pertimbangan objektif mengapa penulis mengambil keputusan tersebut. Pertama, penilaian baik terhadap tingkat keakuratan, tingkat keberterimaan dan tingkat keterbacaan
terjemahan dilakukan secara terpisah. Penilaian yang seperti ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pada dasarnya konsep keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan merupakan
konsep yang terpisah satu sama lain. Di samping itu, pemisahan penilaian itu akan membuat proses penilaian lebih fokus. Kedua, karena satuan terjemahan yang dikaji
berada pada tataran kata, frasa, klausa, dan kalimat, penilaian terhadap kualitas terjemahan menjadi sangat rinci. Meskipun demikian, penetapan padanan tidak akan
pernah lepas dari konteksnya. Ketiga, karena masing-masing dari ketiga indikator terjemahan yang berkualitas itu dinilai secara terpisah, maka sangat dimungkinkan untuk
melibatkan tiga kelompok penilai yang berbeda. Misalnya, kelompok penilai tingkat keakuratan terjemahan dibedakan dari kelompok penilai tingkat kebeterimaan
terjemahan. Demikian pula, kelompok penilai tingkat keterbacaan terjemahan dibedakan dari kelompok penilai tingkat keakuratan dan keberterimaan. Keempat, dengan
memanfaatkan kuesioner berformat tertutup dan terbuka, besar kemungkinan bahwa penulis akan memperoleh data yang komprehensif perihal penyataan-pernyataan yang
diberikan penilai tentang kualitas suatu terjemahan. Strategi penilaian kualitas terjemahan yang digunakan dalam disertasi ini dijelaskan secara lebih rinci dalam bab III.
2.1.7 Penerjemah dan Kompetensi Penerjemahan
Penelitian penerjemahan secara holistik melibatkan tiga aspek sekaligus, yaitu aspek genetik, aspek objektif dan aspek afektif. Aspek genetik merujuk pada penerjemah,
yaitu orang yang menghasilkan terjemahan. Aspek objektif merujuk pada karya
terjemahan itu sendiri dan aspek afektif dipahami sebagai tanggapan pengguna terjemahan atau pembaca sasaran terhadap suatu karya terjemahan. Pada dasarnya, dari
ketiga aspek tersebut, aspek genetik menempati posisi yang paling sentral karena penerjemahlah yang melakukan proses penerjemahan dan dialah yang membuat
keputusan-keputusan yang terkait dengan pilihan kata, istilah, struktur kalimat dan lain sebagainya. Dengan kata lain, keberhasilan atau kegagalan sebuah terjemahan akan
sangat ditentukan kepiawaian penerjemah dalam memanfaatkan dan mensinergikan kompetensi penerjemahan yang dimilikinya Nababan 2004.
Meskipun penelitian ini tidak diorientasikan pada proses penerjemahan, sebagai salah satu paradigma penelitian penerjemahan yang menghendaki kajian terhadap latar
belakang dan kompetensi penerjemah, hal-hal yang terkait dengan pengertian penerjemah dan kompetensi penerjemahan perlu dibahas pada tataran teori. Tujuannya adalah untuk
memberi gambaran perihal persyaratan ideal yang harus dimiliki seseorang agar dia dapat menjadi penerjemah yang handal.
Istilah penerjemah acapkali diartikan secara dangkal atau sederhana oleh orang-orang yang awam dalam bidang studi penerjemahan. Ketika mereka ditanya apa yang dimaksud
dengan istilah itu, mereka biasanya menjawab bahwa penerjemah adalah orang yang menerjemahkan atau orang yang melakukan penerjemahan. Jika kita sependapat dengan
pengertian ini maka Indonesia sudah memiliki tidak hanya ratusan bahkan jutaan penerjemah. Adalah kenyataan bahwa pengajaran bahasa Inggris di sekolah tingkat atas
juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, terutama ketika mereka memahami bacaan.
Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah mereka dapat disebut penerjemah dalam artian yang sesungguhnya?
