Pendekatan Budaya Pendekatan terhadap Studi Penerjemahan

Catford 2000:141, ” translation shifts are thus departures from formal correspondence in the process of going from the SL to the TL” .

2.1.8.2 Pendekatan Budaya

Pendekatan budaya adalah pendekatan yang mengkaji fenomena penerjemahan dari perspektif budaya yang sedang mengalami perkembangan akhir-akhir ini. Snell- Hornby 1990 adalah salah satu tokoh penerjemahan yang mengangkat isu penerjemahan dalam perspektif budaya. Pendekatan ini bisa dipahami dan diterima mengingat penerjemahan adalah juga transaksi budaya. Bahkan para praktisi maupun pakar penerjemahan mengakui bahwa budaya adalah aspek yang membentuk perilaku penerjemahan itu sendiri. Venuti 1995 menilai bahwa metode penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah yakni yang berorientasi penulis atau pembaca banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan ideologis. Bahasa adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir, sehingga masyarakat dan budayanya memiliki cara berpikir tertentu yang diekspresikan dalam bahasanya. Jika bahasa dipelajari, kebudayaan juga dipelajari. Cara melihat dunia sekeliling orang Indonesia, misalnya, berbeda dari cara melihat dunia sekeliling orang Inggris. Mereka saling mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling mendasari hubungan bahasa dan kebudayaan adalah bahwa bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan kata-kata yang berbeda pula karena setiap kebudayaan memiliki konsep-konsep berbeda. Oleh karena itu, menerjemahkan tidak terbatas pada pengalihan lintas bahasa tetapi juga menyangkut pengalihan lintas budaya. Bahasa hanya mempunyai makna dalam latar kebudayaan yang menjadi wadahnya. Adanya perbedaan kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa biasanya menimbulkan masalah dalam menemukan padanan terjemahan yang tepat. Bagi yang menganut pendekatan budaya, penelitian penerjemahan yang menggunakan pendekatan bahasa, khususnya formal, tidak mampu menjelaskan perilaku penerjemah. Bahasa tidak bisa lepas dari aspek budaya. Bahkan linguistik fungsional sistemik menganggap budaya adalah generator makna yang dipertukarkan antar interlokutor. Dengan demikian, bahasa hanya mampu mengungkap makna permukaan dan susunan makna semata. Karena perselisihan ini, beberapa pakar penerjemahan mencoba mengkawinkan kedua pendekatan tersebut melalui teori bahasa yang menggunakan semiotika sosial. Teori bahasa dengan semiotika sosial memandang bahasa sebagai interaksi sosial dengan latar budaya. Dengan kata lain, bahasa selalu dipahami dalam konstruk budaya. Aliran bahasa yang demikian dikembangkan oleh Halliday yang bersumber dari gagasan Malinowski dan Firth. Pakar-pakar penerjemahan yang menggunakan teori bahasa ini dalam mengungkap fenomena penerjemahan itu adalah Baker 1992, Neubert 1985, Hatim dan Mason 1990 dan 1997, Calzada Perez 2007. Di tengah-tengah dikotomi-dikotomi yang ada dalam studi penerjemahan, bukan berarti studi penerjemahan akan berkembang dengan pengkotak-kotakan. Newmark 2000:2 mengatakan bahwa dalam penelitian dan praktek penerjemahan pendekatan- pendekatan yang berbeda saling melengkapi juga bisa terjadi atau dikenal sebagai eclectic approach. Dengan demikian, linguistik dengan aliran tertentu, dapat digunakan sebagai alat bedah atau alat untuk mengkaji teks. Dengan mengutip pendapat Claramonte yang berpendekatan budaya 1998, Calzada-Perez 2007:2 mengatakan bahwa kajian terjemahan atau produk tidak lepas dari tiga tahap yakni archeology of knowledge, genealogy of power and translational ethics. Arkeologi pengetahuan mengimplikasikan sifat deskriptif teks melalui data yang kasat mata dalam hal ini kata atau kalimat. Sementara genealogy berkaitan erat dengan penjelasan mengenai alasan dan sebab musabab pemilihan bentuknya. Sementara yang terakhir berkaitan dengan dampak dan respons pembaca sasaran akan teks yang dibacanya. Apabila menggunakan konsep pragmatik, ketiganya sejalan dengan konsep lokusi, ilokusi dan perlokusi oleh Austin. Bahasa disebut juga unik, yang satu berbeda dari bahasa yang lain karena adanya perbedaan aturan gramatikal bahasa yang bersangkutan. Namun, pada tataran struktur dalam atau semantik, bahasa-bahasa lebih universal daripada struktur permukaan Larson 1984 : 26, karenanya menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat dilakukan, walaupun harus melakukan penyesuaian. Dengan demikian, stuktur linguistik sebuah kalimat tidaklah arbitrer. Pemilihan susunan dan bentuk tertentu ditentukan oleh fungsinya sendiri. Setiap pilihan sistem dan bentuk tertentu dimotivasi oleh tujuan yang hendak dicapai oleh penutur dan penulisnya. Sementara itu, penerjemah pemula khususnya seringkali tidak menyadari akan hal itu. Akibatnya, terjadi pergeseran- pergeseran yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Hasil dari keputusan yang dilakukan seringkali membuat maksud and tujuan teks sumbernya melenceng dari sebelumnya.

2.1.9 Penelitian Terdahulu