar? Karena itu pendekatan komunitarian pada tingkat produksi dan pasar pada tingkat middle man akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih mendalam.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang, dinamika komoditas ikan konsumsi karang hidup merupakan komoditas transboundary yang menimbulkan berbagai permasalahan diberbagai lini produksi, distribusi dan konsumsi. Perdagangan transboundary ikan konsumsi karang hidup menimbulkan masalah di tingkat lokal dan global dalam kaitannya dengan persoalan sosio-ekologis. Penetapan kriteria Seafood Savers sebagai upaya eco-standarization ikan konsumsi karang hidup ternyata berdampak terhadap tata cara untuk menjaminkan keamanan makanan laut. Penelitian ini mengkaji pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdapat di Taman Nasional Wakatobi, apakah pola pengaturan sumberdaya perikanan tersebut diatur oleh pemerintah (Taman Nasional), Masyarakat, LSM atau Pasar, sehingga dibutuhkan kedalaman


(41)

11   

penelitian dalam pendekatan sektor pasar (market approach) dan pendekatan komunitas (communitarian approach).

Terkait dengan penelitian ini untuk mengerti peran kelembagaan pengelolaan sumerdaya perikanan, dan pengamatan tentang praktek pencapaian Seafood Savers menjadi sangat penting karena terdapat berbagai aspek yang saling terkait seperti sosial, ekonomi, ekologi serta kebijakan sebagai etika politik dalam menjelaskan kedinamikaan komoditas ikan konsumsi karang hidup yang cenderung dipandang sebagai komoditas yang homogen. Berdasarkan uraian tersebut, untuk memperjelas arah penelitian ini, memunculkan empat pertanyaan spesifik, yaitu:

1. Bagaimana dampak dari komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta bagaimana Seafood Savers bekerja dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup?

2. Bagaimana interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan Seafood Savers? 3. Apakah aturan-aturan yang dikandung di dalam Seafood Savers

berdampak pada perbaikan proses produksi, distribusi dan konsumsi? 4. Apakah instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan

sumberdaya perikanan karang hidup di Taman Nasional Wakatobi, mengakomodasi kepentingan komunitasdan pasar?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari studi ini berdasar dari rumusan masalah di atas adalah untuk menelusuri dan meganalisis proses mekanisme Seafood Savers yang diterjemahkan sebagai instrumen keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan konsumsi karang hidup secara lestari. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dampak komoditas ikan konsumsi karang hidup terhadap aspek sosial, ekonomi, ekologi dan kebijakan serta menganalisis bekerjanya institusi Seafood Savers dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup.

2. Menganalisis interaksi aktor dalam mematuhi aturan-aturan seafood savers.


(42)

12   

3. Menganalisis apakah aturan-aturan dan mekanisme yang dikandung di dalam aturan Seafood Savers yang berdampak pada perbaikan proses produksi, distribusi dan konsumsi.

4. Mengetahui instrumen Seafood Savers sebagai instrumen pola pengelolaan sumberdaya perikanan karang hidup di kepulauan Wakatobi, mengakomodasi kepentingan komunitasdan pasar.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khazanah baru dalam kajian ekologi politik pesisir khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai upaya berkelanjutan yang berguna sebagai referensi bagi peneliti, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah, LSM, masyarakat dan perusahaan perikanan dalam melaksanakan tatakelola perikanan yang berkelanjutan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun kebijakan yang bottom up sehingga pemberlakuan instrument Seafood Savers berpihak pada komunitas nelayan penangkap ikan karang hidup.

3. Hasil peneltian ini diharapkan memberikan ruang diskusi kritis bagi peneliti dan merangsang adanya penelitian selanjutnya dalam memahami kontek permasalahan sumberdaya lingkungan yang terjadi di Indonesia.  


(43)

13   

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Globalisasi, Roving Bandits dan Sumberdaya Kelautan Perikanan

Tingginya pemanfaatan hasil laut dunia, menjadikan cermin tentang krisis sumberdaya perikanan global. FAO melaporkan pada Tahun 2005 terjadi penangkapan perikanan laut dunia mencapai 84,2 juta ton (Satria, et.al., 2009c: 1). Dengan adanya krisis perikanan laut dunia, menjadikan cermin dalam pengelolaan perikanan bertanggung jawab dan memperhatikan ekosistem untuk kedepannya, guna menjawab pembangunan perikanan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan jika kelestarian sumberdaya ikan di suatu negara terganggu, dikhawatirkan akan merusak ataupun mengganggu perikanan global, karena stok ikan di negara lain pun ikut terganggu, khususnya untuk komoditas ikan yang mempunyai sifat fleet migration, lintas teritorial negara (transboundary) (Satria, et.al.2009c:2).

