Struktur Sosial Masyarakat Nelayan

24 bermunculan asosiasi untuk penangkapan ikan yang di dalamnya terdapat sistematika jaringan punggawa untuk setiap jenis ikan dan sawi akan menangkap ikan apapun yang ada, dimana mereka tahu akses untuk menangkapnya dan tempat untuk menjualnya Radjawali, 2011. Scales, 2007, menyebutkan setidaknya 19 negara mengekspor ikan konsusmi karang hidup ke Hong Kong. Dari 19 negara tersebut kesemuanya berada di Asia Tenggara dan Pasifik. Akselerasi perdagangan konsumsi ikan karang hidup cukup pesat perkembangannya. Pengiriman ikan konsumsi karang hidup memakan perjalan dengan jarak tempuh lebih dari 400 km Johannes and Riepen, 1995; Bentley, 1999. Hal ini yang menyebabkan proses pengriman ikan konsumsi karang hidup, diperlakukan sedemikan rupa dalam menjaga ikan tersebut hidup dengan kondisi sempurna tanpa cacat apapun dengan keadaan yang segar. Sehingga perlakuan tersebut banyak menggunakan bahan kimia untuk menjaga ikan tersebut dalam keadaan hidup. Dalam fenomena produksi-distribusi perikanan ikan konsumsi karang hidup, eksportir sebagai “aktor” middle man yang bermain dalam pasar. Bahwa hal ini merupakan ketergantungan dari nelayan kepada perusahaan-perusahaan yang memberikan pasar termasuk middle man I dan middle man II di Bali dan Jakarta. Hal ini menyebabkan nelayan tetap menjadi nelayan dengan terus membayar hutang yang diberikan oleh middle man sebagai jaminan sosial dalam ikatan produksi-distribusi patron-client. Dalam pertukaran barang dan jasa dalam ikatan patron-klien tersebut menjadikan adanya ketidakseimbangan proporsi hasil yang didapat antar pelaku produksi dan distribusi sehingga terjadi ketidaksetaraan pendapatan yang diterima dalam masing-masing pelaku produksi dan distribusi. Jaringan perdagangan tersebut melewati proses pengiriman ikan konsumsi karang hidup terjadi melalui beberapa tahap level pengiriman dan pemberangkatan yang masing-masing bertahap juga proses transaksi ekonominya. Mulai dari tahap penangkapan di alam oleh nelayan lokal, kemudian di beli oleh pembeli tahap I kemudian ditampung dalam pemberokan di pulau, di jual ke pembeli tahap II yang ada di Makassar, kemudian di tampung dalam pemberokkan Makassar, kemudian di kirim ke pembeli tahap III di Jakarta melalui jalur udara, kemudian ditampung dalam pemberokan sampai akhirnya di 25 kirim ke Hong Kong ke retail pasar Hong Kong sampai ke level konsumen. Proses tersebut tentunya proses yang lama yang menggunakan perlakuan ekstra agar ikan tersebut tetap hidup dan kondisi segar sampai ke konsumen di Hong Kong Sadovy, et.al. 2003; Muldoon, 2009; Radjawali, 2011. Jaringan perdagangan tersebut dibangun berdasarkan atas jaringan sosial yang mengikat didalamnya modal sosial dan hubungan kekerabatan. Putnam, 1997 dalam Prell, 2009, menyebutkan bahwa modal sosial terbetuk karena adanya jaringan sosial dalam komunitas, norma, kepercayaan dan hubungan timbal balik dimana menyebabkan adanya kerjasama dan hubungan keuntungan yang timbal balik.