Studi penerjemahan memandang bahwa para siswa tersebut bukanlah penerjemah tetapi pembelajar bahasa Inggris, yang memanfaatkan penerjemahan sebagai alat bantu dalam
memahami teks bahasa Inggris. Jika demikian halnya dapat dikatakan bahwa tidak semua orang yang melakukan penerjemahan dapat disebut sebagai penerjemah.
Orang yang melakukan penerjemahan memerlukan persyaratan dasar agar dia dapat melakukan tugas itu. Dia harus menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Berdasarkan pengertian ini, seorang dwibahasawan, yang menguasai dua bahasa, dapat disebut sebagai penerjemah. Studi penerjemahan mempunyai pandangan lain bahwa
bilingualisme belum menjamin seseorang dapat menjadi penerjemah yang handal. Dalam studi penerjemahan, istilah penerjemah berkonotasi dengan istilah
mediator dalam komunikasi interlingual. Sebagai mediator, penerjemah bertugas untuk menjembatani kesenjangan komunikasi antara dua orang atau pihak yang tidak sebahasa.
Posisi mediator ini sebenarnya juga dimiliki oleh seorang guide atau pemandu wisata, yang juga menguasai dua bahasa dan menjembatani kesenjangan komunikasi. Namun,
penerjemah tidak identik dengan pemandu wisata. Penerjemah tidak diperbolehkan untuk memberikan advokasi kepada klien yang dibantunya. Sebaliknya, pemandu wisata dapat
melakukan hal tersebut. Penerjemah adalah sebuah profesi, yang memerlukan keterampilan dan
pendidikan. Bahkan untuk menjalankan profesi itu secara baik diperlukan beberapa kompetensi. Neubert 2000: 6 mengidentifikasikan lima parameter kualitatif kompetensi
penerjemahan, yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi tekstual, kompetensi bidang
keilmuan yang diterjemahkan, kompetensi budaya, dan kompetensi transfer. Kelima kompetensi diuraikan di bawah ini.
Penerjemah harus kompeten dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dia harus menguasai sistem morfologi, tatabahasa dan leksikal kedua bahasa tersebut.
Di samping itu, dia harus mengetahui perubahan-perubahan leksikal dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran yang pada umumnya tercermin dalam kamus-kamus dan
buku-buku acuan lainnya. Fakta menunjukkan bahwa penerjemah jarang menerjemahkan kalimat-
kalimat lepas. Pada umumnya, dia berhadapan dengan berbagai tipe teks. Oleh karena itu, penerjemah harus tahu cara kalimat-kalimat digabungkan menjadi
paragraf, dan cara-cara paragraf dibangun menjadi sebuah teks. Tergantung pada bidang teks yang dia terjemahkan, penerjemah harus menguasai cara teks bahasa
sumber dan teks bahasa sasaran disusun. Pendek kata, penerjemah harus mengenali ciri-ciri linguistis dan tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran. Neubert, 2000:
8. Penguasaan terhadap sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran dan penguasaan
terhadap ciri linguistis dan tekstual kedua bahasa tersebut tidak selalu bisa menjamin seseorang dapat menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Oleh sebab
itu, dia juga harus akrab dengan bidang ilmu yang diterjemahkannya. Namun, perlu dicatat bahwa hal tersebut jangan ditafsirkan bahwa dia harus menjadi ahli dalam
bidang ilmu yang diterjemahkannya. Yang dimaksud adalah bahwa dia harus mengetahui cara-cara mengatasi masalah yang mungkin timbul seperti masalah-
masalah istilah khusus.
Di kalangan orang awam dan para penerjemah pemula timbul kesalahpahaman bahwa kompetensi budaya hanya diperlukan dalam penerjemahan
karya-karya sastra. Jika kita sepakat bahwa proses penciptaan suatu teks, baik teks sastra maupun teks teknik, selalu terikat dengan budaya, kompetensi budaya sangat
dibutuhkan. Di samping itu, jika kita lihat peran penerjemah sebagai mediator antara dua bahasa yang berbeda, Mohanty, 1994: 28, jelaslah bahwa penerjemah harus
menguasai budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Menurut Witte 1994: 71, “They have to be biculturally competent”.