Satria (2009b: 129-; 2009c: 117), mengemukakan bahwa globalisasi perikanan terdapat dalam tiga isu, yaitu globalisasi produksi, globalisasi pengelolaan sumberdaya dan globalisasi perdagangan. Isu pertama adalah globalisasi produksi, produksi perikanan suatu negara sangat tergantung pada sumberdaya ikan global. Dalam globalisasi produksi terdapat polarisasi antara kekuatan investor antara negara maju (NM) dengan nengara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia. NSB, dinilai lamban dalam menyiasati kebijakan produksi perikanan dan akhirnya mengalami penurunan dalam produksi perikanan. Sedangkan NM memiliki investor dengan kekuatan modal dan teknologi berlebih, sehingga terjadi ekspansi produksi perikanan terhadap wilayah NSB. Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan, baik NM maupaun NSB, diharuskan tunduk pada konvensi internasional tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang lestari. Konsekuensi dari pembangkangan terhadap konvensi internasional, akan dikenai sanksi melakukan praktek Illegal, Unregullated, Unreported Fishing, termasuk dalam pencurian dan tangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Sedangkan isu ketiga, globalisasi perdagangan dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi NSB. Peluangnya adalah NSB mempunyai kesempatan besar untuk meraih pasar NM, sedangkan ancamannya adalah bahwa keuntungan dari hasil perdagangan hanya akan


(44)

14   

dinikmati oleh eksportir atau pengusaha besar, sedangkan nelayan hanya menikmati harga lokal yang menjadi permainan eksportir.

Produksi seringkali dikaitkan sebagai hasil dari proses kerja. Bernstein (2010), secara inisial mendefinisikan bahwa produksi sebagai hasil dari suatu proses dimana buruh/pekerja memanfaatkan sumberdaya sebagai wujud untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pekerja yang memproduksi hasil dari proses kerja, memanfaatkan sumerdaya alam sebagai produser dalam lingkungannya. Dalam komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan adalah aktor produser yang memproduksi hasil komoditas tersebut.

Proses produksi tersebut utuk menghasilkan perdagangan melalui proses distribusi sebagai penyalur hasil produksi dari produser ke konsumen. Damsar (2009), menyebutkan, distribusi adalah sebuah media pertukaran yang terdapat di dalamnya suatu perangkat hubungan sosial untuk mengalokasikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam sirkulasi perdagangan melalui pertukaran media pasar. Aktor distribusi adalah aktor yang mempunyai modal dan mampu membeli hasil produksi dari produsen. Middle man adalah aktor yang mempunyai kemampuan secara modal dan jaringan pemasaran dalam memanfaatkan pertukaran hasil produsen ke konsumen.

Produksi bukan hanya proses yang terkait dengan hasil dan kerja saja, tetapi lebih mendalam tentang hubungan antara pekerja dan pemilik modal dalam usahanya memanfaatkan sumberdaya alam termasuk penggunanaan teknologi, pemberian modal dan jaminan sosial keamanan. Radjawali (2011; 2012), dalam usaha produksi ikan konsumsi karang hidup, punggawa (middle man) sebagai pemilik modal memberikan kepada nelayannya modal bekal untuk menangkap ikan, teknologi sebagai peralatan alat tangkap, kapal, memberikan jaminan sosial dan keamanan terhadap aktifitas produksinya. Sedangkan sawi sebagai nelayannya menyerahkan dan menjual hasil tangkapannya kepada punggawa untuk keberlangsungan proses produksi dan distribusi dalam rangkain rantai perdagangan (supply chain) komoditas ikan konsumsi karang hidup sampai tahap eksportir ke konsumen Hong Kong.

Johannes and Rippen (1995), menyatakan bahwa perusahaan perikanan Hong Kong memulai eksploitasi ikan konsumsi karang hidup di sekitar laut China 


(45)

15   

Selatan pada awal Tahun 1968. Ikan konsumsi karang hidup dikonsumsi sampai ke konsumen dalam keadaan hidup setelah penangkapan, tetapi pada awalnya kebanyakan komoditas tersebut adalah ikan air tawar dan beberapa jenis ikan laut yang ditangkap secara sedikit oleh nelayan lokal. Setelah Tahun 1968, tingkat konsumerisme meningkat untuk lebih mengkonsumsi ikan yang mempunyai warna mencolok seperti jenis ikan karang tropis. Laju perkembangan ekonomi di Asia Tenggara pada saat itu juga mendukung munculnya elit-elit Hong Kong yang mampu membeli komoditas ikan konsumsi karang hidup. Oomen (1998) dalam Donnelly (2009), menyatakan bahwa adanya hubungan kultur China-Hong Kong dengan mengkonsumsi ikan konsumsi karang hidup yang biasanya penuh dengan identik warna merah. Mitos China mengatakan apabila mengkonsumsi karang hidup menambahkan kekuatan dan keberkahan dalam hidup dan akan mengalami proses reinkarnasi pada kehidupan selanjutnya yang lebih baik dengan kehidupan saat ini.