2.1. Kepemilikan Sumberdaya

Istilah “sumberdaya alam” yang digunakan dalam konsep teori kepemilikan sumberdaya mengacu kepada komponen ekosistem yang dapat diperbaharui, salah satunya adalah sumberdaya perikanan karang hidup. Sumberdaya perikanan seperti dipahami oleh beberapa komunitas sebagai milik bersama, dengan konsekuensi siapapun dianggap bisa mengakses dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya. Permasalahan yang kemudian muncul karena menganggap sumberdaya perairan bersifat open acess adalah tidak adanya pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kelestarian sumberdaya kelautan Satria, 2009. Pengamatan yang sama dicatat dalam penelitian Radjawali 2011; 2012, yang menemukan keterkaitan antara status open access dengan rendahnya pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan di kepulauan Spermonde . Berbicara sumberdaya perikanan dan kelautan sebetulnya tidak lepas dari interaksi manusia dengan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Jager et.al., 2000, menyebutkan bahwa hubungan manusia dengan ekosistem adalah bermuka dua. Pada satu sisi, manusia bergantung pada ekosistem sebagai sumber makanan, bahan baku untuk membangun dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup. Namun disisi yang lain, manusia melakukan eksploitasi dan melakukan pencemaran alam dan yang lebih parah terlihat penampakan seolah-olah ia tidak mempunyai hubungan ketergantungan sama sekali pada ekosistem di sekelilinginya. 26 Berkes dan Farvar, 1998; Berkes et.al. 2001; Buck, 1998; Hanna and Munasinghe, 1995, dan dikutip dari Satria, 2009, menyebutkan bahwa teori sumberdaya, dalam kepemilikan sumerdaya laut dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu: Pertama, state poperty res publica di mana sumberdaya dimiliki oleh seluruh warga Negara, dan pengenalian pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah. Kedua, private property res pivate dimana indvidu atau perusahaan memiliki hak terhadap sumberdaya laut, seperti model Indvidual Tranferable Qouta ITQ yang marak dikembangkan oleh negara-negara maju. Ketiga, communal property atau common property, di mana sumberdaya dimiliki dan dikontrol oleh sekolompok masyarakat. Keempat, open access, yang bersifat free for all, property to no one. Keempat macam kepemilikan sumberdaya laut tersebut merupakan tipe ideal, artinya secara empiris sulit ditemukan suatu rezim pengelolaan sumberdaya kelautan yang persis sebagai suatu kategori, sebagaimana tipe ideal tersebut, misalnya perpaduan berbagai kategori meskipun ada satu kategori yang menonjol. Masih menurut Berkes dan Farvar 1989, dikutip dari Satria, 2009, konsep common property selama ini juga bermacam-macam, artinya pengelolaan sumberdaya milik bersama sebagai the common property merupakan the resources which are not amenable to private appropriation, so that such resources are basically open access and freely available to anyone, dan kalangan ilmuwan barat melihat common property seperti open access. Hal ini terlihat dalam esay dari Garett Hardin 1986, tentang tragedy of the common yang diartkan sebagai communally owned resources atau common property, yang artinya suatu sistem kepemilikan yang menjamin akses sekelompok orang yang secara kolektif mereka miliki Gibbs and Bromley, 1989 dikutip dari Satria, 2009. Ostrom 1990, menyebutkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan common property right, dalam tingkatan sekecil apapun ada yang mengelolanya. Di Indonesia umumnya laut sebagai sumerdaya milik bersama yang berlaku pada wilayah pesisir di mana nelayan tradisional sebagai pengguna dalam menangkap ikan. Dijelaskan dalam hal ini pengguna sumberdaya milik bersama memiliki seperangkat hak bundles of right, yaitu hak seperangkat hak yang dimiliki oleh 27 nelayan sebagai hak tradisional mereka. Lebih lanjut Ostrom dan Schalager dalam Right to Nature, Ed. Hanna, Folke and Maler,1996, membedakan hak tradisional itu atas empat macam. Pertama, access right yaitu hak untuk memasuki suatu wilayah laut. Kedua, withdrawal right yaitu hak untuk melakukan kegiatan produksi dari hasil sumberdaya laut tersebut. Ketiga, management right, adalah hak untuk mengelola sumberdaya. Keempat, exclusion right, adalah hak untuk menentukan siapa saja yang boleh memiliki access right, withdrawal right, alienation right yaitu hak untuk menjual atau mentransfer dan management right atau exclusion right. Perdagangan ikan konsumsi karang hidup di kepulauan Spermonde dimulai pertengahan dekade 1980-an ketika kebutuhan pasar dari Hong Kong mulai dipenuhi langsung dari supplier di sana. Menarik untuk memahami lebih lanjut tentang perkembangan yang pesat terjadi di pasar Hong Kong yang sebenarnya tidak memiliki sumber daya ikan konsumsi karang hidup. Mengikuti logika dari “bandit berjalan” roving bandits, dimulai di perairan Hong Kong yang melakukan ekspansi sumberdaya perikanan sampai ke wilayah perairan Indonesia. Terminologi “roving bandit” dikemukakan oleh Mancur Oslon, 2000 dalam Berkes, et.al. 2006; FAO, 2009, tentang ekspansi sumberdaya oleh pengguna sumberdaya alam sebagai sebagai akibat dari penurunan sampai kelangkaan sumberdaya alam di wilayahnya. Ekspansi tersebut adalah ekspansi sumberdaya alam milik bersama commons property dan sumber daya yang bersifat bebas akses untuk pengguna open access, mengingat dua sifat tersebut melekat pada sumberdaya perikanan dan kelautan. Menurut Fauzi 2005, ekspansi sumberdaya perikanan terjadi sebagai akibat dari sifat sumberdaya ikan yang fugitive bergerak bebas dan sulitnya melakukan fencing the ocean pengkaplingan sumerdaya kelautan, mengingat sifat kepemilikan sumberdaya kelautan adalah common pool resources. Fenomena ini menyebabkan adanya fleet migration yang artinya dengan adanya teknologi penangkapan ikan yang semakin meningkat, negara-negara yang mengalami penurunan stok dan produksi sumberdaya ikan akan melakukan kompetisi dan akan bereaksi mencari fishing ground yang lebih produktif baik secara legal maupun illegal. Dalam hal ini akan menimbulkan adanya overfishing dan 28 overcapacity secara global dari suatu negara ke negara lainnya atau dalam skala nasional dari suatu daerah ke daerah lainnya.