Penerjemah harus memiliki kompetensi transfer, yang oleh para ahli diartikan sebagai taktik dan strategi untuk mengubah teks bahasa sumber ke dalam
teks bahasa sasaran Neubert, 2000: 10. Kompetensi transfer inilah yang membedakan penerjemah dari dwibahasaan dan komunikator lainnya Neubert,
1994: 412. Neubert menyatakan bahwa “...translation competence is where translators are judged” 2000: 10. Lebih lanjut dia menyatakan:
whatever they may boast about their knowledge, their amazing individual competences, their language skills and their multifarious erudition or their
in-depth specialists expertise, even their profound understanding of two or more cultures, all these competences are feathers in the translators cap. But
if this excellent equipment is not matched by the unique transfer competence to produce an adequate replica of an original they have failed.
It is not enough to know about translating, it has to be done.
Pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang diharapkan dari seorang penerjemah tampak berlebihan dan kadang-kadang tidak sepadan dengan upah yang
mereka peroleh dalam menggeluti bidang ini. Akan tetapi, persyaratan-persyaratan tersebut harus dipenuhi penerjemah agar dia dapat menjalankan tugasnya dengan
baik dan efektif Danks Griffin in Danks et. al, 1997: 164.
Di atas telah diuraikan tentang kompetensi penerjemahan, yang harus dimiliki oleh penerjemah. Sekarang timbul pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan penerjemah?
Secara sederhana, pertanyaan ini dapat dijawab bahwa penerjemah adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mengalihkan pesan tertulis dari satu bahasa ke bahasa
lain. Akan tetapi, apakah seseorang yang menerjemahkan suatu teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dapat disebut penerjemah? Jawabannya tentu saja “Tidak”. Jika
kita menjawab “Ya”, seorang dwibahasaan yang mampu menggunakan dua bahasa harus digolongkan sebagai penerjemah. Pakar psikolinguistik, yang juga tertarik untuk
mengkaji mekanisme kognitif dasar yang melandasi penerjemahan, misalnya, cenderung memandang dwibahasawan sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah Presas, 2000:
22. Kecenderungan
memperlakukan dwibahasawan sebagai pengguna bahasa
daripada penerjemah bukan tanpa alasan. Seperti halnya penerjemah, dwibahasawan dapat berkomunikasi dalam dua bahasa. Dwibahasawan mempunyai beberapa
kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik Bell, 1991: 41 yang juga dimiliki oleh
penerjemah. Namun, tidak seperti penerjemah, dwibahasawan tidak selalu memiliki kompetensi transfer Neubert, 1994: 412.
Menerjemahkan merupakan suatu tipe pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan pelatihan tingkat lanjutan. Seseorang yang menggeluti pekerjaan ini dapat
digolongkan ke tipe penerjemah tertentu tergantung pada tahap-tahap perkembangan keahlian, proses pemahaman dan pemroduksian teks, status profesi, dan sifat pekerjaan
sehari-hari penerjemah.