Perdagangan ikan karang konsumsi hidup di Indonesia dimulai dengan masuknya kapal Hong Kong sekitar dekade 1980-an (Radjawali, 2011). Pengusaha perikanan dari Hong Kong mempekerjakan nelayan di Kepulauan Spermonde sebagai penyelam untuk menangkap ikan karang hidup. Mereka jugalah yang membeli dan mengirim langsung ke Hong Kong dengan menggunakan kapalnya sendiri yang dilengkapi bak akuarium besar sehingga ikan-ikan tersebut bisa hidup dalam perjalanan dari Spermonde ke Hong Kong.

Fenomena masuknya investor ikan konsumsi karang hidup, merupakan fenomena roving bandit. Secara terminologi roving bandit merupakan bentuk kontras dari stationary bandits, Olson (2000) dalam FAO (2009: 11-12). Roving bandit merupakan bentuk ekspansi sumberdaya perikanan yang tidak mempunyai insentif dan tanggung jawab dalam ekspansi sumberdaya perikanan. Hal ini merupakan peran roving bandits yang dijalankan oleh aktor dengan mobilitas tinggi, dimana dapat mengekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan efisien. Ketika sumberdaya perikanan mulai menurun ataupun tidak mempunyai keuntungan dalam jangka waktu yang lama, roving bandits akan berpindah dan menemukan area baru untuk eksploitasi. Dampak dari ekspansi roving bandits adalah tidak ada konseksuensi tanggungjawab terhadap wilayah yang telah di 


(46)

16   

eksploitasi untuk memulihkan kembali potensial wilayah perikanannya. FAO (2009), menyebutkan bahwa fenomena roving bandits, sebagai modernisasi perikanan yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: 1). Kemampuan teknik peralatan dan teknologi, seperti kapal dan teknologi penangkapan lainnya, 2). Operator perdagangan yang mumpuni. Sehingga modernisasi perikanan menguasai dua modal, yaitu teknologi dan jaringan pasar.

Pengaruh dari hadirnya roving bandits merupakan bentuk dari “tragedy of the commons” yang melekat sifat bebas akses (open access) terhadap sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan akan mengalami deplesi sebagai bentuk dari pengaruh globalisasi, seperti pengaruh pasar baru yang menyebabkan terjadinya ekspolitasi sumberdaya perikanan secara cepat dan terus menerus (Berkes, et,al. 2006).

2.2. Struktur Sosial Masyarakat Nelayan

Struktur sosial sangat erat sekali hubungannya dengan sistem sosial. Struktur sosial melekat pada hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial. Pola hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial terwujud dalam rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Hak dan kewajiban antar interaksi pelaku tersebut melekat pada peran dan status antar pelaku. Status dan peran itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam masyarakat menurut kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang berkaitan dengan kesatuan sosial dan interaksi sosial. Menurut Satria (2002), status adalah kumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing aktor (pelaku), sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Status dan peran seorang nelayan berbeda dengan status dan peran seorang bos. Peran dan status pada suatu masyarakat diatur oleh norma-norma yang diakui dan dipatuhi oleh pelaku.

Kompleksitas karakteristik struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat, semakin modern masayarakat tersebut maka semakin luas interaksi sosialnya dan semakin banyak pula sumber status, peran, hak dan kewajiban antar pelakunya. Satria (2002), menyebutkan karakteristik masyarakat pesisir sebagari representasi komunitas desa-pantai yang memiliki karakteristik sebagai berikut:


(47)

17   

1. Sistem pengetahuan

Pengetahuan merupakan indigenous knowledge tentang teknik penangkapan ikan yang didapat secara turun temurun dari nenek moyang. Pengetahuan lokal tersebut merupakan kekayaan hingga kini terus dipertahankan demi terjaminnya kelangsungan hidup nelayan; 2. Sistem kepercayaan