2.5. Seafood Savers, sebagai Instrumen Pengelolaan Ikan Konsumsi

Karang Hidup Perkembangan akhir-akhir ini bahwa sosiolog, anthropolog dan ahli politik sedang memfokuskan dirinya terhadap permasalahan konsumsi. Perubahan pola konsumsi dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial secara psikologi dan ekonomi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh kegiatan perdagangan untuk memprediksikan perubahan sosial akibat dari tingkah laku konsumen. Saat ini penelitian tentang konsumsi dalam kajian ilmu sosial menjadi sangat multidisipliner, yang merupakan gambaran atau cerminan dari meningkatnya kepentingan pola konsumsi modern atau postmodern di dalam masyarakat. Konsep tentang penelitian mengenai konsumsi menjadi bagian terhadap permasalahan sosial sehari-hari. Kita sangat dekat dengan istilah ide tentang “masyarakat beresiko risk society”. Tujuan disini adalah untuk menghubungkan konsep eco-labelling Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism dengan teori sosial. Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism adalah termasuk salah satu instrument dalam EPIS Environmental Product Information Scheme merupakan pengembangan secara teoritis dalam ilmu kajian sosial. Informasi ini disajikan dari produsen ke produsen lain dan dari produsen ke pelaku bisnis bisnis dan konsumer tentang pengutamaan produk ramah lingkungan. Informasi ini dapat diperoleh secara kuantitatif seperti berapa banyak penangkapan ikan dengan cara memakai alat yang merusak lingkungan, bagaimana pemrosesan dan pengemasan ikan tersebut, dsb., kualitatif seperti penulisan tentang didapatnya darimana sumber produk itu berasal dan secara grafik seperti bahwa ecolabelling itu dapat menjadi voluntary atau mandatory dan apakah lingkupnya secara nasional, regional atau global. Pada dasarnya Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism adalah konsep tentang modernisasi ekologi. Pemakaian istilah modernisasi ekologi merupakan “kata kunci” yang sering digunakan dalam sosiologi lingkungan dan di dalam wacana ekologi politik. Modernisasi ekologi merupakan konsep dan ideologi yang dituntun oleh konsepsi internasional yaitu World 29 Commission for Evironment and Development WCED, yang berfokus pada pendekatan sosiologi lingkungan secara mikro, penggunaan rendah dalam teknologi, pedesaan utopis, terdapat arah kanan untuk pro lingkungan dan arah kiri untuk pro pembangunan industri Deere, 1999. FAO. Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan adalah sebuah isu yang sedang berkembang dalam perikanan yang melihat hasil dari perikanan yang diperoleh dengan cara penangkapan yang ramah lingkungan dan mempunyai efek minimal terhadap kerusakan lingkungan dengan melabelkan produk perikanan sebagai perikanan ramah lingkungan dengan tujuan adalah mengajak respon khayalak mengkonsumsi perikanan yang ramah lingkungan. Pemberlakuan Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism dalam menciptakan pasar berdasar pada produk perikanan yang ramah lingkungan dan proses produksinya merupakan tujuan dari konvensi PBB Tentang Konservasi dan Pembangunan Dunia UNCED. Dasar dari dikuatkannya sistem Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism di perikanan adalah merujuk dari aturan FAO Tentang produk perikanan dan proses produksinya yang ramah lingkungan, dalam rangka menciptakan kondisi keberlanjutan perikanan baik pada pengaruh produksi tangkap perikanan maupun pasar perikanan. Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism merupakan salah satu instrumen yang memberikan label pada perikanan ikan karang hidup yang lebih ramah lingkungan di masa yang akan datang Bostrom and Klintman, 2008. Di dalam kontek perikanan, Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan seringkali dikaitakan dengan keberlanjutan ekologi dalam sistem perikanan termasuk didalamnya adalah aspek biologi dan aspek manajemen, tetapi tidak semuanya Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan menyentuh aspek tersebut. Tipe Eco-Standards, Product Labelling dan Green Consumerism perikanan tidak hanya menyentuh isu-isu makro saja, seperti kriteria kredibilitas ecolabelling, keamanan dan keterjaminan kualitas ikan konsumsi, hak-hak pekerja perikanan, keberlanjutan perikanan, dan dampak penggunaan sumber bukan perikanan dan sumber perikanan terhadap keberlanjutan ekologi, tetapi juga menyentuh aspek mikro, yaitu mengenai penangkapan perikanan skala individu dan produksi perikanan skala individu.