Dengan mengikuti pemikiran Dreyfus 1986 dalam menjelaskan perkembangan inteligensi manusia, Chesterman 2000 : 77-78 menggolongkan penerjemah menjadi
lima tipe berdasarkan tahap-tahap perkembangan pengalaman mereka: penerjemah pemula, penerjemah lanjutan, penerjemah kompeten, penerjemah mahir, dan penerjemah
ahli. Sayangnya, Chesterman tidak memberikan gambaran rinci perihal perkembangan kompetensi penerjemahan dari ke lima tipe penerjemah itu yang akan menentukan hal-hal
yang membedakan mereka satu sama lain, kecuali perihal penerjemah ahli. Pendapat Chesterman dalam kaitannya dengan karakteristik penerjemah ahli sesuai dengan
temuan-temuan penelitian protokol tentang penerjemah profesional. Dipandang dari cara mereka memahami dan menghasilkan teks, penerjemah
dibagi menjadi empat tipe: penerjemah asosiatif, penerjemah subordinat, penerjemah kompaun, dan penerjemah koordinat Presas, 2000. Berdasarkan cara memahami dan
menghasilkan informasi, Presas menyediakan profil psikolinguistik penerjemah pemula dan ahli.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, ada empat perbedaan utama antara penerjemah ahli dan penerjemah pemula. Pertama, penerjemah ahli mempunyai
ketrampilan khusus kebahasaan. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak memiliki ketrampilan itu. Kedua, penerjemah ahli dan penerjemah pemula mempunyai memori
dwibahasa. Penerjemah ahli digolongkan sebagai penerjemah koordinat sedangkan penerjemah pemula dikategorikan sebagai penerjemah kompaun atau subordinat. Ketiga,
penerjemah ahli dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan menghasilkan informasi. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak mempunyai mekanisme
tersebut. Keempat, penerjemah ahli cenderung mempertimbangkan penerjemahan pada
tataran teks sedangkan penerjemah pemula cenderung memandang penerjemahan sebagai proses alih kode pada tataran kata.
Novice translator Expert translator
• Non-specialized linguistic
skills •
Bilingual memory compound or subordinated
• Unconscious interference
mechanism •
Code-switching mechanism lexical level
• Specialized linguistics
skills •
Bilingual memory coordinated
• Control over
interference in both reception and
production
• Heuristic text transfer
procedures •
Cognitive features: flexibility, lateral thinking, capacity for remote association
Tabel 1: Profil Psikolinguistik Penerjemah Pemula dan Penerjemah Ahli Presas, 2000: 28.
Cara lain untuk menggolongkan penerjemah ialah dengan melihat status profesi dan sifat kerja mereka sehari-hari. Menurut status profesinya, penerjemah digolongkan ke
dalam penerjemah amatir, penerjemah semi-profesional, dan penerjemah profesional. Penerjemah amatir adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan sebagai hobi.
Sebaliknya, penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan profesional bukan demi hobi tetapi demi uang Robinson 1997: 33. Penerjemah semi-
profesional adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan untuk memperoleh kesenangan diri dan uang.
Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka, penerjemah digolongkan menjadi penerjemah paruh waktu dan penerjemah penuh waktu. Penerjemah paruh waktu
biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan sampingan. Sebaliknya,
penerjemah penuh waktu melakukan tugas itu sebagai pekerjaan utama untuk mencari uang. Pembagian ini mengisyaratkan bahwa penerjemah paruh waktu dapat disebut
penerjemah semi-profesional sedangkan penerjemah penuh waktu dapat dikategorikan sebagai penerjemah profesional.
Selain status profesi dan sifat kerja sehari-hari yang telah diuraikan di atas, ada beberapa karakteristik yang membedakan penerjemah profesional dari penerjemah semi-
profesional atau penerjemah amatir. Robinson 1997: 26-44 menyebutkan tiga ciri penting penerjemah profesional, yaitu 1 rasa bangga terhadap profesi, 2 penghasilan,
dan 3 rasa senang dalam melakukan pekerjaan. Penerjemah merupakan sebuah profesi, yang dapat dimiliki oleh seseorang jika
dia memiliki kompetensi penerjemahan dan pengalaman praktis di bidang penerjemahan. Kompetensi penerjemahan dapat diperoleh melalui pelatihan akademik danatau
vokasional, yang memungkinkan seseorang dapat melakukan proses penerjemahan dengan baik untuk menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Machali 2000 : 147
mengatakan bahwa di negara-negara multikultural yang sudah maju, penerjemah resmi yang diakui adalah : 1 yang melalui pendidikan resmi tingkat pascasarjana; dan 2
melalui ujian nasional bagi mereka yang berbakat dan tidak merasakan perlunya mengikuti pendidikan resmi.
2.1.8 Pendekatan terhadap Studi Penerjemahan