Secara sosio-religio magis, nelayan masih kuat kepercayaannya bahwa laut mermpunyai nilai magis untuk keselamatan dan terjaminnya hasil tangkapan ikan. Dalam masyarakat Bajo, kepercayaan laut sebagai “mbo dilao” merupakan kebudayaan dan kepercayaan tersendiri, yang mempunyai peran bahwa hidup mereka adalah tergantung dari laut. Selain itu masyarakat Bajo menyebut laut dengan sebutan “koko dilao” yang artinya adalah kebon untuk penghidupan mereka;

3. Peran wanita

Peran istri nelayan mempunyai peran yang vital dalam menstabilkan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan. Suami mempunyai peran menangkap ikan secara berkala, sedangkan istri mempunyai peran dalam pengelolaan pendapatan rumah tangga, juga mempunyai peran terhadap ikatan hutang suami terhadap majikannya. Sedangkan istri majikan mempunyai peran yang penting dalam pengaturan keuangan untuk usaha produksi suaminya.

4. Struktur sosial

Struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Ikatan patron-klien dinilai sebagai konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang mempunyai resiko besar, uncertainty dan unpredictable. Pola ikatan patron-klien merupakan jaminan secara ekonomi bagi komunitas nelayan;

5. Posisi sosial nelayan

Posisi nelayan berada dalam posisi yang margin dan rendah. Hal ini dikarenakan karena aktifitas nelayan yang sebagaian besar dihabiskan di laut, sehingga mempunyai sedikit waktu berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Posisi margin, kebanyakan dari nelayan terikat dalam ikatan hutang patronase yang menjadikan posisi nelayan selalu


(48)

18 

 

dalam posisi yang tidak mempunyai posisi tawar baik dalam proses penjualan hasil tangkap, maupun dalam akses perdagangan (pasar). Menurut Satria (2002), nelayan adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan. Sebagai komunitas nelayan berbeda secara karakteristik dengan komunitas lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada: 1). Komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di perairan sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, 2). Alat operasi tangkap ikan, nelayan menggunakan peralatan sederhana, baik tanpa mesin maupun dengan mesin, 3). Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kentalnya hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien dinilai menjaga kelangsungan proses produksi karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi produksi perikanan, dan 4). Ikatan patron-klien tersebut menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam komunitas.

Menurut data penelitian sebelumnya (Glaser, et.al, 2010; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012), dalam usaha yang dilakukan di Kepulauan Spermonde, menangkap ikan konsumsi karang hidup, nelayan memiliki karakteristik perbedaan alat tangkapnya, seperti: (1). pabius adalah nelayan yang alat penangkapannya menggunakan bius, (2). pabom adalah nelayan yang menggunakan bom dalam menangkap ikan, (3). papancing, dimana pancing sebagai alat untuk menangkap ikan, dan (4). pabubu maupun pareng-reng, alat tangkap ikan dengan bubu dan jaring.

Mengenai hubungan patron-klien (Legg, 1983; Najib, 1999, dalam Satria, 2002; Radjawali, 2011), mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersifat:

1. Terjadi hubungan asimetris antar aktor pemanfaat dan pengguna sumberdaya perikanan;

2. Hubungan yang bersifat khusus yang bersifat pribadi yang saling membutuhkan berdasarkan rasionalitas ekonomi, kekuasaan (power), maupun kinship;

3. Hubungan tersebut didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling membutuhkan.


(49)

19   

Dalam struktur sosial nelayan ikan konsumsi karang hidup, pola hubungan patron-klien merupakan ciri spesifik dari struktur komunitasnya. Hubungan patron-klient adalah hubungan asimetris ketergantungan yang terjadi antara pekerja/debitur dengan pengusaha (pemodal)/kreditur (Radjawali, 2012). Hubungan patron-klien merupakan struktur asli yang diadopsi dari pertanian, namun dalam perikanan dikembangkan lebih kompleks. Merujuk Foster (dalam Satria, 2002), bahwa gejala patron-klien disebut juga dengan istilah dyadic contract, artinya hubungan antara dua kesatuan produksi dan distribusi yang bekerja sama.

Pandangan James C. Scott (1993:7-8), banyak dijadikan rujukan teori dalam mengupas pola hubungan sosial assosiatif antara patron dan klien (patronase). Hubungan patron-klien adalah hubungan vertikal yang menunjukkan hubungan kesetiaan antara klien terhadap patronnya. Hubungan patron-klien merupakan sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang bersifat diadik melibatkan hubungan instrumental di mana seorang patron dengan status sosial-ekonomi lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk memberikan perlindungan ataupun keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Hubungan patron-klien bersifat inequality dan flexibility sebagai sebuah pertukaran pribadi. Jaringan patron-klien merupakan jaringan pertukaran tradisional yang berfungsi sebagai penyatu hubungan pertukaran individu baik dalam kontek kekerabatan maupun di luar kekerabatan sebagai balok pertukaran yang timbul dari kebutuhan sumberdaya dari masing-masing aktor yang terlibat, seperti materi, jasa, perlindungan, dsb.

Masih menurut Scott (1993: 9), jaringan patronase (arus dari patron ke klien) meliputi: (1). Penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2). Jaminan krisis subsistensi berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi; (3). Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) dan ancaman umum (tentara, pejabat atau pemungut pajak); (4). Makelar dan pengaruh, jika patron memberikan perlindungannya terhadap ancaman yang berasal dari luar, patron juga menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menarik kliennya. Perlindungan merupakan peran


(50)

20   

defensifnya dalam menghadapai dunia luar, sedangkang kemakelaran adalah peran agresifnya untuk tetap membuat klien bersifat loyal terhadapnya. (5). Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat serta mendukung adanya kegiatan hari besar di daerahnya.

Pelras (2000: 16), menyebutkan bahwa hubungan patron-klien sebagai karakteristik pertukaran yang bersifat umum, tidak seimbang (tetapi secara teori tidak terikat) merupakan hubungan antara superior (patron/leader) dan inferior (klien atau pengikut), sebagai bentuk pertukaran yang asimetris, di mana posisi patron mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan akan kliennya, termasuk jaminan dalam hal keamanan, ekonomi, politik, tekanan militer dan sebagainya, sampai terhadap bentuk pertukaran sistem hutang dan perlindungan yang dibutuhkan oleh patron dan klien.

Dari temuan hasil peneltian sebelumnya, pada komunitas struktur nelayan ikan konsumsi karang hidup di Kepulauan Spermonde (2010), sangat kental diwarnai adanya sistem patron-klien. Patron memberikan jaminan sosial terhadap kliennya dalam bentuk hutang dan modal untuk melakukan kegiatan produksi, membeli hasil produksi tangkapan, dan melindungi kliennya dari ancaman-ancaman kelancaran produksi. Sedangkan klien mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada patronnya dengan kesepakatan harga yang telah di sepakati dan ditentukan. Sistem patron-klien menyebabkan adanya stratifikasi sosial.

Komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan tidak berdiri sendiri, artinya nelayan mempunyai penjamin sosial akan kehidupan mereka dan produksi mereka untuk dapat dipasarkan keluar pulau. Nelayan mempunyai juragan pembeli yang tidak luput juga memberikan peralatan tangkap dan perahu untuk produksi ikan konsumsi karang hidup. Komoditas ikan konsumsi karang hidup membentuk struktur komunitas nelayan di Kepulauan Spermonde yang terkenal dengan istilah ikatan punggawa-sawi. Punggawa adalah seorang juragan yang memberikan hutang dan jaminan sosial kepada sawinya (nelanyannya) untuk melanjutkan usaha produksi penangkapan ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan sawi adalah nelayan yang memberikan atau menjual hasil tangkapannya kepada punggawa mereka. Dikaji dari segi sosial dan ekonomi,


(51)

21   

tingkat kehidupan nelayan kecil tidak banyak berubah. Artinya, tingkat kesejahteraan mereka bersifat statis bahkan merosot. Hal yang seperti ini dialami oleh buruh-buruh sawi yang bekerja kepada punggawa baik menggunakan alat tangkap tradisional maupun modern seperti perahu joloro. Karena mempunyai tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam struktur masyarakat sawi merupakan lapisan sosial yang paling bawah.

Struktur masyarakat nelayan yang kental dengan ikatan patron-klien menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam struktur masyarakat nelayan tersebut. Startifikasi sosial berarti pembedaan masyarakat berdasarkan strata (kelas) secara hirarkhi (Sorokin, 1969; dalam Satria 2002). Basis dari pembedaan tersebut adalah right and previllage, duties and responsibility, social values and privations, and social powers and influences among the member of society. Sehingga startifikasi sosial masyarakat nelayan dapat dibedakan berdasarkan: (a). stratifikasi berdasarkan ekonomi, (b). stratifikasi berdasarkan politik dan (c). stratifikasi berdasarkan pekerjaan.

2.3. Jaringan Perdagangan Ikan Konsumsi Karang Hidup

Hasil tangkapan nelayan, berupa ikan konsumsi karang hidup tersebut dipasarkan keluar pulau untuk dijual ke pembeli besar (bos) yang mempunyai koneksi perdagangan langsung dengan pembeli yang ada di pulau. Ikan konsumsi karang hidup ini dijual dalam keadaan hidup sampai di konsumen dalam negeri atau konsumen di luar negeri melalui restoran yang menyediakan ikan konsumsi karang hidup dalam keadaan hidup dan kondisi segar. Menurut Scales, et.al, (2007), ikan konsumsi karang hidup, diidentifikasi sedikitnya ada 9 species ikan karang hidup yang laku di pasaran pada tingkat konsumen sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yaitu: Ephinephelus lanceolatus (Giant grouper), Cromileptes altives (High-finned grouper), Ephinephelus coioides (Green grouper), Ephinephelus fuscoguttatus (Tiger grouper), Ephinephelus polyphekadion (Flowery grouper), Plectropomus leopardus (Leopard grouper), Plectropomus maculates (Spotted grouper), Cheilinus undulates (Humphead wrasse), dan Lutjunus argentimaculatus (Mangrove snapper).


(52)

22   

Sedikitnya dari lima species ikan tersebut di atas (yang dicetak miring) di tangkap di wilayah perarian Indonesia timur yang menjadi komoditas utama dari nelayan penangkap ikan konsumsi karang hidup. Ikan konsumsi karang hidup tersebut ditangkap dan dipasarkan melalui “jaringan perdagangan antar pulau, antar propinsi sampai jaringan internasional”. Ikan tersebut di kirim dengan jarak yang jukup jauh dalam waktu yang lumayan lama, sehingga dibutuhkan perlakuan khusus agar mampu menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup dan bentuk yang bagus sampai ke konsumen. Pasokan utama ikan konsumsi karang hidup dari Indonesia timur adalah jenis ikan Sunu, Kerapu dan jenis Napoleon.

Berbicara tentang ikatan pelaku produksi dan distribusi ikan konsumsi karang hidup melekat pada jaringan perdagangan ikan konsumsi karang hidup yang membentuk ikatan patron-klien. Ikatan produksi dan distribusi tersebut menghasilkan pertukaran barang dan uang yang masing-masing aktor membutuhkan satu sama lain. Satu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Dalam arti, aktor mungkin saja individu, tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan dan masyarakat. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu dan kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang benilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen tertentu tergantung pada komponen yang lain.

Grannovetter (1973), menekankan bahwa jaringan mengikat pada ikatan lemah dan kuat antar aktor yang dalam kegiatan produksi-distribusi. Pola jaringan dalam struktur masyarakat pun bisa terjadi dalam hubungan aktor yang bersifat simetris maupun asimetris. Beberapa prinsip teori jaringan, yakni: (1). Ikatan antar aktor biasanya bersifat simetris, baik isi maupun intensitasnya (aktor saling memberi hal berbeda, dan mereka melakukannya dengan kurang lebih intens); (2). Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur dan jaringan yang lebih besar; (3). Perstrukturan ikatan sosial mengarah kepada berbagai jaringan yang tidak acak, (4). Keberadaan kelompok mengarah pada fakta bahwa mungkin saja terdapat kaitan silang antar kelompok maupun antar individu; (5). Terdapat ikatan asimetris antar elemen dalam suatu sistem yang akibatnya adalah sumber


(53)

23   

daya yang berlainan terdistribusikan secara berlainan; (6). Ketimpangan distribusi sumber daya yang langka melahirkan kolaborasi dan kompetisi.

Usaha dalam mempertahankan kondisi ikan konsumsi karang hidup agar tetap hidup dan segar (tidak rusak dalam kondisi fisiknya), ikan tersebut diberi perlakuan untuk mempertahankan kehidupannya. Perlakuan tersebut diberikan melalui suntikan antibiotik dan multivitamin sejak mulai setelah penangkapan di lapangan, kemudian di masukan kedalam pemberokan (tempat penampungan ikan sementara untuk istirahat) dalam waktu satu malam sebelum dikirim ke Perusahaan eksprotir. Sebagai contoh di Makassar, perlakuan serupa pun terjadi. Pengemasan ikan karang hidup sebelum di kirim lewat udara menuju Jakarta terlebih dahulu di bius agar tidak menimbulkan kematian dan kerusakan fisik. Efek dari bius tersebut mempunyai efek waktu selama perjalanan dari Makassar sampai ke Jakarta. Ketika di Jakarta ikan tersebut di pulihkan kembali dan dengan diberi perlakuan yang sama, sampai akhirnya sampai pada tujuan ekspor di Hong Kong (Radjawali, 2011).

Jaringan perdagangan secara tidak langsung memaksa adanya penangkapan ikan karang hidup secara terus menerus dan bahkan berlebih. Ketika terjadi penangkapan yang berlebih, sumber daya perikanan akan terus berkurang di sekitar perairan Spermonde. Penangkapan ikan menjadi kurang produktif/tangkapan per unit usaha menurun (yaitu untuk beberapa teknologi alat penangkapan (seperti pancing, bubu dan jaring)), sehingga nelayan yang terkena dampaknya akan mengurangi ukuran jaringnya dan berpindah ke metode yang lebih berproduktif. Hal ini disebabkan karena permasalahan lain, bahwa ikan karang hidup ditangkap di perairan lokal, tetapi pasarnya di luar yurisdiksi Indonesia (transboundary), sehingga ‘pengendali’nya adalah pasar dan dikombinasikan dengan ketiadaan jaminan sosial pemerintah dan pengetahuan yang baik akan kesadaran lingkungan, serta tekanan ekonomi pada nelayan, maka dengan sendirinya nelayan mencari ikan sebanyak-banyaknya untuk sekedar memenuhi hidup atau bahkan membayar hutang (Radjawali, 2011).

Peningkatan permintaan akan pasar secara berlebihan pada pasar

internasional menyebabkan penangkapan yang berlebihan pula, dengan menangkap species baru secara berlebihan dan menyebabkan banyak


(54)

24   

bermunculan asosiasi untuk penangkapan ikan yang di dalamnya terdapat sistematika jaringan punggawa untuk setiap jenis ikan dan sawi akan menangkap ikan apapun yang ada, dimana mereka tahu akses untuk menangkapnya dan tempat untuk menjualnya (Radjawali, 2011). Scales, (2007), menyebutkan setidaknya 19 negara mengekspor ikan konsusmi karang hidup ke Hong Kong. Dari 19 negara tersebut kesemuanya berada di Asia Tenggara dan Pasifik.

Akselerasi perdagangan konsumsi ikan karang hidup cukup pesat perkembangannya. Pengiriman ikan konsumsi karang hidup memakan perjalan dengan jarak tempuh lebih dari 400 km (Johannes and Riepen, 1995; Bentley, 1999). Hal ini yang menyebabkan proses pengriman ikan konsumsi karang hidup, diperlakukan sedemikan rupa dalam menjaga ikan tersebut hidup dengan kondisi sempurna tanpa cacat apapun dengan keadaan yang segar. Sehingga perlakuan tersebut banyak menggunakan bahan kimia untuk menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup.

Dalam fenomena produksi-distribusi perikanan ikan konsumsi karang hidup, eksportir sebagai “aktor” middle man yang bermain dalam pasar. Bahwa hal ini merupakan ketergantungan dari nelayan kepada perusahaan-perusahaan yang memberikan pasar termasuk middle man I dan middle man II di Bali dan Jakarta. Hal ini menyebabkan nelayan tetap menjadi nelayan dengan terus membayar hutang yang diberikan oleh middle man sebagai jaminan sosial dalam ikatan produksi-distribusi patron-client. Dalam pertukaran barang dan jasa dalam ikatan patron-klien tersebut menjadikan adanya ketidakseimbangan proporsi hasil yang didapat antar pelaku produksi dan distribusi sehingga terjadi ketidaksetaraan pendapatan yang diterima dalam masing-masing pelaku produksi dan distribusi.

Jaringan perdagangan tersebut melewati proses pengiriman ikan konsumsi karang hidup terjadi melalui beberapa tahap level pengiriman dan pemberangkatan yang masing-masing bertahap juga proses transaksi ekonominya. Mulai dari tahap penangkapan di alam oleh nelayan lokal, kemudian di beli oleh pembeli tahap I kemudian ditampung dalam pemberokan di pulau, di jual ke pembeli tahap II yang ada di Makassar, kemudian di tampung dalam pemberokkan Makassar, kemudian di kirim ke pembeli tahap III di Jakarta melalui jalur udara, kemudian ditampung dalam pemberokan sampai akhirnya di


(1)

287  OECD. 2006. Using Market Mechanisms to Manage Fisheries. Smoothing the

Path. Organization for Economic Co-operation and Development Publisher.

Radjawali, I. 2011. Reconsidering development – coping with uncertainties: Live Reef Food Fish (LRFF) trade in Spermonde Archipelago, Indonesia.

Reconsidering Development, 1. Retrieved from http://journal.ipid-umn.org/node/87.

Radjawali, I. 2011. Social Networks and the Live Reef Food Fish Trade, Examining Sustainability. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. Vol.4. pp.65-100.

Radjawali, I. 2012. Examining local conservation and development: Live reef food fishing in Spermonde Archipelago, Indonesia. Journal of Integrated Coastal Zone Management.

Robbins. Paul. 2004. Political Ecology: Critical Introduction to Geography.

Blackwell publishing. USA.

Riduwan, 2009. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Ritzer, G and Douglas, Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Terjemahan:

Sociological Theory. Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Riyanto, Budi. 2005. Pemberdayaan M asyarakat Sekitar Hutan dama Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Bogor.

Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN) 1998-2023 (Edisi Revisi 2008) Kerjasama Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan Balai Taman Nasional Wakatobi, didukung oleh TNC-Wakatobi dan WWF Wakatobi.

Rustiadi, Ernan. Maria Sumardjono, Nurhasan Ismail, dan Abdullah A. Damai.

2011. Pengaturan Sumberdaya Alam di Indonesia. Antara yang tersurat dan tersirat.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Satria, Arif. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan (Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah). Thesis Program Pasca Sarjana Sosiologi Pedesaan. IPB. Tidak dipublikasikan.

_________. 2002.Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. _________. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. LKiS. Yogyakarta. _________. 2009b. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. IPB Press. Bogor.


(2)

288   

_________. 2006. Questioning Community Based Coral Reef Management System: Case Study of Awig-awig in Gili Indah, Indonesia.

Environment, Development and Sustainability (2006) 8:99-118. Springer.

_________. 2006. Sawen: Institution, Local Knowledge and Myth in Fisheries Management in North Lombok, Indonesia. Fisi Crs Knowledge in Fisi Circs Science and Management-UNESCO

_________, Eva Anggraini, Akhmad Solihin. 2009c. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia?. IPB Press.

_________. 2010. (Satria and Ruddle, Ed.). 2010. Managing Coastal and Inland Water: Pre-existing Aquatic Management Systems in Southeast Asia. Springer.

Sadovy, et.al. 2003. While Stocks Last: The Live Reef Food Fish Trade. Asian Development Bank.

Scales, H. et.al. 2007. Monitoring the live reef food fish trade: Lesson learned from local and global perspectives. SPC Live Reef Fish Information Buletin # 17-November 2007.

Scott. James. 1972. Erosion The Erosion of Patron Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia.

http://journals.cambridge.org/abstract_S0021911800149770.

Scott. James. 1993. Perlawanan Kaum Tani. (Ed. Budi Kusworo, Hira Jhamtani, dkk). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Scott. W. R. 2004. Institutional Theory: Contributing to a Theoretical Research Program. Stanford University. USA.

Sitorus. M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif; Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Strandbakken, Rubik. F. Scheer, Dirk, et.al. 2005. Background : theoretical contributions, eco-labels and environmental policy. Greenleaf Publishing. Germany.

Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar. Sinar Grafika.

Wasistini, B. 2009. Community Participation in Designing Marine Protection Area in Spermonde , South Sulawesi, Indonesia. ISATEC Master Course. Univeritat Bremen. Germany.


(3)

289  WWF. 2012. Annual Report, Reef Fisheries. Toward Sustainable LRFF in

Indonesia.

Yin, Robert. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT. Raja Grafindo Persada, Edisi1 Cet. 2. Jakarta.

Perundang-undangan:

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Undang Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan


(4)

(5)

Jadwal Penelitian di Wakatobi, Bau-Bau, dan Bali

No Kegiatan Maret April Mei Juni Juli

1 Administrasi Riset dan Persiapan Lapangan (Perijinan-dan Pengenalan Lokasi Penelitian) XX

2 Wawancara di

Mola (5 desa). Identifikasi Kordinator dan Nelayan-LRFF) (SS-Sosek)

XX XX XX XX

3 Tracking GPS di

Karang dengan Nelayan (2 kali Tracking). (Karang Kapota dan Karang Kaledupa 1,2,3)

XX XX

4 Ikut Kegiatan

Join Program TN-TNC-WWF (Semiloka)

XX

5 Wawancara di

Lamanggau (SS-Sosek)

XX

6 Ikut Kegiatan

Outreach Kaledupa-Tomia- (Forum Masyarakat Pulau, Forkani-Komunto)

XX XX

7 Wawancara di

Kollosoha-Lamanggau (Kollosoha = Perikanan selain LRFF (berhubungan dengan pengguna alat tangkap dan penambangan pasir). Lamanggau, Tongano Barat = SS-Sosek)

XX

8 Mencari data

Sekunder di Pemerintahan Daerah dan Wawancara dengan DKP, Informan Kunci dan WWF-TNC,Bappeda, Bupati, seta dinas PU,

XX XX XX

9 Traingulasi di

Mola dan Tomia (Tongano Barat) SS-Livelihood


(6)

10 Penelitian di Bau-Bau

XX

11 Penelitian di Bali XX XX

12 Kembali ke

Bogor